Yuna
terus gelisah selama mengerjakan pekerjaannya di kantor. Tubuhnya di kantor,
tapi pikirannya melayang-layang memikirkan sahabatnya.
“Cha,
kita ke tempat Chandra yuk!” ajak Yuna begitu jam kerja usai.
“Sekarang?”
“Tahun
depan!” sahut Yuna kesal. “Sekaranglah. Mau kapan lagi?”
“Mau
ngapain ke rumah Chandra?”
“Lihat
Jheni.”
“Masih
di rumah Chandra?”
“Kayaknya,
sih.”
“Kamu
pastikan dulu!”
Yuna
langsung merogoh ponsel dan menelepon Jheni. Ia berjalan mondar-mandir di depan
pintu kantor sambil menunggu Yeriko menjemputnya.
“Halo
...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Halo
...!” balas seseorang dari ujung telepon.
“Chandra?”
“Iya,
Yun.”
“Jheni
masih di rumah kamu?”
“Aku
sekarang udah di rumah Jheni.”
“Dianya
mana?”
“Lagi
mandi.”
“Kalian
udah baikan?” tanya Yuna tanpa basa-basi.
“Lagi
usaha.”
“Lagi
usaha, lagi usaha. Awas kalo sampe bikin dia nangis lagi!”
“Iya,
nggak.”
“Iya
atau nggak!?”
“Iya,
nggak bikin Jheni nangis lagi.”
“Awas
kalo sampe bikin dia nangis lagi!” ancam Yuna lagi. “Ah, udahlah. Aku kalo
ngomong sama kamu mau naik darah, Chan. Bilangin ke Jheni, malam ini kita mau
ke sana!”
“Iya.”
Yuna
langsung mematikan panggilan teleponnya. “Sumpah, ini Chandra ngeselin banget!”
makinya sambil menatap layar ponsel.
“Kenapa,
Yun?” tanya Icha.
“Suamiku
itu orangnya cuek, tapi nggak pendiam parah kayak Chandra gini. Kalo diajak
ngomong, cuma iya-nggak, iya-nggak,” omel Yuna.
“Kayaknya
dia nggak pendiem banget. Itu karena kamu super bawelnya. Dia bingung mau
ngomong apa. Dia baru nyahut A, kamu udah ngomong dari A-Z,” celetuk Icha.
“Apa!?
Kamu ngatain aku bawel?”
“Emang
iya, kan?” Icha menjulurkan lidahnya ke arah Yuna.
“Iih
... kamu udah mulai ngolok-ngolok aku ya!?” dengus Yuna sambil mengejar Icha.
Icha
dan Yuna saling tertawa sambil saling menggoda. Mereka baru berhenti saat
Lamborghini milik Yeriko berhenti di hadapan mereka.
“Aku
pulang dulu, ya!” pamit Yuna. “Ntar malam ke rumah Jheni, jam tujuh!” perintah
Yuna.
Icha
mengangguk. Ia melambaikan tangannya dan langsung menuju ke parkiran.
Sementara
itu, Chandra sengaja membuat banyak masakan sambil menemani Jheni di rumahnya.
“Eh!?
Kamu masak banyak banget? Buat siapa aja?” tanya Jheni saat ia selesai mandi.
Ia mengambil satu buah apel dan menggigitnya.
“Buat
kita.”
“Kita?”
Jheni mengernyitkan dahinya. “Emangnya masih ada kita di antara aku dan kamu?”
Jheni melangkah santai meninggalkan Chandra.
“Jhen
...!” Chandra menahan lengan Jheni.
Jheni
memutar kepalanya menatap Chandra. “Apa?” tanyanya santai.
“Maafin
aku!”
“Emang
kamu salah apa ke aku?” tanya Jheni sambil menatap Chandra.
Chandra
menundukkan kepala sambil memijat kening.
Jheni
menatap Chandra kesal, ia langsung menepis tangan Chandra.
“Jheni
...!” Chandra langsung menarik Jheni ke dalam pelukannya. “Maafin aku! Maafin
aku! Maafin aku! Please ...!” bisiknya di telinga Jheni.
Jheni
bergeming. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia ingin berteriak bahagia
karena akhirnya Chandra memeluknya. Tapi, ia juga sedih karena masih ada
bayang-bayang Amara dalam hubungan mereka.
“Jhen,
aku tahu aku salah. Aku sudah nyuekin kamu selama ini. Kamu sibuk mengurus dan
memikirkan aku, sedangkan aku sibuk memikirkan diriku sendiri,” tutur Chandra
sambil mengeratkan pelukannya.
Jheni
memaksa bibirnya untuk tersenyum. Ia menepuk-nepuk bahu Chandra. “Sebagai
seorang teman, memang sudah seharusnya saling peduli kan? Aku nggak papa, kok.”
Jheni melepas pelukannya.
“Kamu
mau maafin aku?” tanya Chandra.
Jheni
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Makasih,
Jhen. Kamu selalu ada buat aku kapan pun. Aku janji, bakal jagain kamu terus.”
Jheni
tertawa kecil. “Kamu nggak perlu repot buat jagain aku. Aku bukan anak kecil.
Lagipula, akhir pekan ini aku mau ke Sumatera.”
“Mau
ngapain?”
“Pulang,”
jawab Jheni sambil menuangkan air putih ke dalam gelas dan meminumnya.
“Berapa
lama?”
“Nggak
tahu. Aku mau cari kehidupan baru di sana.”
“Bukannya
kamu bilang kalau kamu nggak betah tinggal di sana?”
“Dibetah-betahin
aja. Lama-lama juga terbiasa.”
Chandra
terdiam. Ia hanya menatap Jheni. Ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan
isi hatinya.
Jheni
menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan dalam sekali hembusan. Ia tidak tahu
apa yang harus ia lakukan saat ini. Menyatakan perasaannya di hadapan Chandra
atau membiarkan dirinya pergi dengan memendam semua perasaan dalam hatinya.
Hening.
“Aku
...”
“Aku
...”
Jheni
dan Chandra membuka pembicaraan.
“Kamu
duluan!” perintah Jheni.
“Kamu
duluan aja!” sahut Chandra.
“Mmh
... sebelum aku pergi ke Sumatera, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Apa?”
Jheni
menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang
ada di dalam hatinya selama ini.
“Dari
pertama aku ketemu sama kamu, aku udah suka. Sampai akhirnya, aku tahu kamu
punya tunangan. Aku bener-bener putus asa karena aku suka sama tunangan orang.
Tapi ... saat kamu pisah sama Amara, aku ngerasa Tuhan berpihak ke aku. Aku
berharap kamu bisa lihat keberadaanku ...”
“Tapi
aku salah. Kamu bener-bener nggak pernah lihat aku,” lanjut Jheni dengan mata
berkaca-kaca.
Chandra
tertegun menatap wajah Jheni. Air mata yang keluar dari mata Jheni membuat
pikirannya kosong seketika.
“Bohong
kalo aku bilang, aku peduli sama kamu sebagai teman. Aku selalu berharap bisa
lebih dari temen. Waktu aku lihat kamu lebih peduli sama Amara, aku baru sadar
kalo aku salah jatuh cinta. Nggak seharusnya aku jatuh cinta sama orang yang
hatinya sudah dimiliki orang lain.” Jheni mengusap pipinya yang basah.
“Jhen,
aku juga cinta sama kamu. Cuma ...”
“Cuma
lebih cinta lagi sama Amara?” sela Jheni.
“Kamu
cemburu sama Amara?” tanya Chandra balik.
“Astaga!
Kamu bego atau gimana sih!?” sahut Jheni kesal. Ia langsung berbalik dan
melangkah pergi.
“Jheni
... Jhen!” Chandra langsung mengejar Jheni dan memeluk gadis itu dari belakang.
Jheni
menghentikan langkahnya. Ia masih tidak habis pikir dengan sikap Chandra yang
terus menarik ulur hatinya.
“Chan,
aku ini punya hati juga!” sentak Jheni. “Sampai kapan kamu mau mempermainkan
aku kayak gini?” tanya Jheni.
“Aku
nggak berniat mempermainkan kamu sedikit pun. Selama ini, aku nggak punya
keberanian buat ngungkapin perasaanku ke kamu. Malam itu, aku berusaha buat
ngungkapin semuanya. Aku milih nolongin Amara, bukan karena aku masih cinta
sama dia. Tapi karena aku percaya, kamu akan tetap di sisiku, mendukungku, apa
pun yang akan aku hadapi. Saat sama kamu, aku kehilangan rasa takut.”
“Aku
mau kamu tetep di sisiku. Jangan tinggalin aku! Aku butuh kamu,” pinta Chandra
sambil mengerdipkan matanya yang terasa begitu perih.
Jheni
terdiam sesaat. Ia tak menyangka kalau akhirnya, Chandra bisa memintanya untuk
tetap tinggal.
Jheni
memutar tubuhnya menghadap Chandra. “Gimana sama Amara?”
“Amara
itu cuma masa lalu buatku. Dia udah nikah. Aku udah nggak pernah cinta sama
dia.”
“Nggak
pernah cinta?” Jheni tertawa kecil. “Jelas-jelas kamu nggak bisa move on dari
dia selama ini.”
“Beberapa
hari ini aku mencoba memahami diriku sendiri. Perasaanku ke Amara itu bukan
cinta, tapi tanggung jawab. Aku cuma ngerasa bertanggung jawab sama keluarganya
dia. Sama keluarga besar kami dan orang-orang yang mengetahui status hubungan
kami. Aku cuma ngerasa nggak berguna karena udah ngecewain keluarga besar kami.
Aku mati-matian mempertahankan hubunganku sama dia karena keluarga, bukan
karena aku cinta sama dia.”
Jheni
menatap lekat wajah Chandra. Ia tersenyum bahagia karena Chandra akhirnya bisa
membalas cintanya.
“Kamu
nggak akan pergi ninggalin aku kan?” tanya Chandra.
Jheni
tersenyum menanggapi pertanyaan Chandra. “Aku udah beli tiket. Aku bakal tetep
...”
“Aku
ganti uang tiket kamu,” sergah Chandra.
Jheni
tertawa kecil. “Nggak perlu kamu ganti!”
“Jhen,
kamu tetep mau ninggalin aku?”
Jheni
mengangguk sambil tersenyum.
Chandra
tertegun. Ia tidak mengerti cara merayu wanita. Ia tidak tahu apa yang harus ia
lakukan agar Jheni tetap tinggal.
“Huft,
daripada kamu ganti uang tiket aku. Lebih baik kamu pakai buat beli tiket satu
lagi!” tutur Jheni.
“Maksud
kamu ...?”
Jheni
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Chandra
ikut tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Jheni.
(( Bersambung ... ))
Dukung terus cerita ini dengan cara kasih review baik di
kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment