Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 245 || Hari Kematian Bunda || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna terpaku tepat di depan pusara ibunya. Ia memejamkan mata sambil memanjatkan doa-doa untuk almarhum ibunya.

 

Hari ini, tepat tahun kesebelas kematian ibunya. Banyak hal yang telah ia lewati tanpa kedua orang tuanya. Bulan dan tahun terus berganti. Hingga hari ini, ia masih tidak bisa melupakan kesedihannya saat kehilangan sosok ibu dalam hidupnya. Ia selalu merindukan senyuman ibunya yang begitu manis dan menghangatkan.

 

“Yun, ayo pulang!” ajak Yeriko setelah mereka selesai berdoa di hadapan pusara ibu Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menyentuh batu nisan yang ada di hadapannya. “Bunda, kami pulang dulu!” pamitnya. “Kami akan sering berkunjung ke rumah Bunda. Bunda nggak akan kesepian di sini.”

 

Yeriko tersenyum sambil merangkul pundak Yuna. Ia mengusap lembut pundak istrinya untuk memberikan kekuatan dan ketabahan yang lebih besar lagi.

 

Mereka bangkit dan melangkah perlahan keluar dari pemakaman. Mereka langsung menghentikan langkah kaki saat melihat Bellina dan keluarganya berpapasan dengan mereka.

 

“Kalian di sini juga?” tanya Tarudi sambil tersenyum ke arah Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kami permisi dulu, Oom!”

 

“Tunggu!” pinta Tarudi.

 

Yuna dan Yeriko langsung menghentikan langkahnya.

 

“Ada apa, Oom?” tanya Yuna.

 

“Kenapa kamu nggak datang ke acara pesta pernikahan Bellina?”

 

“Mmh ... karena ada urusan lebih penting. Jadi, aku nggak bisa hadir,” jawab Yuna sambil menoleh ke arah Bellina dan Lian. “Selamat ya! Maaf, aku nggak bisa datang ke pernikahan kalian.”

 

“Karena ulang tahun sahabat kamu itu?” sela Melan.

 

Yuna mengangguk.

 

“Sahabat kamu lebih penting dari saudara kamu sendiri?” tanya Melan.

 

Yuna tersenyum kecil. “Iya. Karena sahabatku udah seperti saudaraku sendiri. Dia nggak pernah menghina aku, nggak pernah merendahkan aku dan selalu menolong aku dalam kesulitan.”

 

“Yun, kami ini keluarga kamu. Kenapa tidak memprioritaskan keluarga terlebih dahulu?” tanya Tarudi.

 

Yuna tersenyum kecil. “Iya, Oom. Aku tahu banget kalian keluarga aku satu-satunya di sini. Tapi, aku nggak bisa menempatkan orang yang sudah mencelakai orang tuaku sebagai prioritas!” tegas Yuna sambil menatap tajam ke arah Tarudi.

 

Tatapan mata Tarudi tak terarah saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Yuna. Terlebih, senyuman yang keluar dari mulut Yeriko lebih seperti ancaman yang mengerikan.

 

“Yun, kamu jangan ngomong sembarangan!” sahut Bellina kesal.

 

Yuna bergeming. Ia tidak peduli lagi dengan keluarga Bellina yang telah mencelakai kedua orang tuanya dengan cara yang sangat mengerikan.

 

“Aku nggak ngomong sembarangan. Tunggu sampai ayah bisa pulih, kita semua bakal tahu kenyataan yang sebenarnya,” tutur Yuna.

 

“Yun, kamu jangan terlalu banyak berpikir. Kamu tahu, Oom selalu sayang sama kamu sejak dulu,” tutur Tarudi sambil menyentuh pundak Yuna sambil tersenyum manis. “Mana mungkin kami mencelakai kakak sendiri.”

 

Yuna mengeratkan bibirnya. Ia semakin geram dengan sikap pamannya yang masih terus berpura-pura baik di hadapannya.

 

“Sudahlah. Nggak baik berdebat di depan makam seperti ini,” sela Lian.

 

“Iya, Pa, Ma ... lagipula ini hari kematian Bunda Arum. Nggak baik kalau bertengkar di sini.” Bellina menimpali.

 

“Yun, kamu nggak datang ke pernikahan kami. Gimana, kalau kamu datang ke rumah kami buat makan malam bareng?” tanya Bellina.

 

Tarudi langsung tersenyum ke arah Yuna. “Bener, Yun. Gimana kalau kalian ke rumah kami untuk makan malam. Sudah lama, kamu nggak main ke rumah.”

 

Yuna hanya tersenyum menanggapi permintaan pamannya.

 

“Sejak kalian menikah, belum pernah sekalipun main ke rumah. Kali ini, Oom dengan rendah hati memohon kalian bisa ke rumah. Hanya untuk makan malam. Lagipula, kita ini keluarga.”

 

Yuna menoleh ke arah Yeriko. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan undangan makan malam dari pamannya. Walau semua terlihat sangat ramah dan baik, tapi ia tetap saja selalu mengingat bagaimana keluarga Bellina memperlakukan dirinya selama ini.

 

“Mmh ... maaf, Oom. Kami sudah ada janji dengan orang lain malam ini,” tutur Yeriko sambil mengangguk sopan ke arah Tarudi.

 

Tarudi tersenyum. “Oke. Nggak masalah kalau kalian bisa datang lain kali. Saya tahu, kamu pebisnis yang sangat sibuk.”

 

Yeriko tersenyum, ia merangkul pinggang Yuna dan melangkah pergi.

 

“Kenapa sih kita harus baik sama dia? Perempuan penggoda,” celetuk Melan.

 

“Ma, jangan begitu sama Yuna. Dia keponakan kita juga,” sahut Tarudi.

 

“Keponakan nggak tahu diri. Udah dibesarin sampai kayak gini, sekarang malah jadi pembangkang.” Melan terus memaki Yuna.

 

Yeriko langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap empat orang yang ada di hadapannya. “Kalian ngatain Yuna apa?”

 

Melan tersenyum sinis. “Emang kenyataan. Anak nggak tahu diri ini, sudah dibesarkan sampai sekolah ke luar negeri. Sekarang malah balas kebaikan Oom kamu seperti ini, hah!?”

 

“Tante pikir Yeriko nggak tahu? Dia udah tahu semuanya. Aku kuliah ke luar negeri bukan dari uang kalian!” sahut Yuna kesal.

 

Melan membelalakkan matanya. Ia tak lagi punya senjata untuk menjatuhkan Yuna di hadapan Yeriko.

 

Yeriko tersenyum. “Tante nggak perlu mengungkapkan apa pun tentang kehidupan Yuna di masa lalu. Aku sudah tahu semuanya, termasuk siapa dalang pembunuhan orang tua Yuna.”

 

DEG!

 

Tarudi tertegun, seluruh tubuhnya gemetaran saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yeriko. Pandangannya tiba-tiba buram dan tubuhnya terhuyung.

 

“Papa ...!” Lian langsung menangkap tubuh Tarudi yang nyaris terjatuh ke tanah.

 

Yeriko tersenyum kecil. Melihat reaksi Tarudi, ia semakin yakin kalau paman Yuna terlibat dalam pembunuhan berencana yang merenggut nyawa ibu Yuna dan membuat ayah Yuna terbaring di rumah sakit selama sebelas tahun.

 

“Kalian bener-bener keterlaluan!” seru Melan. “Menuduh tanpa bukti. Apa kalian nggak kasihan sama Oom sendiri?”

 

“Aku nggak akan berbelas kasih sama penjahat kayak kalian!” tegas Yeriko dengan mata berapi-api.

 

“Sudah, sudah. Jangan berantem di sini!” pinta Tarudi dengan napas tersengal.

 

“Papa, nggak papa?” tanya Bellina.

 

“Nggak papa. Papa cuma kaget aja karena dapat tuduhan kejam dari keponakan sendiri.”

 

“Ini bukan tuduhan,” sahut Yeriko. “Aku bakal jeblosin Oom ke penjara!”

 

“Yun, suami kamu ini sudah menuduh Oom kamu tanpa bukti. Kamu bukannya belain Oom kamu, malah nempel terus sama suami kamu ini. Anak nggak tahu balas budi!” maki Melan.

 

Yuna tersenyum kecil. “Maaf, Tante. Aku lebih percaya sama suamiku.”

 

Yeriko menoleh ke arah Yuna sambil tersenyum hangat. Ia langsung merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya segera pergi dari tempat tersebut.

 

“Huft, akhirnya ... aku bisa juga menghadapi Oom Tarudi,” tutur Yuna sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.

 

“Emangnya kenapa? Kamu takut sama dia?” tanya Yeriko sambil menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pergi.

 

“Nggak. Aku cuma nggak tega aja. Selama ini, sikap Oom ke aku selalu manis dan baik. Aku masih nggak percaya kalau dia mencelakai ayah cuma karena harta.”

 

“Manusia bisa menghalalkan segala cara untuk dapetin harta, termasuk membunuh saudaranya sendiri. Saling bunuh sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa.”

 

“Kamu nggak akan kayak gitu kan?” tanya Yuna.

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Apa di matamu, aku ini kelihatan jahat?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku cuma khawatir aja.”

 

“Khawatir kenapa?”

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. “Jangan sampai anak-anak kita nanti saling bertengkar karena harta. Kita harus mendidik mereka dengan baik.”

 

Yeriko tersenyum bangga menatap wajah istrinya. “Ibu yang baik, pasti akan melahirkan anak-anak yang baik juga,” tutur Yeriko sambil membelai kepala Yuna.

 

Yuna tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kalau Yeriko begitu membanggakan istrinya yang menurut Yuna tidak ada hal spesial dalam dirinya.

 

(( Bersambung ... ))

 

Semangat terus Mr. & Mrs. Ye ...!

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih  review baik di kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas