Yuna
terpaku tepat di depan pusara ibunya. Ia memejamkan mata sambil memanjatkan
doa-doa untuk almarhum ibunya.
Hari
ini, tepat tahun kesebelas kematian ibunya. Banyak hal yang telah ia lewati
tanpa kedua orang tuanya. Bulan dan tahun terus berganti. Hingga hari ini, ia
masih tidak bisa melupakan kesedihannya saat kehilangan sosok ibu dalam
hidupnya. Ia selalu merindukan senyuman ibunya yang begitu manis dan
menghangatkan.
“Yun,
ayo pulang!” ajak Yeriko setelah mereka selesai berdoa di hadapan pusara ibu
Yuna.
Yuna
tersenyum sambil menyentuh batu nisan yang ada di hadapannya. “Bunda, kami
pulang dulu!” pamitnya. “Kami akan sering berkunjung ke rumah Bunda. Bunda
nggak akan kesepian di sini.”
Yeriko
tersenyum sambil merangkul pundak Yuna. Ia mengusap lembut pundak istrinya
untuk memberikan kekuatan dan ketabahan yang lebih besar lagi.
Mereka
bangkit dan melangkah perlahan keluar dari pemakaman. Mereka langsung
menghentikan langkah kaki saat melihat Bellina dan keluarganya berpapasan
dengan mereka.
“Kalian
di sini juga?” tanya Tarudi sambil tersenyum ke arah Yuna.
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kami permisi dulu, Oom!”
“Tunggu!”
pinta Tarudi.
Yuna
dan Yeriko langsung menghentikan langkahnya.
“Ada
apa, Oom?” tanya Yuna.
“Kenapa
kamu nggak datang ke acara pesta pernikahan Bellina?”
“Mmh
... karena ada urusan lebih penting. Jadi, aku nggak bisa hadir,” jawab Yuna
sambil menoleh ke arah Bellina dan Lian. “Selamat ya! Maaf, aku nggak bisa
datang ke pernikahan kalian.”
“Karena
ulang tahun sahabat kamu itu?” sela Melan.
Yuna
mengangguk.
“Sahabat
kamu lebih penting dari saudara kamu sendiri?” tanya Melan.
Yuna
tersenyum kecil. “Iya. Karena sahabatku udah seperti saudaraku sendiri. Dia
nggak pernah menghina aku, nggak pernah merendahkan aku dan selalu menolong aku
dalam kesulitan.”
“Yun,
kami ini keluarga kamu. Kenapa tidak memprioritaskan keluarga terlebih dahulu?”
tanya Tarudi.
Yuna
tersenyum kecil. “Iya, Oom. Aku tahu banget kalian keluarga aku satu-satunya di
sini. Tapi, aku nggak bisa menempatkan orang yang sudah mencelakai orang tuaku
sebagai prioritas!” tegas Yuna sambil menatap tajam ke arah Tarudi.
Tatapan
mata Tarudi tak terarah saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Yuna.
Terlebih, senyuman yang keluar dari mulut Yeriko lebih seperti ancaman yang
mengerikan.
“Yun,
kamu jangan ngomong sembarangan!” sahut Bellina kesal.
Yuna
bergeming. Ia tidak peduli lagi dengan keluarga Bellina yang telah mencelakai
kedua orang tuanya dengan cara yang sangat mengerikan.
“Aku
nggak ngomong sembarangan. Tunggu sampai ayah bisa pulih, kita semua bakal tahu
kenyataan yang sebenarnya,” tutur Yuna.
“Yun,
kamu jangan terlalu banyak berpikir. Kamu tahu, Oom selalu sayang sama kamu
sejak dulu,” tutur Tarudi sambil menyentuh pundak Yuna sambil tersenyum manis.
“Mana mungkin kami mencelakai kakak sendiri.”
Yuna
mengeratkan bibirnya. Ia semakin geram dengan sikap pamannya yang masih terus
berpura-pura baik di hadapannya.
“Sudahlah.
Nggak baik berdebat di depan makam seperti ini,” sela Lian.
“Iya,
Pa, Ma ... lagipula ini hari kematian Bunda Arum. Nggak baik kalau bertengkar
di sini.” Bellina menimpali.
“Yun,
kamu nggak datang ke pernikahan kami. Gimana, kalau kamu datang ke rumah kami
buat makan malam bareng?” tanya Bellina.
Tarudi
langsung tersenyum ke arah Yuna. “Bener, Yun. Gimana kalau kalian ke rumah kami
untuk makan malam. Sudah lama, kamu nggak main ke rumah.”
Yuna
hanya tersenyum menanggapi permintaan pamannya.
“Sejak
kalian menikah, belum pernah sekalipun main ke rumah. Kali ini, Oom dengan
rendah hati memohon kalian bisa ke rumah. Hanya untuk makan malam. Lagipula,
kita ini keluarga.”
Yuna
menoleh ke arah Yeriko. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan undangan makan
malam dari pamannya. Walau semua terlihat sangat ramah dan baik, tapi ia tetap
saja selalu mengingat bagaimana keluarga Bellina memperlakukan dirinya selama
ini.
“Mmh
... maaf, Oom. Kami sudah ada janji dengan orang lain malam ini,” tutur Yeriko
sambil mengangguk sopan ke arah Tarudi.
Tarudi
tersenyum. “Oke. Nggak masalah kalau kalian bisa datang lain kali. Saya tahu,
kamu pebisnis yang sangat sibuk.”
Yeriko
tersenyum, ia merangkul pinggang Yuna dan melangkah pergi.
“Kenapa
sih kita harus baik sama dia? Perempuan penggoda,” celetuk Melan.
“Ma,
jangan begitu sama Yuna. Dia keponakan kita juga,” sahut Tarudi.
“Keponakan
nggak tahu diri. Udah dibesarin sampai kayak gini, sekarang malah jadi
pembangkang.” Melan terus memaki Yuna.
Yeriko
langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap empat orang yang ada di
hadapannya. “Kalian ngatain Yuna apa?”
Melan
tersenyum sinis. “Emang kenyataan. Anak nggak tahu diri ini, sudah dibesarkan
sampai sekolah ke luar negeri. Sekarang malah balas kebaikan Oom kamu seperti
ini, hah!?”
“Tante
pikir Yeriko nggak tahu? Dia udah tahu semuanya. Aku kuliah ke luar negeri
bukan dari uang kalian!” sahut Yuna kesal.
Melan
membelalakkan matanya. Ia tak lagi punya senjata untuk menjatuhkan Yuna di
hadapan Yeriko.
Yeriko
tersenyum. “Tante nggak perlu mengungkapkan apa pun tentang kehidupan Yuna di
masa lalu. Aku sudah tahu semuanya, termasuk siapa dalang pembunuhan orang tua
Yuna.”
DEG!
Tarudi
tertegun, seluruh tubuhnya gemetaran saat mendengar kalimat yang keluar dari
mulut Yeriko. Pandangannya tiba-tiba buram dan tubuhnya terhuyung.
“Papa
...!” Lian langsung menangkap tubuh Tarudi yang nyaris terjatuh ke tanah.
Yeriko
tersenyum kecil. Melihat reaksi Tarudi, ia semakin yakin kalau paman Yuna
terlibat dalam pembunuhan berencana yang merenggut nyawa ibu Yuna dan membuat
ayah Yuna terbaring di rumah sakit selama sebelas tahun.
“Kalian
bener-bener keterlaluan!” seru Melan. “Menuduh tanpa bukti. Apa kalian nggak
kasihan sama Oom sendiri?”
“Aku
nggak akan berbelas kasih sama penjahat kayak kalian!” tegas Yeriko dengan mata
berapi-api.
“Sudah,
sudah. Jangan berantem di sini!” pinta Tarudi dengan napas tersengal.
“Papa,
nggak papa?” tanya Bellina.
“Nggak
papa. Papa cuma kaget aja karena dapat tuduhan kejam dari keponakan sendiri.”
“Ini
bukan tuduhan,” sahut Yeriko. “Aku bakal jeblosin Oom ke penjara!”
“Yun,
suami kamu ini sudah menuduh Oom kamu tanpa bukti. Kamu bukannya belain Oom
kamu, malah nempel terus sama suami kamu ini. Anak nggak tahu balas budi!” maki
Melan.
Yuna
tersenyum kecil. “Maaf, Tante. Aku lebih percaya sama suamiku.”
Yeriko
menoleh ke arah Yuna sambil tersenyum hangat. Ia langsung merangkul pinggang
Yuna dan mengajaknya segera pergi dari tempat tersebut.
“Huft,
akhirnya ... aku bisa juga menghadapi Oom Tarudi,” tutur Yuna sambil
menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.
“Emangnya
kenapa? Kamu takut sama dia?” tanya Yeriko sambil menyalakan mesin mobilnya dan
bergegas pergi.
“Nggak.
Aku cuma nggak tega aja. Selama ini, sikap Oom ke aku selalu manis dan baik.
Aku masih nggak percaya kalau dia mencelakai ayah cuma karena harta.”
“Manusia
bisa menghalalkan segala cara untuk dapetin harta, termasuk membunuh saudaranya
sendiri. Saling bunuh sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa.”
“Kamu
nggak akan kayak gitu kan?” tanya Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala. “Apa di matamu, aku ini kelihatan jahat?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku cuma khawatir aja.”
“Khawatir
kenapa?”
Yuna
menarik napas dalam-dalam. “Jangan sampai anak-anak kita nanti saling
bertengkar karena harta. Kita harus mendidik mereka dengan baik.”
Yeriko
tersenyum bangga menatap wajah istrinya. “Ibu yang baik, pasti akan melahirkan
anak-anak yang baik juga,” tutur Yeriko sambil membelai kepala Yuna.
Yuna
tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kalau Yeriko begitu
membanggakan istrinya yang menurut Yuna tidak ada hal spesial dalam dirinya.
(( Bersambung ... ))
Semangat terus Mr.
& Mrs. Ye ...!
Dukung terus cerita
ini dengan cara kasih review baik di kolom komentar. Sapa aku
terus supaya aku tidak merasa kesepian.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment