“Yun, kamu masih ingat tempat ini?” tanya Bellina sambil
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang dahulunya adalah kamar Yuna.
“Sampai sekarang, kamar ini nggak berubah.”
Yuna tersenyum sambil melangkahkan kakinya perlahan. Ia
menatap beberapa foto yang terpajang di dinding kamar. Rumah keluarga Bellina
memang lumayan bagus. Tapi sangat menyedihkan baginya. Di kamar berukuran 3x4
meter itu, Yuna menghabiskan masa-masa remajanya.
Bellina meraih satu pigura di atas meja yang membingkai
foto keluarga besar keluarga Linandar. “Nggak terasa, semuanya cepat berubah.
Bahkan, kamu nggak pernah menginginkan menginjakkan kaki di keluarga ini lagi.”
Yuna tersenyum kecil. Ia mengingat malam-malam yang ia
habiskan di kamar ini. Setiap malam ia belajar begitu keras demi mendapatkan
beasiswa dan bisa keluar dari rumah ini. Setiap harinya juga, ia lebih memilih
menghabiskan waktunya di sekolah hingga sore hari untuk menghindari perlakuan
paman dan bibinya yang kerap menyakitinya.
“Yun, kamu ingat nggak waktu kita dulu sering main ke
pantai waktu pulang sekolah?” Bellina melihat potret kebersamaannya dengan Yuna
dan Lian di pantai dengan seragam putih abu-abu.
Yuna tersenyum kecil. “Ingat. Tapi, aku berharap nggak
pernah bisa mengingat masa laluku yang begitu menyakitkan.”
Bellina tersenyum sinis. “Kenapa? Bukannya masa lalu kamu
indah? Kamu selalu dapet kasih sayang dari Papa. Kamu bisa dapetin perhatian
Lian,” tuturnya sambil menatap tajam ke arah Yuna.
Yuna membelalakkan matanya mendapati tatapan Bellina.
Kini, ia benar-benar yakin kalau Bellina mengundangnya ke rumah ini bukan untuk
meminta maaf. Hanya untuk membuatnya sakit karena harus mengenang masa lalunya
yang menyedihkan.
Bellina tertawa kecil melihat reaksi Yuna. “Kenapa sih,
Yun? Aku harus hidup dalam bayang-bayang kamu? Semua orang selalu melihat kamu.
Nggak ada satu pun yang lihat aku dan peduli sama aku,” tutur Bellina
dengan mata berkaca-kaca.
“Aku nggak ngerti maksud kamu, Bel.”
“Nggak ngerti?” Bellina tersenyum sinis. “Kamu beneran
nggak ngerti atau Cuma pura-pura nggak ngerti?” Ia menatap tajam ke arah Yuna.
Yuna menggelengkan kepala.
Bellina tersenyum menatap Yuna. “Kamu sadar nggak sih
kalau sampai sekarang, Lian masih aja perhatiin kamu?”
Yuna balas tersenyum menatap Bellina. “Sejak dulu, Lian
memang perhatian sama aku sebagai pacar. Tapi, kamu juga jadi selingkuhannya
selama aku pacaran sama Lian. Kamu nggak tahu gimana rasanya dikhianati sama
pacar dan saudara sendiri? Sakit, Bel. Tapi, aku sekarang udah jauh lebih baik
dan bahagia. Aku udah lupain saat-saat itu. Bagiku, kebahagiaan yang dikasih
Yeriko, cukup untuk membuatku melupakan semua rasa sakit yang aku rasain di
masa lalu.”
“Kamu nggak akan balik ke Lian lagi kan?” tanya Bellina.
Yuna menggelengkan kepala. “Aku udah nikah dan hidup
bahagia. Nggak punya keinginan sedikitpun untuk kembali ke Lian.”
“Bagus.” Bellina manggut-manggut. “Aku pegang kata-katamu
ini.”
Yuna tersenyum. Ia berharap kalau kakak sepupunya itu
benar-benar bisa berubah dan berhenti membencinya.
“Turun, yuk! Aku haus,” ajak Bellina setelah beberapa
menit mereka menghabiskan waktu di dalam ruangan tersebut tanpa kata-kata.
Yuna mengangguk dan mengikuti langkah Bellina perlahan.
Saat langkahnya hampir mencapai ujung tangga, Bellina
melirik ke arah Yuna yang berdiri di belakangnya.
“Aargh ...!” Bellina sengaja menjatuhkan tubuhnya di
ujung tangga ia berguling ke bawah.
“Astaga! Bellina!” seru Yuna saat melihat tubuh Bellina
tergeletak lemas di bawah tangga. Tubuhnya gemetaran dan langsung menghampiri
Bellina.
Semua orang langsung berlari ke tangga begitu mendengar
teriakan Bellina.
“Bel, kenapa bisa jatuh?” tanya Lian sambil memeluk
kepala Bellina.
“Dia yang dorong aku,” jawab Bellina lemah sambil menoleh
ke arah Yuna yang berdiri di sebelahnya.
Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak dorong dia. Dia
yang sengaja menjatuhkan diri di atas tangga.”
“Gimana bisa Bellina menjatuhkan dirinya sendiri, hah!?”
sentak Melan. “Tante nggak nyangka kalau kamu sekejam ini. Kamu tahu kan kalau
Bellina lagi hamil? Kamu iri sama dia karena kamu nggak bisa punya anak?”
Yuna menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca. “Aku
nggak dorong dia. Aku nggak mungkin sejahat itu, Tante.”
“Aargh ...!” Bellina mengerang kesakitan sambil memegangi
perutnya. Darah segar mulai keluar dari mulut rahim dan membuat Lian sangat
panik.
“Tante jangan nuduh sembarangan!” pinta Yeriko. “Yuna
nggak mungkin mencelakai orang lain apalagi saudara sendiri.”
“Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Bisa aja dia
ngelakuin ini supaya Bellina keguguran. Dia pasti iri karena dia sendiri nggak
bisa hamil juga sampai sekarang!” maki Melan.
Yuna menggelengkan kepala dan meraih lengan Yeriko. “Yer, aku nggak dorong dia. Aku nggak ngelakuin itu. Aku
nggak mungkin nyelakain Bellina dan bayinya. Kamu percaya aku, kan?” tanyanya
dengan mata berkaca-kaca.
“Aku percaya sama kamu.” Yeriko merangkul tubuh istrinya
dan mengelus lembut pundak Yuna.
“Mana ada penjahat mau ngaku!” seru Melan. “Kalau sampai
terjadi apa-apa sama bayinya Bellina. Tante akan nuntut kamu!”
“STOP!” teriak Lian sambil menangis histeris melihat
banyak darah yang mengalir ke lantai. “Bellina udah kayak gini, kalian masih
bisa berdebat di sini!?” sentak Lian sambil menggendong tubuh Bellina yang
lemah keluar dari rumah dan membawanya ke rumah sakit.
“Awas kamu ya! Tante bakal bikin perhitungan ke kamu!”
dengus Melan sambil menunjuk wajah Yuna penuh kebencian. Ia dan suaminya
bergegas menyusul Lian ke rumah sakit.
“Yer, kamu percaya sama akun kan?” tanya Yuna dengan mata
berkaca-kaca. “Aku nggak dorong dia. Dia yang sengaja menjatuhkan dirinya di
tangga. Aku masih nggak ngerti kenapa dia tega ngelakuin ini. Dia rela
menyakiti anaknya cuma buat fitnah aku.” Ia terisak dalam pelukan Yeriko.
Yeriko menarik napas dalam-dalam sambil memeluk erat
tubuh Yuna. Ia merasa sangat bersalah. Sejak awal, mereka merasa ada yang tidak
beres dengan undangan makan malam ini.
“Kita susul mereka ke rumah sakit. Aku khawatir sama
keadaan Bellina dan kandungannya,” pinta Yuna.
Yeriko mengangguk. Mereka bergegas keluar dari rumah
keluarga Bellina dan langsung melaju menuju rumah sakit terdekat.
“Andre beneran bawa Bellina ke rumah sakit ini?” tanya
Yeriko begitu mereka sampai di parkiran rumah sakit.
Yuna mengangguk. Ia langsung turun dari mobil san berlari
menuju ruang IRD (Instalasi Rawat Darurat). Ia langsung menghampiri Lian
yang sedang berdiri sambil berbaring di dinding.
“Gimana keadaan Bellina?” tanya Yuna.
Lian menyandarkan kepalanya sambil meneteskan air mata.
“Dokter lagi berusaha menangani,” jawabnya lirih.
Melan ingin memaki Yuna kembali, namun ia ditahan oleh
Tarudi.
Yuna meremas jemari tangannya sendiri. Ia sangat cemas
dengan keadaan Bellina. Sesekali ia menatap Lian, kemeja putih yang ia kenakan
berlumuran darah.
Seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan dan langsung
menghampiri Lian.
“Gimana keadaan istri dan kandungannya, Dok?” tanya Lian.
“Istri Anda mengalami pendarahan hebat. Kami harus
segera melakukan operasi untuk mengeluarkan janin dalam kandungannya.” Dokter
tersebut menyodorkan dokumen ke arah Lian. “Tolong tanda tangani segera agar
kami bisa mengambil tindakan!”
Tangan Lian gemetar saat meraih pena dari tangan dokter
tersebut. Ia meneteskan air mata melihat dokumen persetujuan operasi yang asa
di tangannya.
“Dok, anak itu masih kecil. Apa nggak ada cara lain untuk
menolong bayi kami?” tanya Lian.
Dokter tersebut menggelengkan kepala.
Lian memejamkan mata sejenak. Ia menarik napas dan
menggoreskan pena ke atas kertas dengan berat hati.
Dokter tersebut langsung menyambar kertas dari tangan
Lian. “Suster, cepat bawa ke ruang operasi!” perintahnya sambil setengah
berlari.
Semua perawat langsung bersiap dan mendorong ranjang
pasien Bellina menuju ruang operasi.
Yuna ikut menangis melihat kejadian ini. Ia bisa melihat
Bellina terbaring tak berdaya sambil mengeluarkan air matanya. Ia tak menyangka
kalau Bellina akan kehilangan anak yang dikandungnya.
Lian langsung menangis histeris, tubuhnya merosot ke
lantai. Ia merasa menjadi pria yang tak berguna. Tidak bisa menjaga anaknya
dengan baik. Tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk anak yang bahkan belum
sempat melihat dunia.
Melan dan Terudi juga ikut terisak melihat nasib anak dan
calon cucu kesayangannya. Semua orang ikut bersedih. Melan sangat menyesali
perbuatannya.
Bayi dalam kandungan Bellina memang sudah meninggal.
Hanya ini satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk menjebak Yuna. Jatuh
atau tidak, bayi Bellina tetap akan dikeluarkan dari rahimnya. Ia terus melirik
Yuna penuh kebencian. Ia berharap, Yuna mendapatkan penderitaan seumur
hidupnya.
(( Bersambung ... ))
Keluarga jahat, untung ada Perfect Hero-nya Yuna. Mr. Ye
nggak akan biarin Yuna menderita dong ya
Makasih udah baca sampai di sini. Dukung terus dengan
kasih review baik di kolom komentar.
Much
Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment