Thursday, July 10, 2025

Perfect Hero Bab 241 || Poor Amara || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Hei, Chan! Sini!” sapa Lutfi begitu ia melihat Chandra dan Jheni muncul.

 

 

 

Juan mengerutkan kening karena Lutfi mengundang dua orang lagi ke meja makan mereka.

 

 

 

“Sini, Jhen!” Icha langsung menarik Jheni untuk duduk bersama mereka. “Lutfi udah pesenin makanan buat kalian.”

 

 

 

“Hmm ... kamu memang nomor satu kalo soal pengertian, Lut,” tutur Jheni.

 

 

 

“Iya, dong! Kalo soal makanan, aku udah hafal selera kalian satu persatu.”

 

 

 

Chandra tersenyum kecil menanggapi ucapan Lutfi.

 

 

 

“Jhen, minggu ini aku sama Icha mau liburan ke Bali. Kamu mau ikut atau nggak?” tanya Lutfi.

 

 

 

“Aku mau ke Sumatera,” jawab Jheni.

 

 

 

“Ngapain?” tanya Lutfi.

 

 

 

“Kamu jadi berangkat, Jhen?” tanya Yuna.

 

 

 

Jheni menganggukkan kepala. “Aku udah terlanjur beli tiket. Sayang, kan?”

 

 

 

“Iya juga, sih. Mau netap di sana?” tanya Yuna. “Walau kita harus jauh, kamu harus kasih kabar ke aku ya!” pintanya.

 

 

 

Chandra langsung menoleh ke arah Jheni. “Bukannya kamu bilang bakal balik sama-sama?”

 

 

 

“Tergantung suasana hati,” jawab Jheni sambil menahan tawa.

 

 

 

Yuna dan Icha juga ikut menahan tawa melihat raut wajah Chandra yang tiba-tiba berubah muram.

 

 

 

“Makanya, ada cewek baik jangan disia-siain. Giliran dia mau pergi, kamu baru uring-uringan!” dengus Yuna sambil menatap Chandra. “Jhen, kamu pindah aja ke Sumatera sana! Nggak usah balik!”

 

 

 

“Yun, kamu nggak usah ngompor-ngomporin Jheni lagi!” pinta Chandra. “Aku udah setengah mati ngerayu dia biar tetep tinggal di sini.”

 

 

 

Yuna tertawa kecil. “Aku tetep belain sahabatku walau sekarang kamu jadi pacarnya.” Ia menjulurkan lidah ke arah Chandra. “Mending dia pergi dan hidup bahagia daripada tetap tinggal dan kamu sakiti setiap hari.”

 

 

 

“Ah, parah kompormu, Yun.” Chandra menatap Yuna tak bersemangat. “Jhen ...!” Ia langsung tersenyum ke arah Jheni. “Nggak beneran pindah, kan?”

 

Jheni tersenyum menatap Chandra. “Kalo nggak mau aku pindah, harus bersikap manis!” pintanya sambil mengusap ujung kepala Chandra.

 

Chandra mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

 

 

...

 

 

 

Di tempat lain di saat yang sama.

 

 

 

Tubuh Amara terikat di atas kursi, dikelilingi oleh banyak preman di dalam ruangan itu.

 

“Kamu berani nipu kami, hah!?” Ben langsung menekan rahang Amara tanpa ampun.

 

Amara menggeleng dengan bibir bergetar.

 

“Kamu tahu harus bayar semua ini dengan apa?”

 

“Jangan, please!”

 

“Tubuh kamu ini, nggak cukup buat bayar semuanya!” tegas Ben. Ia melambaikan tangan ke salah satu anak buahnya.

 

Anak buah Ben langsung menghampiri sambil memberikan sebotol arak ke tangan Ben.

 

Ben meraih botol arak tersebut dan memaksa Amara menghabiskannya perlahan.

 

“Hahaha.” Ben terus tertawa melihat Amara yang sudah setengah sadar.

 

Amara menatap Ben dengan wajah penuh kebencian, juga penyesalan karena telah berhubungan dengan preman-preman yang tidak berperasaan.

 

Ben tersenyum sinis sambil menatap Amara. Ia membuka mulut Amara dengan paksa dan memberikannya obat perangsang.

 

Beberapa menit kemudian, Ben melepas ikatan tali yang ada di tubuh Amara.

 

Amara mulai berada dalam pengaruh obat dan minuman keras.

 

 

 

Ben tersenyum sinis dan membiarkan Amara bergeliat di lantai. Ia berbalik dan melangkah pergi. “Kalian boleh nikmati dia sepuasnya!” seru Ben kepada sepuluh orang anak buahnya yang ada di ruangan tersebut.

 

 

 

Anak buah Ben langsung menatap Amara penuh gairah. Mereka bergantian menikmati tubuh Amara yang seksi dan menggoda.

 

 

 

Amara mulai tersadar dari pengaruh alkohol dan obat-obatan yang diberikan oleh Ben. Ia berusaha melepaskan diri dari preman-preman tersebut.

 

 

 

Saat semuanya lengah, Amara berjalan mengendap-ngendap keluar dari ruangan tersebut. Ia berlari keluar tanpa alas kaki.

 

 

 

Amara menyusuri jalanan yang gelap dan dingin tanpa alas kaki. Air matanya mengalir deras sembari memeluk tubuhnya yang begitu menyedihkan.

 

 

 

“Kenapa nasibku jadi kayak gini? Punya suami nggak becus! Sekarang, aku harus melayani preman-preman menjijikkan itu!”  Ia merasa hidupnya semakin berantakan saat ia sudah berpisah dengam Chandra. Tak ada lagi pria yang selalu melindungi dan menjaganya dengan baik.

 

 

 

Amara langsung mencegat taksi yang kebetulan melintas. Ia langsung memerintahkan supir taksi tersebut untuk membawanya ke rumah sakit. Ia langsung menyandarkan kepalanya ke kursi. Rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi dan membuatnya sangat tidak nyaman.

 

 

 

“Harry sialan!” makinya dalam hati. “Kalo bukan karena dia, aku nggak akan punya hutang sebanyak ini dan harus menghadapi preman-preman biadab itu!”

 

 

 

“Sudah sampai, Mbak!” Supir taksi membangunkan Amara saat mereka sudah sampai di rumah sakit.

 

 

 

“Makasih, Pak!” Amara mengambil beberapa lembar uang dari tas tangannya, membayar dan bergegas keluar dari taksi. Ia berjalan sempoyongan menuju pintu masuk ruang IGD.

 

 

 

 

 

Seorang perawat langsung menghampiri Amara yang terjatuh tepat di pintu masuk ruang IGD.

 

“Kenapa, Mbak?” tanya perawat tersebut.

 

“Tolongin saya, Sus!” pinta Amara dengan suara yang hampir tak terdengar.

 

Perawat itu langsung memanggil beberapa teman untuk membantunya. Ia memeriksa denyut nadi Amara yang melemah dan segera memberikan pertolongan.

 

Beberapa menit kemudian, Amara tersadar dan sudah berada dalam ruang perawatan. Ia menatap pergelangan tangannya yang sudah dipasangi selang infus untuk memulihkan kondisi kesehatannya.

 

Amara menoleh ke atas meja, meraih tas tangannya dan mengambil ponsel miliknya. Ia langsung menelepon Chandra agar pria itu menemaninya di rumah sakit.

 

“Halo ...!” sapa Chandra begitu panggilan telepon dari Amara tersambung.

 

“Halo, Chan! Bisa tolongin aku! Aku lagi di rumah sakit. Bisa temenin aku?” pinta Amara lirih.

 

Chandra terdengar tersenyum kecil. “Kamu udah punya suami. Suamimu ke mana?”

 

“Kamu tahu sendiri, dia nggak pernah peduli lagi sama aku. Dia cuma mau uangku aja.”

 

“Kamu punya banyak uang, gunakan itu untuk mengurus diri kamu sendiri!” sahut Chandra.

 

“Chan, kenapa kamu tega biarin aku di rumah sakit sendirian?”

 

“Semua yang terjadi sama kamu, itu karena ulah kamu sendiri. Aku nggak akan ngebiarin kamu nyakitin Jheni lagi!”

 

“Chan, aku sama sekali nggak bermaksud buat nyakitin Jheni.”

 

“Nggak bermaksud? Tapi kamu udah jual Jheni buat bayar hutang suami kamu itu. Aku nggak akan ngelepasin kalian. Kalo kamu masih maksa aku buat nemenin kamu, artinya kamu ngizinin aku buat bunuh kamu sekarang juga!” ancam Chandra.

 

“Chan, kenapa kamu jadi sejahat ini sama aku? Pasti karena Jheni yang udah pengaruhi kamu, kan?”

 

“Jheni nggak pernah bikin aku jadi jahat, kamu yang bikin aku jadi jahat.”

 

“Chan, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku bener-bener nyesel udah ninggalin kamu.” Amara terisak. Ia menatap layar ponselnya yang tiba-tiba mati.

 

“Kenapa kamu nggak mau dengerin aku, Chan?” tanya Amara. Ia tidak bisa mengendalikan diri dan membanting ponselnya ke dinding hingga jatuh berkeping-keping.

 

“Aargh ...!” teriak Amara sambil menarik kuat-kuat rambutnya sendiri. Ia menangis sejadi-jadinya dan terus meracau tak jelas.

 

Salah seorang perawat langsung masuk ke dalam ruangan begitu mendengar teriakan Amara.

 

“Sus, tolong telepon keluarga pasien!” pinta salah seorang perawat pada perawat yang lainnya. “Sepertinya, pasien ini mengalami depresi berat.” Ia langsung menenangkan Amara, menyuntikkan cairan ke dalam cairan infus yang tersambung ke tubuh Amara.

 

 

(( Bersambung ... ))

Bikin Amara masuk RSJ, bagus nggak sih?

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih  review baik di kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas