“Hei,
Chan! Sini!” sapa Lutfi begitu ia melihat Chandra dan Jheni muncul.
Juan
mengerutkan kening karena Lutfi mengundang dua orang lagi ke meja makan mereka.
“Sini,
Jhen!” Icha langsung menarik Jheni untuk duduk bersama mereka. “Lutfi udah
pesenin makanan buat kalian.”
“Hmm
... kamu memang nomor satu kalo soal pengertian, Lut,” tutur Jheni.
“Iya,
dong! Kalo soal makanan, aku udah hafal selera kalian satu persatu.”
Chandra
tersenyum kecil menanggapi ucapan Lutfi.
“Jhen,
minggu ini aku sama Icha mau liburan ke Bali. Kamu mau ikut atau nggak?” tanya
Lutfi.
“Aku
mau ke Sumatera,” jawab Jheni.
“Ngapain?”
tanya Lutfi.
“Kamu
jadi berangkat, Jhen?” tanya Yuna.
Jheni
menganggukkan kepala. “Aku udah terlanjur beli tiket. Sayang, kan?”
“Iya
juga, sih. Mau netap di sana?” tanya Yuna. “Walau kita harus jauh, kamu harus
kasih kabar ke aku ya!” pintanya.
Chandra
langsung menoleh ke arah Jheni. “Bukannya kamu bilang bakal balik sama-sama?”
“Tergantung
suasana hati,” jawab Jheni sambil menahan tawa.
Yuna
dan Icha juga ikut menahan tawa melihat raut wajah Chandra yang tiba-tiba
berubah muram.
“Makanya,
ada cewek baik jangan disia-siain. Giliran dia mau pergi, kamu baru
uring-uringan!” dengus Yuna sambil menatap Chandra. “Jhen, kamu pindah aja ke
Sumatera sana! Nggak usah balik!”
“Yun,
kamu nggak usah ngompor-ngomporin Jheni lagi!” pinta Chandra. “Aku udah
setengah mati ngerayu dia biar tetep tinggal di sini.”
Yuna
tertawa kecil. “Aku tetep belain sahabatku walau sekarang kamu jadi pacarnya.”
Ia menjulurkan lidah ke arah Chandra. “Mending dia pergi dan hidup bahagia
daripada tetap tinggal dan kamu sakiti setiap hari.”
“Ah,
parah kompormu, Yun.” Chandra menatap Yuna tak bersemangat. “Jhen ...!” Ia
langsung tersenyum ke arah Jheni. “Nggak beneran pindah, kan?”
Jheni
tersenyum menatap Chandra. “Kalo nggak mau aku pindah, harus bersikap manis!”
pintanya sambil mengusap ujung kepala Chandra.
Chandra
mengangguk-anggukkan kepalanya.
...
Di
tempat lain di saat yang sama.
Tubuh
Amara terikat di atas kursi, dikelilingi oleh banyak preman di dalam ruangan
itu.
“Kamu
berani nipu kami, hah!?” Ben langsung menekan rahang Amara tanpa ampun.
Amara
menggeleng dengan bibir bergetar.
“Kamu
tahu harus bayar semua ini dengan apa?”
“Jangan,
please!”
“Tubuh
kamu ini, nggak cukup buat bayar semuanya!” tegas Ben. Ia melambaikan tangan ke
salah satu anak buahnya.
Anak
buah Ben langsung menghampiri sambil memberikan sebotol arak ke tangan Ben.
Ben
meraih botol arak tersebut dan memaksa Amara menghabiskannya perlahan.
“Hahaha.”
Ben terus tertawa melihat Amara yang sudah setengah sadar.
Amara
menatap Ben dengan wajah penuh kebencian, juga penyesalan karena telah
berhubungan dengan preman-preman yang tidak berperasaan.
Ben
tersenyum sinis sambil menatap Amara. Ia membuka mulut Amara dengan paksa dan
memberikannya obat perangsang.
Beberapa
menit kemudian, Ben melepas ikatan tali yang ada di tubuh Amara.
Amara
mulai berada dalam pengaruh obat dan minuman keras.
Ben
tersenyum sinis dan membiarkan Amara bergeliat di lantai. Ia berbalik dan
melangkah pergi. “Kalian boleh nikmati dia sepuasnya!” seru Ben kepada sepuluh
orang anak buahnya yang ada di ruangan tersebut.
Anak
buah Ben langsung menatap Amara penuh gairah. Mereka bergantian menikmati tubuh
Amara yang seksi dan menggoda.
Amara
mulai tersadar dari pengaruh alkohol dan obat-obatan yang diberikan oleh Ben.
Ia berusaha melepaskan diri dari preman-preman tersebut.
Saat
semuanya lengah, Amara berjalan mengendap-ngendap keluar dari ruangan tersebut.
Ia berlari keluar tanpa alas kaki.
Amara
menyusuri jalanan yang gelap dan dingin tanpa alas kaki. Air matanya mengalir
deras sembari memeluk tubuhnya yang begitu menyedihkan.
“Kenapa
nasibku jadi kayak gini? Punya suami nggak becus! Sekarang, aku harus melayani
preman-preman menjijikkan itu!” Ia merasa hidupnya semakin berantakan
saat ia sudah berpisah dengam Chandra. Tak ada lagi pria yang selalu melindungi
dan menjaganya dengan baik.
Amara
langsung mencegat taksi yang kebetulan melintas. Ia langsung memerintahkan
supir taksi tersebut untuk membawanya ke rumah sakit. Ia langsung menyandarkan
kepalanya ke kursi. Rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi dan membuatnya
sangat tidak nyaman.
“Harry
sialan!” makinya dalam hati. “Kalo bukan karena dia, aku nggak akan punya
hutang sebanyak ini dan harus menghadapi preman-preman biadab itu!”
“Sudah
sampai, Mbak!” Supir taksi membangunkan Amara saat mereka sudah sampai di rumah
sakit.
“Makasih,
Pak!” Amara mengambil beberapa lembar uang dari tas tangannya, membayar dan
bergegas keluar dari taksi. Ia berjalan sempoyongan menuju pintu masuk ruang
IGD.
Seorang
perawat langsung menghampiri Amara yang terjatuh tepat di pintu masuk ruang
IGD.
“Kenapa,
Mbak?” tanya perawat tersebut.
“Tolongin
saya, Sus!” pinta Amara dengan suara yang hampir tak terdengar.
Perawat
itu langsung memanggil beberapa teman untuk membantunya. Ia memeriksa denyut
nadi Amara yang melemah dan segera memberikan pertolongan.
Beberapa
menit kemudian, Amara tersadar dan sudah berada dalam ruang perawatan. Ia
menatap pergelangan tangannya yang sudah dipasangi selang infus untuk
memulihkan kondisi kesehatannya.
Amara
menoleh ke atas meja, meraih tas tangannya dan mengambil ponsel miliknya. Ia
langsung menelepon Chandra agar pria itu menemaninya di rumah sakit.
“Halo
...!” sapa Chandra begitu panggilan telepon dari Amara tersambung.
“Halo,
Chan! Bisa tolongin aku! Aku lagi di rumah sakit. Bisa temenin aku?” pinta
Amara lirih.
Chandra
terdengar tersenyum kecil. “Kamu udah punya suami. Suamimu ke mana?”
“Kamu
tahu sendiri, dia nggak pernah peduli lagi sama aku. Dia cuma mau uangku aja.”
“Kamu
punya banyak uang, gunakan itu untuk mengurus diri kamu sendiri!” sahut
Chandra.
“Chan,
kenapa kamu tega biarin aku di rumah sakit sendirian?”
“Semua
yang terjadi sama kamu, itu karena ulah kamu sendiri. Aku nggak akan ngebiarin
kamu nyakitin Jheni lagi!”
“Chan,
aku sama sekali nggak bermaksud buat nyakitin Jheni.”
“Nggak
bermaksud? Tapi kamu udah jual Jheni buat bayar hutang suami kamu itu. Aku
nggak akan ngelepasin kalian. Kalo kamu masih maksa aku buat nemenin kamu,
artinya kamu ngizinin aku buat bunuh kamu sekarang juga!” ancam Chandra.
“Chan,
kenapa kamu jadi sejahat ini sama aku? Pasti karena Jheni yang udah pengaruhi
kamu, kan?”
“Jheni
nggak pernah bikin aku jadi jahat, kamu yang bikin aku jadi jahat.”
“Chan,
kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku bener-bener nyesel udah ninggalin kamu.”
Amara terisak. Ia menatap layar ponselnya yang tiba-tiba mati.
“Kenapa
kamu nggak mau dengerin aku, Chan?” tanya Amara. Ia tidak bisa mengendalikan
diri dan membanting ponselnya ke dinding hingga jatuh berkeping-keping.
“Aargh
...!” teriak Amara sambil menarik kuat-kuat rambutnya sendiri. Ia menangis
sejadi-jadinya dan terus meracau tak jelas.
Salah
seorang perawat langsung masuk ke dalam ruangan begitu mendengar teriakan
Amara.
“Sus,
tolong telepon keluarga pasien!” pinta salah seorang perawat pada perawat yang
lainnya. “Sepertinya, pasien ini mengalami depresi berat.” Ia langsung
menenangkan Amara, menyuntikkan cairan ke dalam cairan infus yang tersambung ke
tubuh Amara.
(( Bersambung ... ))
Bikin Amara masuk RSJ, bagus nggak sih?
Dukung terus cerita ini dengan cara kasih review baik di
kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment