“Hari
ini nggak usah masuk kerja!” perintah Yeriko.
“Kenapa?”
tanya Yuna sambil mengganti pakaiannya usai mandi.
“Hari
ini kita periksa ke dokter.”
“Aku
bisa masuk kerja setelah periksa.”
“Nggak
usah.”
“Kenapa?”
“Kalo
aku bilang nggak usah, ya nggak usah! Nggak perlu pake alasan!” sahut Yeriko
kesal. “Aku udah izinin ke kantormu.”
“Oh.
Oke.” Yuna mengangguk.
“Ayo,
sarapan!” ajak Yeriko.
Yuna
mengangguk. Mereka bergegas melangkah keluar dari kamar.
“Hati-hati!”
pinta Yeriko saat mereka akan menuruni tangga.
Yuna
tertawa kecil. “Iya, suamiku tersayang!” sahutnya sambil tersenyum.
Yeriko
langsung menggendong tubuh Yuna dan menuruni anak tangga secara perlahan.
“Kamu
apa-apaan sih?” Yuna menatap Yeriko sambil menahan senyum. Ia merasa
sangat bahagia karena Yeriko begitu memperhatikan apa pun yang dilakukan Yuna.
Yeriko
tersenyum. Ia baru menurunkan Yuna saat mereka sudah mencapai ujung tangga.
“Bi,
hari ini masak apa?” tanya Yeriko pada Bibi War yang sedang menata makanan di
atas meja.
“Masak
lele,” jawab Bibi War.
Yeriko
membelalakkan mata melihat menu yang ada di atas meja. Lele goreng, pepes lele,
lele bakar, mangut lele, nugget lele, sate lele ...
“Bi,
kenapa lele semua!?” seru Yeriko.
“Mas,
kemarin Bibi sudah nambah beli lele sepuluh kilo. Tapi, nggak ada satu pun yang
bertelur. Sebagian udah Bibi kasih tetangga. Sebagian lagi, Bibi olah aja.”
Yuna
menahan tawa sambil duduk di kursi. “Nggak papa, Bi.”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Bibi kan tahu akhir-akhir ini aku nggak bisa makan ikan.
Kenapa malah ikan semua?”
“Mau
aku potongin buah?” tanya Yuna.
Yeriko
mengangguk. “Itu lebih baik.
“Biar
Bibi aja yang potong buahnya. Mbak Yuna duduk aja!” sergah Bibi War.
“Nggak
usah, Bi. Kalo potong buah, aku bisa kali.” Yuna bangkit dari tempat duduknya.
“Duduk!”
perintah Yeriko.
“Eh!?”
Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko.
“Duduk,
Yun!” pinta Yeriko. “Biar Bibi yang kerjain!”
Bibi
War tersenyum dan bergegas masuk ke dapur untuk mengambil buah.
“Bi,
hari ini telur lelenya harus dapat!” pinta Yeriko saat Bibi War kembali sambil
membawakan beberapa potong buah.
“Iya.
Bibi juga sudah usaha. Kalo belum dapet, mau gimana lagi?”
Yeriko
langsung menatap wajah Yuna yang sedang asyik menyantap sarapannya. “Kamu masih
pengen telur lelenya?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Yun,
kalo ngidam jangan aneh-aneh!” pinta Yeriko.
“Aku
nggak ngidam. Cuma pengen.”
“Sama
aja.”
“Mbak
Yuna ngidam?” tanya Bibi War.
Yeriko
mengangguk. “Dia udah hamil.”
“Hah!?
Beneran, Mbak?” Wajah Bibi War terlihat sangat antusias begitu mendengar ucapan
Yeriko.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
“Bibi
seneng banget!” seru Bibi War sambil memeluk Yuna.
“Iya,
Bi. Akhirnya aku bisa hamil juga.”
“Ibu
sudah tahu kabar baik ini?” tanya Bibi War.
Yuna
menatap Yeriko sambil tersenyum.
“Biar
aku yang kasih tahu Mama,” jawab Yeriko sambil menatap Bibi War. “Pagi ini kami
mau pergi ke dokter. Setelah itu, baru pergi ke rumah Mama buat ngasih kabar
ini.”
Yuna
ikut tertawa kecil melihat reaksi Bibi War yang begitu antusias.
“Eh,
Mbak Yuna siang ini mau makan apa? Biar Bibi siapin!”
“Apa
aja, Bi,” jawab Yuna.
“Kalo
belum dapet telur lelenya gimana dong?” tanya Bibi War.
Yuna
langsung menoleh ke arah Yeriko.
Tatapan
Yuna membuat Yeriko merasa ditodong AK101 tepat di depan kepalanya. “Aku
carikan sampai dapat!” sahut Yeriko.
“Kalau
Bibi, bisanya nyari di pasar aja. Kemarin, ada yang ngasih saran suruh pergi ke
peternak lelenya. Tapi Bibi mah nggak tahu tempatnya.”
Yeriko
menarik napas dalam-dalam. “Ntar aku carikan!” sahutnya kesal.
Yuna
dan Bibi War saling pandang dan tersenyum.
“Kenapa
ngidamnya telur lele?” tanya Bibi War berbisik ke telinga Yuna. “Biasanya, kalo
ngidam suka makan yang asem-asem. Kok, malah Mas Yeri yang sering makan asem?”
Yuna
tertawa mendengar ucapan Bibi War. “Emang dia ikut ngidam?”
Bibi
War mengangguk. “Kayaknya ... kalo Mbak Yuna nggak mual?”
Yuna
menggelengkan kepala. Ia merasa selera makannya tidak ada yang berubah. Sama seperti biasanya. Hanya saja, dia
ingin makan telur lele sejak beberapa hari lalu. Entah kenapa, makanan itu
terus menari-nari di pelupuk matanya.
“Kenapa
aku yang sering mual?” gumam Yeriko. “Aku kira asam lambung, ternyata bukan
juga.”
“Bi,
kalau Yeriko kayak gitu terus, apa nggak bahaya?”
“Bahaya
apanya?”
“Dia
nggak pernah makan ikan, nggak makan daging, nggak makan telur. Cuma makan
buah-buahan aja.”
Yeriko
tertawa kecil menatap Yuna. “Aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir.
Anggap aja lagi diet.”
Yuna
tersenyum sambil menatap Yeriko. Mereka segera menghabiskan makannya dan
bergegas menuju klinik tempat Yuna biasa memeriksakan kondisi rahimnya.
Sesampainya
di klinik, dokter langsung melakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk
memastikan kondisi rahim Yuna bisa menerima perkembangan embrio dengan baik.
“Selamat,
Pak Yeri!” tutur dokter tersebut. “Usaha kalian tidak sia-sia. Ibu Yuna
akhirnya bisa hamil.”
“Terima
kasih, Dok!” sahut Yeriko.
“Duduk
dulu!” perintah dokter tersebut.
Yeriko
dan Yuna duduk di kursi, tepat di hadapan meja kerja dokter.
“Janin
yang berada di perut Ibu Yuna sudah berusia tiga minggu.”
“Tiga
minggu, Dok? Tapi, sekitar tiga hari yang lalu saya masih haid,” sahut Yuna.
“Haidnya
deras?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kandungan
Ibu Yuna masih sangat rentan. Saya akan memberikan obat penguat kandungan.
Jangan terlalu capek, nggak boleh setres dan jaga asupan makanan dengan baik!”
tutur dokter tersebut.
Yuna
mengangguk. “Terima kasih, Dok.”
Dokter
menganggukkan kepala sembari menulis catatan medis Yuna.
“Karena
kandungannya masih sangat rentan, jangan melakukan hubungan suami-istri
terlebih dahulu sampai tiga bulan ke depan.” Dokter tersebut tersenyum sambil
menyodorkan resep obat untuk Yuna.
Yeriko
membelalakkan matanya. “Tiga bulan?” batinnya sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
Dokter tersebut tersenyum mendapati ekspresi wajah
Yeriko. “Ini resep obat untuk Ibu
Yuna. Kalian bisa tebus di apotek. Periksa lagi bulan depan ya!” pinta dokter
tersebut.
Yuna
dan Yeriko mengangguk. Mereka bergegas keluar dari ruang pemeriksaan. Yeriko
menebus obat terlebih dahulu di apotek sebelum keluar dari rumah sakit dan
pergi ke rumah besar keluarga Hadikusuma.
“Bawain
apa ya buat Mama?” tanya Yuna saat ia sudah masuk ke mobil.
“Bawa
kamu aja udah cukup,” sahut Yeriko sambil menyalakan mesin mobilnya. Ia
langsung melajukan mobilnya menuju rumah mamanya. Kali ini ia merasa sangat
bahagia karena bisa memenuhi keinginan mama dan kakeknya untuk segera
memberikan keturunan.
Yuna
terus tersenyum, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Yeriko yang
sedang fokus menyetir.
“Kenapa
lihatin aku kayak gitu?” tanya Yeriko tanpa menoleh ke arah Yuna.
“Nggak
papa. Pengen lihat aja. Calon ayah buat anakku ...” Yuna menepuk-nepuk lembut
kedua pipinya sendiri.
Yeriko
tersenyum. Ia merasakan aura kebahagiaan terus menyelimuti dirinya. Kini
ia benar-benar akan menjadi seorang ayah. Ia terus membayangkan bagaimana
dirinya bermain dengan anak-anaknya setiap hari.
((
Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment