Wednesday, July 9, 2025

Perfect Hero Bab 238 || Triple Couple || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jhen, makasih banget karena kamu nggak pernah berhenti ngasih perhatian walau selama ini aku nggak pernah menyadarinya. Aku janji, mulai hari ini aku yang bakal bikinin kamu sarapan setiap hari,” tutur Chandra sambil menatap Jheni.

 

Jheni tersenyum kecil. “Sarapan doang?”

 

“Makan siang, makan malam. Mmh ... kapan pun kamu mau makan, aku bakal siapin buat kamu.”

 

“Hmm ... bisa dipertimbangkan.” Jheni manggut-manggut sambil menggigit apel yang masih ads di tangannya.

 

Chandra langsung menyambar gigitan apel yang belum sempurna masuk ke bibir Jheni.

 

Jheni tertegun. Apel yang ia genggam menggelundung ke lantai. “Kamu ...!?”

 

Chandra tersenyum kecil. Ia langsung mengunyah dan menelan potongan apel yang ada di dalam mulutnya.

 

“Lancang,” celetuk Jheni sambil menahan senyum.

 

“Eh!? Apa?”

 

“Lancang!” sahut Jheni meninggikan suaranya.

 

Chandra langsung menarik tengkuk Jheni dan mengecup bibir gadis itu. “Kayak gini lancangnya?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.

 

“Kamu ...!?”

 

“Masih kurang lancang?” tanya Chandra. Ia kembali mengecup bibir Jheni dan menghisapnya kuat-kuat hingga Jheni kesulitan mengendalikan dirinya lagi.

 

“Ciyee ...!” Suara Yuna langsung membuat Chandra dan Jheni melepas ciumannya. “Udah baikan nih?” tanyanya sambil menatap Jheni.

 

“Yun, kamu kenapa ke sini nggak bilang dulu?” tanya Jheni.

 

“Sejak kapan aku mau ke sini harus bilang dulu?” tanya Yuna.

 

“Kita nggak boleh ke sini?” Icha ikut menggoda Jheni.

 

“Nggak gitu. Kalo tahu kalian mau ke sini ...”

 

“Chandra nggak ngasih tahu kamu?” tanya Yuna sambil meletakkan beberapa kantong plastik berisi makanan dan minuman.

 

Jheni langsung menoleh ke arah Chandra.

 

“Lupa.” Chandra meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Ah, udahlah. Kita bawa makanan banyak nih. Saatnya makan-makan!” seru Lutfi sambil duduk di sofa dan langsung mengeluarkan makanan yang dibawa oleh Yuna dan Yeriko.

 

“Aku juga masak banyak,” tutur Chandra.

 

“Oh. Jadi, kamu masak banyak karena udah tahu mereka mau ke sini?” tanya Jheni.

 

Chandra mengangguk.

 

“Kenapa nggak bilang sama aku?”

 

“Kamu ngambek terus. Aku jadi lupa mau ngomong sama kamu.”

 

“Kapan aku ngambek!?” dengus Jheni.

 

“Iya, nggak ngambek,” sahut Chandra. Ia bergegas ke dapur dan menyiapkan hidangan di atas meja makan.

 

“Ayo, kalian makan dulu!” pinta Chandra.

 

Semua orang langsung bergegas menuju meja makan.

 

“Chan, kami udah dapet siapa orang yang udah ngejebak Jheni di lokasi perjudian itu,” tutur Yeriko sambil melemparkan beberapa lembar kertas ke hadapan Chandra.

 

“Kamu beneran nggak pernah ngutang ke mereka kan, Jhen?” tanya Yuna.

 

Jheni menggelengkan kepala. “Kenapa tiba-tiba aku bisa punya hutang banyak banget ke mereka?” tanya Jheni pada dirinya sendiri.

 

“Itu cuma rekayasa aja yang dibuat-buat sama Amara,” tutur Lutfi.

 

“AMARA!?” Yuna, Jheni dan Icha bertanya berbarengan.

 

Chandra menghela napas dan meletakkan kertas-kertas itu ke atas meja begitu aja.

 

“Amara yang punya hutang banyak sama preman-preman itu. Dialihkan atas nama Jheni semua. Kelakuan siapa lagi kalau bukan suaminya yang tukang judi itu,” jelas Lutfi.

 

“Dia jahat banget sih!?” tutur Yuna. “Kalo emang dia nggak suka sama Jheni, nggak harus kayak gitu juga kali. Toh, Jheni nggak pernah nyakitin dia. Jheni selalu bersikap baik sama Amara. Bahkan, waktu Amara masuk rumah sakit kemarin, Jheni bawain sarapan ke sana.”

 

“Kamu beneran ke rumah sakit?” Chandra langsung menoleh ke arah Jheni.

 

Jheni mengangguk sambil tersenyum.

 

“Kenapa kita nggak ketemu?”

 

“Jelas nggak ketemu. Orang Jheni nggak jadi masuk gara-gara lihat ka-” Yuna menghentikan ucapannya karena Jheni langsung menendang kaki Yuna yang ada di bawah meja.

 

“Lihat apa?” tanya Chandra.

 

“Lihat kamu pelukan sama Amara,” sahut Yeriko.

 

“Jadi, karena itu kamu menghindar terus dari aku?” tanya Chandra.

 

“Aku nggak menghindar. Emang kamu yang nggak hubungi aku sama sekali,” sahut Jheni.

 

“Aku ...” Chandra mengerutkan dahi sambil menatap Jheni. Ia mengepal tangan dan membuang pandangannya. Ia tidak bisa mengelak apa yang diucapkan  oleh Jheni.

 

“Nggak baik berantem depan makanan,” tutur Yuna. “Kalian udah baikan. Yang terjadi kemarin, nggak usah dibahas lagi!” pinta Yuna.

 

“Iya. Mending bahas rencana pernikahan kamu yang udah deket lagi,” sahut Icha.

 

“Yakin?” goda Yuna. “Ntar kamu baper.”

 

“Iih ... nggak,” sahut Icha sambil tertawa kecil.

 

“Nggak baper, Yun. Cuma pengen nikah juga.” Jheni menimpali.

 

“Hahaha.” Semua orang tergelak. Mereka menikmati makan malam penuh suka cita.

 

Usai makan malam, mereka berpindah ke sofa ruang tamu yang tak jauh dari meja makan.

 

“Tangan kamu udah nggak sakit?” tanya Yuna sambil memeluk lengan Yeriko.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

Yuna menyandarkan kepalanya di dada Yeriko. “Jangan bikin aku khawatir lagi ya!”

 

Yeriko tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia mengelus lembut pundak Yuna.

 

“Huu ... enak banget yang udah jadi suami istri. Mesra-mesraan terus di mana-mana,” celetuk Jheni yang memilih duduk di lantai sambil menikmati kacang rebus.

 

“Kamu kan udah jadian sama Chandra. Bisa mesra-mesraan juga,” sahut Lutfi.

 

Jheni memonyongkan bibirnya.

 

“Eh, main kartu yuk!” ajak Lutfi sambil mengeluarkan kartu remi dari dalam saku jaketnya.

 

“Ayo!” sahut Jheni penuh semangat.

 

“Aku nggak bisa main beginian,” tutur Icha.

 

“Nggak usah! Biar aku yang wakilin kamu main.” Lutfi langsung menarik Icha untuk duduk lebih dekat dengannya.

 

“Kamu main nggak, Yun?” tanya Jheni yang melihat Yuna masih bersandar di dada Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Yeri aja!”

 

“Kamu ini, nempel mulu ke Yeri kayak pulut,” celetuk Icha.

 

“Kenapa? Ngiri?” sahut Yuna.

 

“Nganan aku, Yun,” tutur Jheni. “Kamu jadi cewek agresif banget.”

 

“Biar aja,” sahut Yuna sambil menjulurkan lidahnya ke arah Jheni.

 

“Puas banget yang jadi suami kalo punya istri agresif. Bukan suami yang minta jatah, tapi istri yang minta dienak-enakin terus,” celetuk Lutfi.

 

“Hush, kamu ini ngomong apa sih?” Icha langsung menoleh ke arah Lutfi.

 

“Kamu masih piyek, nggak ngerti,” jawab Lutfi.

 

“Piyek apaan?” tanya Icha.

 

“Anak ayam yang baru menetas itu, bunyinya masih piyek-piyek piyek-piyek,” sahut Lutfi sambil menirukan suara anak ayam.

 

“Hahaha.” Semua orang tertawa melihat tingkah Lutfi.

 

“Iih ... kamu ngolok banget sih!?” dengus Icha. “Tega banget pacar sendiri diolokin.”

 

Lutfi terkekeh sambil menatap Icha. “Nggak Sayangku, cuma bercanda kok.”

 

“Kalo aku masih piyek, Jheni apa dong?” tanya Icha.

 

“Dia lagi kemiwit, lagi enak-enaknya. Cobain, Chan!” goda Lutfi sambil menatap Chandra.

 

“Kemiwit apaan?” tanya Icha lagi.

 

“Kemiwit itu ... mmh ... ayam yang udah siap dikawinin. Hahaha.”

 

Jheni langsung melemparkan kulit kacang ke arah Lutfi dengan kesal.

 

“Omonganmu, Lut. Koyo ra tau sinau,” sahut Chandra.

 

“Jangan ngomong pake bahasa jawa! Aku nggak ngerti,” sahut Jheni.

 

Lutfi tertawa kecil menanggapi ucapan  Jheni. “Kamu harus belajar bahasa jawa, Jhen! Bapaknya Chandra orangnya jawa banget. Tiap hari pake blankon sama kain lurik.”

 

“Serius?” tanya Jheni.

 

“Loh, nggak percaya, Jhen? Kamu tahu nggak dalang wayang kulit paling terkenal di Jawa?”

 

“Siapa?” tanya Jheni.

 

“Nggak tahu. Hahaha.” Lutfi tergelak.

 

“Uh, kirain mau bilang kalo bapaknya Chandra dalang wayang,” celetuk Jheni.

 

“Bercanda, Jhen. Serius banget nanggepinnya.”

 

Mereka terus bercanda sambil bermain kartu.

 

“Eh, si Yuna tidur,” tutur Jheni sambil menatap wajah Yuna yang terlelap di pelukan Yeriko.

 

“Iya. Enak banget dia tidur,” sahut Icha.

 

“Yer, tidurkan di kamarku aja dulu!” pinta Jheni.

 

“Nggak usah,” sahut Yeriko sambil mengeratkan pelukannya.

 

“Kamu nggak pegel disenderin kayak gitu?” tanya Jheni.

 

Yeriko menggeleng sambil menatap beberapa kartu yang ada di tangannya.

 

“Kamu tuh Yer, sayang banget sama istri,” tutur Jheni.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil sambil mengecup ujung kepala Yuna. Baginya, Yuna adalah sumber kebahagiaan dalam keluarganya. Ia tak akan pernah lelah melakukan semua hal untuk istri tercintanya.

 

 

(( Bersambung ... ))

Ah, Author baper ...

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih  review baik di kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas