Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, May 21, 2025

Perfect Hero Bab 228 - Perfect Bestfriend || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jhen, kenapa sih kamu mau bikin sarapan buat Amara?” tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam rumah Jheni.

 

“Sebenarnya, aku mau bawain buat Chandra. Dia pasti belum makan karena nungguin Amara semalaman. Aku rasa, aku harus berbesar hati dan nggak negative thinking ke Chandra. Tapi ... aku malah dapet kejutan tak terduga.”

 

“Huft, udahlah. Nggak usah sedih terus. Semoga aja, Chandra tetep setia sama kamu dan nggak goyah sama mantan pacarnya itu.”

 

“Aku nggak yakin, Yun.”

 

“Uch ... Jheni, aku nggak pernah lihat kamu seburuk ini. Kamu harus selalu semangat! Jheni yang aku kenal, nggak gampang nyerah! Oke?”

 

Jheni tersenyum kecil menatap Yuna.

 

“Mmh ... karena nggak jadi dikasih ke sana. Ini aku makan aja,” tutur Yuna sambil membuka kotak bekal yang dibawakan Jheni untuk Chandra.

 

“Makanlah!”

 

“Kamu udah makan?”

 

“Nggak nafsu makan.”

 

“Eh, kamu kalo kurus jelek banget, sumpah! Gimana Chandra ngelirik kamu kalo kamu jelek,” celetuk Yuna sambil menahan senyum.

 

Jheni langsung membelalakkan matanya menatap Yuna. Di saat seperti ini, sahabatnya itu masih bisa mengeluarkan celetukan-celetukan aneh dari mulutnya.

 

Yuna meringis sambil menyuap makanan ke mulutnya. “Jhen, kemarin aku ada nonton drama, ada boneka handmade yang lucu banget. Aku pengen punya boneka kayak gitu. Aku cari-cari di toko online, nggak ada yang jual.”

 

“Kamu ini, boneka mulu,” sahut Jheni. “Bikin aja kalo emang handmade!”

 

“Taruh sini ya!” pinta Yuna.

 

“Yun, rumahku bukan tempat penampungan. Lagian, rumah suami kamu itu kan besar. Kenapa nggak dimanfaatkan? Barang handmade kamu udah banyak banget di sini. Nggak lama, ini rumah jadi gallery. Mau sampai kapan kamu simpan barang-barang kamu di rumahku?”

 

Yuna menundukkan kepala. “Sampai aku bisa nebus rumah orang tuaku,” ucapnya lirih.

 

Jheni terdiam. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan Yuna. “Duh, bodoh banget sih aku?” gumamnya dalam hati.

 

“Sorry, Yun! Aku nggak bermaksud buat nyinggung kamu,” tutur Jheni sambil menatap wajah Yuna.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. “Nggak papa, Jhen. Aku ngerti, kok. Emang nggak seharusnya aku penuhi rumah kamu sama barang-barangku.”

 

“Nggak gitu, Yun! Aku cuma bercanda. Suer!” Jheni mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

 

“Huft, aku sendiri nggak tahu sampai kapan bisa nebus rumah keluargaku. Posisiku sekarang emang udah lumayan, tapi tetep nggak yakin bisa nebus rumahku dalam waktu cepat.”

 

“Yun, bukannya suami kamu kaya raya. Kenapa nggak kamu manfaatin?”

 

“Jhen, kamu mau jerumusin aku? Kalo aku sampai pakai uang suamiku buat nebus rumah, ucapan semua orang soal aku yang nikah sama Yeriko karena harta, bakal jadi kenyataan,” sahut Yuna. “Aku nggak mau manfaatin dia.”

 

Yuna menopang dagu dengan dua tangannya. “Huft, gimana caranya ngembaliin semua harta ayahku ya? Setidaknya, saat dia sembuh ... semua kembali seperti semula.”

 

“Kenapa nggak minta bantuan sama suami kamu?”

 

“Dia udah bilang mau bantu, sih. Tapi ...”

 

“Tapi apa?”

 

“Dia udah ngelakuin banyak hal. Aku makin banyak berhutang budi sama suamiku sendiri. Sedangkan aku, nggak pernah ngelakuin apa-apa buat dia.”

 

“Ya udah, kamu berusaha aja mulai dari sekarang. Toh, sekarang kamu udah jadi asisten direktur. Siapa tahu aja, tahun depan udah bisa jadi direktur.”

 

“Aamiin ...” Yuna tersenyum ke arah Jheni. Bukannya dia yang menghibur Jheni, malah Jheni yang menghibur suasana hatinya. Ia menertawakan dirinya sendiri yang terlihat begitu payah.

 

 

 

( You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

“Halo ...! Kamu di mana?” tanya Yeriko lewat panggilan telepon.

 

“Astaga!” Yuna menepuk dahinya. Ia langsung melihat jam yang ada di layar ponselnya. “Aku lupa kabarin, sekarang lagi di rumah Jheni. Hehehe. Jemput aku di sini ya, Sayang!” rayu Yuna.

 

“Oke. Aku ke sana sekarang!”

 

“Umh.” Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“Kamu nggak bilang sama suami kamu kalo kamu di sini?” tanya Jheni.

 

“Lupa, Jhen. Sumpah! Nggak sengaja. Abisnya, gara-gara kamu juga nangis-nangis terus. Aku kan jadi bingung. Untungnya dia nggak marah.”

 

Jheni menahan tawa menatap Yuna.

 

“Kenapa ketawa?”

 

“Kamu udah mulai nurut sama suami kamu yang katanya dingin, galak, nggak berperasaan itu?”

 

“Iih ... itu kan dulu,” sahut Yuna sambil memonyongkan bibirnya.

 

“Emangnya sekarang gimana?”

 

“Sekarang dia itu penyayang, hangat, selalu nurutin semua permintaan aku. Pokoknya, dia itu perfect husband,” tutur Yuna sambil tersenyum bahagia.

 

“Senengnya bisa punya suami kayak gitu. Kayak di dongeng-dongeng. Cinderella sama pangeran. Eh!? Kok, mirip ya?”

 

“Mirip apa?”

 

“Cerita kamu sama Cinderella.”

 

“Aku nggak punya ibu tiri, Jhen!” dengus Yuna.

 

“Yah ... tapi, mirip-mirip lah. Dari puteri semata wayang, jadi upik abu dan diselamatkan sama pangeran kerajaan yang tampan dan kaya raya.”

 

“Umh.”

 

“Eh, betewe ... aku penasaran sama kehidupan mereka selanjutnya,” tutur Jheni lagi.

 

“Prince Henry sama Princess Ella?”

 

Jheni menganggukkan kepala. “Kok, mereka bisa happily ever after ya? Enak banget kehidupan rumah tangganya nggak ada masalah. Terus, mereka punya anak atau nggak sih? Harusnya, anak mereka juga Princess atau Prince. Tapi, kenapa nggak ada di cerita-cerita selanjutnya. Aku berharap kalau Princess Sofia itu anaknya Princess Cinderella atau ...”

 

“Itu dongeng, bego!” Yuna langsung melempar makanan ke arah Jheni.

 

“Ya, kali aja penulisnya bikin dongeng serial. Kayak Masashi Kishimoto yang bisa nulis serial Naruto sampe ke anak-anaknya,” tutur Jheni.

 

Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Duh, aku nggak paham kamu ngomong apa.”

 

“Iih ... kamu ini nggak pernah baca komik Naruto?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak suka baca komik. Bacanya suka kebalik-balik. Nggak tahu halaman mana dulu yang harus dibaca.”

 

“O’on banget!” sahut Jheni sambil menoyor kepala Yuna.

 

“E-eh, jangan bilang aku o’on! Biar o’on gini aku lulusan luar negeri loh.”

 

“Nah, itu ngaku! Hahaha.”

 

“Eh!?” Yuna memutar bola matanya. “Kamu!?” Yuna mengerutkan hidungnya dan langsung mengejar Jheni.

 

“Hahaha.” Jheni terus tertawa sambil menghindari kejaran Yuna.

 

“Awas kamu, Jhen!” seru Yuna sambil naik ke sofa.

 

Jheni terus tertawa. “Eh, itu Yeriko udah datang!” Jheni menunjuk ke arah pintu.

 

Yuna ikut menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. Ia tidak mendengar suara pintu itu diketuk. Namun, ia langsung melompat membukakan pintu rumah Jheni.

 

“Tapi bohong!” seru Jheni sambil menjulurkan lidahnya ke arah Yuna.

 

“Kamu!?” Yuna menunjuk Jheni. Ia langsung berlari ke arah Jheni dan mengeluarkan jurus gelitiknya.

 

Mereka terlarut dalam canda tawa.

 

Yuna tersenyum sambil memegang perutnya yang kram sembari mengatur napasnya yang tersengal karena terlalu banyak tertawa. Ia merasa lega karena akhirnya bisa membuat Jheni kembali tertawa riang. Sejenak melupakan masalah hubungannya dengan Chandra.

 

 

(( Bersambung ... ))

Detik-detik kehamilan Yuna, bagusnya ngidam atau nggak ya?

Review baik di kolom komentar. Terima kasih semuanya. I Love you double-double ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas