“Yan
... berhenti, Yan!” pinta Yeriko saat di perjalanan menuju perusahaannya.
“Kenapa,
Pak Bos?” tanya Riyan. Ia langsung menepikan mobilnya perlahan.
“Tolong
belikan beberapa buah.”
“Buah?”
Yeriko
mengangguk.
“Pak
Bos belum sarapan?”
“Sudah.
Sarapan tadi makan ikan. Amisnya masih terasa, perutku agak mual.”
“Oh.
Mau beli buah apa?” tanya Riyan sambil melepas safety belt.
“Jeruk
aja.”
“Oke.”
Riyan bergegas turun dari mobil. Begitu mendapatkan buah yang dia inginkan, ia
kembali masuk ke mobil dan memberikannya pada Yeriko.
Yeriko
langsung mengambil satu buah jeruk dan mengupasnya.
“Pak
Bos?” Riyan langsung menoleh ke arah Yeriko yang duduk di belakangnya.
“Kenapa?”
“Eh!?”
Riyan menggelengkan kepala. Ia merasa ada yang aneh dengan bosnya. Biasanya,
bos muda kesayangannya ini tidak pernah suka kalau di dalam mobilnya ada aroma
makanan yang menyengat. Ia langsung membuka kaca mobil perlahan agar aroma buah
jeruk keluar dari mobil.
“Yan,
gimana perkembangan penyelidikan kasus Pak Adjie?” tanya Yeriko.
“Masih
proses, Pak Bos.”
Yeriko
menghela napas. “Nggak ada bukti kuat buat masukin orang itu ke penjara?”
“Belum
dapat.”
Yeriko
menyandarkan kepalanya sambil terus berpikir.
“Pak
Bos, telur lelenya sudah dapat?”
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Untuk
apa, Pak?”
“Buat
Yuna?”
“Nyonya
Muda lagi ngidam?”
“Ngidam?”
Yeriko mengernyitkan dahinya.
“Iya.
Biasanya, orang ngidam selalu minta yang aneh-aneh.”
Yeriko
melipat kedua tangan di dadanya. Ia tidak ingin terburu-buru menyimpulkan kalau
Yuna sudah mengandung dan membuat kesalahan untuk kedua kalinya.
“Bukannya
kalo orang ngidam itu selalu cari mangga muda dan makan yang asem-asem?” tanya
Yeriko pada Riyan.
Riyan
menganggukkan kepala. “Kayak Pak Bos. Pak Bos ngidam?”
“Uhuk
... uhuk ...!” Yeriko langsung mengeluarkan jeruk dari mulutnya. “Kamu kira aku
bisa hamil!?”
Riyan
tertawa kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang ada di depannya.
“Ada beberapa kasus, istrinya yang hamil, suaminya yang ngidam?”
“Bisa
begitu?”
Riyan
menganggukkan kepala. “Apa Nyonya Muda pengen banget makan telur lele dan
nanyain terus karena belum dapet?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Yuna suka banget sama makanan. Aku rasa, cuma
keinginannya sementara aja. Belum ada bahas lagi soal permintaannya malam itu.”
“Oh.”
“Jadi,
dia ngidam atau nggak?” tanya Yeriko.
“Nggak
tahu, Pak Bos.”
“Kenapa
nggak tahu? Bukannya kamu bilang kalau kemungkinan Yuna hamil karena pengen
makan makanan yang aneh-aneh?”
“Huft,
kalo Nyonya Muda emang suka makan makanan yang aneh-aneh dari dulu. Jadi, aku
juga nggak yakin dia ngidam atau nggak.”
“Ah,
kamu nggak bisa diandalkan,” celetuk Yeriko.
“Pak
Bos, aku belum nikah. Jadi, nggak tahu pastinya.”
“Terus,
kenapa kamu bisa bilang aku ngidam?”
“Nebak
aja. Soalnya, Pak Bos nggak suka makanan asem.”
“Ini
manis,” sahut Yeriko.
Riyan
tersenyum kecil. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai mencapai
tempat kerja mereka.
Di
tempat lain ...
Yuna
duduk sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menikmati langit cerah yang
terlukis dari atas atap gedung kantornya.
“Yun,
aku cari kamu dari tadi. Pagi-pagi udah berjemur di sini.” Icha tiba-tiba
muncul di belakang Yuna.
“Iya,
ngangetin badan,” jawab Yuna sambil tersenyum.
Icha
tersenyum dan langsung duduk di samping Yuna. “Kamu sakit, Yun?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Pucet
banget.”
“Masa
sih?” Yuna menyentuh kedua pipi dengan telapak tangannya.
“Iya.
Yakin baik-baik aja?”
Yuna
mengangguk. “Aku baik-baik aja. Beberapa hari terakhir ini emang agak lemes
sih. Nggak tahu kenapa, gerak dikit aja udah capek.”
“Mungkin,
kamu emang kecapekan karena kurang istirahat. Siang ini, kamu ada agenda ninjau
proyek sama Bu Citra kan?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Gimana
kalo aku aja yang ganti kamu? Kamu bisa istirahat di kantor.”
“Nggak
perlu, Cha. Cuma nemenin Bu Citra, kok. Nggak usah khawatir!” pinta Yuna sambil
tersenyum.
“Serius?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Oh ya, kenapa kamu nyari aku?”
“Mau
bahas soal proyek yang di Kedung itu. Aku denger dari Bu Citra, proyek itu over
budget. Apa bener?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Masalah yang terjadi beberapa minggu yang lalu, bikin
kita harus mengeluarkan biaya lebih.”
“Terus,
gimana?” tanya Icha khawatir.
“Nggak
papa. Aku udah buat justifikasinya, kok.”
“Pak
Lian nggak akan marah?”
“Nggak.
Nanti aku jelasin waktu persentasi akhir.”
“Hmm
... biar bagaimanapun, aku yang bikin RAB proyek itu. Aku jadi ngerasa bersalah
sama kamu.”
Yuna
tertawa kecil. “Bukan salah RAB-nya, ini cuma kesalahan teknis. Kalo kamu masih
terus ngerasa bersalah, kamu harus bayar rasa bersalahmu itu.”
“Gimana
caranya?”
“Traktir
aku makan siang ini!” pinta Yuna.
Icha
tersenyum sambil menatap Yuna. “Oke. Mau makan di mana?”
“Mmh
... enaknya makan apa ya?” Yuna mengetuk-ngetuk dagunya.
“Makan
orang!” sahut Icha sambil tertawa.
“Eh,
iya. Si Bellina sejak pesta pernikahan belum ada muncul ke sini. Ke mana dia
ya?” tanya Yuna.
“Ciyee
... kangen sama dia?” goda Icha.
“Nggak,
sih. Cuma agak aneh aja kalo nggak ada yang ngajak ribut, hahaha.”
“Kamu
tuh, Yun. Berantem bisa nagih?”
“Nggaklah.
Hari-hariku tenang banget tanpa dia. Hihihi.”
Icha
ikut tertawa kecil.
“Udahlah.
Kita turun, yuk! Ntar dicariin Bu Citra kalo terlalu lama di sini.”
Icha
mengangguk. Mereka bangkit dan melangkah pergi menuju ruang kerja
masing-masing.
Setelah
jam kerja usai, Yuna kembali ke rumah seperti biasa. Ia membersihkan seluruh
tubuhnya dan bersiap untuk makan malam bersama suaminya.
“Bi,
ini apa?” tanya Yuna sambil menatap beberapa potongan buah di atas meja.
“Rujak.”
“Siapa
yang minta rujak?”
“Mas
Yeri.”
“Hah!?
Ngidam tuh orang?” gumam Yuna.
“Mbak
Yuna mau rujak juga?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku lagi nggak makan pedas. Nggak enak makan rujak kalo
nggak pedas.” Ia menengadahkan kepala sambil menatap lantai kamarnya. “Lagi
ngapain si dia? Aku udah laper.”
Beberapa
menit kemudian, Yeriko turun dari kamar dan langsung menghampiri Yuna di meja
makan.
“Ngapain
aja? Lama banget,” tanya Yuna sambil duduk di kursi meja makan.
“Riyan
telepon.”
“Oh.”
Yeriko
tersenyum dan langsung duduk di kursinya.
“Kenapa
makan rujak malam-malam begini?” tanya Yuna.
“Pengen
aja,” jawab Yeriko santai.
“Aneh
banget!”
“Tadi
ada nenek-nenek jualan rujak di depan. Aku kasihan lihatnya, jadi aku beli
semua rujak yang masih sisa.”
“Oh
ya?”
Yeriko
mengangguk. “Mau?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Ini
bagus buat diet,” tutur Yeriko sambil menahan tawa.
Yuna
menggelengkan kepala. “Lagi nggak mau diet,” tuturnya sambil mencomot udang
goreng dan melahapnya.
“Beneran
mau gendut?”
“Kenapa?
Kalo aku gendut, kamu nggak suka?”
“Suka.”
“Ya
udah, makan sendiri aja tuh rujak!”
Yeriko
tersenyum kecil dan melahap perlahan potongan buah yang ada di hadapannya. “Oh
ya, besok hari kematian ibu kamu. Kamu mau ke makam kan?”
Yuna
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Jam
berapa mau ke sana?”
“Abis
pulang kerja aja.”
“Oke.”
“Kamu
mau ikut?” tanya Yuna.
“Bukannya
seharusnya kamu memang bawa aku?”
Yuna
tersenyum kecil sambil menatap wajah Yeriko. Mereka melanjutkan makan malam
bersama sambil berbincang banyak hal.
(( Bersambung ... ))
Yee ... Yuna udah mulai hamil, tapi belum sadar tuh ...
Dukung terus cerita ini dengan cara kasih review baik di
kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment