Wednesday, July 9, 2025

Perfect Hero Bab 237 || Menghempas Masa Lalu || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna terus gelisah selama mengerjakan pekerjaannya di kantor. Tubuhnya di kantor, tapi pikirannya melayang-layang memikirkan sahabatnya.

“Cha, kita ke tempat Chandra yuk!” ajak Yuna begitu jam kerja usai.

“Sekarang?”

“Tahun depan!” sahut Yuna kesal. “Sekaranglah. Mau kapan lagi?”

“Mau ngapain ke rumah Chandra?”

“Lihat Jheni.”

“Masih di rumah Chandra?”

“Kayaknya, sih.”

“Kamu pastikan dulu!”

Yuna langsung merogoh ponsel dan menelepon Jheni. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kantor sambil menunggu Yeriko menjemputnya.

“Halo ...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.

“Halo ...!” balas seseorang dari ujung telepon.

“Chandra?”

“Iya, Yun.”

“Jheni masih di rumah kamu?”

“Aku sekarang udah di rumah Jheni.”

“Dianya mana?”

“Lagi mandi.”

“Kalian udah baikan?” tanya Yuna tanpa basa-basi.

“Lagi usaha.”

“Lagi usaha, lagi usaha. Awas kalo sampe bikin dia nangis lagi!”

“Iya, nggak.”

“Iya atau nggak!?”

“Iya, nggak bikin Jheni nangis lagi.”

“Awas kalo sampe bikin dia nangis lagi!” ancam Yuna lagi. “Ah, udahlah. Aku kalo ngomong sama kamu mau naik darah, Chan. Bilangin ke Jheni, malam ini kita mau ke sana!”

“Iya.”

Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya. “Sumpah, ini Chandra ngeselin banget!” makinya sambil menatap layar ponsel.

“Kenapa, Yun?” tanya Icha.

“Suamiku itu orangnya cuek, tapi nggak pendiam parah kayak Chandra gini. Kalo diajak ngomong, cuma iya-nggak, iya-nggak,” omel Yuna.

“Kayaknya dia nggak pendiem banget. Itu karena kamu super bawelnya. Dia bingung mau ngomong apa. Dia baru nyahut A, kamu udah ngomong dari A-Z,” celetuk Icha.

“Apa!? Kamu ngatain aku bawel?”

“Emang iya, kan?” Icha menjulurkan lidahnya ke arah Yuna.

“Iih ... kamu udah mulai ngolok-ngolok aku ya!?” dengus Yuna sambil mengejar Icha.

Icha dan Yuna saling tertawa sambil saling menggoda. Mereka baru berhenti saat Lamborghini milik Yeriko berhenti di hadapan mereka.

“Aku pulang dulu, ya!” pamit Yuna. “Ntar malam ke rumah Jheni, jam tujuh!” perintah Yuna.

Icha mengangguk. Ia melambaikan tangannya dan langsung menuju ke parkiran.

 

Sementara itu, Chandra sengaja membuat banyak masakan sambil menemani Jheni di rumahnya.

“Eh!? Kamu masak banyak banget? Buat siapa aja?” tanya Jheni saat ia selesai mandi. Ia mengambil satu buah apel dan menggigitnya.

“Buat kita.”

“Kita?” Jheni mengernyitkan dahinya. “Emangnya masih ada kita di antara aku dan kamu?” Jheni melangkah santai meninggalkan Chandra.

“Jhen ...!” Chandra menahan lengan Jheni.

Jheni memutar kepalanya menatap Chandra. “Apa?” tanyanya santai.

“Maafin aku!”

“Emang kamu salah apa ke aku?” tanya Jheni sambil menatap Chandra.

Chandra menundukkan kepala sambil memijat kening.

Jheni menatap Chandra kesal, ia langsung menepis tangan Chandra.

“Jheni ...!” Chandra langsung menarik Jheni ke dalam pelukannya. “Maafin aku! Maafin aku! Maafin aku! Please ...!” bisiknya di telinga Jheni.

Jheni bergeming. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia ingin berteriak bahagia karena akhirnya Chandra memeluknya. Tapi, ia juga sedih karena masih ada bayang-bayang Amara dalam hubungan mereka.

“Jhen, aku tahu aku salah. Aku sudah nyuekin kamu selama ini. Kamu sibuk mengurus dan memikirkan aku, sedangkan aku sibuk memikirkan diriku sendiri,” tutur Chandra sambil mengeratkan pelukannya.

Jheni memaksa bibirnya untuk tersenyum. Ia menepuk-nepuk bahu Chandra. “Sebagai seorang teman, memang sudah seharusnya saling peduli kan? Aku nggak papa, kok.” Jheni melepas pelukannya.

“Kamu mau maafin aku?” tanya Chandra.

Jheni menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Makasih, Jhen. Kamu selalu ada buat aku kapan pun. Aku janji, bakal jagain kamu terus.”

Jheni tertawa kecil. “Kamu nggak perlu repot buat jagain aku. Aku bukan anak kecil. Lagipula, akhir pekan ini aku mau ke Sumatera.”

“Mau ngapain?”

“Pulang,” jawab Jheni sambil menuangkan air putih ke dalam gelas dan meminumnya.

“Berapa lama?”

“Nggak tahu. Aku mau cari kehidupan baru di sana.”

“Bukannya kamu bilang kalau kamu nggak betah tinggal di sana?”

“Dibetah-betahin aja. Lama-lama juga terbiasa.”

Chandra terdiam. Ia hanya menatap Jheni. Ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya.

Jheni menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan dalam sekali hembusan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Menyatakan perasaannya di hadapan Chandra atau membiarkan dirinya pergi dengan memendam semua perasaan dalam hatinya.

 

Hening.

 

“Aku ...”

“Aku ...”

Jheni dan Chandra membuka pembicaraan.

“Kamu duluan!” perintah Jheni.

“Kamu duluan aja!” sahut Chandra.

“Mmh ... sebelum aku pergi ke Sumatera, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”

“Apa?”

Jheni menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang ada di dalam hatinya selama ini.

“Dari pertama aku ketemu sama kamu, aku udah suka. Sampai akhirnya, aku tahu kamu punya tunangan. Aku bener-bener putus asa karena aku suka sama tunangan orang. Tapi ... saat kamu pisah sama Amara, aku ngerasa Tuhan berpihak ke aku. Aku berharap kamu bisa lihat keberadaanku ...”

“Tapi aku salah. Kamu bener-bener nggak pernah lihat aku,” lanjut Jheni dengan mata berkaca-kaca.

Chandra tertegun menatap wajah Jheni. Air mata yang keluar dari mata Jheni membuat pikirannya kosong seketika.

“Bohong kalo aku bilang, aku peduli sama kamu sebagai teman. Aku selalu berharap bisa lebih dari temen. Waktu aku lihat kamu lebih peduli sama Amara, aku baru sadar kalo aku salah jatuh cinta. Nggak seharusnya aku jatuh cinta sama orang yang hatinya sudah dimiliki orang lain.” Jheni mengusap pipinya yang basah.

 

“Jhen, aku juga cinta sama kamu. Cuma ...”

 

“Cuma lebih cinta lagi sama Amara?” sela Jheni.

 

“Kamu cemburu sama Amara?” tanya Chandra balik.

 

“Astaga! Kamu bego atau gimana sih!?” sahut Jheni kesal. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

 

“Jheni ... Jhen!” Chandra langsung mengejar Jheni dan memeluk gadis itu dari belakang.

 

Jheni menghentikan langkahnya. Ia masih tidak habis pikir dengan sikap Chandra yang terus menarik ulur hatinya.

 

“Chan, aku ini punya hati juga!” sentak Jheni. “Sampai kapan kamu mau mempermainkan aku kayak gini?” tanya Jheni.

 

“Aku nggak berniat mempermainkan kamu sedikit pun. Selama ini, aku nggak punya keberanian buat ngungkapin perasaanku ke kamu. Malam itu, aku berusaha buat ngungkapin semuanya. Aku milih nolongin Amara, bukan karena aku masih cinta sama dia. Tapi karena aku percaya, kamu akan tetap di sisiku, mendukungku, apa pun yang akan aku hadapi. Saat sama kamu, aku kehilangan rasa takut.”

 

“Aku mau kamu tetep di sisiku. Jangan tinggalin aku! Aku butuh kamu,” pinta Chandra sambil mengerdipkan matanya yang terasa begitu perih.

 

Jheni terdiam sesaat. Ia tak menyangka kalau akhirnya, Chandra bisa memintanya untuk tetap tinggal.

 

Jheni memutar tubuhnya menghadap Chandra. “Gimana sama Amara?”

 

“Amara itu cuma masa lalu buatku. Dia udah nikah. Aku udah nggak pernah cinta sama dia.”

 

“Nggak pernah cinta?” Jheni tertawa kecil. “Jelas-jelas kamu nggak bisa move on dari dia selama ini.”

 

“Beberapa hari ini aku mencoba memahami diriku sendiri. Perasaanku ke Amara itu bukan cinta, tapi tanggung jawab. Aku cuma ngerasa bertanggung jawab sama keluarganya dia. Sama keluarga besar kami dan orang-orang yang mengetahui status hubungan kami. Aku cuma ngerasa nggak berguna karena udah ngecewain keluarga besar kami. Aku mati-matian mempertahankan hubunganku sama dia karena keluarga, bukan karena aku cinta sama dia.”

 

Jheni menatap lekat wajah Chandra. Ia tersenyum bahagia karena Chandra akhirnya bisa membalas cintanya.

 

“Kamu nggak akan pergi ninggalin aku kan?” tanya Chandra.

 

Jheni tersenyum menanggapi pertanyaan Chandra. “Aku udah beli tiket. Aku bakal tetep ...”

 

“Aku ganti uang tiket kamu,” sergah Chandra.

 

Jheni tertawa kecil. “Nggak perlu kamu ganti!”

 

“Jhen, kamu tetep mau ninggalin aku?”

 

Jheni mengangguk sambil tersenyum.

 

Chandra tertegun. Ia tidak mengerti cara merayu wanita. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan agar Jheni tetap tinggal.

 

“Huft, daripada kamu ganti uang tiket aku. Lebih baik kamu pakai buat beli tiket satu lagi!” tutur Jheni.

 

“Maksud kamu ...?”

 

Jheni tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

Chandra ikut tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Jheni.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih  review baik di kolom komentar. Sapa aku terus supaya aku tidak merasa kesepian ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas