“Jhen,
makasih banget karena kamu nggak pernah berhenti ngasih perhatian walau selama
ini aku nggak pernah menyadarinya. Aku janji, mulai hari ini aku yang bakal
bikinin kamu sarapan setiap hari,” tutur Chandra sambil menatap Jheni.
Jheni
tersenyum kecil. “Sarapan doang?”
“Makan
siang, makan malam. Mmh ... kapan pun kamu mau makan, aku bakal siapin buat
kamu.”
“Hmm
... bisa dipertimbangkan.” Jheni manggut-manggut sambil menggigit apel yang
masih ads di tangannya.
Chandra
langsung menyambar gigitan apel yang belum sempurna masuk ke bibir Jheni.
Jheni
tertegun. Apel yang ia genggam menggelundung ke lantai. “Kamu ...!?”
Chandra
tersenyum kecil. Ia langsung mengunyah dan menelan potongan apel yang ada di
dalam mulutnya.
“Lancang,”
celetuk Jheni sambil menahan senyum.
“Eh!?
Apa?”
“Lancang!”
sahut Jheni meninggikan suaranya.
Chandra
langsung menarik tengkuk Jheni dan mengecup bibir gadis itu. “Kayak gini
lancangnya?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
“Kamu
...!?”
“Masih
kurang lancang?” tanya Chandra. Ia kembali mengecup bibir Jheni dan
menghisapnya kuat-kuat hingga Jheni kesulitan mengendalikan dirinya lagi.
“Ciyee
...!” Suara Yuna langsung membuat Chandra dan Jheni melepas ciumannya. “Udah
baikan nih?” tanyanya sambil menatap Jheni.
“Yun,
kamu kenapa ke sini nggak bilang dulu?” tanya Jheni.
“Sejak
kapan aku mau ke sini harus bilang dulu?” tanya Yuna.
“Kita
nggak boleh ke sini?” Icha ikut menggoda Jheni.
“Nggak
gitu. Kalo tahu kalian mau ke sini ...”
“Chandra
nggak ngasih tahu kamu?” tanya Yuna sambil meletakkan beberapa kantong plastik
berisi makanan dan minuman.
Jheni
langsung menoleh ke arah Chandra.
“Lupa.”
Chandra meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ah,
udahlah. Kita bawa makanan banyak nih. Saatnya makan-makan!” seru Lutfi sambil
duduk di sofa dan langsung mengeluarkan makanan yang dibawa oleh Yuna dan
Yeriko.
“Aku
juga masak banyak,” tutur Chandra.
“Oh.
Jadi, kamu masak banyak karena udah tahu mereka mau ke sini?” tanya Jheni.
Chandra
mengangguk.
“Kenapa
nggak bilang sama aku?”
“Kamu
ngambek terus. Aku jadi lupa mau ngomong sama kamu.”
“Kapan
aku ngambek!?” dengus Jheni.
“Iya,
nggak ngambek,” sahut Chandra. Ia bergegas ke dapur dan menyiapkan hidangan di
atas meja makan.
“Ayo,
kalian makan dulu!” pinta Chandra.
Semua
orang langsung bergegas menuju meja makan.
“Chan,
kami udah dapet siapa orang yang udah ngejebak Jheni di lokasi perjudian itu,”
tutur Yeriko sambil melemparkan beberapa lembar kertas ke hadapan Chandra.
“Kamu
beneran nggak pernah ngutang ke mereka kan, Jhen?” tanya Yuna.
Jheni
menggelengkan kepala. “Kenapa tiba-tiba aku bisa punya hutang banyak banget ke
mereka?” tanya Jheni pada dirinya sendiri.
“Itu
cuma rekayasa aja yang dibuat-buat sama Amara,” tutur Lutfi.
“AMARA!?”
Yuna, Jheni dan Icha bertanya berbarengan.
Chandra
menghela napas dan meletakkan kertas-kertas itu ke atas meja begitu aja.
“Amara
yang punya hutang banyak sama preman-preman itu. Dialihkan atas nama Jheni
semua. Kelakuan siapa lagi kalau bukan suaminya yang tukang judi itu,” jelas
Lutfi.
“Dia
jahat banget sih!?” tutur Yuna. “Kalo emang dia nggak suka sama Jheni, nggak
harus kayak gitu juga kali. Toh, Jheni nggak pernah nyakitin dia. Jheni selalu
bersikap baik sama Amara. Bahkan, waktu Amara masuk rumah sakit kemarin, Jheni
bawain sarapan ke sana.”
“Kamu
beneran ke rumah sakit?” Chandra langsung menoleh ke arah Jheni.
Jheni
mengangguk sambil tersenyum.
“Kenapa
kita nggak ketemu?”
“Jelas
nggak ketemu. Orang Jheni nggak jadi masuk gara-gara lihat ka-” Yuna
menghentikan ucapannya karena Jheni langsung menendang kaki Yuna yang ada di
bawah meja.
“Lihat
apa?” tanya Chandra.
“Lihat
kamu pelukan sama Amara,” sahut Yeriko.
“Jadi,
karena itu kamu menghindar terus dari aku?” tanya Chandra.
“Aku
nggak menghindar. Emang kamu yang nggak hubungi aku sama sekali,” sahut Jheni.
“Aku
...” Chandra mengerutkan dahi sambil menatap Jheni. Ia mengepal tangan dan
membuang pandangannya. Ia tidak bisa mengelak apa yang diucapkan oleh
Jheni.
“Nggak
baik berantem depan makanan,” tutur Yuna. “Kalian udah baikan. Yang terjadi
kemarin, nggak usah dibahas lagi!” pinta Yuna.
“Iya.
Mending bahas rencana pernikahan kamu yang udah deket lagi,” sahut Icha.
“Yakin?”
goda Yuna. “Ntar kamu baper.”
“Iih
... nggak,” sahut Icha sambil tertawa kecil.
“Nggak
baper, Yun. Cuma pengen nikah juga.” Jheni menimpali.
“Hahaha.”
Semua orang tergelak. Mereka menikmati makan malam penuh suka cita.
Usai
makan malam, mereka berpindah ke sofa ruang tamu yang tak jauh dari meja makan.
“Tangan
kamu udah nggak sakit?” tanya Yuna sambil memeluk lengan Yeriko.
Yeriko
menggelengkan kepala.
Yuna
menyandarkan kepalanya di dada Yeriko. “Jangan bikin aku khawatir lagi ya!”
Yeriko
tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia mengelus lembut pundak Yuna.
“Huu
... enak banget yang udah jadi suami istri. Mesra-mesraan terus di mana-mana,”
celetuk Jheni yang memilih duduk di lantai sambil menikmati kacang rebus.
“Kamu
kan udah jadian sama Chandra. Bisa mesra-mesraan juga,” sahut Lutfi.
Jheni
memonyongkan bibirnya.
“Eh,
main kartu yuk!” ajak Lutfi sambil mengeluarkan kartu remi dari dalam saku
jaketnya.
“Ayo!”
sahut Jheni penuh semangat.
“Aku
nggak bisa main beginian,” tutur Icha.
“Nggak
usah! Biar aku yang wakilin kamu main.” Lutfi langsung menarik Icha untuk duduk
lebih dekat dengannya.
“Kamu
main nggak, Yun?” tanya Jheni yang melihat Yuna masih bersandar di dada Yeriko.
Yuna
menggelengkan kepala. “Yeri aja!”
“Kamu
ini, nempel mulu ke Yeri kayak pulut,” celetuk Icha.
“Kenapa?
Ngiri?” sahut Yuna.
“Nganan
aku, Yun,” tutur Jheni. “Kamu jadi cewek agresif banget.”
“Biar
aja,” sahut Yuna sambil menjulurkan lidahnya ke arah Jheni.
“Puas
banget yang jadi suami kalo punya istri agresif. Bukan suami yang minta jatah,
tapi istri yang minta dienak-enakin terus,” celetuk Lutfi.
“Hush,
kamu ini ngomong apa sih?” Icha langsung menoleh ke arah Lutfi.
“Kamu
masih piyek, nggak ngerti,” jawab Lutfi.
“Piyek
apaan?” tanya Icha.
“Anak
ayam yang baru menetas itu, bunyinya masih piyek-piyek piyek-piyek,” sahut
Lutfi sambil menirukan suara anak ayam.
“Hahaha.”
Semua orang tertawa melihat tingkah Lutfi.
“Iih
... kamu ngolok banget sih!?” dengus Icha. “Tega banget pacar sendiri
diolokin.”
Lutfi
terkekeh sambil menatap Icha. “Nggak Sayangku, cuma bercanda kok.”
“Kalo
aku masih piyek, Jheni apa dong?” tanya Icha.
“Dia
lagi kemiwit, lagi enak-enaknya. Cobain, Chan!” goda Lutfi sambil menatap
Chandra.
“Kemiwit
apaan?” tanya Icha lagi.
“Kemiwit
itu ... mmh ... ayam yang udah siap dikawinin. Hahaha.”
Jheni
langsung melemparkan kulit kacang ke arah Lutfi dengan kesal.
“Omonganmu,
Lut. Koyo ra tau sinau,” sahut Chandra.
“Jangan
ngomong pake bahasa jawa! Aku nggak ngerti,” sahut Jheni.
Lutfi
tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Kamu harus belajar bahasa jawa,
Jhen! Bapaknya Chandra orangnya jawa banget. Tiap hari pake blankon sama kain
lurik.”
“Serius?”
tanya Jheni.
“Loh,
nggak percaya, Jhen? Kamu tahu nggak dalang wayang kulit paling terkenal di
Jawa?”
“Siapa?”
tanya Jheni.
“Nggak
tahu. Hahaha.” Lutfi tergelak.
“Uh,
kirain mau bilang kalo bapaknya Chandra dalang wayang,” celetuk Jheni.
“Bercanda,
Jhen. Serius banget nanggepinnya.”
Mereka
terus bercanda sambil bermain kartu.
“Eh,
si Yuna tidur,” tutur Jheni sambil menatap wajah Yuna yang terlelap di pelukan
Yeriko.
“Iya.
Enak banget dia tidur,” sahut Icha.
“Yer,
tidurkan di kamarku aja dulu!” pinta Jheni.
“Nggak
usah,” sahut Yeriko sambil mengeratkan pelukannya.
“Kamu
nggak pegel disenderin kayak gitu?” tanya Jheni.
Yeriko
menggeleng sambil menatap beberapa kartu yang ada di tangannya.
“Kamu
tuh Yer, sayang banget sama istri,” tutur Jheni.
Yeriko
hanya tersenyum kecil sambil mengecup ujung kepala Yuna. Baginya, Yuna adalah
sumber kebahagiaan dalam keluarganya. Ia tak akan pernah lelah melakukan semua
hal untuk istri tercintanya.
(( Bersambung ... ))
Ah, Author baper ...
Dukung terus cerita ini dengan cara kasih review baik di
kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment