“Hai,
Jhen!” sapa Amara begitu melihat Jheni sudah ada di hadapannya. Matanya sayu,
penampilannya berantakan dan ia sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Ia
terlihat seorang diri di dalam private room tersebut.
“Mau
apa ngajak ketemuan?” tanya Jheni tanpa basa-basi.
Amara
tertawa kecil sambil menatap Jheni. “Aku mau kamu jauhin Chandra!” pintanya.
“Bukannya
Chandra udah balik ke kamu lagi? Buat apa masih khawatirin aku?” sahut Jheni.
“Chandra
nggak mau balik ke aku lagi. Semuanya gara-gara kamu!” seru Amara. Ia menatap
Amara penuh kebencian. “Kalau bukan karena kamu, Chandra pasti udah balik ke
aku lagi.”
Jheni
terdiam sesaat. “Jadi, mereka nggak balikan?” batinnya.
“Jhen,
kamu tahu kalau aku udah lama tunangan sama Chandra. Aku bakal ambil Chandra
lagi dari kamu,” tutur Amara.
“Bukannya
kamu selingkuh sama Harry secara terang-terangan. Semua orang juga tahu apa
yang udah kamu lakuin ke Chandra. Sekarang, tiba-tiba kamu nyesel,
nangis-nangis minta balikan sama Chandra? Kamu bener-bener nggak tahu diri!”
sentak Jheni.
“Aku
nggak peduli. Sekarang hidup aku udah berantakan. Aku cuma mau Chandra. Aku
bakal kasih uang berapa pun ke kamu asal kamu ninggalin dia!”
Jheni
tertawa lebar menanggapi ucapan Amara. “Kamu mau beli cintanya Chandra pake
uang? Kamu pikir, uang yang kamu punya itu bisa bikin Chandra balik ke kamu?
Lagian, aku nggak butuh uang kamu!” tegas Jheni.
“Nggak
usah sombong, Jhen! Kamu itu perempuan yang nggak punya kerjaan tetap. Pasti
butuh uang banyak buat ngidupin diri kamu sendiri kan? Kamu mau ngandalin uang
Chandra, hah!?”
“Heh,
jaga mulutmu ya! Kalo nggak kurobek beneran itu mulut. Aku nggak pernah pakai
uang Chandra sepeserpun. Apalagi sampai menggantungkan hidupku sama dia.
Kerjaanku emang nggak tetap, tapi aku nggak kekurangan uang,” sentak Jheni. Ia
semakin kesal dengan Amara yang memandang rendah dirinya.
Amara
tertawa kecil. “Oke. Kalau emang kamu nggak mau uang aku. Gimana kalau kita
taruhan minum? Siapa yang kalah, harus ninggalin Chandra!”
“Jhen,
nggak usah diladeni!” pinta Yuna berbisik.
“Iya,
Jhen. Lagian, Chandra itu kan bukan barang taruhan.” Icha juga ikut mendukung
Yuna.
“Kenapa?
Takut? Nggak berani bertaruh sama aku?”
Jheni
merapatkan bibirnya. “Oke. Aku terima tantangan kamu!” sahut Jheni. Ia tidak
ingin Amara menjatuhkan harga dirinya. Ia yakin, bisa mengalahkan Amara dengan
mudah.
Jheni
dan Amara bersaing minum alkohol.
Amara
tersenyum sambil menatap Jheni. Ia bertepuk tangan, tiba-tiba beberapa preman
masuk ke dalam ruangan tersebut.
Yuna
dan Icha langsung menyadari bahaya yang sedang mengancam mereka.
Salah
seorang preman menarik tubuh Jheni yang sudah mabuk dan membawanya pergi.
“Heh,
kalian nggak boleh bawa dia pergi!” seru Yuna sambil mengejar tubuh Jheni.
Langkahnya tiba-tiba berhenti saat lehernya mendapat pukulan keras. Matanya
tiba-tiba berkunang-kunang, seisi ruangan menjadi buram dan ia tersungkur ke
lantai.
“Yuna!”
Icha langsung berteriak begitu melihat Yuna jatuh pingsan.
“Urus
dia!” perintah Amara.
Preman
tersebut langsung menangkap Icha. Mengikat kedua tangan dan menutup mulut Icha
menggunakan sapu tangan.
“Mmh
... mmh ...” Icha berusaha memberontak. Namun akhirnya tetap tidak berdaya
setelah kedua tangan dan kakinya diikat kuat.
Amara
dan semua preman itu keluar dari private room membawa Jheni.
Icha
berusaha melepaskan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa. Terlebih, mulutnya
dibungkam begitu erat. Membuatnya tidak bisa berteriak minta tolong. Ia
menyenggol tubuh Yuna beberapa kali hingga Yuna tersadar.
Yuna
mengerjapkan mata sambil menatap seluruh ruangan yang samar-samar terlihat dan
mulai jelas. “Icha?” Ia langsung bangkit begitu melihat Icha terikat.
Yuna
langsung melepas kain yang membungkam mulut Icha. “Jheni ke mana?” tanya Yuna
sambil melepas ikatan di tangan Icha.
“Mereka
bawa Jheni pergi,” jawab Icha.
Yuna
langsung mencari ponsel yang ada di dalam tasnya dan bergegas menelepon Yeriko.
“Halo
...!” sapa Yuna dengan napas tersengal sambil membantu ikatan tali yang ada di
kaki Icha.
“Kamu
kenapa?” Suara Yeriko terdengar panik mendengar napas Yuna yang tidak teratur.
“Yer,
Jheni dibawa pergi sama preman-preman itu,” jawab Yuna sambil terisak.
“Hah!?
Kalian di mana sekarang?”
“Aku
di bar, private room nomor dua.”
“Icha?”
“Icha
masih sama aku.”
“Aku
ke sana sekarang. Kamu jangan ke mana-mana!” Yeriko langsung mematikan
panggilan teleponnya.
“Yun,
kamu nggak papa?” tanya Icha.
“Aku
nggak papa. Kamu juga nggak papa ‘kan?”
Icha
mengangguk.
“Mereka
bawa Jheni ke mana?” tanya Yuna gelisah. “Dari awal, aku udah punya firasat
nggak enak. Harusnya kita nggak ke sini.” Yuna menggigit jemarinya. Ia dan Icha
terus mondar-mandir di dalam private room menunggu Yeriko datang.
Di
sisi lain ...
Yeriko
langsung melajukan mobilnya begitu selesai menerima telepon dari Yuna. Ia
bergegas menelepon Chandra dan Lutfi agar keduanya juga segera menuju bar
tempat Yuna dan Icha menunggu mereka.
Yeriko
langsung berlari memasuki private room yang telah ditunjukkan Yuna sebelumnya.
Di belakangnya, Lutfi dan Chandra datang bersamaan secara kebetulan.
“Yuna,
kamu nggak papa?” tanya Yeriko begitu melihat Yuna dan Icha di dalam ruangan.
“Nggak
papa,” jawab Yuna.
“Yuna
dipukul sampe pingsan,” jawab Icha.
“Dipukul?”
Yeriko mengernyitkan dahi. Ia langsung memeriksa leher Yuna yang terluka.
Seketika matanya berapi-api. “Aku nggak akan ngelepasin kalian!” Yeriko
mengepalkan tangan sekuat tenaga dan meninju sofa yang ada di depannya.
“Mereka
bawa Jheni ke mana?” tanya Chandra.
“Kami
nggak tahu.”
“Kenapa
kalian bisa ada di sini sih?” tanya Lutfi. “Ketemu sama preman-preman tanpa
ngabarin kita? Kalian udah hebat, hah!?”
“Kamu
jangan marahin istriku juga!” sahut Yeriko sambil mendorong dada Lutfi. “Dia
udah luka kayak gini, masih sempat-sempatnya kamu marahin!”
“Kenapa
mereka berani datengin preman-preman itu ke sini tanpa ngomong ke kita!?” sahut
Lutfi tak kalah kesal. “Kalau nggak sok hebat, nggak bakal terjadi kayak gini.”
“Lut,
bukan kami yang datangin preman itu. Mereka yang datang ke sini. Kami ke sini
karena Amara yang minta ketemu sama Jheni. Kalo kami nggak ikut sama Jheni,
kita nggak akan tahu apa yang bakal terjadi sama Jheni,” sahut Icha sambil
menatap Lutfi.
“Kalian
punya waktu buat berantem di sini?” tanya Yuna dengan tenang. “Lebih baik
kalian pikirin cara gimana nemuin Jheni sekarang!” serunya.
Semua
orang terdiam.
Dering
ponsel Lutfi memecah keheningan. Lutfi langsung merogoh ponsel dari saku
celananya dan menjawab telepon.
“Halo
...!”
“Halo
... kamu masih ingat aku?” tanya seseorang lewat panggilan video call. “Kita
ketemu lagi.”
“Ben?”
Lutfi menatap wajah preman yang sangat ia kenal.
Preman
pemilik nama Ben itu tersenyum sinis sambil menoleh ke belakangnya.
“Jheni!?”
seru Chandra saat melihat tubuh Jheni terikat di belakang Ben. “Lepasin dia!”
Ben
tertawa kecil. “Nggak semudah itu ngelepasin sandera. Apalagi, dia cukup seksi
dan menggoda,” tuturnya sambil memainkan lidah. Ben menghampiri Jheni dan
mendekatkan wajah mereka ke kamera. “Kalian kenal sama gadis ini?”
“Ben,
kamu mau apa?” tanya Chandra semakin geram melihat sikap Ben.
Ben
menekan rahang Jheni. “Kamu kenal sama mereka?” tanyanya pada Jheni yang
mulutnya terbungkam.
Jheni
menggelengkan kepala sambil melihat semua preman yang ada di sekitarnya. Ia
tidak ingin membuat Chandra dan lainnya masuk dalam bahaya.
“Bohong!”
sentak Ben. Ia langsung melepas rahang Jheni, kemudian merobek lengan baju
Jheni dengan paksa.
“Ben!
Kalau kamu masih sentuh dia, aku bakal bunuh kamu sekarang juga!” sentak
Chandra.
“Hahaha.
Kamu ngancam aku? Sebelum kamu sampai di sini, aku jamin cewek ini udah mati!”
Chandra
membelalakkan matanya. “Mau kamu apa?”
“Aku
mau cewek ini bayar hutang-hutangnya. Kalo dia nggak bisa bayar hutangnya malam ini juga, aku bakal jual dia.” Ben langsung mematikan
sambungan teleponnya.
“Ben
...!” Suara Chandra tak bisa lagi didengar oleh Ben.
Semua
orang di ruangan tersebut saling pandang.
“Aku
rasa Jheni nggak punya hutang sama preman.”
“Kamu
kenal tempat itu, Lut?” tanya Yeriko.
“Pusat
perjudian,” jawab Lutfi.
“Jheni
nggak pernah berhubungan dengan judi. Nggak mungkin dia punya hutang di
perjudian.”
“Ayo,
kita langsung ke sana!” ajak Yeriko.
“Yun,
aku suruh Riyan jemput kamu. Kamu istirahat di rumah!” pinta Yeriko sambil
menggenggam pundak Yuna.
“Tapi
...”
“Percaya
sama aku. Setelah kamu bangun, semuanya udah selesai!”
Yuna
menggenggam tangan Yeriko. Ia sangat takut terjadi apa-apa dengan suaminya.
“Cha,
kamu temenin Yuna. Jangan ke mana-mana sampai Riyan datang!” pinta Yeriko.
Icha
menganggukkan kepala.
Yeriko,
Chandra dan Lutfi bergegas menuju pusat perjudian yang terkenal di sebelah barat pusat kota.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment