Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 244 || Rujak Malam || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yan ... berhenti, Yan!” pinta Yeriko saat di perjalanan menuju perusahaannya.

 

“Kenapa, Pak Bos?” tanya Riyan. Ia langsung menepikan mobilnya perlahan.

 

“Tolong belikan beberapa buah.”

 

“Buah?”

 

Yeriko mengangguk.

 

“Pak Bos belum sarapan?”

 

“Sudah. Sarapan tadi makan ikan. Amisnya masih terasa, perutku agak mual.”

 

“Oh. Mau beli buah apa?” tanya Riyan sambil melepas safety belt.

 

“Jeruk aja.”

 

“Oke.” Riyan bergegas turun dari mobil. Begitu mendapatkan buah yang dia inginkan, ia kembali masuk ke mobil dan memberikannya pada Yeriko.

 

Yeriko langsung mengambil satu buah jeruk dan mengupasnya.

 

“Pak Bos?” Riyan langsung menoleh ke arah Yeriko yang duduk di belakangnya.

 

“Kenapa?”

 

“Eh!?” Riyan menggelengkan kepala. Ia merasa ada yang aneh dengan bosnya. Biasanya, bos muda kesayangannya ini tidak pernah suka kalau di dalam mobilnya ada aroma makanan yang menyengat. Ia langsung membuka kaca mobil perlahan agar aroma buah jeruk keluar dari mobil.

 

“Yan, gimana perkembangan penyelidikan kasus Pak Adjie?” tanya Yeriko.

 

“Masih proses, Pak Bos.”

 

Yeriko menghela napas. “Nggak ada bukti kuat buat masukin orang itu ke penjara?”

 

“Belum dapat.”

 

Yeriko menyandarkan kepalanya sambil terus berpikir.

 

“Pak Bos, telur lelenya sudah dapat?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Untuk apa, Pak?”

 

“Buat Yuna?”

 

“Nyonya Muda lagi ngidam?”

 

“Ngidam?” Yeriko mengernyitkan dahinya.

 

“Iya. Biasanya, orang ngidam selalu minta yang aneh-aneh.”

 

Yeriko melipat kedua tangan di dadanya. Ia tidak ingin terburu-buru menyimpulkan kalau Yuna sudah mengandung dan membuat kesalahan untuk kedua kalinya.

 

“Bukannya kalo orang ngidam itu selalu cari mangga muda dan makan yang asem-asem?” tanya Yeriko pada Riyan.

 

Riyan menganggukkan kepala. “Kayak Pak Bos. Pak Bos ngidam?”

 

“Uhuk ... uhuk ...!” Yeriko langsung mengeluarkan jeruk dari mulutnya. “Kamu kira aku bisa hamil!?”

 

Riyan tertawa kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang ada di depannya. “Ada beberapa kasus, istrinya yang hamil, suaminya yang ngidam?”

 

“Bisa begitu?”

 

Riyan menganggukkan kepala. “Apa Nyonya Muda pengen banget makan telur lele dan nanyain terus karena belum dapet?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Yuna suka banget sama makanan. Aku rasa, cuma keinginannya sementara aja. Belum ada bahas lagi soal permintaannya malam itu.”

 

“Oh.”

 

“Jadi, dia ngidam atau nggak?” tanya Yeriko.

 

“Nggak tahu, Pak Bos.”

 

“Kenapa nggak tahu? Bukannya kamu bilang kalau kemungkinan Yuna hamil karena pengen makan makanan yang aneh-aneh?”

 

“Huft, kalo Nyonya Muda emang suka makan makanan yang aneh-aneh dari dulu. Jadi, aku juga nggak yakin dia ngidam atau nggak.”

 

“Ah, kamu nggak bisa diandalkan,” celetuk Yeriko.

 

“Pak Bos, aku belum nikah. Jadi, nggak tahu pastinya.”

 

“Terus, kenapa kamu bisa bilang aku ngidam?”

 

“Nebak aja. Soalnya, Pak Bos nggak suka makanan asem.”

 

“Ini manis,” sahut Yeriko.

 

Riyan tersenyum kecil. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai mencapai tempat kerja mereka.

 

 

 

Di tempat lain ...

 

Yuna duduk sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menikmati langit cerah yang terlukis dari atas atap gedung kantornya.

 

“Yun, aku cari kamu dari tadi. Pagi-pagi udah berjemur di sini.” Icha tiba-tiba muncul di belakang Yuna.

 

“Iya, ngangetin badan,” jawab Yuna sambil tersenyum.

 

Icha tersenyum dan langsung duduk di samping Yuna. “Kamu sakit, Yun?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Pucet banget.”

 

“Masa sih?” Yuna  menyentuh kedua pipi dengan telapak tangannya.

 

“Iya. Yakin baik-baik aja?”

 

Yuna mengangguk. “Aku baik-baik aja. Beberapa hari terakhir ini emang agak lemes sih. Nggak tahu kenapa, gerak dikit aja udah capek.”

 

“Mungkin, kamu emang kecapekan karena kurang istirahat. Siang ini, kamu ada agenda ninjau proyek sama Bu Citra kan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Gimana kalo aku aja yang ganti kamu? Kamu bisa istirahat di kantor.”

 

“Nggak perlu, Cha. Cuma nemenin Bu Citra, kok. Nggak usah khawatir!” pinta Yuna sambil tersenyum.

 

“Serius?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Oh ya, kenapa kamu nyari aku?”

 

“Mau bahas soal proyek yang di Kedung itu. Aku denger dari Bu Citra, proyek itu over budget. Apa bener?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Masalah yang terjadi beberapa minggu yang lalu, bikin kita harus mengeluarkan biaya lebih.”

 

“Terus, gimana?” tanya Icha khawatir.

 

“Nggak papa. Aku udah buat justifikasinya, kok.”

 

“Pak Lian nggak akan marah?”

 

“Nggak. Nanti aku jelasin waktu persentasi akhir.”

 

“Hmm ... biar bagaimanapun, aku yang bikin RAB proyek itu. Aku jadi ngerasa bersalah sama kamu.”

 

Yuna tertawa kecil. “Bukan salah RAB-nya, ini cuma kesalahan teknis. Kalo kamu masih terus ngerasa bersalah, kamu harus bayar rasa bersalahmu itu.”

 

“Gimana caranya?”

 

“Traktir aku makan siang ini!” pinta Yuna.

 

Icha tersenyum sambil menatap Yuna. “Oke. Mau makan di mana?”

 

“Mmh ... enaknya makan apa ya?” Yuna mengetuk-ngetuk dagunya.

 

“Makan orang!” sahut Icha sambil tertawa.

 

“Eh, iya. Si Bellina sejak pesta pernikahan belum ada muncul ke sini. Ke mana dia ya?” tanya Yuna.

 

“Ciyee ... kangen sama dia?” goda Icha.

 

“Nggak, sih. Cuma agak aneh aja kalo nggak ada yang ngajak ribut, hahaha.”

 

“Kamu tuh, Yun. Berantem bisa nagih?”

 

“Nggaklah. Hari-hariku tenang banget tanpa dia. Hihihi.”

 

Icha ikut tertawa kecil.

 

“Udahlah. Kita turun, yuk! Ntar dicariin Bu Citra kalo terlalu lama di sini.”

 

Icha mengangguk. Mereka bangkit dan melangkah pergi menuju ruang kerja masing-masing.

 

 

 

Setelah jam kerja usai, Yuna kembali ke rumah seperti biasa. Ia membersihkan seluruh tubuhnya dan bersiap untuk makan malam bersama suaminya.

 

“Bi, ini apa?” tanya Yuna sambil menatap beberapa potongan buah di atas meja.

 

“Rujak.”

 

“Siapa yang minta rujak?”

 

“Mas Yeri.”

 

“Hah!? Ngidam tuh orang?” gumam Yuna.

 

“Mbak Yuna mau rujak juga?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku lagi nggak makan pedas. Nggak enak makan rujak kalo nggak pedas.” Ia menengadahkan kepala sambil menatap lantai kamarnya. “Lagi ngapain si dia? Aku udah laper.”

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko turun dari kamar dan langsung menghampiri Yuna di meja makan.

 

“Ngapain aja? Lama banget,” tanya Yuna sambil duduk di kursi meja makan.

 

“Riyan telepon.”

 

“Oh.”

 

Yeriko tersenyum dan langsung duduk di kursinya.

 

“Kenapa makan rujak malam-malam begini?” tanya Yuna.

 

“Pengen aja,” jawab Yeriko santai.

 

“Aneh banget!”

 

“Tadi ada nenek-nenek jualan rujak di depan. Aku kasihan lihatnya, jadi aku beli semua rujak yang masih sisa.”

 

“Oh ya?”

 

Yeriko mengangguk. “Mau?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Ini bagus buat diet,” tutur Yeriko sambil menahan tawa.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Lagi nggak mau diet,” tuturnya sambil mencomot udang goreng dan melahapnya.

 

“Beneran mau gendut?”

 

“Kenapa? Kalo aku gendut, kamu nggak suka?”

 

“Suka.”

 

“Ya udah, makan sendiri aja tuh rujak!”

 

Yeriko tersenyum kecil dan melahap perlahan potongan buah yang ada di hadapannya. “Oh ya, besok hari kematian ibu kamu. Kamu mau ke makam kan?”

 

Yuna menganggukkan kepala sambil tersenyum.

 

“Jam berapa mau ke sana?”

 

“Abis pulang kerja aja.”

 

“Oke.”

 

“Kamu mau ikut?” tanya Yuna.

 

“Bukannya seharusnya kamu memang bawa aku?”

 

Yuna tersenyum kecil sambil menatap wajah Yeriko. Mereka melanjutkan makan malam bersama sambil berbincang banyak hal.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Yee ... Yuna udah mulai hamil, tapi belum sadar tuh ...

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih  review baik di kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas