Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 249 || Stillbirth || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Kenapa aku harus kehilangan anakku?” batin Bellina sambil melangkah tak bersemangat. Ia memegang kertas hasil pemeriksaan dan terduduk lemas di kursi tunggu.

 

“Bel, gimana hasil pemeriksaan dokter?” Melan menghampiri Bellina dengan perasaan yang tak karuan. Sudah tiga kali ia memeriksakan kandungan Bellina pada dokter yang berbeda. Semuanya mengatakan kalau bayi dalam kandungan Bellina sudah meninggal.

 

“Mama kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Bellina lirih. Ia terpaku menatap lantai rumah sakit yang dingin dan kosong.

 

“Bel, Mama nggak bermaksud buat menutupi ini semua dari kamu. Mama cuma ingin benar-benar memastikan kalau kandungan kamu baik-baik aja.”

 

“Tapi, dokter bilang kalau anak ini sudah meninggal dan harus dikeluarkan.”

 

“Bel, kita cari dokter ahli yang lain lagi. Gimana?”

 

Bellina menggeleng perlahan. “Apa tiga dokter masih kurang cukup? Mereka semua bilang kalau bayi aku udah mati, Ma.” Bellina mulai terisak.

 

“Sayang, kamu jangan sedih kayak gini. Kalau stres terus, kandungan kamu semakin berbahaya. Nggak sakit, kan? Pasti anak kamu baik-baik aja.”

 

Bellina menggeleng. Ia memeluk tubuh Melan dan menangis pilu. “Kenapa aku? Kenapa harus aku yang ngalamin ini semua?”

 

“Kamu tenang aja!” pinta Melan. “Semua pasti baik-baik aja.”

 

“Baik-baik aja gimana, Ma? Udah kayak gini, Mama masih bisa bilang baik-baik aja?”

 

Melan terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menghibur Bellina. Dalam hatinya, justru menyimpan kekesalan pada Yuna yang kerap kali membuat suasana hati Bellina memburuk.

 

“Ma, kenapa aku selalu kayak gini? Sementara Yuna selalu dapetin kebahagiaan. Aku baru aja nikah sama Lian, kenapa harus kehilangan anak kami?”

 

Melan menarik napas dalam-dalam. “Ini semua gara-gara Yuna. Kalau aja dia nggak mengganggu rumah tangga kalian. Semua ini nggak akan terjadi. Anak itu memang nggak tahu diri!”

 

“Ma, kata dokter janinku bermasalah karena aku terlalu stres. Gimana aku nggak stres kalau suamiku sekantor sama Yuna. Udah gitu, Yuna terus-terusan deketin Lian. Aku takut, Ma. Lian bakal ninggalin aku dan balik lagi ke Yuna.”

 

“Kamu tenang aja! Mama nggak akan ngebiarin semuanya terjadi.” Melan mengusap-usap pundak Bellina penuh kelembutan. “Anak kamu pasti baik-baik aja.”

 

“Gimana kalo Lian tahu kalau anak di kandungan aku nggak bergerak sama sekali? Aku nggak bisa ngasih dia keturunan. Apa dia bakal menceraikan aku?”

 

“Nggak, Bel. Mama nggak akan ngebiarin Lian ninggalin kamu gitu aja. Pasti ada cara yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan anak kamu.”

 

“Cara apa, Ma? Udah nggak ada harapan lagi,” tutur Bellina masih terisak. “Cuma anak ini yang bikin Lian tetap bertahan dan menikah sama aku. Kalo nggak ada bayi ini, Lian bisa aja nyeraikan aku.”

 

“Bel, dia nggak mungkin ninggalin kamu. Mama nggak akan biarin itu.” Melan mulai khawatir. Anak dalam kandungan Bellina adalah pewaris Wijaya Group. Jika Bellina tidak bisa melahirkan anaknya, ia khawatir tidak bisa mendapatkan harta kekayaan keluarga Wijaya.

 

Bellina terus terisak di pelukan mamanya.

 

“Kenapa ini semua nggak terjadi sama anak durhaka itu?” gumamnya kesal. “Harusnya, dia yang mengalami penderitaan seperti ini!”

 

“Kalau bukan karena dia. Aku bisa hidup tenang dan bayiku pasti baik-baik aja. Apa dia sengaja bikin perasaanku nggak tenang supaya kandungan bermasalah dan dia bisa merebut Lian kembali?”

 

“Bel, Mama pasti bantu kamu untuk mempertahankan pernikahan kalian. Mama akan ngelakuin segala cara supaya anak Mama bisa hidup bahagia,” tutur Melan perlahan.

 

“Gimana caranya ngomong ke Lian? Dia pasti bakal marah banget karena aku nggak bisa menjaga anak ini dengan baik.”

 

“Jangan berpikir semakin jauh!” pinta Melan. “Lebih baik, kita pulang ke rumah dan cari cara.”

 

Bellina menangguk. Mereka bergegas keluar dari rumah sakit dengan perasaan kecewa, takut, sakit dan semua hal buruk yang terus melayang-layang di pikiran mereka.

 

 Sesampainya di rumah, Bellina terus memikirkan cara untuk menghancurkan hidup Yuna sehancur-hancurnya. Ia merasa Yuna telah merenggut semua kebahagiaannya. Selalu lebih unggul dari dirinya dan menjadi penyebab kesulitannya. Ia tidak akan melepaskan Yuna begitu saja.

 

“Aku harus minta bantuan Papa,” gumam Bellina. Ia segera turun dari kamarnya dan mencari sosok ayahnya.

 

“Pa ...!” teriak Bellina sambil terus melangkahkan kakinya.

 

“Kamu kenapa teriak-teriak?” tanya Melan.

 

“Papa mana?”

 

“Di belakang. Kenapa?”

 

“Aku udah punya rencana bagus.”

 

“Apa itu?” tanya Melan.

 

Bellina membisikkan rencananya ke telinga Melan.

 

“Kamu yakin? Itu membahayakan dirimu sendiri.”

 

“Tenang aja, Ma. Semua akan baik-baik aja. Mama nggak usah takut!”

 

“Gimana Mama nggak takut kalau kamu sampai membahayakan diri kamu sendiri? Kalo ada apa-apa gimana?”

 

Bellina tertawa kecil. “Aku udah pikirkan baik-baik. Nggak akan bermasalah, kok. Yang penting, kita bisa sukses ngasih dia pelajaran.”

 

Melan terdiam. Ia sebenarnya tidak setuju dengan cara Bellina. Tapi, Bellina terus meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja.

 

Bellina bergegas ke halaman belakang menghampiri ayahnya.

 

“Pa ...!” panggil Bellina sambil menatap ayahnya yang sedang bersantai di halaman belakang.

 

“Apa?” Tarudi langsung memutar kepalanya menatap Bellina.

 

“Papa bisa undang Yuna ke rumah ini?”

 

“Mau apa?”

 

“Aku mau minta maaf sama dia.”

 

“Minta maaf?” Tarudi mengernyitkan dahi.

 

“He-em.” Bellina mengangguk sambil tersenyum.

 

“Kamu serius mau minta maaf sama dia?” tanya Tarudi.

 

 

 

Bellina mengangguk.

 

 

 

“Dia sudah menolak undangan Papa.”

 

 

 

“Papa bisa coba lagi. Selama ini, Yuna selalu baik sama Papa. Dia pasti mau dengerin Papa.”

 

 

 

Tarudi menarik napas dalam-dalam. “Jelas-jelas, dia sudah menolak undangan Papa dua kali.”

 

 

 

“Pa, bantulah kami minta maaf sama Yuna!” pinta Melan yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Bellina.

 

 

 

Tarudi terdiam sesaat.

 

 

 

“Papa bisa ke rumah mereka sekarang. Mama udah siapin hadiah untuk Yuna.”

 

 

 

Tarudi menganggukkan kepala.

 

 

 

“Makasih, Pa!” ucap Bellina sambil tersenyum penuh arti.

 

 

 

“Cepet, Pa!” pinta Melan. “Ini udah sore. Ntar Yuna keburu keluar dari rumahnya.”

 

 

 

“Keluar ke mana?”

 

 

 

“Biasanya, mereka makan malam di luar. Makanya, kita undang aja mereka makan malam di sini.”

 

 

 

“Oh.” Tarudi manggut-manggut sambil melangkahkan kakinya.

 

“Semoga berhasil, Pa!” seru Melan. “Mama bakal siapin banyak makanan enak malam ini.”

 

Tarudi menganggukkan kepala sambil terus melangkahkan kakinya keluar dari rumah.

 

 

 

Bellina dan Melan saling pandang dan tersenyum.

 

“Makasih, Ma. Mama udah bantuin ngerayu Papa,” tutur Bellina sambil tersenyum senang.

 

Melan mengangguk. “Mama pasti bantu kamu.” Ia terus tersenyum. Ia berharap bisa menyelamatkan keluarganya. Ia tidak ingin Wilian mengetahui perihal kandungan Bellina yang bermasalah.

 

Bellina tersenyum hangat dan langsung memeluk Melan. Ia tersenyum sinis di balik punggung Melan. Ia berharap, kali ini bisa benar-benar menghancurkan hidup Yuna untuk selamanya. Ia tidak akan pernah rela melihat Yuna bahagia.

 

Bellina kembali naik ke kamarnya. Di saat yang sama, ponselnya berdering. Ia langsung mengangkat panggilan telepon.

 

“Halo ...!” sapa Bellina begitu ia menjawab panggilan telepon.

 

“Bu, kami mau mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan ulang besok sebelum melakukan operasi.”

 

“Aku nggak mau dioperasi,” sahut Bellina.

 

“Tapi, jika janin itu tidak dikeluarkan. Akan sangat membahayakan untuk kesehatan Ibu sendiri.”

 

“Oke. Besok saya ke sana lagi. Saya belum bisa melakukan operasi. Saya harus membicarakannya terlebih dahulu dengan suami saya. Dia belum tahu kalau bayi ini sudah meninggal.”

 

“Baiklah. Kami anjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang terlebih dahulu karena ...”

 

“Telepon dari siapa?” Lian tiba-tiba muncul di belakang Bellina.

 

“Eh!?” Bellina memutar kepala menatap Lian. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya. “Dari rumah sakit.”

 

“Kenapa? Ada masalah?” tanya Lian.

 

“Eh? Nggak ada.” Bellina menggelengkan kepala.

 

Lian tersenyum sambil memeluk tubuh Bellina. Ia mengelus perlahan perut Bellina yang mulai membuncit. Selama beberapa menit, tak ada pergerakan sedikit pun dari janin yang ada di dalam perut Bellina.

 

“Kenapa dia diam aja?” tanya Lian. Beberapa hari lalu, ia sudah bisa merasakan detak jantung anaknya. Tapi kali ini, ia tidak merasakannya sedikitpun.

 

“Eh? Mungkin dia lagi tidur. Mmh ... aku bikinkan kamu kopi dulu.” Bellina bergegas melangkah keluar dari kamar untuk menghindari pertanyaan dari Lian. Ia tidak ingin Lian mengetahui perihal kematian anaknya karena suasana hatinya yang selalu buruk.

 

Lian sudah berkali-kali memperingatkan dirinya untuk bersikap tenang. Tapi, ia tetap saja tidak tenang. Selalu memikirkan Lian yang secara diam-diam masih menyukai Yuna.

 

 (( Bersambung ... ))

 

Apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu tuai di kemudian hari.”

 

Makasih udah baca sampai di sini. Dukung terus dengan kasih baik di kolom komentar.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas