“Jhen, kenapa sih kamu mau bikin sarapan buat Amara?”
tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam rumah Jheni.
“Sebenarnya, aku mau bawain buat Chandra. Dia pasti belum
makan karena nungguin Amara semalaman. Aku rasa, aku harus berbesar hati dan
nggak negative thinking ke Chandra. Tapi ... aku malah dapet kejutan tak
terduga.”
“Huft, udahlah. Nggak usah sedih terus. Semoga aja,
Chandra tetep setia sama kamu dan nggak goyah sama mantan pacarnya itu.”
“Aku nggak yakin, Yun.”
“Uch ... Jheni, aku nggak pernah lihat kamu seburuk ini.
Kamu harus selalu semangat! Jheni yang aku kenal, nggak gampang nyerah! Oke?”
Jheni tersenyum kecil menatap Yuna.
“Mmh ... karena nggak jadi dikasih ke sana. Ini aku makan
aja,” tutur Yuna sambil membuka kotak bekal yang dibawakan Jheni untuk Chandra.
“Makanlah!”
“Kamu udah makan?”
“Nggak nafsu makan.”
“Eh, kamu kalo kurus jelek banget, sumpah! Gimana Chandra
ngelirik kamu kalo kamu jelek,” celetuk Yuna sambil menahan senyum.
Jheni langsung membelalakkan matanya menatap Yuna. Di
saat seperti ini, sahabatnya itu masih bisa mengeluarkan celetukan-celetukan
aneh dari mulutnya.
Yuna meringis sambil menyuap makanan ke mulutnya. “Jhen,
kemarin aku ada nonton drama, ada boneka handmade yang lucu banget. Aku pengen
punya boneka kayak gitu. Aku cari-cari di toko online, nggak ada yang jual.”
“Kamu ini, boneka mulu,” sahut Jheni. “Bikin aja kalo
emang handmade!”
“Taruh sini ya!” pinta Yuna.
“Yun, rumahku bukan tempat penampungan. Lagian, rumah
suami kamu itu kan besar. Kenapa nggak dimanfaatkan? Barang handmade kamu udah
banyak banget di sini. Nggak lama, ini rumah jadi gallery. Mau sampai kapan
kamu simpan barang-barang kamu di rumahku?”
Yuna menundukkan kepala. “Sampai aku bisa nebus rumah
orang tuaku,” ucapnya lirih.
Jheni terdiam. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan
Yuna. “Duh, bodoh banget sih aku?” gumamnya dalam hati.
“Sorry, Yun! Aku nggak bermaksud buat nyinggung kamu,”
tutur Jheni sambil menatap wajah Yuna.
Yuna tersenyum menatap Jheni. “Nggak papa, Jhen. Aku
ngerti, kok. Emang nggak seharusnya aku penuhi rumah kamu sama
barang-barangku.”
“Nggak gitu, Yun! Aku cuma bercanda. Suer!” Jheni
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.
“Huft, aku sendiri nggak tahu sampai kapan bisa nebus
rumah keluargaku. Posisiku sekarang emang udah lumayan, tapi tetep nggak yakin bisa nebus rumahku dalam
waktu cepat.”
“Yun, bukannya suami kamu kaya raya. Kenapa nggak kamu
manfaatin?”
“Jhen, kamu mau jerumusin aku? Kalo aku sampai pakai uang
suamiku buat nebus rumah, ucapan semua orang soal aku yang nikah sama Yeriko
karena harta, bakal jadi kenyataan,” sahut Yuna. “Aku nggak mau manfaatin dia.”
Yuna menopang dagu dengan dua tangannya. “Huft, gimana
caranya ngembaliin semua harta ayahku ya? Setidaknya, saat dia sembuh ... semua
kembali seperti semula.”
“Kenapa nggak minta bantuan sama suami kamu?”
“Dia udah bilang mau bantu, sih. Tapi ...”
“Tapi apa?”
“Dia udah ngelakuin banyak hal. Aku makin banyak
berhutang budi sama suamiku sendiri. Sedangkan aku, nggak pernah ngelakuin
apa-apa buat dia.”
“Ya udah, kamu berusaha aja mulai dari sekarang. Toh,
sekarang kamu udah jadi asisten direktur. Siapa tahu aja, tahun depan udah bisa
jadi direktur.”
“Aamiin ...” Yuna tersenyum ke arah Jheni. Bukannya dia
yang menghibur Jheni, malah Jheni yang menghibur suasana hatinya. Ia menertawakan dirinya sendiri yang terlihat
begitu payah.
( You still have all of my ... You still have all of my ...
You still have all of my heart ...)
“Halo ...! Kamu di mana?” tanya Yeriko lewat panggilan
telepon.
“Astaga!” Yuna menepuk dahinya. Ia langsung melihat jam
yang ada di layar ponselnya. “Aku lupa kabarin, sekarang lagi di rumah Jheni.
Hehehe. Jemput aku di sini ya, Sayang!” rayu Yuna.
“Oke. Aku ke sana sekarang!”
“Umh.” Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya.
“Kamu nggak bilang sama suami kamu kalo kamu di sini?”
tanya Jheni.
“Lupa, Jhen. Sumpah! Nggak sengaja. Abisnya, gara-gara
kamu juga nangis-nangis terus. Aku kan jadi
bingung. Untungnya dia nggak marah.”
Jheni menahan tawa menatap Yuna.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu udah mulai nurut sama suami kamu yang katanya
dingin, galak, nggak berperasaan itu?”
“Iih ... itu kan dulu,” sahut Yuna sambil memonyongkan
bibirnya.
“Emangnya sekarang gimana?”
“Sekarang dia itu penyayang, hangat, selalu nurutin semua
permintaan aku. Pokoknya, dia itu perfect husband,” tutur Yuna sambil tersenyum
bahagia.
“Senengnya bisa punya suami kayak gitu. Kayak di
dongeng-dongeng. Cinderella sama pangeran. Eh!? Kok, mirip ya?”
“Mirip apa?”
“Cerita kamu sama Cinderella.”
“Aku nggak punya ibu tiri, Jhen!” dengus Yuna.
“Yah
... tapi, mirip-mirip lah. Dari puteri semata wayang, jadi upik abu dan diselamatkan sama pangeran
kerajaan yang tampan dan kaya raya.”
“Umh.”
“Eh, betewe ... aku penasaran sama kehidupan mereka
selanjutnya,” tutur Jheni lagi.
“Prince Henry sama Princess Ella?”
Jheni menganggukkan kepala. “Kok, mereka bisa happily ever after ya? Enak banget kehidupan rumah
tangganya nggak ada masalah. Terus, mereka punya anak atau nggak sih? Harusnya,
anak mereka juga Princess atau Prince. Tapi, kenapa nggak ada di cerita-cerita
selanjutnya. Aku berharap kalau Princess Sofia itu anaknya Princess Cinderella
atau ...”
“Itu dongeng, bego!” Yuna langsung melempar makanan ke
arah Jheni.
“Ya, kali aja penulisnya bikin dongeng serial. Kayak
Masashi Kishimoto yang bisa nulis serial Naruto sampe ke anak-anaknya,” tutur
Jheni.
Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Duh, aku
nggak paham kamu ngomong apa.”
“Iih ... kamu ini nggak pernah baca komik Naruto?”
Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak suka baca komik.
Bacanya suka kebalik-balik. Nggak tahu halaman mana dulu yang harus dibaca.”
“O’on banget!” sahut Jheni sambil menoyor kepala Yuna.
“E-eh, jangan bilang aku o’on! Biar o’on gini aku lulusan
luar negeri loh.”
“Nah, itu ngaku! Hahaha.”
“Eh!?” Yuna memutar bola matanya. “Kamu!?” Yuna
mengerutkan hidungnya dan langsung mengejar Jheni.
“Hahaha.” Jheni terus tertawa sambil menghindari kejaran
Yuna.
“Awas kamu, Jhen!” seru Yuna sambil naik ke sofa.
Jheni terus tertawa. “Eh, itu Yeriko udah datang!” Jheni
menunjuk ke arah pintu.
Yuna ikut menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. Ia
tidak mendengar suara pintu itu diketuk. Namun, ia langsung melompat membukakan
pintu rumah Jheni.
“Tapi bohong!” seru Jheni sambil menjulurkan lidahnya ke
arah Yuna.
“Kamu!?” Yuna menunjuk Jheni. Ia langsung berlari ke arah
Jheni dan mengeluarkan jurus gelitiknya.
Mereka terlarut dalam canda tawa.
Yuna tersenyum sambil memegang perutnya yang kram sembari
mengatur napasnya yang tersengal karena terlalu banyak tertawa. Ia merasa lega
karena akhirnya bisa membuat Jheni kembali tertawa riang. Sejenak melupakan
masalah hubungannya dengan Chandra.
(( Bersambung ... ))
Detik-detik kehamilan Yuna, bagusnya ngidam atau nggak ya?
Review baik di kolom komentar. Terima kasih semuanya. I Love you
double-double ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment