“Kenapa aku harus kehilangan anakku?” batin Bellina
sambil melangkah tak bersemangat. Ia memegang kertas hasil pemeriksaan dan
terduduk lemas di kursi tunggu.
“Bel, gimana hasil pemeriksaan dokter?” Melan menghampiri
Bellina dengan perasaan yang tak karuan. Sudah tiga kali ia memeriksakan
kandungan Bellina pada dokter yang berbeda. Semuanya mengatakan kalau bayi
dalam kandungan Bellina sudah meninggal.
“Mama kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Bellina lirih.
Ia terpaku menatap lantai rumah sakit yang dingin dan kosong.
“Bel, Mama nggak bermaksud buat menutupi ini semua dari
kamu. Mama cuma ingin benar-benar memastikan kalau kandungan kamu baik-baik
aja.”
“Tapi, dokter bilang kalau anak ini sudah meninggal dan
harus dikeluarkan.”
“Bel, kita cari dokter ahli yang lain lagi. Gimana?”
Bellina menggeleng perlahan. “Apa tiga dokter masih
kurang cukup? Mereka semua bilang kalau bayi aku udah mati, Ma.” Bellina mulai
terisak.
“Sayang, kamu jangan sedih kayak gini. Kalau stres terus,
kandungan kamu semakin berbahaya. Nggak sakit, kan? Pasti anak kamu baik-baik
aja.”
Bellina menggeleng. Ia memeluk tubuh Melan dan menangis
pilu. “Kenapa aku? Kenapa harus aku yang ngalamin ini semua?”
“Kamu tenang aja!” pinta Melan. “Semua pasti baik-baik
aja.”
“Baik-baik aja gimana, Ma? Udah kayak gini, Mama masih
bisa bilang baik-baik aja?”
Melan terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana
caranya menghibur Bellina. Dalam hatinya, justru menyimpan kekesalan pada Yuna
yang kerap kali membuat suasana hati Bellina memburuk.
“Ma, kenapa aku selalu kayak gini? Sementara Yuna selalu
dapetin kebahagiaan. Aku baru aja nikah sama Lian, kenapa harus kehilangan anak
kami?”
Melan menarik napas dalam-dalam. “Ini semua gara-gara
Yuna. Kalau aja dia nggak mengganggu rumah tangga kalian. Semua ini nggak akan
terjadi. Anak itu memang nggak tahu diri!”
“Ma, kata dokter janinku bermasalah karena aku terlalu
stres. Gimana aku nggak stres kalau suamiku sekantor sama Yuna. Udah gitu, Yuna
terus-terusan deketin Lian. Aku takut, Ma. Lian bakal ninggalin aku dan balik
lagi ke Yuna.”
“Kamu tenang aja! Mama nggak akan ngebiarin semuanya
terjadi.” Melan mengusap-usap pundak Bellina penuh kelembutan. “Anak kamu pasti
baik-baik aja.”
“Gimana kalo Lian tahu kalau anak di kandungan aku nggak
bergerak sama sekali? Aku nggak bisa ngasih dia keturunan. Apa dia bakal
menceraikan aku?”
“Nggak, Bel. Mama nggak akan ngebiarin Lian ninggalin
kamu gitu aja. Pasti ada cara yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan anak
kamu.”
“Cara apa, Ma? Udah nggak ada harapan lagi,” tutur
Bellina masih terisak. “Cuma anak ini yang bikin Lian tetap bertahan dan
menikah sama aku. Kalo nggak ada bayi ini, Lian bisa aja nyeraikan aku.”
“Bel, dia nggak mungkin ninggalin kamu. Mama nggak akan
biarin itu.” Melan mulai khawatir. Anak dalam kandungan Bellina adalah pewaris
Wijaya Group. Jika Bellina tidak bisa melahirkan anaknya, ia khawatir tidak
bisa mendapatkan harta kekayaan keluarga Wijaya.
Bellina terus terisak di pelukan mamanya.
“Kenapa ini semua nggak terjadi sama anak durhaka itu?”
gumamnya kesal. “Harusnya, dia yang mengalami penderitaan seperti ini!”
“Kalau bukan karena dia. Aku bisa hidup tenang dan bayiku
pasti baik-baik aja. Apa dia sengaja bikin perasaanku nggak tenang supaya
kandungan bermasalah dan dia bisa merebut Lian kembali?”
“Bel, Mama pasti bantu kamu untuk mempertahankan
pernikahan kalian. Mama akan ngelakuin segala cara supaya anak Mama bisa hidup
bahagia,” tutur Melan perlahan.
“Gimana caranya ngomong ke Lian? Dia pasti bakal marah
banget karena aku nggak bisa menjaga anak ini dengan baik.”
“Jangan berpikir semakin jauh!” pinta Melan. “Lebih baik,
kita pulang ke rumah dan cari cara.”
Bellina menangguk. Mereka bergegas keluar dari rumah
sakit dengan perasaan kecewa, takut, sakit dan semua hal buruk yang terus
melayang-layang di pikiran mereka.
Sesampainya di rumah, Bellina terus memikirkan cara
untuk menghancurkan hidup Yuna sehancur-hancurnya. Ia merasa Yuna telah
merenggut semua kebahagiaannya. Selalu lebih unggul dari dirinya dan menjadi
penyebab kesulitannya. Ia tidak akan melepaskan Yuna begitu saja.
“Aku harus minta bantuan Papa,” gumam Bellina. Ia segera
turun dari kamarnya dan mencari sosok ayahnya.
“Pa ...!” teriak Bellina sambil terus melangkahkan
kakinya.
“Kamu kenapa teriak-teriak?” tanya Melan.
“Papa mana?”
“Di belakang. Kenapa?”
“Aku udah punya rencana bagus.”
“Apa itu?” tanya Melan.
Bellina membisikkan rencananya ke telinga Melan.
“Kamu yakin? Itu membahayakan dirimu sendiri.”
“Tenang aja, Ma. Semua akan baik-baik aja. Mama nggak
usah takut!”
“Gimana Mama nggak takut kalau kamu sampai membahayakan
diri kamu sendiri? Kalo ada apa-apa gimana?”
Bellina tertawa kecil. “Aku udah pikirkan baik-baik.
Nggak akan bermasalah, kok. Yang penting, kita bisa sukses ngasih dia
pelajaran.”
Melan terdiam. Ia sebenarnya tidak setuju dengan cara
Bellina. Tapi, Bellina terus meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik
saja.
Bellina bergegas ke halaman belakang menghampiri ayahnya.
“Pa ...!” panggil Bellina sambil menatap ayahnya yang
sedang bersantai di halaman belakang.
“Apa?” Tarudi langsung memutar kepalanya menatap Bellina.
“Papa bisa undang Yuna ke rumah ini?”
“Mau apa?”
“Aku mau minta maaf sama dia.”
“Minta maaf?” Tarudi mengernyitkan dahi.
“He-em.” Bellina mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu serius mau minta maaf sama dia?” tanya Tarudi.
Bellina mengangguk.
“Dia sudah menolak undangan Papa.”
“Papa bisa coba lagi. Selama ini, Yuna selalu baik sama
Papa. Dia pasti mau dengerin Papa.”
Tarudi menarik napas dalam-dalam. “Jelas-jelas, dia sudah
menolak undangan Papa dua kali.”
“Pa, bantulah kami minta maaf sama Yuna!” pinta Melan
yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Bellina.
Tarudi terdiam sesaat.
“Papa bisa ke rumah mereka sekarang. Mama udah siapin
hadiah untuk Yuna.”
Tarudi menganggukkan kepala.
“Makasih, Pa!” ucap Bellina sambil tersenyum penuh arti.
“Cepet, Pa!” pinta Melan. “Ini udah sore. Ntar Yuna
keburu keluar dari rumahnya.”
“Keluar ke mana?”
“Biasanya, mereka makan malam di luar. Makanya, kita
undang aja mereka makan malam di sini.”
“Oh.” Tarudi manggut-manggut sambil melangkahkan kakinya.
“Semoga berhasil, Pa!” seru Melan. “Mama bakal siapin
banyak makanan enak malam ini.”
Tarudi menganggukkan kepala sambil terus melangkahkan
kakinya keluar dari rumah.
Bellina dan Melan saling pandang dan tersenyum.
“Makasih, Ma. Mama udah bantuin ngerayu Papa,” tutur
Bellina sambil tersenyum senang.
Melan mengangguk. “Mama pasti bantu kamu.” Ia terus
tersenyum. Ia berharap bisa menyelamatkan keluarganya. Ia tidak ingin Wilian
mengetahui perihal kandungan Bellina yang bermasalah.
Bellina tersenyum hangat dan langsung memeluk Melan. Ia
tersenyum sinis di balik punggung Melan. Ia berharap, kali ini bisa benar-benar
menghancurkan hidup Yuna untuk selamanya. Ia tidak akan pernah rela melihat
Yuna bahagia.
Bellina kembali naik ke kamarnya. Di saat yang sama,
ponselnya berdering. Ia langsung mengangkat panggilan telepon.
“Halo ...!” sapa Bellina begitu ia menjawab panggilan
telepon.
“Bu, kami mau mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan
ulang besok sebelum melakukan operasi.”
“Aku nggak mau dioperasi,” sahut Bellina.
“Tapi, jika janin itu tidak dikeluarkan. Akan sangat
membahayakan untuk kesehatan Ibu sendiri.”
“Oke. Besok saya ke sana lagi. Saya belum bisa melakukan
operasi. Saya harus membicarakannya terlebih dahulu dengan suami saya. Dia
belum tahu kalau bayi ini sudah meninggal.”
“Baiklah. Kami anjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang
terlebih dahulu karena ...”
“Telepon dari siapa?” Lian tiba-tiba muncul di belakang
Bellina.
“Eh!?” Bellina memutar kepala menatap Lian. Ia langsung
mematikan panggilan teleponnya. “Dari rumah sakit.”
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Lian.
“Eh? Nggak ada.” Bellina menggelengkan kepala.
Lian tersenyum sambil memeluk tubuh Bellina. Ia mengelus
perlahan perut Bellina yang mulai membuncit. Selama beberapa menit, tak ada
pergerakan sedikit pun dari janin yang ada di dalam perut Bellina.
“Kenapa dia diam aja?” tanya Lian. Beberapa hari lalu, ia
sudah bisa merasakan detak jantung anaknya. Tapi kali ini, ia tidak
merasakannya sedikitpun.
“Eh? Mungkin dia lagi tidur. Mmh ... aku bikinkan kamu
kopi dulu.” Bellina bergegas melangkah keluar dari kamar untuk menghindari
pertanyaan dari Lian. Ia tidak ingin Lian mengetahui perihal kematian anaknya
karena suasana hatinya yang selalu buruk.
Lian sudah berkali-kali memperingatkan dirinya untuk
bersikap tenang. Tapi, ia tetap saja tidak tenang. Selalu memikirkan Lian yang
secara diam-diam masih menyukai Yuna.
(( Bersambung ... ))
“Apa yang kamu
tanam, itu yang akan kamu tuai di kemudian hari.”
Makasih udah baca sampai di sini. Dukung terus dengan
kasih baik di kolom komentar.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment