Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 246 || Olahraga Malam || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yun, masalah ayah kamu, nggak usah terlalu kamu pikirkan. Suatu saat, kebenaran pasti terungkap.”

 

Yuna menganggukkan kepala sambil tersenyum.

 

“Mau makan di mana?” tanya Yeriko sambil melajukan mobilnya.

 

“Mmh ... di mana ya?”

 

“Mau makan apa?” tanya Yeriko lagi.

 

“Yang kemarin malam aku minta, belum dapet?”

 

Yeriko terdiam sesaat. “Dia masih ingat? Kirain udah lupa?” batinnya dalam hati.

 

“Susah nyarinya, Yun.”

 

“Oh.”

 

“Iya. Riyan udah muter-muter nyari, nggak ada yang jual begituan. Ntar, aku suruh Bibi War carikan ikannya di pasar. Biar dia yang masakin buat kamu.”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Sekarang mau makan apa?”

 

“Telur kepiting,” jawab Yuna.

 

“Yun ...!?” Yeriko langsung menatap tajam ke arah Yuna. “Telur lele aja belum dapet, kamu minta telur kepiting lagi. Telur ayam atau bebek aja yang gampang dicari.”

 

Yuna meringis sambil menatap Yeriko. “Aku bercanda. Serius amat nanggepinnya.”

 

“Aku selalu serius. Kamu seneng banget mempermainkan suami kamu sendiri,” sahut Yeriko.

 

Yuna tertawa kecil.

 

Yeriko ikut tersenyum melihat istrinya tertawa bahagia.

 

“Aku telepon Jheni, ah.”

 

“Mau ngapain?”

 

“Ngajak makan bareng.”

 

“Mereka lagi di GOR.”

 

“Ngapain?”

 

“Main badminton kayaknya.”

 

“Kok, kayaknya?”

 

“Tadi siang, Chandra ngajakin aku.”

 

“Kenapa nggak ikut?”

 

“Kita kan ke makam ibu kamu.”

 

“Oh. Berarti mereka mainnya tadi sore? Sekarang, udah kelar dong?” Yuna tersenyum sambil menyalakan layar ponselnya.

 

“Masih di sana kali. Olahraga malam.”

 

“Olahraga malam? Kamu nggak ikutan?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Aku olahraga malam di kamar aja, sama kamu.”

 

Yuna tertawa kecil. “Dasar cabul!” dengusnya. “Eh, kita ke sana juga yuk!”

 

“Kamu mau ke sana?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Emang bisa main badminton?”

 

“Bisa, dikit.”

 

Yeriko tersenyum kecil. “Oke. Kita ke sana!”

 

“Aku telepon Jheni dulu. Ntar, mereka udah balik.”

 

Yeriko mengangguk.

 

Yuna bergegas menelepon Jheni.

 

“Halo ...! Kenapa, Yun?” tanya Jheni dengan napas tersengal.

 

“Kamu masih di gedung olahraga?”

 

“Masih. Mau ke sini?”

 

“He-em. Masih lama, nggak?” tanya Yuna.

 

“Baru main sekali, kok.”

 

“Oke. Aku ke sana. Mau dibawain makanan apa?”

 

“Terserah kamu aja, Yun.”

 

“Oke. Meluncur!” seru Yuna. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“Masih pada di sana?”

 

Yuna mengangguk.

 

“Beli beberapa makanan dan minuman dulu ya!” pinta Yuna.

 

Yeriko mengangguk, mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung olahraga setelah membeli beberapa makanan dan minuman.

 

“Malam ...!” seru Yuna saat melihat dua pasang sahabatnya sedang duduk di lantai dengan tubuh berkeringatan.

 

“Hei, Kakak Ipar? Kok, nyusul ke sini? Kata Yeri, dia nggak bisa ikutan.”

 

“Itu sore, kali. Malam nggak ada kegiatan. Lagian, bete juga di rumah terus.” Yuna langsung meletakkan dua kantong plastik berisi makanan dan minuman.

 

“Kalian mau main?” tanya Chandra.

 

“Nggak bawa raket,” jawab Yeriko sambil duduk di sebelah Chandra.

 

“Kita bawa lebih. Udah persiapan kalo kalian nyusul kami,” sahut Jheni.

 

“Uch, kamu pengertian banget sih?” Yuna langsung mencubit pipi Jheni.

 

“Iya, dong. Siapa dulu!” sahut Jheni bangga.

 

“Mmh ... tapi, kami nggak pakai baju olahraga. Masa, Yeriko mau main badminton pake kemeja begitu?”

 

“Nggak papa. Di sini nggak ada larangan main badminton pake kemeja. Emangnya, siapa mau marah?” rahut Lutfi.

 

“Nggak ada yang marah, cuma nggak nyaman aja.”

 

“Alasan, bilang aja nggak bisa main,” sahut Lutfi.

 

Yuna langsung menjulurkan lidahnya ke arah Lutfi. “Bodo amat!”

 

“Eh, dia mainnya lebih jago dari aku,” tutur Jheni.

 

“Serius?” tanya Lutfi.

 

Jheni menganggukkan kepala.

 

“Ayo, lawan sama aku!” pinta Lutfi sambil bangkit dari duduknya.

 

“Nggak mau!” sahut Yuna.

 

“Ayo, Yun! Kita dukung kamu!” tutut Jheni.

 

“Aku udah lama banget nggak main badminton. Lagian, kalo lawan cowok, aku mana bisa.”

 

“Emangnya kenapa?” tanya Lutfi. “Cowok atau cewek sama aja.”

 

“Main sama aku aja!” Yeriko bangkit dari duduknya. “Istriku lagi promil, dia nggak boleh kecapean.”

 

“Oh. Iya juga, sih.” Lutfi manggut-manggut. “Oke.” Ia langsung melemparkan raket ke arah Yeriko.

 

Yeriko dan Lutfi asyik bermain badminton, sementara Yuna bercengkerama dengan tiga sahabatnya.

 

“Eh, aku denger dari Yeriko ... si Amara dirawat di Menur? Bener, Chan?” tanya Yuna sambil menatap Chandra.

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

“Hah!? Emang dia gila?” sahut Icha.

 

“Kayaknya depresi berat,” jawab Jheni.

 

“Kamu tahu, Jhen?”

 

Jheni mengangguk sambil tersenyum. “Aku udah jenguk dia bareng Chandra. Cuma, dia nggak bisa ditemui langsung. Dia ketakutan setiap lihat orang lain.”

 

“Kenapa bisa gitu?” tanya Icha penasaran.

 

“Nggak tahu juga.”

 

“Udah, ah. Nggak usah kepoin orang itu!” sela Yuna. “Biar aja tuh orang kena batunya.” Padahal, dia sendiri yang memulai pembicaraan.

 

Chandra tersenyum menanggapi ucapan Yuna.

 

“Kenapa lihat aku kayak gitu? Kamu masih simpati sama dia?” tanya Yuna sambil menatap Chandra.

 

Chandra menggelengkan kepala.

 

“Jhen, kalo dia masih luluh sama Amara lagi. Kamu pindah aja ke Sumatera, nggak usah balik ke sini lagi!”

 

Chandra langsung melempar bola kok ke arah Yuna. “Nggak usah ngomporin terus!” ucapnya geram.

 

Yuna menahan tawa sambil menyembunyikan wajahnya ke punggung Jheni. “Aku ini sahabatnya Jheni, pasti belain dia. Kalo kamu nyakitin Jheni lagi, ntar aku jodohin Jheni sama Riyan aja.”

 

“Riyan?” Jheni mengernyitkan dahi menatap Yuna.

 

“He-em.” Yuna menganggukkan kepala. “Riyan masih muda, baik, rajin dan pinter. Emangnya kenapa?”

 

Jheni langsung tersenyum sambil melirik Chandra yang terlihat murka mendengar pembicaraan Yuna dan Jheni. “Mmh ... boleh juga, Yun.”

 

“Kamu ...!?” Chandra menunjuk wajah Jheni. Ia langsung menarik lengan Jheni agar mendekat ke tubuhnya. “Nggak usah deket-deket sama Yuna! Bikin panas aja kompor satu ini!”

 

“Hahaha.” Yuna dan Icha tergelak melihat raut wajah Chandra.

 

Jheni ikut tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya di bahu Chandra. “Kamu bisa cemburu juga?” tanyanya sambil menatap wajah Chandra.

 

“Aku manusia biasa. Bisa cemburu juga. Kamu nggak usah macem-macem apalagi terpengaruh sama sahabat kamu sendiri!”

 

“Oh, Yuna ... gimana dong? Pacar aku ngelarang aku percaya sama sahabatku sendiri.”

 

“Pacar yang nggak baik!” dengus Yuna.

 

Chandra membelalakkan matanya. “Kalian sekongkol mau nyerang aku?”

 

“Mmh ... nggak nyerang, sih. Cuma mau kasih alarm aja ke kamu. Biar kamu ingat, kalo kamu macem-macem sama Jheni lagi. Ada kita yang bakal hancurin kamu!” tegas Yuna sambil menunjuk wajah Chandra.

 

“Nggak, Yun. Astaga! Kalian masih nggak percaya sama aku?”

 

“Masih fifti-fifti,” sahut Icha.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum jahil. Ia sangat bahagia melihat raut wajah Chandra yang kehilangan kata-kata untuk membela dirinya sendiri.

 

“Eh, si Andre juga ganteng, Jhen. Setengah bule gimana gitu, aku bisa comblangin kamu sama dia,” goda Yuna.

 

“Kamu, Yun!?” Chandra semakin geram dengan sikap Yuna yang sengaja membuatnya cemburu.

 

“Hahaha.”

 

Mereka tertawa bersama.

 

“Eh, kalian ngomongin apaan sih? Rame banget!” Lutfi tiba-tiba menghampiri mereka dan meraih satu botol air mineral.

 

“Ngomongin kamu!” sahut Yuna sambil tertawa.

 

“Serius?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ngomongin apaan emangnya?”

 

“Ngomongin ... kapan kamu ngelamar Icha?” goda Yuna.

 

“Uhuk ... uhuk ...!” Lutfi langsung menyemburkan air minum yang masuk ke mulutnya.

 

“Kenapa? Kamu nggak mau nikah sama Icha?” tanya Yuna.

 

“Eh!?” Lutfi berpikir sejenak. “Mau. Tapi ... kita masih terlalu muda buat nikah.” Ia bergegas melangkah kembali ke tengah lapangan menghampiri Yeriko.

 

Yuna mengerutkan dahi. Ia langsung menatap ke arah Chandra. “Emangnya, umur Lutfi berapa sih?”

 

“Dua puluh tujuh.”

 

“Umur segitu belum siap nikah?”

 

Chandra mengedikkan bahunya.

 

Nggak usah dibahas, Yun. Aku juga masih belum cukup umur,” sahut Icha. “Aku belum siap buat nikah.”

 

“Oh ya? Kalo kamu, gimana Chan?” tanya Yuna sambil menatap Chandra.

 

“Tergantung Jheni. Aku ikut aja.”

 

“Kenapa tergantung Jheni?”

 

“Yah, dia udah siap atau belum jadi ibu dari anak-anakku?” sahut Chandra.

 

“Hihihi.” Yuna tertawa kecil.

 

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” dengus Jheni.

 

“Nggak ada. Lagi ngebayangin aja si Jheni punya anak banyak. Hahaha.”

 

Chandra tersenyum menatap tiga wanita yang sedang asyik bercanda di hadapannya. Ada jutaan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mencintai seseorang adalah sebuah keegoisan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Sedangkan menyayangi banyak orang adalah sebuah keberkahan untuk kehidupannya di masa depan.

 

Senyum dan canda tawa dari sahabat tak pernah bisa ternilai harganya, bahkan jutaan digit di belakang mereka, tetap saja masih kurang untuk mengukur nilainya.

 

(( Bersambung ... ))

 

Terima kasih sudah menemani kebersamaan triple couple di Perfect Hero.

Dukung terus dengan cara ngasih bintang dan review baik supaya nggak turun Rank.

Sapa aku terus di kolom komentar biar aku nggak kesepian...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Full Bab, silakan klik link berikut ini:

Perfect Hero Full 1008 Episode

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas