“Yer,
Mama udah kirim tanggal pernikahan kita,” tutur Yuna sambil bergelayut manja di
pundak Yeriko.
“Mmh
... terus?” Yeriko sangat santai sambil membaca majalah bisnis di tangannya.
“Huft,
aku takut.”
“Takut
kenapa?”
“Kata
orang, kalo mau nikah selalu ada aja ujiannya.”
Yeriko
tertawa kecil. “Kita udah sah jadi suami istri. Apa yang kamu takutkan?”
“Huft,
iya juga sih. Tapi ...”
“Mama
udah urus semuanya. Kamu nggak usah khawatir. Lebih baik kamu nonton drama aja
daripada mikir macem-macem!”
Yuna
memonyongkan bibirnya. “Lagi males nonton. Pengen makan sesuatu.”
“Baru
aja selesai makan. Mau makan apa?”
“Pengen
makan telur ikan lele goreng.”
Yeriko
mengernyitkan dahi. “Nyari di mana malam-malam begini?”
“Di
mana aja, yang penting dapet.”
“Aku
telepon Riyan,” tutur Yeriko sambil meraih ponselnya.
“Nggak
mau!”
“Kenapa?”
“Aku
mau keluar sama kamu. Kenapa malah nelpon Riyan?”
“Aku
tanya dulu, di mana ada jual makanan begituan.”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Kamu
nih udah malam kayak gini ada-ada aja mintanya.” Ia langsung menekan panggilan
pada kontak Riyan di ponselnya.
“Belum
malem banget. Baru jam sembilan,” sahut Yuna.
“Jam
segini udah banyak warung yang tutup,” tutur Yeriko.
“Banyak
juga rumah makan dua puluh empat jam.”
“Kamu
ini ...!?” Yeriko mengerutkan hidungnya menatap Yuna. “Kalo nggak ada. Besok
aja ya!”
Yuna
memonyongkan bibir sambil mengerutkan alis.
“Nggak
usah pasang muka kayak gitu, Yun!” pinta Yeriko. Ia selalu tak berdaya melihat
wajah Yuna yang murung karena keinginannya tidak terpenuhi.
“Halo
...!” sapa Riyan dari ujung telepon.
“Halo
...! Yan, kamu di mana?”
“Di
rumah, Pak Bos. Ada apa ya?”
“Kamu
tahu nggak di mana rumah makan yang jual telur ikan lele goreng?”
“Telur
ikan?”
“Iya.”
“Wah,
nggak tahu. Belum pernah makan telur ikan digoreng. Coba aja ke rumah makan
seafood. Siapa tahu di sana ada.”
Yeriko
langsung melirik Yuna yang menunggu di sebelahnya.
“Bisa
carikan dulu? Kalo udah dapet tempatnya, aku langsung ke sana.”
“Tapi
Pak Bos. Ini udah malam. Aku baru mau tidur. Pak bos nyuruh aku muter-muter
nyari telur ikan lele?”
“Iya.
Kemarin aku baru aja naikkan gajimu. Kalo kamu nggak mau keluar nyarikan, aku
batalin!” ancam Yeriko.
“Iya,
Pak Bos. Aku carikan sekarang.” Riyan langsung mematikan teleponnya.
Yeriko
mengernyitkan dahi sambil menatap layar ponselnya. “Main matiin aja nih anak,”
celetuknya.
Yuna
tersenyum ke arah Yeriko. “Ayo, jalan!” rengeknya manja.
“Tunggu
kabar dari Riyan.”
Yuna
menghela napas. Ia merebahkan tubuhnya di pangkuan Yeriko.
Satu
jam berlalu ...
Riyan
tak kunjung menelepon Yeriko dan Yuna sudah ketiduran terlebih dahulu menunggu
kabar dari Riyan.
Yeriko
meraih ponsel dan mengirimkan pesan singkat kepada Riyan.
Tak
lama kemudian, Riyan langsung menelepon Yeriko.
“Halo
...! Gimana, Yan?”
“Nggak
dapet, Pak Bos. Aku udah muter-muter dari sejam lalu. Semua rumah makan udah
aku tanyain. Mereka nggak ada yang sediain makanan yang Pak Bos cari.”
“Oh.
Ya udah. Kamu pulang aja, Yan. Ini udah malam juga.”
“Siap,
Pak Bos. Oh ya, tadi dikasih tahu sama orang yang punya rumah makan. Katanya,
kalo mau telur ikan, harus cari ikan yang lagi bertelur.”
“Iya.
Kalo nggak bertelur ya nggak ada telurnya,” sahut Yeriko menahan geram.
“Eh,
maksudnya ... beli ikannya sendiri, Pak Bos.”
“Ya
udah, biar diurus Bibi War besok pagi.”
“Oke.
Kalo gitu, saya tutup teleponnya ya, Pak. Sudah kan?”
“Iya.”
Yeriko langsung mematikan telepon. Ia menatap wajah Yuna yang sudah tertidur
pulas di pangkuannya. Ia mengelus lembut rambut Yuna. Kemudian membenarkan
posisi tidur Yuna agar lebih nyaman.
Keesokan
harinya ...
Yuna
bekerja seperti biasanya. Namun, ia merasa ada hal aneh yang terjadi di
kantornya. Semua orang menatapnya dengan tatapan risih. Hal ini benar-benar
mengganggu pikirannya.
“Huu
....mata-mata Galaxy datang!” celetuk salah seorang karyawan yang tak asing
lagi di mata Yuna.
“Kamu
ngomong apa, barusan?” tanya Yuna kesal.
“Mata-mata
Galaxy!” tegas Juan sambil menatap Yuna santai.
Yuna
mengerutkan keningnya. Selama ini, hubungan kerja antara dia dan Juan baik-baik
saja. Entah kenapa pria muda yang satu ini mulai mencari masalah dengan Yuna.
“Herjuan,
kamu kenapa sih? Tiba-tiba fitnah aku kayak gini!?” sentak Yuna kesal.
“Sekarang,
semua orang udah tahu kalau Galaxy mau akuisisi Wijaya Group. Kamu kan istrinya
pemilik Galaxy itu. Kenapa kerja di sini? Bukannya perusahaan suami kamu itu
lebih gede?” tanya Juan.
“Aku
nggak ada hubungannya sama perusahaan suamiku.”
Juan
tertawa lebar. “Nggak mungkin nggak ada hubungannya. Di berita sudah tersebar
luas kalau Wijaya Group ini dulunya perusahaan ayah kamu.”
Yuna
tertawa kecil menanggapi ucapan Juan. “Terus, kalian takut sama kehadiran aku
di sini?”
Juan
terdiam.
“Seandainya
Galaxy emang bener-bener ambil alih saham Wijaya Group. Kalian nggak perlu
takut. Kalian nggak akan kehilangan pekerjaan cuma karena pindah bendera.”
“Oh
... jadi, kamu emang beneran jadi mata-mata di sini supaya suami kamu bisa
lebih mudah ambil alih perusahaan ini?” tanya yang lainnya.
“Yun,
Pak Lian itu baik banget sama kamu. Kenapa kamu mengkhianati dia?”
“Iya,
Yun. Kami juga nggak mau kerja di bawah kepemimpinan Galaxy yang otoriter itu.”
“Otoriter?
Kalian tahu dari mana kalau suamiku begitu?” tanya Yuna. Ia tetap tidak mau
kalah berdebat dengan beberapa karyawan yang mencurigai dirinya sebagai
mata-mata.
“Semua
orang di dunia bisnis kenal sama suami kamu, Si Raja Iblis Berdarah Dingin itu.
Terkenal kejam dan nggak punya perasaan.”
Yuna
tersenyum kecil. “Dia selalu melindungi karyawan-karyawannya. Kalo nggak,
karyawan dia nggak akan ada yang loyal, setia bekerja di bawah kepemimpinan
dia.”
“Kamu
belain suami kamu yang kejam itu?”
“Iya,
dong. Suamiku cuma kejam sama orang-orang yang cari masalah kayak kalian!” seru
Yuna. Ia berbalik dan bergegas kembali ke ruangannya.
“Kesel
banget aku. Kenapa sih Juan itu cari gara-gara sama aku? Biasanya, dia
baik-baik aja.” Yuna merebahkan tubuhnya ke kursi dengan kesal.
“Yun
...!” panggil Icha dari balik pintu.
“Masuk,
Cha!”
“Bu
Citra ada nggak?”
“Nggak
ada. Lagi di ruangan Lian.”
Icha
masuk ke ruangan Yuna dan duduk di kursi yang ada si hadapan Yuna. “Juan ngajak
berantem?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Kenapa sih sama anak itu? Biasanya nggak begitu.”
“Kayaknya,
dia sakit hati sama kamu.”
“Sakit
hati kenapa?”
“Aku
baru tahu kalau ternyata, dia diam-diam suka sama kamu.”
“Hah!?”
“Iya.
Emangnya dia pernah nembak kamu, Yun?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Gila aja dia tuh. Aku kan udah nikah. Kenapa juga
berani-beraninya mau saingan sama Yeriko. Sekarang, dia kelakuannya kayak gitu
malah bikin aku makin benci sama dia.”
“Bener
banget, Yun. Sekarang, dia mulai deketin aku.”
“What!?
Dia nggak tahu kalo kamu udah punya pacar?”
“Aku
udah bilang, tapi dia masih nggak percaya dan masih aja ngejar-ngejar aku.”
“Iih
...kok, dia kayak gitu sih?”
“Iya.
Aku pikir, selama ini dia baik sama kita emang karena temen kerja. Nggak
nyangka kalau ternyata dia memendam perasaan. Tadi pagi dia nembak aku dan aku
baru tahu semuanya.”
“Dia
nembak kamu? Terus-terus?”
“Ya
aku tolak. Aku bilang udah punya pacar. Dia tetep keukeuh mau deketin aku. Dia
bilang, selama janur kuning belum melengkung, aku masih milik semua orang.
Kurang ajar nggak tuh?”
“Hmm
... kayaknya, ini anak minta dikasih pelajaran. Gimana, kalo kita kerjain dia?”
“Gimana
caranya?” tanya Icha.
Yuna
langsung membisikkan rencananya ke telinga Icha.
Icha
manggut-manggut sambil tersenyum sebagai tanda mengerti.
“Ya
udah, sekarang kamu datengin si Juan sana!” perintah Yuna.
“Oke.”
Icha bergegas bangkit dan keluar dari ruang kerja.
Yuna
tertawa kecil dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Ide jahilnya mulai bermunculan,
apalagi saat ini ia bekerjasama dengan Lutfi yang tak kalah jahil.
(( Bersambung ... ))
Gimana reaksi Lutfi kalo pacarnya digangguin? Tunggu besok lagi ya
Dukung terus cerita ini dengan cara kasih review baik di
kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment