Delana mondar-mandir di depan cermin. Kalau
di lantai kamarnya diletakkan baju kusut, mungkin sudah rapi karena dia sudah
seperti setrikaan. Beberapa kali ia menatap penampilannya yang perlahan berubah
dari penampilannya sewaktu SMA. Ia memerhatikan detil fisiknya satu per satu.
Mulai dari warna kulitnya yang putih, rambutnya yang sudah mencapai bahu dan
warna bibirnya yang terlihat lebih fresh.
Ia menatap tubuhnya di depan cermin.
Sesekali ia mengatur langkahnya bak model terkenal. Ia menghela napas dan
merasa masih ada yang kurang dalam dirinya.
“Delana, show your inner beauty! It’s more important than beautiful!”
bisiknya pada bayangan dirinya di depan cermin.
Delana kembali menghela napasnya.
Membalikkan tubuhnya membelakangi cermin. Ia menatap lantai kamarnya.
“Tapi, apa Chilton bakal lihat kebaikan
seorang wanita. Yang dia lihat pertama kali, pasti kecantikannya,” tuturnya tak
semangat. “Cewek-cewek cantik di kampus saja sudah ditolak, apalagi aku,”
ucapnya pada dirinya sendiri.
“Aargh...!” teriak Delana sembari
mengacak-acak rambutnya. Ia menarik sweeter yang tergantung di belakang pintu
kamarnya dan keluar rumah untuk menghirup udara segar.
Delana berjalan kaki keluar dari gang
rumahnya. Ia menyusuri jalan raya di malam hari. Menikmati keramaian di sekitar
jalan dekat kampus yang padat dengan pedagang kaki lima dan beberapa kafe
tempat tongkrongan anak-anak muda.
Tak heran jika beberapa teman kuliah ada
yang menyapa Delana saat ia melintas. Delana membalas sapaannya dengan ramah
dan meneruskan langkahnya. Ia masih belum mendapatkan tempat yang baik untuk
suasana hatinya. Beberapa pedagang kaki lima sudah ia lewati dan ia tak
bernafsu untuk membeli makanan.
Delana terus berjalan maju, melewati
kerumunan orang. Langkahnya berhenti saat ia mendengar petikan gitar dan suara
penyanyi yang mengalun merdu di tengah-tengah keramaian.
Beberapa orang memilih lesehan
mendengarkan penyanyi cowok yang duduk di kursi kayu sambil bermain gitar.
Delana juga ikut duduk lesehan di paling depan, menikmati suara petikan tidak
terlalu buruk. Ia merasa lebih baik saat mendengarkan suara merdu dengan alunan
musik gitar.
Delana duduk sambil memangku tangannya.
Ia tak begitu mempedulikan orang yang silih berganti duduk di sekitarnya. Ia
menatap sang penyanyi jalanan sembari memangku tangannya. Pikirannya melayang
entah ke mana. Antara alunan musik gitar dan khayalan tingkat tingginya.
“Mau kopi?” Suara cowok di sebelah
Delana membuyarkan lamunannya. Ia menatap gelas kopi yang sudah ada di depan
matanya. Kemudian mengalihkan pandangannya pada cowok yang menawarkan kopi
hangat kepadanya.
“Chilton!?” Delana terkejut karena sosok
cowok yang ada di dekatnya adalah orang yang sedang ia pikirkan. Oh ... tidak! Jangan-jangan ini hanya
halusinasi aja, batin Delana sembari mengerjapkan matanya.
Chilton menyenggol lengan Delana,
“Ngelamun terus dari tadi. Sibuk ngelamunin apa?” tanya Chilton. Ia menarik
telapak tangan Delana dan memaksanya menerima kopi hangat yang ada di
tangannya. “Anggap saja ini balas budi untuk nasi goreng buatanmu tadi pagi.”
Delana menggenggam gelas kopi hangat
tersebut sembari menaikkan kedua alisnya, “Nasi gorengku dibalas dengan segelas
kopi? Buatannya abang-abang pula,” celetuk Delana.
“Aku rasa itu yang paling pantas untuk
malam ini karena cuacanya dingin,” Chilton merapatkan jaketnya.
“Kamu sering nongkrong di sini?” tanya
Delana.
Chilton menganggukkan kepalanya, “Kalau
bete di asrama, ya nongkrong di sini. Suasananya nggak terlalu buruk.”
Delana mengangguk-anggukkan kepalanya
tanda setuju.
“Kamu sering ke sini juga?”
Delana menggelengkan kepalanya, “Aku
lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah ketimbang keluyuran keluar.”
“Oh ya? Kenapa sekarang ada di sini?”
tanya Chilton.
“Aku lagi bete.”
“Bete? Kenapa?”
Delana bergeming, ia tidak mungkin
menjawab kalau orang yang telah membuat suasana hatinya tak karuan adalah cowok
yang sedang mengajukan pertanyaan itu.
Chilton masih menatap Delana, menunggu
jawaban.
“Akhir-akhir ini Ayah sering lembur.
Adik aku juga sering keluar rumah. Aku nggak punya teman cerita di rumah.”
“Ibu kamu?” Chilton bertanya dengan
hati-hati karena Delana tak menyebutkan nama ibunya.
“Sudah meninggal dari aku masih kecil.
Aku cuma tinggal sama Ayah dan adik laki-lakiku.”
“Oh, maaf,” Chilton tak lagi banyak
bertanya, sebab ia tahu rasanya tinggal bersama orang tua tunggal. Ia bisa
mengerti bagaimana perasaan Delana.
“Nggak apa-apa,” Delana tersenyum
menatap Chilton.
“Kak, kacang goreng?” Tiba-tiba seorang
anak kecil menghampiri Chilton dan menawarkan kacang untuknya.
“Nggak, Dek,” Chilton langsung menolak
tanpa berpikir panjang.
“Berapaan kacangnya?” tanya Delana pada
anak kecil tersebut.
“Seribuan, Kak.”
“Ya sudah. Kakak beli dua puluh ribu,
ya!” Delana merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh
ribuan. Anak kecil tersebut langsung membungkus kacang yang dibeli Delana dan
kembali berkeliling untuk menjual kacang gorengnya.
“Beli banyak banget buat apa?” tanya
Chilton pada Delana.
“Buat bantu dia.”
“Dia?”
Delana menganggukkan kepalanya, “Aku
kasihan lihat anak-anak masih kecil sudah bekerja keras jualan keliling seperti
itu.” Delana menatap anak kecil yang masih menjajakan kacang gorengnya.
“Seharusnya mereka jam segini ada di dalam rumah. Belajar, nonton TV atau
sekedar bercanda bareng keluarganya.”
Chilton ikut menatap anak itu sembari
mencerna kata-kata Delana. Ya, seharusnya anak itu bisa menikmati masa
kecilnya. Dan ia tidak melihat itu.
Chilton menatap wajah cantik Delana yang
masih terus memerhatikan anak kecil itu.
Delana menarik pandangannya dari anak
kecil itu. Ia mendapati Chilton sedang menatap wajahnya dari jarak yang begitu
dekat. Membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pandangan mereka bertemu selama
beberapa menit. Suara petikan gitar dari musisi jalanan yang ada di depan
mereka membuat suasana semakin romantis. Musisi tersebut sengaja menyanyikan
lagu romantis karena mengira Chilton dan Delana berpacaran.
Delana mulai salah tingkah dan
mengalihkan pandangannya pada musisi jalanan yang masih bernyanyi. Sementara
Chilton masih enggan mengalihkan pandangannya. Ia masih ingin menikmati wajah
cantik Delana.
Delana mulai ikut menyanyikan lagu yang
dinyanyikan musisi jalanan tersebut untuk mengalihkan rasa groginya. Entah
kenapa Chilton masih memandangnya seperti itu. Delana mulai tak nyaman dengan
tatapan Chilton. Ia menyenggol lengan Chilton, “Ngelamun mulu!”
“Aku nggak ngelamun.”
“Terus apa?”
“Lagi nyari sesuatu.”
Delana menaikkan kedua alisnya, “Nyari
sesuatu kok lihatin aku terus?” tanya Delana dengan jantung berdebar.
Chilton tertawa kecil. Ia tak menjawab
pertanyaan Delana. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana?” tanya Delana.
“Mau balik. Udah malam.” Chilton
menunjuk arloji di tangannya.
“Oh.”
“Kamu masih mau di sini?”
“Iya.”
“Nggak baik perempuan ada di luar rumah
malam-malam begini,” ucap Chilton sambil ngeloyor pergi meninggalkan Delana.
Delana langsung bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan kaki pulang ke rumah.
***
Delana mematung di depan cermin. Ia
menatap dirinya sendiri yang merasa kurang percaya diri jika harus mendapatkan
cinta dari Chilton. Berpenampilan sederhana tidak cukup untuk menarik perhatian
cowok yang ia sukai. Lagipula, cowok akan tertarik pada cewek pertama kali
karena penampilannya.
Delana meraih ponselnya untuk mencari
salon perawatan kecantikan terbaik di kotanya. Hari ini ia memutuskan untuk
membuat penampilannya lebih baik.
Setelah ia mendapat salon dengan review
terbaik dari beberapa pelanggannya, Delana langsung memutuskan untuk pergi ke
sana secepatnya.
Belum sampai keluar dari rumah, Delana
teringat akan dua sahabatnya, Belvina dan Ivona. Ia langsung merogoh saku
tasnya dan meraih ponsel dari dalam tas.
“Halo, Ivona!”
“.....”
“Ke salon, yuk!”
“.....”
“Oke. Aku tunggu di sana ya! Nanti aku
share lokasinya,” Delana langsung menutup telepon dan kembali menelepon Belvi.
“Bel, kamu di mana?” tanya Delana begitu
teleponnya tersambung.
“Di rumah,” jawab Belvi.
“Ke salon yuk!” ajak Delana.
“Hah!? Mau ngapain?”
“Perawatan dong.”
“Oh, kirain mau kawinan.”
“Idih, bukan salon pengantin. Ke salon
kecantikan.”
Belvi tergelak. “Salon mana?” tanyanya.
“Aku kirimin alamatnya lewat WA. Kita
ketemu di sana aja. Gimana?”
“Hmm...”
“Ayo lah!”
“Boleh, deh. Aku mandi dulu ya!”
“Cewek apaan jam segini belum mandi?”
“Eh, ini kan hari libur. Kalo nggak ke
mana-mana ya nggak mandi. Lagian, aku belum nyuci baju juga, nih.”
“Nggak usah dicuci.”
“Widih, bau dong bajuku.”
“Iih, pokoknya cepetan ya! Aku tunggu di
salon. Awas kalo nggak dateng!” ancam Delana.
“Oke, Bosku. Nanti aku nyusul. Aku mandi
sama nyuci dulu.”
“Jangan lama-lama nyucinya!”
“Iyaa, nyuci pake mesin cuci juga,” ucap
Belvi gemas. “Nda lama. Ku gigit juga kamu nih!”
“Hehehe.. aku tunggu di sana ya!” seru
Delana dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia mengirim alamat ke Belvi
dan Ivona, kemudian keluar dari rumah menuju ke salon yang letaknya
berseberangan dengan salah satu mall.
***
Lima belas menit kemudian, Delana sudah
sampai di salon. Resepsionis menyambutnya dengan ramah. Memberikan beberapa
brosur paket harga perawatan kecantikan.
Delana mengamati satu per satu paket
perawatan kecantikan. Mulai dari perawatan wajah sampai tubuh. Dia sama sekali
tidak menguasai dunia kecantikan. Ini juga pertama kalinya ia masuk ke salon
kecantikan.
“Mau paket yang mana, Mbak?” tanya resepsionis.
“Bentar ya, Mbak, saya nunggu
temen-temen saya dulu.”
“Oh, oke, Mbak. Kalau bisa daftar
terlebih dahulu ya, Mbak. Supaya bisa langsung masuk ke antrian,” tutur
karyawan tersebut. “Ini diisi dulu,” Ia menyodorkan kertas kecil yang berisi
formulir data diri dan paket perawatan kecantikan yang akan diambil.
“Oke. Thanks, Mba.” Delana duduk di kursi tunggu sembari mengisi data
dirinya. “Mbak, saya minta dua lagi ya untuk teman saya,” ucap Delana setengah
berteriak.
Karyawan di bagian customer service itu
mengangguk dan memberikan dua lembar kertas pada Delana.
Sembari mengisi formulir, ia mengirim
chat pada Ivona untuk menanyakan paket perawatan kecantikan yang baik untuknya.
Namun, Ivona tak kunjung membalas pesannya.
Sesaat kemudian, cewek cantik bertubuh
tinggi masuk ke dalam ruangan dan menjadi pusat perhatian pelanggan yang sedang
menunggu antrian. Ivona, di manapun ia berada, selalu menimbulkan decak kagum
karena kecantikannya. Tidak hanya para cowok, tapi cewek-cewek juga banyak yang
mengagumi kecantikannya. Bahkan ada emak-emak yang tanpa malu-malu memuji
kecantikan Ivona.
Delana tersenyum menatap kedatangan
sahabatnya. Andai ia secantik Ivona, pasti bisa dengan mudah merebut hati cowok
yang ia sukai.
“Udah dari tadi?” tanya Ivona sembari
duduk di samping Delana.
“Barusan aja.” Delana menyodorkan brosur
pada Ivona, “Kamu mau paket yang mana?” tanya Delana.
“Kamu sendiri ambil paket yang mana?”
tanya Ivona balik.
“Gak tau. Aku bingung.”
“Bingung kenapa?”
“Yang bagus yang mana? Aku belum pernah
perawatan ke salon kayak gini.”
“Kamu mau perawatan wajah aja atau sama
perawatan tubuh?” tanya Ivona.
“Aku mau semuanya. Aku mau semuanya
berubah. Jadi cantik, kayak kamu.”
“Ya udah, sini!” Ivona merebut
kertas-kertas dari tangan Delana dan mengisi paket perawatan kecantikan yang ia
inginkan. Kemudian menyerahkannya ke resepsionis.
Belvi tak kunjung datang sampai mereka
masuk ke ruang perawatan kecantikan. Ia baru datang dua puluh menit kemudian.
Delana sampai tertidur ketika tubuhnya
dipijat lembut.
Empat jam kemudian, mereka selesai
melakukan perawatan wajah dan tubuh.
“Duh, nyalon lama juga ya?” celetuk
Delana begitu mereka keluar dari salon.
“Ya iya, lah. Namanya juga perawatan.
Tapi, enakkan kan? Udah keliatan lebih fresh,” sahut Ivona.
“Iya, sih. Badanku rasanya enteng dan
seger.”
“Aku juga,” sambung Belvi.
“Ya udah, pulang yuk! Kalian ke sini
naik apa?” tanya Ivona.
“Naik angkutan umum,” jawab Delana.
“Aku bawa motor sendiri,” Belvi menunjuk
motor yang terparkir di samping mobil Ivona.
“Ya udah, kamu pulang bareng aku aja!”
pinta Ivona pada Delana.
Delana menganggukkan kepala dan pulang
ke rumah bersama Ivona.
***
Seperti biasa, Delana selalu berangkat
ke kampus lebih pagi agar bisa melihat Chilton yang sedang berlari pagi. Ia
duduk di kursi taman seperti biasa, sembari bermain game online.
Karena dia justru asyik bermain game, ia
tidak menyadari kalau Chilton muncul dari ujung jalan. Berlari ke arahnya dan
langsung duduk di samping Delana sembari mengatur napasnya.
“Apa kamu selalu berangkat sepagi ini?”
tanya Chilton dengan napas tersengal. Ia mengusap keringat yang menetes di
pelipis dengan handuknya.
“Eh!?” Delana menghentikan permainannya
dan menoleh ke arah sumber suara.
Chilton menaikkan kedua alisnya menatap
cewek di sebelahnya itu, menunggu cewek itu memberikan jawaban atas
pertanyaannya.
“Iya. Kamu sudah sarapan?” tanya Delana.
Chilton mengernyitkan dahinya. “Kamu
bawain sarapan buat aku?” dengusnya.
“Hmm.. enggak, sih.”
“Oh, aku kira bawain sarapan lagi,”
Chilton membuang pandangannya.
“Bawa.” Delana mengeluarkan kotak bekal
dari dalam tasnya. “Buat aku sendiri. Tapi, kalau kamu mau. Boleh kamu makan,”
Delana menyodorkan kotak bekal ke hadapan Chilton.
Chilton tersenyum sinis, “Apa kamu pikir
aku cowok yang tega ngebiarin cewek kelaparan karena aku habisin jatah
makannya?”
Delana tertawa keras, membuat Chilton
mengernyitkan dahinya. Kenapa ketawa? Aku
nggak lagi ngelawak, batinnya melihat tawa Delana.
“Aku sudah sarapan di rumah.”
“Kenapa masih bawa bekal?”
“Buat jaga-jaga kalau ada orang yang
belum sarapan,” Delana tersenyum dan menyerahkan kotak bekalnya pada Chilton.
Chilton tersenyum sembari menerima kotak
bekal milik Delana, “Nggak apa-apa aku makan?” tanyanya.
Delana menganggukkan kepala sembari
memberikan sendok pada Chilton.
Chilton membuka kotak bekal. Kali ini,
hanya nasi putih dengan nugget di atasnya yang disusun berbentuk tanda tanya.
Chilton mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang ada di
dalam isi otak Delana. Kenapa ia membuat bekal makan dengan hiasan seperti ini.
Chilton tak bertanya apa pun. Ia
langsung mencomot nugget goreng buatan Delana dan memakannya.
“Mmm, ini buat sendiri atau beli?” tanya
Chilton.
“Buat sendiri.”
“Pantes rasanya beda sama nugget yang
biasa aku beli.”
“Oh ya? Emang bedanya apa?” tanya Delana
pura-pura tak tahu.
“Mmm, yang ini kayak ada rasa sayurnya
gitu.”
“Betul sekali! Seratus buat kamu!” seru
Delana sembari bertepuk tangan riang.
Chilton tertawa kecil sembari
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Delana seperti anak kecil.
“Kamu suka sayur?” tanya Delana.
“Suka,” Chilton menggangguk-anggukkan
kepalanya.
Delana terdiam. Ia tidak tahu mau bicara
apa lagi. Sebab, Chilton juga sedang asyik menikmati sarapannya.
“Aku denger di daerah Sungai Ampal ada
restoran Jepang yang baru buka dan rasanya enak-enak.”
Delana hanya mengangkat sedikit alisnya
mendengar ucapan Chilton. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba cowok itu membahas
restoran Jepang yang baru buka.
Chilton menoleh ke arah Delana yang
sibuk menatap sepatunya sendiri, “Mau ke sana?”
“Eh!?” Delana menoleh ke arah Chilton.
Dia masih bingung dengan pertanyaan itu. Chilton mengajaknya makan di restoran
Jepang atau hanya sekedar bertanya saja?
“Kamu kenapa sih kalau ditanya cuma
plonga-plongo aja!” sentak Chilton mulai kesal.
Delana tercengang melihat Chilton yang
tiba-tiba memarahinya. Delana mengerutkan hidungnya, “Kamu nanyanya nggak
jelas! Nanya aku mau ke sana atau nggak, atau mau ngajak aku jalan?” sahut
Delana ketus.
“Aku nanya. Kamu mau ke sana atau
enggak?”
“Mmmh, mau. Tapi, nggak tahu kapan.”
“Jam tiga sore, aku tunggu depan gang.”
“Hah!?”
“Nggak denger?”
“Denger.”
“Oke. Makasih sarapannya!” Chilton
mengembalikan kotak bekal yang sudah kosong ke pangkuan Delana. Ia bergegas
melanjutkan lari pagi dan kembali ke asrama.
***
Delana menari-nari riang gembira di
dalam kamarnya. Ia tak menyangka kalau Chilton akan mengajaknya makan di luar.
Ia tak sabar menunggu jam tiga sore. Ia merasa waktu begitu lama bergulir, ia
sudah bersiap sejak jam dua siang. Ia hanya memoleskan sedikit bedak dan
lipstik di bibirnya. Ia sama sekali tidak suka memakai make up tebal dan menor.
Satu jam menunggu, waktu yang ia rasa
menjadi sangat lama. Ia merasa waktu seperti berhenti dan jarum jam tak kunjung
bergerak menuju jam tiga sore.
Sebenarnya ia juga kurang paham kenapa
Chilton mengajaknya makan sore. Kenapa tidak mengajak makan malam di tempat
yang romantis? Ah, itu adalah momen untuk berkencan. Tidak mungkin Chilton
mengajaknya makan malam romantis seperti di film-film. Tak apa bagi Delana.
Makan sore pun cukup membuat hatinya berbunga-bunga.
Lima belas menit sebelum jam tiga, ia
sudah keluar rumah menuju gang rumahnya. Tak lama menunggu, mobil Brio warna
kuning berhenti tepat di depannya. Pemilik mobil membuka kaca mobilnya dan
langsung memanggil Delana.
“Ayo, masuk!” pinta Chilton yang
ternyata mengendarai mobil tersebut.
Delana tercengang. Ia tidak tahu kalau
ternyata Chilton memiliki mobil pribadi. Kenapa
tinggal di asrama kampus kalau punya kendaraan sendiri, batin Delana.
“Malah ngelamun. Ayo, masuk!”
Delana tersenyum, ia melangkahkan kaki
dan masuk ke kursi belakang mobil.
Chilton menghela napas sembari
menghantupkan kepalanya ke kursi, “Apa kamu pikir aku supir taksi?”
“Hah!?”
“Aduh...!” Chilton menggaruk dahinya
yang tidak gatal. “Kamu ini terlalu polos atau gimana sih?” lanjutnya. “Duduk
di sini!” pinta Chilton sembari menunjuk kursi di sebelahnya.
Delana menghela napasnya. Ia turun dari
mobil dan kembali masuk lewat pintu depan. Ia tak menyangka kalau cowok yang
tadinya lebih banyak diam ini ternyata punya sisi cerewet yang membuat Delana
tidak bisa berkata-kata.
“Nah, gitu!” Chilton memperbaiki posisi
duduknya dan langsung menyalakan mesin mobil.
Delana menanggapinya dengan memasang
senyum paling manis sedunia walau dalam hatinya ingin mengomel karena dia
selalu saja salah di mata Chilton.
“Kamu bisa masak makanan Jepang?” tanya
Chilton.
“Belum pernah coba,” jawab Delana tanpa
menoleh sedikitpun.
Chilton tak bertanya lagi. Mereka saling
diam di dalam mobil dan merasa suasana begitu kaku.
“Mau makan apa?” tanya Chilton begitu
sampai di restoran Jepang yang mereka inginkan.
“Mmh..” Delana menarik menu makanan yang
sudah disediakan di meja reservasi dan melihat menunya satu per satu. “Aku mau
ini aja, deh.” Delana menunjuk salah satu menu Mie Ramen.
“Minumnya?” tanya Chilton.
“Lemon tea, aja.”
“Oke. Mbak!” panggilnya pada pelayan
yang bertugas di meja reservasi. “Pesen yang ini... ini... ini... sama ini ya!”
Chilton menunjuk menu makanan yang ada di daftar menu tersebut.
Mereka memilih duduk di pojok ruangan
dekat jendela.
“Kamu suka masakan Jepang?” tanya
Delana.
“Hmm... nggak terlalu. Tapi, emang ada
beberapa yang aku suka. Kayak Mie Ramen, aku suka banget!”
Delana memainkan bibirnya membentuk
huruf O.
“Kamu bisa masak makanan Jepang?” tanya
Chilton.
Delana mengerutkan keningnya. Bukannya Chilton sudah mengajukan pertanyaan
yang sama di mobil tadi? Kenapa dia masih bertanya lagi, batinnya.
“Aku belum pernah coba. Biasa masak
makanan Indonesia aja.”
“Hmm... iya juga. Makanan Indonesia
lebih enak.”
“Lebih cocok di lidah orang Indonesia.
Kalo orang luar negeri ya cocoknya dengan masakan negara mereka juga.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu suka makanan western atau Indonesia?”
“Aku suka makanan enak,” Chilton menahan
senyum menatap Delana saat pelayan restoran datang menghidangkan pesanan
mereka.
“Yee... itu mah semua orang suka!”
celetuk Delana sambil tertawa. Ia tak menyangka kalau Chilton juga punya sisi
humoris di balik sikap dinginnya.
Mereka menikmati makan sore bersama.
Sesekali Delana mengajak Chilton bercanda dan berhasil membuat cowok dingin itu
tersenyum dan tertawa.
Untuk pertama kalinya Chilton merasa
bibirnya begitu mudah tersenyum di hadapan cewek ini. Dia merasa nyaman berada
di dekat Delana. Bahkan, ia juga tidak sungkan mengomeli Delana yang hanya
ditanggapi dengan candaan dan kerap kali membuatnya semakin geram. Dia lebih
kesal lagi saat Delana justru diam dan melongo setiap kali ia bertanya sesuatu.
Entah kenapa dia merasa kesal saat Delana bersikap cuek, padahal dia sendiri
seringkali tak menghiraukan orang lain bicara.
Setelah selesai makan, Chilton mengajak
Delana berkunjung ke SMA Lima yang terkenal sebagai sekolah paling Elit di kota
Balikpapan. Karena mereka datang sore hari, mereka hanya bertemu dengan
murid-murid yang sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Beberapa
siswa ada yang bermain basket, drum band, dan cheetleaders.
“Kak Chilton ...!” Beberapa murid cewek
menyerbu Chilton. Mereka sibuk meminta foto bareng. Membuat Delana sedikit
menjauh dari kerumunan cewek SMA yang mengerubungi Chilton seperti semut sedang
berebut gula.
Chilton yang menyadari Delana menjauh
langsung menyibakkan kerumunan cewek SMA dan menarik lengan Delana.
“Kakak jalan dulu, ya!” pamit Chilton
sembari menggenggam tangan Delana dan mengajaknya berjalan keliling sekolah.
Membuat semua cewek-cewek yang melihatnya gigit jari karena iri.
0 komentar:
Post a Comment