Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Monday, June 9, 2025

Then Love Bab 3 : Rasa yang Tak Biasa || Teenlit Story by Vella Nine

 


Delana mondar-mandir di depan cermin. Kalau di lantai kamarnya diletakkan baju kusut, mungkin sudah rapi karena dia sudah seperti setrikaan. Beberapa kali ia menatap penampilannya yang perlahan berubah dari penampilannya sewaktu SMA. Ia memerhatikan detil fisiknya satu per satu. Mulai dari warna kulitnya yang putih, rambutnya yang sudah mencapai bahu dan warna bibirnya yang terlihat lebih fresh.

 

Ia menatap tubuhnya di depan cermin. Sesekali ia mengatur langkahnya bak model terkenal. Ia menghela napas dan merasa masih ada yang kurang dalam dirinya.

 

“Delana, show your inner beauty! It’s more important than beautiful!” bisiknya pada bayangan dirinya di depan cermin.

 

Delana kembali menghela napasnya. Membalikkan tubuhnya membelakangi cermin. Ia menatap lantai kamarnya.

 

“Tapi, apa Chilton bakal lihat kebaikan seorang wanita. Yang dia lihat pertama kali, pasti kecantikannya,” tuturnya tak semangat. “Cewek-cewek cantik di kampus saja sudah ditolak, apalagi aku,” ucapnya pada dirinya sendiri.

 

“Aargh...!” teriak Delana sembari mengacak-acak rambutnya. Ia menarik sweeter yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan keluar rumah untuk menghirup udara segar.

 

Delana berjalan kaki keluar dari gang rumahnya. Ia menyusuri jalan raya di malam hari. Menikmati keramaian di sekitar jalan dekat kampus yang padat dengan pedagang kaki lima dan beberapa kafe tempat tongkrongan anak-anak muda.

 

Tak heran jika beberapa teman kuliah ada yang menyapa Delana saat ia melintas. Delana membalas sapaannya dengan ramah dan meneruskan langkahnya. Ia masih belum mendapatkan tempat yang baik untuk suasana hatinya. Beberapa pedagang kaki lima sudah ia lewati dan ia tak bernafsu untuk membeli makanan.

 

Delana terus berjalan maju, melewati kerumunan orang. Langkahnya berhenti saat ia mendengar petikan gitar dan suara penyanyi yang mengalun merdu di tengah-tengah keramaian.

 

Beberapa orang memilih lesehan mendengarkan penyanyi cowok yang duduk di kursi kayu sambil bermain gitar. Delana juga ikut duduk lesehan di paling depan, menikmati suara petikan tidak terlalu buruk. Ia merasa lebih baik saat mendengarkan suara merdu dengan alunan musik gitar.

 

Delana duduk sambil memangku tangannya. Ia tak begitu mempedulikan orang yang silih berganti duduk di sekitarnya. Ia menatap sang penyanyi jalanan sembari memangku tangannya. Pikirannya melayang entah ke mana. Antara alunan musik gitar dan khayalan tingkat tingginya.

 

“Mau kopi?” Suara cowok di sebelah Delana membuyarkan lamunannya. Ia menatap gelas kopi yang sudah ada di depan matanya. Kemudian mengalihkan pandangannya pada cowok yang menawarkan kopi hangat kepadanya.

 

“Chilton!?” Delana terkejut karena sosok cowok yang ada di dekatnya adalah orang yang sedang ia pikirkan. Oh ... tidak! Jangan-jangan ini hanya halusinasi aja, batin Delana sembari mengerjapkan matanya.

 

Chilton menyenggol lengan Delana, “Ngelamun terus dari tadi. Sibuk ngelamunin apa?” tanya Chilton. Ia menarik telapak tangan Delana dan memaksanya menerima kopi hangat yang ada di tangannya. “Anggap saja ini balas budi untuk nasi goreng buatanmu tadi pagi.”

 

Delana menggenggam gelas kopi hangat tersebut sembari menaikkan kedua alisnya, “Nasi gorengku dibalas dengan segelas kopi? Buatannya abang-abang pula,” celetuk Delana.

 

“Aku rasa itu yang paling pantas untuk malam ini karena cuacanya dingin,” Chilton merapatkan jaketnya.

 

“Kamu sering nongkrong di sini?” tanya Delana.

 

Chilton menganggukkan kepalanya, “Kalau bete di asrama, ya nongkrong di sini. Suasananya nggak terlalu buruk.”

 

Delana mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

 

“Kamu sering ke sini juga?”

 

Delana menggelengkan kepalanya, “Aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah ketimbang keluyuran keluar.”

 

“Oh ya? Kenapa sekarang ada di sini?” tanya Chilton.

 

“Aku lagi bete.”

 

“Bete? Kenapa?”

 

Delana bergeming, ia tidak mungkin menjawab kalau orang yang telah membuat suasana hatinya tak karuan adalah cowok yang sedang mengajukan pertanyaan itu.

 

Chilton masih menatap Delana, menunggu jawaban.

 

“Akhir-akhir ini Ayah sering lembur. Adik aku juga sering keluar rumah. Aku nggak punya teman cerita di rumah.”

 

“Ibu kamu?” Chilton bertanya dengan hati-hati karena Delana tak menyebutkan nama ibunya.

 

“Sudah meninggal dari aku masih kecil. Aku cuma tinggal sama Ayah dan adik laki-lakiku.”

 

“Oh, maaf,” Chilton tak lagi banyak bertanya, sebab ia tahu rasanya tinggal bersama orang tua tunggal. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Delana.

 

“Nggak apa-apa,” Delana tersenyum menatap Chilton.

 

“Kak, kacang goreng?” Tiba-tiba seorang anak kecil menghampiri Chilton dan menawarkan kacang untuknya.

 

“Nggak, Dek,” Chilton langsung menolak tanpa berpikir panjang.

 

“Berapaan kacangnya?” tanya Delana pada anak kecil tersebut.

 

“Seribuan, Kak.”

 

“Ya sudah. Kakak beli dua puluh ribu, ya!” Delana merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Anak kecil tersebut langsung membungkus kacang yang dibeli Delana dan kembali berkeliling untuk menjual kacang gorengnya.

 

“Beli banyak banget buat apa?” tanya Chilton pada Delana.

 

“Buat bantu dia.”

 

“Dia?”

 

Delana menganggukkan kepalanya, “Aku kasihan lihat anak-anak masih kecil sudah bekerja keras jualan keliling seperti itu.” Delana menatap anak kecil yang masih menjajakan kacang gorengnya. “Seharusnya mereka jam segini ada di dalam rumah. Belajar, nonton TV atau sekedar bercanda bareng keluarganya.”

 

Chilton ikut menatap anak itu sembari mencerna kata-kata Delana. Ya, seharusnya anak itu bisa menikmati masa kecilnya. Dan ia tidak melihat itu.

 

Chilton menatap wajah cantik Delana yang masih terus memerhatikan anak kecil itu.

 

Delana menarik pandangannya dari anak kecil itu. Ia mendapati Chilton sedang menatap wajahnya dari jarak yang begitu dekat. Membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pandangan mereka bertemu selama beberapa menit. Suara petikan gitar dari musisi jalanan yang ada di depan mereka membuat suasana semakin romantis. Musisi tersebut sengaja menyanyikan lagu romantis karena mengira Chilton dan Delana berpacaran.

 

Delana mulai salah tingkah dan mengalihkan pandangannya pada musisi jalanan yang masih bernyanyi. Sementara Chilton masih enggan mengalihkan pandangannya. Ia masih ingin menikmati wajah cantik Delana.

 

Delana mulai ikut menyanyikan lagu yang dinyanyikan musisi jalanan tersebut untuk mengalihkan rasa groginya. Entah kenapa Chilton masih memandangnya seperti itu. Delana mulai tak nyaman dengan tatapan Chilton. Ia menyenggol lengan Chilton, “Ngelamun mulu!”

 

“Aku nggak ngelamun.”

 

“Terus apa?”

 

“Lagi nyari sesuatu.”

 

Delana menaikkan kedua alisnya, “Nyari sesuatu kok lihatin aku terus?” tanya Delana dengan jantung berdebar.

 

Chilton tertawa kecil. Ia tak menjawab pertanyaan Delana. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya.

 

“Mau ke mana?” tanya Delana.

 

“Mau balik. Udah malam.” Chilton menunjuk arloji di tangannya.

 

“Oh.”

 

“Kamu masih mau di sini?”

 

“Iya.”

 

“Nggak baik perempuan ada di luar rumah malam-malam begini,” ucap Chilton sambil ngeloyor pergi meninggalkan Delana.

 

Delana langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kaki pulang ke rumah.

 

 

 

***

 

Delana mematung di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri yang merasa kurang percaya diri jika harus mendapatkan cinta dari Chilton. Berpenampilan sederhana tidak cukup untuk menarik perhatian cowok yang ia sukai. Lagipula, cowok akan tertarik pada cewek pertama kali karena penampilannya.

 

Delana meraih ponselnya untuk mencari salon perawatan kecantikan terbaik di kotanya. Hari ini ia memutuskan untuk membuat penampilannya lebih baik.

 

Setelah ia mendapat salon dengan review terbaik dari beberapa pelanggannya, Delana langsung memutuskan untuk pergi ke sana secepatnya.

 

Belum sampai keluar dari rumah, Delana teringat akan dua sahabatnya, Belvina dan Ivona. Ia langsung merogoh saku tasnya dan meraih ponsel dari dalam tas.

 

“Halo, Ivona!”

 

“.....”

 

“Ke salon, yuk!”

 

“.....”

 

“Oke. Aku tunggu di sana ya! Nanti aku share lokasinya,” Delana langsung menutup telepon dan kembali menelepon Belvi.

 

“Bel, kamu di mana?” tanya Delana begitu teleponnya tersambung.

 

“Di rumah,” jawab Belvi.

 

“Ke salon yuk!” ajak Delana.

 

“Hah!? Mau ngapain?”

 

“Perawatan dong.”

 

“Oh, kirain mau kawinan.”

 

“Idih, bukan salon pengantin. Ke salon kecantikan.”

 

Belvi tergelak. “Salon mana?” tanyanya.

 

“Aku kirimin alamatnya lewat WA. Kita ketemu di sana aja. Gimana?”

 

“Hmm...”

 

“Ayo lah!”

 

“Boleh, deh. Aku mandi dulu ya!”

 

“Cewek apaan jam segini belum mandi?”

 

“Eh, ini kan hari libur. Kalo nggak ke mana-mana ya nggak mandi. Lagian, aku belum nyuci baju juga, nih.”

 

“Nggak usah dicuci.”

 

“Widih, bau dong bajuku.”

 

“Iih, pokoknya cepetan ya! Aku tunggu di salon. Awas kalo nggak dateng!” ancam Delana.

 

“Oke, Bosku. Nanti aku nyusul. Aku mandi sama nyuci dulu.”

 

“Jangan lama-lama nyucinya!”

 

“Iyaa, nyuci pake mesin cuci juga,” ucap Belvi gemas. “Nda lama. Ku gigit juga kamu nih!”

 

“Hehehe.. aku tunggu di sana ya!” seru Delana dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia mengirim alamat ke Belvi dan Ivona, kemudian keluar dari rumah menuju ke salon yang letaknya berseberangan dengan salah satu mall.

 

 

 

***

 

Lima belas menit kemudian, Delana sudah sampai di salon. Resepsionis menyambutnya dengan ramah. Memberikan beberapa brosur paket harga perawatan kecantikan.

 

Delana mengamati satu per satu paket perawatan kecantikan. Mulai dari perawatan wajah sampai tubuh. Dia sama sekali tidak menguasai dunia kecantikan. Ini juga pertama kalinya ia masuk ke salon kecantikan.

 

“Mau paket yang mana, Mbak?” tanya resepsionis.

 

“Bentar ya, Mbak, saya nunggu temen-temen saya dulu.”

 

“Oh, oke, Mbak. Kalau bisa daftar terlebih dahulu ya, Mbak. Supaya bisa langsung masuk ke antrian,” tutur karyawan tersebut. “Ini diisi dulu,” Ia menyodorkan kertas kecil yang berisi formulir data diri dan paket perawatan kecantikan yang akan diambil.

 

“Oke. Thanks, Mba.” Delana duduk di kursi tunggu sembari mengisi data dirinya. “Mbak, saya minta dua lagi ya untuk teman saya,” ucap Delana setengah berteriak.

 

Karyawan di bagian customer service itu mengangguk dan memberikan dua lembar kertas pada Delana.

 

Sembari mengisi formulir, ia mengirim chat pada Ivona untuk menanyakan paket perawatan kecantikan yang baik untuknya. Namun, Ivona tak kunjung membalas pesannya.

 

Sesaat kemudian, cewek cantik bertubuh tinggi masuk ke dalam ruangan dan menjadi pusat perhatian pelanggan yang sedang menunggu antrian. Ivona, di manapun ia berada, selalu menimbulkan decak kagum karena kecantikannya. Tidak hanya para cowok, tapi cewek-cewek juga banyak yang mengagumi kecantikannya. Bahkan ada emak-emak yang tanpa malu-malu memuji kecantikan Ivona.

 

Delana tersenyum menatap kedatangan sahabatnya. Andai ia secantik Ivona, pasti bisa dengan mudah merebut hati cowok yang ia sukai.

 

“Udah dari tadi?” tanya Ivona sembari duduk di samping Delana.

 

“Barusan aja.” Delana menyodorkan brosur pada Ivona, “Kamu mau paket yang mana?” tanya Delana.

 

“Kamu sendiri ambil paket yang mana?” tanya Ivona balik.

 

“Gak tau. Aku bingung.”

 

“Bingung kenapa?”

 

“Yang bagus yang mana? Aku belum pernah perawatan ke salon kayak gini.”

 

“Kamu mau perawatan wajah aja atau sama perawatan tubuh?” tanya Ivona.

 

“Aku mau semuanya. Aku mau semuanya berubah. Jadi cantik, kayak kamu.”

 

“Ya udah, sini!” Ivona merebut kertas-kertas dari tangan Delana dan mengisi paket perawatan kecantikan yang ia inginkan. Kemudian menyerahkannya ke resepsionis.

 

Belvi tak kunjung datang sampai mereka masuk ke ruang perawatan kecantikan. Ia baru datang dua puluh menit kemudian.

 

Delana sampai tertidur ketika tubuhnya dipijat lembut.

 

Empat jam kemudian, mereka selesai melakukan perawatan wajah dan tubuh.

 

“Duh, nyalon lama juga ya?” celetuk Delana begitu mereka keluar dari salon.

 

“Ya iya, lah. Namanya juga perawatan. Tapi, enakkan kan? Udah keliatan lebih fresh,” sahut Ivona.

 

“Iya, sih. Badanku rasanya enteng dan seger.”

 

“Aku juga,” sambung Belvi.

 

“Ya udah, pulang yuk! Kalian ke sini naik apa?” tanya Ivona.

 

“Naik angkutan umum,” jawab Delana.

 

“Aku bawa motor sendiri,” Belvi menunjuk motor yang terparkir di samping mobil Ivona.

 

“Ya udah, kamu pulang bareng aku aja!” pinta Ivona pada Delana.

 

Delana menganggukkan kepala dan pulang ke rumah bersama Ivona.

 

 

 

***

 

Seperti biasa, Delana selalu berangkat ke kampus lebih pagi agar bisa melihat Chilton yang sedang berlari pagi. Ia duduk di kursi taman seperti biasa, sembari bermain game online.

 

Karena dia justru asyik bermain game, ia tidak menyadari kalau Chilton muncul dari ujung jalan. Berlari ke arahnya dan langsung duduk di samping Delana sembari mengatur napasnya.

 

“Apa kamu selalu berangkat sepagi ini?” tanya Chilton dengan napas tersengal. Ia mengusap keringat yang menetes di pelipis dengan handuknya.

 

“Eh!?” Delana menghentikan permainannya dan menoleh ke arah sumber suara.

 

Chilton menaikkan kedua alisnya menatap cewek di sebelahnya itu, menunggu cewek itu memberikan jawaban atas pertanyaannya.

 

“Iya. Kamu sudah sarapan?” tanya Delana.

 

Chilton mengernyitkan dahinya. “Kamu bawain sarapan buat aku?” dengusnya.

 

“Hmm.. enggak, sih.”

 

“Oh, aku kira bawain sarapan lagi,” Chilton membuang pandangannya.

 

“Bawa.” Delana mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. “Buat aku sendiri. Tapi, kalau kamu mau. Boleh kamu makan,” Delana menyodorkan kotak bekal ke hadapan Chilton.

 

Chilton tersenyum sinis, “Apa kamu pikir aku cowok yang tega ngebiarin cewek kelaparan karena aku habisin jatah makannya?”

 

Delana tertawa keras, membuat Chilton mengernyitkan dahinya. Kenapa ketawa? Aku nggak lagi ngelawak, batinnya melihat tawa Delana.

 

“Aku sudah sarapan di rumah.”

 

“Kenapa masih bawa bekal?”

 

“Buat jaga-jaga kalau ada orang yang belum sarapan,” Delana tersenyum dan menyerahkan kotak bekalnya pada Chilton.

 

Chilton tersenyum sembari menerima kotak bekal milik Delana, “Nggak apa-apa aku makan?” tanyanya.

 

Delana menganggukkan kepala sembari memberikan sendok pada Chilton.

 

Chilton membuka kotak bekal. Kali ini, hanya nasi putih dengan nugget di atasnya yang disusun berbentuk tanda tanya. Chilton mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang ada di dalam isi otak Delana. Kenapa ia membuat bekal makan dengan hiasan seperti ini.

 

Chilton tak bertanya apa pun. Ia langsung mencomot nugget goreng buatan Delana dan memakannya.

 

“Mmm, ini buat sendiri atau beli?” tanya Chilton.

 

“Buat sendiri.”

 

“Pantes rasanya beda sama nugget yang biasa aku beli.”

 

“Oh ya? Emang bedanya apa?” tanya Delana pura-pura tak tahu.

 

“Mmm, yang ini kayak ada rasa sayurnya gitu.”

 

“Betul sekali! Seratus buat kamu!” seru Delana sembari bertepuk tangan riang.

 

Chilton tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Delana seperti anak kecil.

 

“Kamu suka sayur?” tanya Delana.

 

“Suka,” Chilton menggangguk-anggukkan kepalanya.

 

Delana terdiam. Ia tidak tahu mau bicara apa lagi. Sebab, Chilton juga sedang asyik menikmati sarapannya.

 

“Aku denger di daerah Sungai Ampal ada restoran Jepang yang baru buka dan rasanya enak-enak.”

 

Delana hanya mengangkat sedikit alisnya mendengar ucapan Chilton. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba cowok itu membahas restoran Jepang yang baru buka.

 

Chilton menoleh ke arah Delana yang sibuk menatap sepatunya sendiri, “Mau ke sana?”

 

“Eh!?” Delana menoleh ke arah Chilton. Dia masih bingung dengan pertanyaan itu. Chilton mengajaknya makan di restoran Jepang atau hanya sekedar bertanya saja?

 

“Kamu kenapa sih kalau ditanya cuma plonga-plongo aja!” sentak Chilton mulai kesal.

 

Delana tercengang melihat Chilton yang tiba-tiba memarahinya. Delana mengerutkan hidungnya, “Kamu nanyanya nggak jelas! Nanya aku mau ke sana atau nggak, atau mau ngajak aku jalan?” sahut Delana ketus.

 

“Aku nanya. Kamu mau ke sana atau enggak?”

 

“Mmmh, mau. Tapi, nggak tahu kapan.”

 

“Jam tiga sore, aku tunggu depan gang.”

 

“Hah!?”

 

“Nggak denger?”

 

“Denger.”

 

“Oke. Makasih sarapannya!” Chilton mengembalikan kotak bekal yang sudah kosong ke pangkuan Delana. Ia bergegas melanjutkan lari pagi dan kembali ke asrama.

 

 

 

***

 

Delana menari-nari riang gembira di dalam kamarnya. Ia tak menyangka kalau Chilton akan mengajaknya makan di luar. Ia tak sabar menunggu jam tiga sore. Ia merasa waktu begitu lama bergulir, ia sudah bersiap sejak jam dua siang. Ia hanya memoleskan sedikit bedak dan lipstik di bibirnya. Ia sama sekali tidak suka memakai make up tebal dan menor.

 

Satu jam menunggu, waktu yang ia rasa menjadi sangat lama. Ia merasa waktu seperti berhenti dan jarum jam tak kunjung bergerak menuju jam tiga sore.

 

Sebenarnya ia juga kurang paham kenapa Chilton mengajaknya makan sore. Kenapa tidak mengajak makan malam di tempat yang romantis? Ah, itu adalah momen untuk berkencan. Tidak mungkin Chilton mengajaknya makan malam romantis seperti di film-film. Tak apa bagi Delana. Makan sore pun cukup membuat hatinya berbunga-bunga.

 

Lima belas menit sebelum jam tiga, ia sudah keluar rumah menuju gang rumahnya. Tak lama menunggu, mobil Brio warna kuning berhenti tepat di depannya. Pemilik mobil membuka kaca mobilnya dan langsung memanggil Delana.

 

“Ayo, masuk!” pinta Chilton yang ternyata mengendarai mobil tersebut.

 

Delana tercengang. Ia tidak tahu kalau ternyata Chilton memiliki mobil pribadi. Kenapa tinggal di asrama kampus kalau punya kendaraan sendiri, batin Delana.

 

“Malah ngelamun. Ayo, masuk!”

 

Delana tersenyum, ia melangkahkan kaki dan masuk ke kursi belakang mobil.

 

Chilton menghela napas sembari menghantupkan kepalanya ke kursi, “Apa kamu pikir aku supir taksi?”

 

“Hah!?”

 

“Aduh...!” Chilton menggaruk dahinya yang tidak gatal. “Kamu ini terlalu polos atau gimana sih?” lanjutnya. “Duduk di sini!” pinta Chilton sembari menunjuk kursi di sebelahnya.

 

Delana menghela napasnya. Ia turun dari mobil dan kembali masuk lewat pintu depan. Ia tak menyangka kalau cowok yang tadinya lebih banyak diam ini ternyata punya sisi cerewet yang membuat Delana tidak bisa berkata-kata.

 

“Nah, gitu!” Chilton memperbaiki posisi duduknya dan langsung menyalakan mesin mobil.

 

Delana menanggapinya dengan memasang senyum paling manis sedunia walau dalam hatinya ingin mengomel karena dia selalu saja salah di mata Chilton.

 

“Kamu bisa masak makanan Jepang?” tanya Chilton.

 

“Belum pernah coba,” jawab Delana tanpa menoleh sedikitpun.

 

Chilton tak bertanya lagi. Mereka saling diam di dalam mobil dan merasa suasana begitu kaku.

 

“Mau makan apa?” tanya Chilton begitu sampai di restoran Jepang yang mereka inginkan.

 

“Mmh..” Delana menarik menu makanan yang sudah disediakan di meja reservasi dan melihat menunya satu per satu. “Aku mau ini aja, deh.” Delana menunjuk salah satu menu Mie Ramen.

 

“Minumnya?” tanya Chilton.

 

“Lemon tea, aja.”

 

“Oke. Mbak!” panggilnya pada pelayan yang bertugas di meja reservasi. “Pesen yang ini... ini... ini... sama ini ya!” Chilton menunjuk menu makanan yang ada di daftar menu tersebut.

 

Mereka memilih duduk di pojok ruangan dekat jendela.

 

“Kamu suka masakan Jepang?” tanya Delana.

 

“Hmm... nggak terlalu. Tapi, emang ada beberapa yang aku suka. Kayak Mie Ramen, aku suka banget!”

 

Delana memainkan bibirnya membentuk huruf O.

 

“Kamu bisa masak makanan Jepang?” tanya Chilton.

 

Delana mengerutkan keningnya. Bukannya Chilton sudah mengajukan pertanyaan yang sama di mobil tadi? Kenapa dia masih bertanya lagi, batinnya.

 

“Aku belum pernah coba. Biasa masak makanan Indonesia aja.”

 

“Hmm... iya juga. Makanan Indonesia lebih enak.”

 

“Lebih cocok di lidah orang Indonesia. Kalo orang luar negeri ya cocoknya dengan masakan negara mereka juga.”

 

Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

“Kamu suka makanan western atau Indonesia?”

 

“Aku suka makanan enak,” Chilton menahan senyum menatap Delana saat pelayan restoran datang menghidangkan pesanan mereka.

 

“Yee... itu mah semua orang suka!” celetuk Delana sambil tertawa. Ia tak menyangka kalau Chilton juga punya sisi humoris di balik sikap dinginnya.

 

Mereka menikmati makan sore bersama. Sesekali Delana mengajak Chilton bercanda dan berhasil membuat cowok dingin itu tersenyum dan tertawa.

 

Untuk pertama kalinya Chilton merasa bibirnya begitu mudah tersenyum di hadapan cewek ini. Dia merasa nyaman berada di dekat Delana. Bahkan, ia juga tidak sungkan mengomeli Delana yang hanya ditanggapi dengan candaan dan kerap kali membuatnya semakin geram. Dia lebih kesal lagi saat Delana justru diam dan melongo setiap kali ia bertanya sesuatu. Entah kenapa dia merasa kesal saat Delana bersikap cuek, padahal dia sendiri seringkali tak menghiraukan orang lain bicara.

 

Setelah selesai makan, Chilton mengajak Delana berkunjung ke SMA Lima yang terkenal sebagai sekolah paling Elit di kota Balikpapan. Karena mereka datang sore hari, mereka hanya bertemu dengan murid-murid yang sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Beberapa siswa ada yang bermain basket, drum band, dan cheetleaders.

 

“Kak Chilton ...!” Beberapa murid cewek menyerbu Chilton. Mereka sibuk meminta foto bareng. Membuat Delana sedikit menjauh dari kerumunan cewek SMA yang mengerubungi Chilton seperti semut sedang berebut gula.

 

Chilton yang menyadari Delana menjauh langsung menyibakkan kerumunan cewek SMA dan menarik lengan Delana.

 

“Kakak jalan dulu, ya!” pamit Chilton sembari menggenggam tangan Delana dan mengajaknya berjalan keliling sekolah. Membuat semua cewek-cewek yang melihatnya gigit jari karena iri.

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas