“Yer,
kamu kok makan begituan sih?” protes Yuna saat melihat suaminya menggigit buah
tomat. Ia duduk berhadapan dengan Yeriko di sebuah restoran saat makan malam.
“Eh!?
Emang kenapa?”
“Nggak
asem?” tanya Yuna sambil bergidik.
“Nggak.
Mau cobain?” Yeriko menyodorkan buah tomat ke hadapan Yuna.
“Nggak
mau!” sahut Yuna sambil menyingkirkan tangannya. “Dapet dari mana buah
begituan,” celetuknya.
“Dari
pelayan restoran.”
Yuna
mengernyitkan dahi. Ia merasa ada yang aneh dengan selera makan suaminya. “Kamu
baik-baik aja kan?”
Yeriko
mengangguk. “Baik-baik aja. Kenapa emangnya?”
“Nggak
papa.” Yuna memasukkan potongan steak ke dalam mulut sambil terus memerhatikan
Yeriko.
“Yun,
kamu udah terima email dari mama?”
Yuna
menggeleng. “Kenapa?”
“Mama
bilang, mau dikirim ke email kamu.”
“Oh
... design undangan?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Udah dilihat?”
Yuna
mengangguk. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mencari contoh-contoh gambar
yang dikirim oleh meme mertuanya. Kemudian, menyodorkan ponselnya ke hadapan
Yeriko. “Mau lihat?”
Yeriko
mengangguk sambil meraih ponsel Yuna.
“Kamu
nggak makan?” tanya Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala sambil terus menyentuh layar ponsel istrinya.
“Yer,
kalo kamu nggak makan. Cuma minum kopi sama makan yang asam-asam gini, bisa
asam lambung loh.”
Yeriko
menggeleng sambil menatap layar ponsel Yuna.
Yuna
geram dengan sikap Yeriko. Ia mengambil satu potong daging besar dan
menyodorkannya di hadapan Yeriko. “Makan!” perintahnya.
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Iih
... makan!” pinta Yuna sambil merengek manja.
Yeriko
menggeleng. Ia lebih memilih memasukkan potongan jeruk ke mulutnya.
Yuna
merengut dan langsung meletakkan garpunya ke atas piring dengan kesal. Ia terus
menatap Yeriko sambil menautkan kedua alisnya.
Yeriko
menghela napas menatap Yuna. “Yun, akhir-akhir ini nafsu makanku agak kacau.
Aku nggak bisa makan yang amis-amis.”
“Ya
udah, makan ini aja!” Yuna menyodorkan salad ke hadapan Yeriko. “Kamu aneh
banget. Nggak biasanya kayak gini. Gimana kalau kita periksa ke dokter?”
Yeriko
menggeleng. “Mungkin, karena terlalu banyak kerjaan akhir-akhir ini.”
Yuna
menatap wajah Yeriko. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membantu suaminya
mengatasi pekerjaan di perusahaannya. “Apa yang bisa aku bantu buat meringankan
beban kamu?”
Yeriko
tersenyum menatap Yuna. “Senyum.”
“Senyum?”
Yeriko
mengangguk. “Semua rasa lelahku langsung hilang saat lihat kamu tersenyum.”
Pipi
Yuna menghangat seketika saat mendengar kata-kata Yeriko. Ia langsung tersenyum
hangat menatap Yeriko yang duduk di hadapannya.
Mereka
bergegas menyelesaikan makannya dan kembali ke rumah.
“Malam,
Bi ...!” sapa Yuna saat melihat Bibi War sedang menonton televisi.
“Malam,”
balasnya sambil tersenyum. “Abis jalan-jalan?”
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
“Bi,
tolong buatin susu jahe!” perintah Yeriko. “Antar ke kamar ya!”
Bibi
War mengangguk, ia bergegas bangkit dari sofa.
“Nggak
usah, Bi. Biar aku yang buatin,” sergah Yuna. “Bibi santai aja di sini. Pasti
udah capek kan ngurus rumah seharian.”
“Bener?”
tanya Bibi War sambil tersenyum ke arah Yuna.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. “Suamiku, biar aku urus sendiri,” bisiknya sambil
tersenyum kecil.
Bibi
War menganggukkan kepala sambil tersenyum bangga melihat Yuna yang bergegas
menuju dapur. Ia merasa sangat beruntung karena memiliki majikan yang sangat
baik. Ia sudah semakin tua, pekerjaannya mengurus Yeriko sudah semakin
mudah dengan adanya Yuna. Selain cantik, Yuna juga baik dan memberikan banyak
keceriaan di dalam rumah mereka.
Beberapa
menit kemudian, Yuna sudah selesai membuatkan susu jahe untuk Yeriko. Ia
bergegas naik ke kamar dan menghampiri Yeriko yang berbaring di tempat tidur.
Ia langsung meletakkan secangkir susu jahe ke atas meja.
Yuna
duduk di tepi tempat tidur sambil menatap wajah Yeriko yang terlihat sangat
lemas. “Kamu sakit?”
Yeriko
menggelengkan kepala.
Yuna
menyentuh dahi Yeriko, kemudian menyentuh dahinya sendiri untuk memastikan suhu
tubuh Yeriko tidak lebih tinggi dari suhu tubuhnya.
“Aku
nggak demam, Yun. Aku baik-baik aja.”
Yuna
menatap pilu ke arah Yeriko. Ia langsung menjatuhkan kepalanya di dada Yeriko.
“Kamu aneh beberapa hari ini, bikin aku khawatir.”
“Nggak
ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik aja.” Yeriko mengecup ujung kepala
Yuna dengan lembut.
Yuna
mengangkat kepalanya menatap wajah Yeriko. “Beneran baik-baik aja?”
Yeriko
mengangguk sambil tersenyum. “Cium!” pintanya.
Yuna
tersenyum dan langsung menciumi pipi Yeriko bertubi-tubi sambil tertawa kecil.
“Bibirku
nggak menggoda? Kenapa dilewatin aja?” tanya Yeriko.
Yuna
tertawa kecil. “Aku sisain buat nanti.” Ia bangkit dari atas tubuh Yeriko. Ia
meraih cangkir dari atas meja dan memberikannya ke Yeriko. “Minum dulu, mumpung
masih anget!” pintanya.
Yeriko
mengangkat tubuhnya perlahan. Ia meraih cangkir dari tangan Yuna dan
menyeruputnya perlahan.
“Tadi,
di kantor aku ketemu sama Bellina,” tutur Yuna.
“Terus?
Berantem lagi?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Tapi, kali ini aku kasihan sama dia.”
“Kasihan
kenapa?”
“Dia
lagi hamil muda. Selalu khawatir kalau Lian bakal selingkuh. Emang sih, Lian
itu bukan cowok yang baik. Tapi, nggak seharusnya juga dia kayak gitu. Kalo
Bellina makin stres, trus kandungannya bermasalah gimana?”
Yeriko
mengedikkan bahunya.
“Iih
... aku serius. Biar gimana pun, anaknya Bellina kan keponakanku juga.”
Yeriko
tertawa kecil. “Kamu ini masih bisa aja mikirin orang yang jahatin kamu terus.”
“Eh,
katanya kalo lagi hamil terus benci sama seseorang, anaknya bakal mirip sama
orang yang dibenci. Kalo Bellina benci sama aku, berarti anaknya dia bakal
mirip sama aku dong? Hahaha.”
Yeriko
tertawa kecil. “Jangan sampe mirip sama kamu!”
“Kenapa?
Aku kan cantik.”
“Bukan
masalah cantik atau nggaknya. Masalahnya, Bellina dari dulu benci sama kamu.
Aku takut, kalau anak itu mirip kamu ... dia di-zholimi sama Bellina. Kasihan
anak yang nggak tahu apa-apa,” jelas Yeriko sambil menahan tawa.
“Kamu
ini, bisa aja mikir begitu,” sahut Yuna.
“Mmh
... daripada mikirin Bellina. Gimana kalau kita mikirin calon anak kita?”
“Eh!?”
“Kamu
belum mikirin?” tanya Yeriko.
“Belum,
baru bikinin,” jawab Yuna sambil menahan tawa.
“Bisa
aja,” sahut Yeriko sambil mencubit hidung Yuna.
Yuna
nyengir ke arah Yeriko. “Ntar aja mikirin Ye kecil, sekarang fokus bikin aja!”
sahut Yuna sambil tertawa kecil. Ia bangkit dan mengganti pakaiannya.
“Eh,
waktu di GOR aku udah tanyain ke Chandra soal Amara. Kok, dia kelihatan tenang
banget ya?”
“Emangnya
harus heboh kayak kamu?”
“Kenapa
Amara tiba-tiba masuk Menur? Bukannya sebelumnya, dia baik-baik aja. Kamu bikin
sesuatu ke dia?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Aku belum ngelakuin apa-apa ke dia. Dia udah masuk rumah
sakit jiwa duluan. Gimana kalo aku yang bertindak ngasih dia pelajaran?”
sahutnya sambil tertawa lebar.
Yuna
mengerutkan kening sambil menghampiri Yeriko. “Ketawa jahat. Pasti kamu yang
ngerencanain semua itu kan?” dengusnya.
“Nggak,
Yun,” sahutnya tanpa menghentikan tawa. “Si Chandra kali. Dia kalo marah lebih
kejam dari aku. Bisa makan orang tuh anak.”
“Serius?
Tapi si Chandra kan masih suka sama Amara. Nggak mungkin dia tega.”
“Bisa
aja dia yang ngelakuin. Kamu pernah denger nggak kalimat kalau orang yang
pendiam itu lebih berbahaya?”
Yuna
terdiam. “Iya, sih. Chandra pendiem banget. Tapi dia bukan psikopat kali.”
“Ah,
udahlah. Ngapain sih mikirin Amara? Abis Bellina, Amara. Dua-duanya bukan orang
baik. Kalo mereka menerima hal buruk, itu karena perbuatan mereka sendiri. Kamu
nggak usah repot mikirin mereka!”
“Aku
kan baik. Makanya mikirin mereka.” Yuna naik ke tempat tidur dan masuk ke dalam
selimut.
“Iya,
istriku emang yang paling baik di dunia.”
“Gitu
dong! Menyenangkan hati istri kan bisa memperpanjang rezeki.”
“Aamiin
...”
Yuna
tersenyum dan menenggelamkan tubuhnya ke pelukan Yeriko.
(( Bersambung ... ))
Dukung terus dengan cara ngasih bintang dan review baik.
Sapa aku terus di kolom komentar biar aku nggak kesepian...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment