Yuna
melenggang masuk ke kantornya dengan ceria seperti biasa.
“Yun,
ikut saya rapat, sekarang!” pinta Bu Citra.
“Sekarang?”
Yuna yang baru masuk ruangan langsung bingung karena harus menghadiri rapat
dadakan. “Rapat apa?”
“Nggak
usah banyak tanya, ikut saya naik sekarang juga!” perintah Bu Citra.
Yuna
mengangguk, ia mengambil buku catatan dan pena dari atas meja kerjanya dan
bergegas mengikuti langkah Bu Citra.
Beberapa
menit kemudian, mereka sudah sampai di ruang rapat.
Yuna
mengedarkan pandangannya pada beberapa direktur yang sudah ada di dalam ruang
rapat tersebut. Semua yang ada di ruangan ini adalah direktur. Ia masih tidak
mengerti kenapa harus ikut masuk ke dalam ruang rapat.
Yuna
memilih untuk berdiri di belakang kursi Bu Citra, sama seperti asisten direktur
yang lainnya. Sesekali ia melirik ke arah Tarudi, pamannya yang menjabat
sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di perusahaan tersebut.
Tak
lama kemudian, Wilian masuk ke dalam ruangan dan mulai memimpin rapat. Setelah
membahas soal keuangan perusahaan, salah seorang direktur menyentil kinerja
dari Departemen Proyek. Hal ini langsung membuat Bu Citra naik pitam.
“Bapak
jangan asal bicara! Kami sudah banyak bekerja keras untuk pengembangan proyek
perusahaan!” sahut Citra.
“Jangan
cuma kerja keras! Kerja cerdas juga!” sahut direktur tersebut tak mau kalah.
“Masa proyek pelelangan itu sampai dua ratus juta? Jauh sekali dari harga
aslinya yang cuma seratus juta.”
“Lelang?”
Citra langsung menoleh ke arah Lian.
Lian
berusaha untuk tenang menghadapi tatapan Citra. Ia meraih secangkir kopi dan
menyeruputnya perlahan untuk menutupi rasa gugupnya.
Citra
tersenyum sinis. “Aku nggak hadir di acara lelang itu. Bukannya, Pak Lian
sendiri yang ada di sana?” tanyanya sambil menatap Lian.
Lian
menganggukkan kepala. Ia tidak bisa lagi mengelak ucapan Citra. Ia memang pergi
ke sana bersama Yuna untuk memenangkan pelelangan.
“Oh.
Kita memang memenangkan pelelangan tersebut. Tapi, kenapa kita nggak dapetin
proyeknya? Apa Pak Lian terlalu berbaik hati dengan perusahaan pesaing kita?”
tanya salah seorang direksi yang juga ada di dalam ruangan tersebut.
Lian
menarik napas dalam-dalam. Ia memperbaiki posisi duduknya dan berusaha
menjelaskan kepada seluruh peserta rapat perihal pelelangan yang terjadi
beberapa bulan lalu.
Usai
rapat, Yuna langsung berlari ke balkon untuk menenangkan dirinya. Untungnya,
Lian tidak membahas soal dirinya yang juga ikut dalam acara pelelangan
tersebut.
“Yun
...!” panggil Lian yang tiba-tiba sudah ada di belakang Yuna.
Yuna
berbalik dan langsung menatap Lian. “Pak Lian?”
“Nggak
perlu panggil, Pak!” pintanya sambil menyodorkan sebotol air mineral ke hadapan
Yuna.
Yuna
tersenyum dan meraih minuman yang diberikan oleh Lian.
“Yuna,
makasih ya kamu udah bekerja keras di perusahaan ini.”
Yuna
mengangguk. “Oh ya, selamat ya untuk pernikahan kalian. Semoga, kalian bisa
hidup bahagia sampai kakek-nenek.”
Lian
tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah Yuna yang berdiri di
sampingnya sambil menatap langit yang cerah. Wajah cantik Yuna, mengingatkan
dirinya pada masa-masa tujuh tahun lalu. Saat pertama kali ia mengenal Yuna,
saat mereka melakukan banyak hal dengan seragam putih abu-abu.
Lian
menghela napas panjang. “Banyak hal yang terjadi di antara kita akhir-akhir
ini. Aku ngerasa, kehidupanku semakin hari semakin kacau.”
Yuna
bergeming. Ia mendengarkan ucapan Lian tapi tidak bereaksi sedikitpun.
“Kalau
bukan karena anak yang dikandung Bellina, aku nggak akan nikahin dia.”
Yuna
tersenyum kecil. “Kamu cuma mau manfaatin dia buat muasin nafsu kamu doang?”
Lian
menarik napas panjang. “Aku tahu, aku yang salah karena nggak bisa
mengendalikan diriku dan mudah tergoda.”
Yuna
tersenyum kecil. “Kalau memang kamu udah kayak gitu, nggak perlu menyalahkan
diri sendiri. Toh, akibatnya juga kamu yang menanggung sendiri.”
Lian
menundukkan kepalanya. “Sejak aku pisah sama kamu. Hidupku bener-bener kacau.
Aku selalu dihantui rasa bersalah karena sudah mengabaikan wanita sebaik kamu.
Andai waktu bisa diputar, aku pengen jadi satu-satunya orang yang mencintai
kamu dan kamu cintai seumur hidup.”
Yuna
hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Lian. “Sayangnya, aku sudah mencintai
orang lain dan aku hidup bahagia sama dia.”
Lian
menatap wajah Yuna penuh kepedihan. Ia menghampiri Yuna perlahan dan meraih
pergelangan tangan gadis itu. “Yun, apa kita bisa mengulang semuanya dari awal
lagi?”
“Kamu
gila ya!?” Yuna mengernyitkan dahi menatap Lian. “Kita udah sama-sama menikah.
Lebih baik, kamu berusaha menyayangi istri dan calon anak kamu.” Yuna
menggeleng-gelengkan kepala.
“Yun,
aku bener-bener tersiksa setiap kali lihat kamu. Aku nggak bisa terus-terusan
dihantui rasa bersalah seumur hidupku.”
Yuna
tersenyum ke arah Lian. “Kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Aku justru
berterima kasih sama kamu. Kalau bukan karena hari itu, mungkin aku nggak akan
ketemu sama Yeriko. Hidupku sekarang nggak akan sebahagia ini.”
Lian
semakin sakit mendengar ucapan Yuna.
“Li,
kalau memang kamu selalu ngerasa bersalah karena masa lalu yang terjadi di
antara kita. Bayarlah dengan menjadi kepala keluarga yang baik. Sayangi istri
dan anak kamu. Jangan sampai, kamu menyesal dan membuat dirimu terus merasa
bersalah!” pinta Yuna sambil melepas genggaman tangan Lian perlahan.
Dari
kejauhan, ada sepasang mata yang sedang mengawasi mereka. Pemilik mata itu
langsung menghampiri Yuna dan Lian yang sedang berbincang berduaan.
“Yun,
kamu tahu kalau Lian ini suamiku. Kenapa masih aja kecentilan gangguin dia?”
Yuna
memejamkan mata sejenak sambil merapatkan bibirnya. Ia melirik ke arah perut
Bellina yang sudah membuncit. “Sabar, Yun!” batinnya dalam hati.
“Kenapa
diam? Masih aja kegatalan deketin suami orang. Kamu nggak bahagia hidup sama
Yeriko.”
Lian
menekan keningnya yang berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana
menghadapi sikap Bellina yang temperamen dan selalu ingin menang sendiri.
Yuna
tersenyum ke arah Bellina. “Justru aku sangat bahagia hidup sama Yeriko.”
“Oh
ya? Terus, kenapa masih aja ngejar-ngejar suamiku?”
“Bukan
aku yang ngejar suami kamu. Suami kamu ini yang ngejar aku terus. Makanya, kalo
punya suami tuh diikat aja di rumah. Biar nggak usah ketemu sama orang lain!”
seru Yuna kesal.
“Kamu
...!? Masih aja ngerasa sok cantik!” sentak Bellina. “Kamu pikir, suamiku bakal
tergoda sama perempuan kayak kamu kalo nggak kamu godain duluan?”
Yuna
tersenyum kecil. “Oh, jadi kamu udah tahu kalau suami kamu ini mudah tergoda?
Kamu yang paling pintar godain dia kan? Kamu harus ingat gimana cara kamu
ngerebut Lian dari aku! Suatu saat, akan ada orang lain yang ngerebut Lian dari
kamu!” dengus Yuna kesal. Ia langsung melangkah pergi meninggalkan Bellina dan
Lian.
“Kurang
ajar! Berani-beraninya kamu ..”
“Udah,
Bell. Nggak usah bikin keributan di sini!” pinta Lian lembut.
“Dia
itu ... selalu aja bikin masalah sama aku,” tutur Bellina sambil memegang
perutnya yang tiba-tiba nyeri.
“Kenapa,
Bel?” Lian langsung memegangi kedua pundak Bellina.
“Perutku
sakit banget!” rintih Bellina sambil memegangi perut dan pinggangnya yang
terasa nyeri.
“Kita
ke rumah sakit sekarang!” Wajah Lian memerah. Ia sangat panik dan langsung
membawa Bellina memeriksakan kandungannya ke rumah sakit terdekat. Ia tidak
ingin terjadi apa-apa pada anak yang dikandung oleh Bellina. Ia harus bisa
menjadi ayah yang baik untuk anaknya.
(( Bersambung ... ))
Dukung terus dengan cara ngasih bintang dan review baik supaya nggak turun
Rank.
Sapa aku terus di kolom komentar biar aku nggak kesepian...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment