Monday, May 26, 2025

The Cakra Bab 125 - How to Save Her? || a Romance Novel by Vella Nine

 


Lion melangkah perlahan memasuki pondok kecil yang berada di belakang bukit dan dipenuhi oleh pepohonan yang lebat. Di punggungnya sudah ada keranjang besar berisi buah dan sayuran yang akan ia bawa ke villa pembunuh bayaran itu.

Lion bisa keluar dari villa setelah berhasil meyakinkan semua penjaga yang ada di sana jika ia membutuhkan banyak bahan makanan untuk makan malam, sementara semua bahan sudah habis. Iya sudah mengatur semuanya agar bahan makanan habis dan dia bisa keluar dari villa itu untuk mencari bahan makanan di hutan.

“Kakek ...!” panggil Lion lirih sambil membuka pintu pondok yang tidak pernah terkunci itu. Dinding pondok yang jarang-jarang, membuatnya bisa melihat tubuh kakek meski ia berada di luar pondok.

Kakek tua yang selama ini mengajari Lion untuk mengendalikan indera keenamnya, langsung menoleh ke arah sumber suara. “Kamu masih di sini? Kakek pikir, kamu sudah kembali ke Jakarta.”

Lion segera meletakkan keranjang buah dan sayuran ke lantai dan duduk bersila di hadapan kakek. Tak lupa ia menyalami dan mencium punggung pria tua itu sebagai tanda hormat.

“Kek, ada hal darurat yang tidak bisa saya ceritakan. Ini berhubungan dengan nyawa seseorang yang sangat penting dalam hidup saya. Kakek sangat tahu siapa orang yang mengirimku ke sini. Siapa pun dia, tolong berikan surat ini secepatnya, Kek! Nyawa kami semua sedang terancam. Sebisa mungkin Kakek jangan melewati villa mewah yang ada di balik bukit ini. Mereka sangat berbahaya. Tolong kami, Kek!” pinta Lion tanpa basa-basi sembari menyodorkan sepucuk surat yang sudah ia tulis agar ia bisa mendapatkan pertolongan. Sebab, tidak ada listrik dan sinyal di hutan itu. Handphone miliknya tak pernah lagi menyala sejak ia tinggal dan berlatih di dalam hutan.

Kakek tua itu mengangguk. “Gunakan kemampuanmu untuk kebaikan. Sebab, orang jahat di bumi sudah sangat banyak. Jika tidak ada kebaikan, dunia ini akan hancur lebih cepat.”

Lion mengangguk. “Terima kasih banyak, Kek! Saya tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Mohon maaf sudah merepotkan Kakek untuk yang kesekian kalinya. Jika saya berhasil mengendalikan semuanya dan bisa kembali ke Jakarta, saya akan ajak Kakek hidup di sana bersama saya.”

Kakek tua itu menggeleng. “Kakek lebih bahagia hidup menyatu dengan alam.”

Lion tersenyum sembari memasangkan kembali keranjang di punggungnya. “Kalau begitu, saya akan sering mengunjungi Kakek. Saya akan kumpulkan banyak uang, supaya bisa sering ke sini,” ucapnya.

Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepala.

Lion segera berpamitan dan bergegas pergi meninggalkan pondok kecil itu. Iya menggendong keranjang berisi buah dan sayur-sayuran yang ia petik dari hutan tersebut, kemudian kembali ke villa untuk memasak dan menyiapkan makan malam.

 

***

 

Di saat bersamaan...

“What they want?” tanya Cakra pada Alvaro karena mereka tidak mendapat kabar apa pun tentang Chessy. Ia berharap ada seseorang yang menghubunginya untuk bernegosiasi. Pikirannya sudah mulai kacau karena ia kehilangan jejak Chessy selama empat hari.

Kalimantan pulau yang sangat luas. Delapan puluh persennya masih hutan dan tidak ada CCTV yang terpasang sepanjang jalan antar kabupaten/kota atau provinsi. Hal inilah yang membuat Cakra kehilangan jejak dan membuatnya nyaris gila.

Drrt... Drrt... Drrt...!

Cakra langsung menatap layar ponselnya yang berdering. Ia enggan mengangkat panggilan telepon dari ibunya tersebut. Ia tidak sanggup jika terus-menerus membohongi ibunya. Ia juga tidak bisa mengatakan tentang apa yang terjadi pada Chessy karena takut jika ibunya akan khawatir dan juga menyalahkan dirinya. Meski ia sudah dewasa dan mampu membuat keputusan sendiri, hal paling menakutkan dalam dirinya adalah mendengar omelan dari sang mama.

“Nggak mau diangkat, Cak?” tanya Alvaro. Meski ia tidak ikut melihat layar handphone Cakra, tapi ia bisa mengetahui jika orang yang menelepon itu adalah ibunya. Sebab, sudah berkali-kali juga Mama Rose menghubunginya dan ia memilih untuk menuruti permintaan Cakra, yakni membohongi ibunya sendiri dengan mengatakan jika Cakra dan Chessy sedang berlibur ke Venezuela.

Cakra menggeleng. “Katakan sana jika aku masih berlibur!”

Tak lama kemudian, ponsel Alvaro berdering dan yang menelepon adalah orang yang sama, yakni Mama Rose.

“Tidak perlu diangkat, Al! Kita fokus saja mencari Chessy. Aku tidak ingin menambah masalah. Mama bisa saja menyusul dan membuat pikiran kita pecah.”

Alvaro mengangguk. Ia sangat setuju dengan Cakra karena Mama Rose tipe ibu yang tidak mau diam dan pastinya akan ikut campur jika itu berurusan langsung dengan keadaan menantunya.

“Cak, kalau kita nggak pernah nemuin Chessy lagi, gimana?” tanya Alvaro sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.

Cakra terdiam. Pertanyaan Alvaro benar-benar menusuk ulu hatinya. Ia baru saja menemukan wanita yang selama ini ia nanti kehadirannya. Ia baru saja merasakan menjadi pria yang sangat dicintai. Bagaimana bisa ia harus kehilangan sebelum ia bisa benar-benar membahagiakan Chessy?

Alvaro menghela napas kasar. “Weslah, Cak. Golek bojo maneh, ae. Piye?” candanya sambil merangkul pundak Cakra.

“Tidak semudah itu, Al.”

“Apanya yang sudah buat seorang Cakra? Kamu tinggal tunjuk aja cewek mana yang mau kamu jadikan istri. Nggak mungkin ada cewek yang nolak meski jadi istri ke sepuluh,” ucap Alvaro menggoda.

Cakra menatap tajam ke arah Alvaro. “Kamu sudah bosan hidup? Aku bisa patahkan kaki dan tanganmu sekarang juga!”

Alvaro tergelak mendengar ancaman Cakra. “Nggak usah terlalu serius gitu! Nggak perlu setegang ini juga, Cak! Rileks ... rileks ... supaya bisa berpikir jernih dan kita dapetin jalan buat nemui. Chessy.”

“Kamu boleh mengajakku bercanda setiap saat. Tapi tidak menjadikan istriku sebagai bahan candaan!” sentak Cakra.

Alvaro terdiam. Ia menghela napas dan memilih untuk diam. Ia tidak tahu lagi cara apa yang bisa ia gunakan untuk menghibur Cakra dan membuat suasana tidak lagi menegangkan. Mengingat adik sepupunya itu sudah tidak tidur selama empat hari empat malam karena mencari keberadaan istrinya.

“Bos, ada telepon dari nomor asing,” ucap Fikri yang sedang mengendarai mobil. Begitu sampai di kota Balikpapan, mereka sudah mendapatkan fasilitas kendaraan dari anak perusahaan yang ada di kota tersebut.

“Cepet angkat! Siapa tahu Chessy!” perintah Alvaro.

Fikri segera menepikan mobilnya terlebih dahulu, kemudian mengangkat telepon.

“Halo ...!”

“Ini Cakra Hadikusuma!?” tanya seseorang dari seberang sana dengan nada suara yang tinggi.

Cakra langsung merebut ponsel dari tangan Fikri. Sementara, Alvaro langsung membuka laptop dan berusaha untuk mengecek lokasi dari si penelepon.

“Kamu siapa?” tanya Cakra.

“Nggak penting aku siapa. Kamu lagi cari istrimu, kan? Istrimu ada di tangan kami.”

“Berani-beraninya kalian menyentuh istriku!” sentak Cakra penuh amarah.

“Hahaha. Emang kamu siapa? Kamu pikir kami takut, hah!?”

“Kembalikan istriku segera atau kuhabisi kalian semua!” ancam Cakra.

“Hahaha. Sebelum kamu menghabisi kami, kami pastikan kalau kami akan menghabisi istrimu lebih dahulu.”

“Kamu!?” Cakra menahan geram mendengar suara seseorang di seberang sana.

“Antarkan uang lima ratus milyar ke kota Manado. Setelah kami menerima uangnya, kami akan melepaskan istrimu!”

“Manado?” Cakra mengerutkan keningnya.

“Ya. Kami kasih waktu 24 jam untuk sampai ke Manado. Jika kami tidak menerima uangnya dalam waktu dua puluh empat jam, akan kami habisi wanita ini dan kami kirimkan kepalanya untukmu!” ancamnya.

Belum sampai menyahut, panggilan telepon tersebut sudah ditutup. Cakra tak lagi punya kesempatan untuk berbicara.

“Fik, kita kembali ke bandara!” perintah Cakra pada Fikri.

“Sebentar, Cak! Lokasi penelepon ini bukan di Manado, tapi di Kalimantan. Jaraknya sekitar 500 mil dari sini,” ucap Alvaro.

Cakra menaikkan sebelah alisnya. “What do you mean?” tanyanya.

“Kemungkinan besar Chessy masih ada di kota ini,” jawab Alvaro. “Biar aku yang pergi ke Manado. Kamu cari keberadaan Chessy di titik koordinat yang sudah aku temukan.”

Cakra mengangguk. “Berapa banyak uang yang kamu butuhkan?”

“Yang penting cukup untuk menggerakkan anggota di Manado,” jawab Alvaro.

“Fik, berapa banyak uang cash yang bisa dikeluarkan hari ini?” tanya Cakra.

“Sesuai perintah Pak Bos. Dana di rekening pribadi unlimited, tidak seperti rekening perusahaan,” jawab Fikri.

“Oke. Ambilkan lima ratus milyar dan kirimkan ke Manado bersama Alvaro!” perintahnya.

“APA!? Kamu nyuruh aku bawa uang cash sebanyak itu? Nggak bisa ditransfer aja? Aku nggak bisa bawa barang terlalu banyak. Lagian, nggak perlu siapin uang sebanyak itu. Begitu aku temuin pennjahatnya, bakal langsung kuhabisi. Mereka nggak akan dapet sepeserpun dari kita.”

“How about my wife?” tanya Cakra.

“Kamu selamatin dia duluan. Setelah berhasil, aku bakal habisi mereka semua tanpa melukai Chessy,” jawab Alvaro.

“Lokasi penelepon itu termasuk lokasi blank spot. Susah dapetin sinyal kecuali mereka punya pemancar sendiri, “ ucap Alvaro lagi.

“So?”

“Kamu juga harus bawa pemancar!” jawab Alvaro sambil mengeluarkan sebuah benda dari tas ranselnya. “Ini pemancar sinyal punyaku. Pakai ini untuk menghubungkiku!”

“Kamu sendiri, bagaimana?”

“Gampang! Nanti aku minta kirimin lagi sama King. Manado itu kota besar, bukan daerah pelosok seperti Sangkulirang,” jawab Alvaro santai. Ia segera mengemas laptop dan beberapa perangkat elektronik miliknya ke dalam ransel.

“Aku turun di sini. Biar aku yang urus penjahat di Manado itu,” ucap Alvaro lagi. “Aku juga sudah minta bantuan dari Polda Kaltim. Mereka akan kirim prajurit terbaik mereka untuk dampingi kalian,” lanjutnya.

“Thank you so much, Al,” ucap Cakra.

“Kita saudara. Nggak perlu sungkan!” sahut Alvaro. Ia segera keluar dari mobil Rubicon tersebut dan membiarkan Fikri melaju kencang meninggalkannys.

 

((Bersambung ...))

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas