“Yun,
masalah ayah kamu, nggak usah terlalu kamu pikirkan. Suatu saat, kebenaran
pasti terungkap.”
Yuna
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Mau
makan di mana?” tanya Yeriko sambil melajukan mobilnya.
“Mmh
... di mana ya?”
“Mau
makan apa?” tanya Yeriko lagi.
“Yang
kemarin malam aku minta, belum dapet?”
Yeriko
terdiam sesaat. “Dia masih ingat? Kirain udah lupa?” batinnya dalam hati.
“Susah
nyarinya, Yun.”
“Oh.”
“Iya.
Riyan udah muter-muter nyari, nggak ada yang jual begituan. Ntar, aku suruh
Bibi War carikan ikannya di pasar. Biar dia yang masakin buat kamu.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Sekarang
mau makan apa?”
“Telur
kepiting,” jawab Yuna.
“Yun
...!?” Yeriko langsung menatap tajam ke arah Yuna. “Telur lele aja belum dapet,
kamu minta telur kepiting lagi. Telur ayam atau bebek aja yang gampang dicari.”
Yuna
meringis sambil menatap Yeriko. “Aku bercanda. Serius amat nanggepinnya.”
“Aku
selalu serius. Kamu seneng banget mempermainkan suami kamu sendiri,” sahut
Yeriko.
Yuna
tertawa kecil.
Yeriko
ikut tersenyum melihat istrinya tertawa bahagia.
“Aku
telepon Jheni, ah.”
“Mau
ngapain?”
“Ngajak
makan bareng.”
“Mereka
lagi di GOR.”
“Ngapain?”
“Main
badminton kayaknya.”
“Kok,
kayaknya?”
“Tadi
siang, Chandra ngajakin aku.”
“Kenapa
nggak ikut?”
“Kita
kan ke makam ibu kamu.”
“Oh.
Berarti mereka mainnya tadi sore? Sekarang, udah kelar dong?” Yuna tersenyum
sambil menyalakan layar ponselnya.
“Masih
di sana kali. Olahraga malam.”
“Olahraga
malam? Kamu nggak ikutan?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Aku olahraga malam di kamar aja, sama kamu.”
Yuna
tertawa kecil. “Dasar cabul!” dengusnya. “Eh, kita ke sana juga yuk!”
“Kamu
mau ke sana?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Emang
bisa main badminton?”
“Bisa,
dikit.”
Yeriko
tersenyum kecil. “Oke. Kita ke sana!”
“Aku
telepon Jheni dulu. Ntar, mereka udah balik.”
Yeriko
mengangguk.
Yuna
bergegas menelepon Jheni.
“Halo
...! Kenapa, Yun?” tanya Jheni dengan napas tersengal.
“Kamu
masih di gedung olahraga?”
“Masih.
Mau ke sini?”
“He-em.
Masih lama, nggak?” tanya Yuna.
“Baru
main sekali, kok.”
“Oke.
Aku ke sana. Mau dibawain makanan apa?”
“Terserah
kamu aja, Yun.”
“Oke.
Meluncur!” seru Yuna. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.
“Masih
pada di sana?”
Yuna
mengangguk.
“Beli
beberapa makanan dan minuman dulu ya!” pinta Yuna.
Yeriko
mengangguk, mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung olahraga setelah
membeli beberapa makanan dan minuman.
“Malam
...!” seru Yuna saat melihat dua pasang sahabatnya sedang duduk di lantai
dengan tubuh berkeringatan.
“Hei,
Kakak Ipar? Kok, nyusul ke sini? Kata Yeri, dia nggak bisa ikutan.”
“Itu
sore, kali. Malam nggak ada kegiatan. Lagian, bete juga di rumah terus.” Yuna
langsung meletakkan dua kantong plastik berisi makanan dan minuman.
“Kalian
mau main?” tanya Chandra.
“Nggak
bawa raket,” jawab Yeriko sambil duduk di sebelah Chandra.
“Kita
bawa lebih. Udah persiapan kalo kalian nyusul kami,” sahut Jheni.
“Uch,
kamu pengertian banget sih?” Yuna langsung mencubit pipi Jheni.
“Iya,
dong. Siapa dulu!” sahut Jheni bangga.
“Mmh
... tapi, kami nggak pakai baju olahraga. Masa, Yeriko mau main badminton pake
kemeja begitu?”
“Nggak
papa. Di sini nggak ada larangan main badminton pake kemeja. Emangnya, siapa
mau marah?” rahut Lutfi.
“Nggak
ada yang marah, cuma nggak nyaman aja.”
“Alasan,
bilang aja nggak bisa main,” sahut Lutfi.
Yuna
langsung menjulurkan lidahnya ke arah Lutfi. “Bodo amat!”
“Eh,
dia mainnya lebih jago dari aku,” tutur Jheni.
“Serius?”
tanya Lutfi.
Jheni
menganggukkan kepala.
“Ayo,
lawan sama aku!” pinta Lutfi sambil bangkit dari duduknya.
“Nggak
mau!” sahut Yuna.
“Ayo,
Yun! Kita dukung kamu!” tutut Jheni.
“Aku
udah lama banget nggak main badminton. Lagian, kalo lawan cowok, aku mana
bisa.”
“Emangnya
kenapa?” tanya Lutfi. “Cowok atau cewek sama aja.”
“Main
sama aku aja!” Yeriko bangkit dari duduknya. “Istriku lagi promil, dia nggak
boleh kecapean.”
“Oh.
Iya juga, sih.” Lutfi manggut-manggut. “Oke.” Ia langsung melemparkan raket ke
arah Yeriko.
Yeriko
dan Lutfi asyik bermain badminton, sementara Yuna bercengkerama dengan tiga
sahabatnya.
“Eh,
aku denger dari Yeriko ... si Amara dirawat di Menur? Bener, Chan?” tanya Yuna
sambil menatap Chandra.
Chandra
menganggukkan kepala.
“Hah!?
Emang dia gila?” sahut Icha.
“Kayaknya
depresi berat,” jawab Jheni.
“Kamu
tahu, Jhen?”
Jheni
mengangguk sambil tersenyum. “Aku udah jenguk dia bareng Chandra. Cuma, dia
nggak bisa ditemui langsung. Dia ketakutan setiap lihat orang lain.”
“Kenapa
bisa gitu?” tanya Icha penasaran.
“Nggak
tahu juga.”
“Udah,
ah. Nggak usah kepoin orang itu!” sela Yuna. “Biar aja tuh orang kena batunya.” Padahal, dia sendiri yang
memulai pembicaraan.
Chandra
tersenyum menanggapi ucapan Yuna.
“Kenapa
lihat aku kayak gitu? Kamu masih simpati sama dia?” tanya Yuna sambil menatap
Chandra.
Chandra
menggelengkan kepala.
“Jhen,
kalo dia masih luluh sama Amara lagi. Kamu pindah aja ke Sumatera, nggak usah
balik ke sini lagi!”
Chandra
langsung melempar bola kok ke arah Yuna. “Nggak usah ngomporin terus!” ucapnya
geram.
Yuna
menahan tawa sambil menyembunyikan wajahnya ke punggung Jheni. “Aku ini
sahabatnya Jheni, pasti belain dia. Kalo kamu nyakitin Jheni lagi, ntar aku
jodohin Jheni sama Riyan aja.”
“Riyan?”
Jheni mengernyitkan dahi menatap Yuna.
“He-em.”
Yuna menganggukkan kepala. “Riyan masih muda, baik, rajin dan pinter. Emangnya
kenapa?”
Jheni
langsung tersenyum sambil melirik Chandra yang terlihat murka mendengar
pembicaraan Yuna dan Jheni. “Mmh ... boleh juga, Yun.”
“Kamu
...!?” Chandra menunjuk wajah Jheni. Ia langsung menarik lengan Jheni agar
mendekat ke tubuhnya. “Nggak usah deket-deket sama Yuna! Bikin panas aja kompor
satu ini!”
“Hahaha.”
Yuna dan Icha tergelak melihat raut wajah Chandra.
Jheni
ikut tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya di bahu Chandra. “Kamu bisa
cemburu juga?” tanyanya sambil menatap wajah Chandra.
“Aku
manusia biasa. Bisa cemburu juga. Kamu nggak usah macem-macem apalagi
terpengaruh sama sahabat kamu sendiri!”
“Oh,
Yuna ... gimana dong? Pacar aku ngelarang aku percaya sama sahabatku sendiri.”
“Pacar
yang nggak baik!” dengus Yuna.
Chandra
membelalakkan matanya. “Kalian sekongkol mau nyerang aku?”
“Mmh
... nggak nyerang, sih. Cuma mau kasih alarm aja ke kamu. Biar kamu ingat, kalo
kamu macem-macem sama Jheni lagi. Ada kita yang bakal hancurin kamu!” tegas
Yuna sambil menunjuk wajah Chandra.
“Nggak,
Yun. Astaga! Kalian masih nggak percaya sama aku?”
“Masih
fifti-fifti,” sahut Icha.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum jahil. Ia sangat bahagia melihat raut wajah Chandra
yang kehilangan kata-kata untuk membela dirinya sendiri.
“Eh,
si Andre juga ganteng, Jhen. Setengah bule gimana gitu, aku bisa comblangin
kamu sama dia,” goda Yuna.
“Kamu,
Yun!?” Chandra semakin geram dengan sikap Yuna yang sengaja membuatnya cemburu.
“Hahaha.”
Mereka
tertawa bersama.
“Eh,
kalian ngomongin apaan sih? Rame banget!” Lutfi tiba-tiba menghampiri mereka
dan meraih satu botol air mineral.
“Ngomongin
kamu!” sahut Yuna sambil tertawa.
“Serius?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Ngomongin
apaan emangnya?”
“Ngomongin
... kapan kamu ngelamar Icha?” goda Yuna.
“Uhuk
... uhuk ...!” Lutfi langsung menyemburkan air minum yang masuk ke mulutnya.
“Kenapa?
Kamu nggak mau nikah sama Icha?” tanya Yuna.
“Eh!?”
Lutfi berpikir sejenak. “Mau. Tapi ... kita masih terlalu muda buat nikah.” Ia
bergegas melangkah kembali ke tengah lapangan menghampiri Yeriko.
Yuna
mengerutkan dahi. Ia langsung menatap ke arah Chandra. “Emangnya, umur Lutfi
berapa sih?”
“Dua
puluh tujuh.”
“Umur
segitu belum siap nikah?”
Chandra
mengedikkan bahunya.
“Nggak usah dibahas, Yun. Aku juga masih belum cukup umur,” sahut
Icha. “Aku belum siap buat nikah.”
“Oh
ya? Kalo kamu, gimana Chan?” tanya Yuna sambil menatap Chandra.
“Tergantung
Jheni. Aku ikut aja.”
“Kenapa
tergantung Jheni?”
“Yah,
dia udah siap atau belum jadi ibu dari anak-anakku?” sahut Chandra.
“Hihihi.”
Yuna tertawa kecil.
“Kenapa
ketawa? Ada yang lucu?” dengus Jheni.
“Nggak
ada. Lagi ngebayangin aja si Jheni punya anak banyak. Hahaha.”
Chandra
tersenyum menatap tiga wanita yang sedang asyik bercanda di hadapannya. Ada
jutaan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mencintai seseorang
adalah sebuah keegoisan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Sedangkan
menyayangi banyak orang adalah sebuah keberkahan untuk kehidupannya di masa
depan.
Senyum
dan canda tawa dari sahabat tak pernah bisa ternilai harganya, bahkan jutaan
digit di belakang mereka, tetap saja masih kurang untuk mengukur nilainya.
(( Bersambung ... ))
Terima kasih sudah menemani kebersamaan triple couple di Perfect Hero.
Dukung terus dengan cara ngasih bintang dan review baik supaya nggak turun
Rank.
Sapa aku terus di kolom komentar biar aku nggak kesepian...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment