“Kita dibayar
untuk membunuh orang. Apa kita akan
selamat kalau masih minta uang tebusan?” tanya salah seorang pria gundul kepada
bos mereka.
”Nyawa
perempuan itu cuma dihargai dua ratus juta. Sedangkan dia istri dari konglomerat. Kita bisa minta tebusan milyaran.
Untung mana, hah!?” sahut pria yang kerap dipanggil bos oleh orang-orang di
sana.
”Apa mereka nggak akan menangkap kita juga? Apa
artinya uang milyaran kalau kita masuk penjara?” tanya pria lain yang berambut
keriting.
”Hahaha.” Bos mafia itu tergelak mendengar ucapan
anak buahnya. ”Penjara bukan hal menakutkan buat kita. Coba hitung berapa kali
kita berurusan sama polisi? Sudah puluhan kali. Kasih uang aja ke mereka dan
kita bisa bebas.”
Semua orang yang ada di sana manggut-manggut.
”Jadi, kita nggak bunuh wanita ini? Gimana caranya
kita bisa minta tebusan?” tanya pria gundul yang ada di sana.
”Aku sudah dikasih nomernya sama nona. Dia
perintahkan kita untuk mengalihkan perhatian. Aku akan telepon Mr. Cakra dan
minta dia antarkan uang cash ke kota Manado. Suruh Jono ambil uang itu dan kita
lepaskan perempuan ini,” ucap bos mafia itu.
”Lepaskan gitu aja?” tanya pria berambut keriting.
”Gimana nasib Jono di sana? Nggak mungkin dia bisa dapatkan uangnya kalau dia
nggak bawa tawanan kita.”
”Kamu pikir Jono akan sendirian? Aku sudah siapkan
puluhan anak buah bersenjata api untuk mendampingi dia. Asal kita sudah
dapatkan uangnya, kita tidak perlu memikirkan yang lain. Bahkan, kita bisa
sekaligus membunuh keduanya,” jawab bos mafia tersebut.
Semua orang yang ada di sana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka terus mendiskusikan rencana-rencana jahat dan kerjasama
dengan berbagai pihak yang memerlukan jasa mereka.
Lion yang sedang memasak di dapur, berusaha
memasang telinganya dengan baik agar ia bisa menangkap semua pembicaraan.
Bibirnya menyunggingkan senyum halus ketika mengetahui jika para pembunuh
bayaran itu memilih untuk melepaskan Chessy daripada membunuhnya.
Lion menatap semangkuk bubur yang telah ia siapkan
khusus untuk Chessy. Ia segera melangkah menuju kamar di mana Chessy disekap
oleh penjahat-penjahat itu. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain membantu
Chessy bertahan hidup di tengah hutan belantara tersebut.
”Nona ...!” panggil Lion lirih sembari melangkah
ke dalam kamar Chessy.
Chessy bergeming. Matanya menatap ke arah luar
lewat jendela kecil berukuran 40x40cm yang posisinya lebih tinggi dari
tubuhnya.
”Makan dulu, ya!” pinta Lion. Ia segera menutup
pintu kamar tersebut agar penjaga di luar tidak bisa mendengarkan pembicaraan
mereka. Ia berusaha untuk berbicara selirih mungkin agar tidak ada yang
mencurigai dirinya.
Chessy
menggeleng. ”Gue nggak laper.”
”Lo belum makan dari pagi tadi. Gue telat masakin
buat lo karena ...”
”Sudah empat malam gue di tempat ini. Iya, kan?” Belum
selesai Lion bicara, Chessy sudah memangkasnya dengan pertanyaan.
Chessy memutar tubuhnya menatap Lion. ”Apa yang
orang-orang itu inginkan dari gue?”
Lion melangkah lebih dekat ke tubuh Chessy.
”Makanlah! Gue ceritain sambil lo makan.”
Chessy menatap
semangkuk bubur yang kini sudah ada di hadapannya. ”Apa mereka minta tebusan
sama suami gue, Li?”
Lion mengangguk. Ia segera mengajak Chessy untuk
duduk agar bisa menikmati bubur sembari bercerita bersamanya.
”Ada orang yang memerintahkan mereka buat bunuh
lo,” ucap Lion berbisik. ”Mereka sindikat pembunuh bayaran.”
Mata Chessy terbelalak mendengar ucapan Lion.
”Artinya ... gue bakal tetap mati di tempat ini?”
Lion menggeleng. ”Lo masih punya kesempatan buat
hidup kalo suami lo mau ngasih uang tebusan sesuai dengan permintaan mereka.”
”Jadi, sebenarnya mereka ini pembunuh bayaran atau
penculik?” tanya Chessy lirih.
”Dua-duanya.”
Chessy memejamkan mata sembari menarik napasnya
dalam-dalam. Ia sadar jika ia bukanlah siapa-siapa. Mungkinkah Cakra akan
mengeluarkan sejumlah uang hanya demi dirinya? Bukankah akan lebih mudah
memperistri wanita lain lagi daripada harus kehilangan uang banyak?
Chessy membuka matanya perlahan dan menatap wajah
Lion dengan serius. ”Apa lo tahu berapa nilai yang mereka minta?”
”Gue nggak tahu persis. Yang gue denger … nilainya
milyaran.”
Chessy tertunduk lesu mendengar jawaban Lion.
”Cowok gila mana yang mau ngeluarin duit milyaran buat cewek? Meskipun gue
istrinya, lebih baik dia nikah lagi daripada harus kehilangan banyak uang. Uang
milyaran itu nggak gampang nyarinya. Itu bisa dipake bikin satu perusahaan
lagi.”
”Sst ...! Pelanin suaramu!” pinta Lion berbisik.
Chessy mengangguk. ”Lo tahu kalau gue bukan siapa-siapa,
Li. Apa gue layak diperjuangkan sama Cakra? Ini sudah empat hari, dia belum
muncul juga buat nyelamatin gue. Gue pikir, dia bakal jadi hero kayak di
film-film gitu. Nyatanya, gue nggak tahu nasib gue bakal gimana.”
”Status kita kalau dibandingkan sama dia, emang
jauh banget. Lo beruntung bisa jadi istrinya. Tapi ... jarak status yang
terlalu jauh, bakal bikin lo kesulitan buat ngimbangi dia, Chess.”
”Trus gue harus gimana?”
”Gue juga nggak bisa ngasih saran apa pun. Kalau
lo pengen denger ego gue, gue pengen semuanya balik kayak dulu lagi, Chess.
Kita nggak punya banyak uang, tapi kita happy. Kita punya kebebasan. Kita bisa
pergi ke mana pun tanpa rasa takut. Nggak ada yang mau culik kita karena kita
nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan,” ucap Lion sambil menatap wajah Chessy.
Chessy terdiam. Bayangan masa lalunya bersama Lion
berkelebat di pelupuk matanya. Memang semuanya sangat indah dan menjadi momen
yang sangat ia rindukan. Ia bisa melenggang bebas. Tertawa bersama Lion, Adit,
dan Arabella. Entah kenapa ... hidupnya tiba-tiba berubah drastis setelah ia
pergi berlibur ke Faroe Island dan bertemu dengan Cakra.
”Chess, gue kangen lihat muka ceria lo. Lo yang
selalu energik ngerjain apa pun. Lo yang tetap semangat meski banyak masalah.
Lo yang selalu optimis bakal ngedapatin apa yang lo mau.”
”Sekarang ... lo murung terus kayak gini, gue
nggak tega lihatnya, Chess.”
”Lo bisa keluarin gue dari tempat ini?” tanya
Chessy.
Lion menggeleng. ”Mereka semua bersenjata. Terlalu
berisiko, Chess. Gue nggak bisa ngebantu lo buat pergi dari tempat ini. Tapi
gue bisa bantu lo untuk tetap bertahan hidup sampai suami lo datang buat
selamatin lo, Chess.”
“Apa dia bakal datang, Li?” tanya Chessy dengan
mata berkaca-kaca.
Lion tersenyum. ”Kita berdoa, ya!”
”Kalau dia nggak bisa nemuin gue dan gue harus
mati, gimana?”
Lion terdiam
sambil memegangi kepalanya. “Gue juga bingung, Chess. Gue nggak bisa gegabah
buat bantu lo. Gue nggak mau kalo lo mati dibunuh sama mereka semua karena
kabur dari tempat ini.”
”Bukannya gue juga bakalan mati meski nggak kabur
dari mereka?” tanya Chessy.
Lion menggeleng, ”Nggak, Chess. Lo nggak akan
mati. Gue yang bakal jagain lo. Sekarang, lo harus makan! Lo harus bertahan
hidup. Lo harus sehat! Lo nggak pengen tahu siapa dalang di balik ini semua?”
”Siapa pun itu, gue nggak bakal maafin dia dan gue
bakal bikin perhitungan!” ucap Chessy geram.
”Bener! Kalau gitu. Lo harus makan! Supaya energi
lo tetep terjaga.”
Chessy menatap bubur yang ada di hadapannya. Ia
segera melahap bubur itu perlahan. Ingin sekali ia melahapnya dengan cepat,
tapi hatinya masih saja terganggu dengan keadaan. Setiap malam ia hanya
memikirkan Cakra. Apa Cakra akan datang menolongnya? Sedang ia berada di tengah
hutan belantara yang sangat jauh dari kota Jakarta.
”Li, kalo nanti gue mati … lo pesenin ke Cakra
buat nikah lagi, ya! Gue nggak mau dia sendirian di dunia ini,” pinta Chessy.
“Lo gila, ya! Di mana-mana perempuan pengen
suaminya nggak nikah lagi meski dia udah mati.”
”Dulu gue mikirnya gitu, Li. Tapi sekarang ... gue
jauh lebih sedih kalau lihat dia harus menjalani semuanya sendirian. Nggak ada
satu orang pun yang tahu dia yang sebenarnya. Meski dia bisa pegang dunia dan
seisinya, dia tetap selalu kesepian,” jawab Chessy dengan mata berkaca-kaca.
Lion menghela napas mendengar ucapan Chessy.
”Berhenti buat mikirin orang lain terus, Chess! Lo juga harus mikirin diri lo
sendiri.”
”Nggak bisa, Li. Gue kepikiran dia terus. Gue
nggak bisa mikirin diri gue sendiri kalau dia …”
“Kalau dia kesusahan?”
Chessy mengangguk.
“Lo yakin kalau dia bakal kesusahan? Saat ini, kita
yang lagi dalam keadaan susah, Chess. Kita lagi bertaruh nyawa di sini. Kalau
mereka tahu gue kenal sama lo, mereka bakal bunuh gue duluan.”
Chessy terdiam mendengar ucapan tegas Lion kali
ini. Sepertinya, Lion sudah benar-benar kesal dengan dirinya.
”Gue heran sama lo, Chess. Nggak sama Adit, nggak
sama Cakra, lo tuh bucinnya keterlaluan! Lo ingat gimana dulu lo ngorbanin
semuanya demi Adit? Apa balasan dia ke elo? Nggak menutup kemungkinan kalau
Cakra juga bakal ngelakuin hal yang sama karena mereka sama-sama cowok
berduit!”
”Lo boleh hina Adit, tapi nggak dengan Cakra! Dia
itu beda, Li!” sentak Chessy.
Lion langsung bangkit dari tempat duduknya dan
menjauh dari Chessy. Ia sadar jika suara keras Chessy akan mengundang para
penjaga di luar sana dan membuat semua orang menjadi curiga.
Klek!
”TERSERAH KALAU NGGAK MAU MAKAN! MATI AJA KAMU!
CEPET MATI LEBIH BAGUS! AKU NGGAK USAH CAPEK-CAPEK MASAK BUAT KAMUS SETIAP
HARI” seru Lion dengan nada tinggi ketika menyadari kalau penjaga pintu sedang
membuka pintu kamar tersebut untuk mengecek ia dan Chessy.
Chessy menatap geram ke arah Lion. Ia tahu kalau
Lion sedang berakting dan ia juga harus meladeninya dengan baik. ”LEBIH BAIK
AKU MATI DARIPADA HARUS NURUTI APA MAU KALIAN! AKU PASTIKAN KALAU KALIAN NGGAK
AKAN DAPAT APA-APA DARI SUAMIKU!”
Penjaga yang ada di sana hanya memperhatikan
pertengkaran antara Lion dan Chessy. ”Tinggalkan saja makanannya di dalam!
Tidak perlu ditemani! Kamu terlalu baik.”
Lion mengangguk. ”Sorry!” ucapnya pada Chessy
tanpa suara. Ia segera berbalik dan melangkah keluar dari pintu.
”Gue harus gimana, Ya Tuhan! Gue nggak bisa
nyelamatin Chessy sendirian. Gue nggak bisa lihat dia menderita terlalu lama di
tempat ini. Gue harus cari cara buat hubungi Cakra supaya dia bisa selamatin
Chessy. Gimana caranya gue bisa keluar dari tempat ini tanpa bikin mereka
curiga? Di sini nggak ada sinyal sama sekali,” batin Lion sambil terus
melangkahkan kakinya.
((Bersambung...))

0 komentar:
Post a Comment