“Yer, teleponin si Chandra!” pinta Yuna begitu ia sudah
kembali dari rumah Jheni. Ia langsung bergegas masuk ke kamar dan melepas
pakaiannya.
“Buat apa?”
“Tadi di jalan udah aku ceritain soal Jheni. Kamu nggak
mau bantu mereka?” tanya Yuna.
“Kamu yang telepon Chandra kan bisa, Yun.”
“Iih ... kalo aku yang telepon Chandra, yang ada aku naik
darah dibuatnya. Kamu aja!” pinta Yuna sambil memakai baju mandi dan langsung
masuk ke dalam kamar mandi.
Yeriko langsung mengambil ponsel dari saku celana dan
menelepon Chandra.
“Halo ...!” sapa Chandra begitu panggilan telepon Yeriko
tersambung.
“Kamu di mana, Chan?”
“Di rumah.”
“Udah temui Jheni?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Huft, aku masih mau menenangkan diri sebentar.”
“Kamu balik sama Amara?”
“Nggak.”
“Yuna bilang ...”
“Apa?”
“Tadi pagi, Jheni nyusul ke rumah sakit. Dia lihat kamu
sama Amara lagi ...”
“Apa? Dia ke rumah sakit?”
“He-em. Kamu nggak tahu?”
“Nggak tahu, Yer.”
“Chan, aku nggak mau kamu balik sama Amara. Kamu ngerti
kan apa yang harus kamu lakuin?”
Hening.
“Chan!”
“Iya.”
Yeriko langsung mematikan ponselnya dengan kesal dan
melemparkan ponsel tersebut ke atas kasur begitu saja. Ia sangat kesal dengan
sikap Chandra yang tidak bisa menolak Amara dengan tegas.
Yeriko menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ia
melangkah mendekat dan menarik gagang pintu kamar mandi. “Yun, kenapa dikunci?”
seru Yeriko.
“Hah!? Apa?”
“Aku mau mandi juga!” teriak Yeriko.
“Bentar!” sahut Yuna ikut berteriak. Ia bergegas
membukakan pintu kamar mandi.
Yeriko langsung menatap tajam ke arah Yuna begitu Yuna
membukakan pintu. “Lain kali, jangan dikunci pintunya!” pinta Yeriko.
“He-em.” Yuna mengangguk.
Yeriko masuk ke dalam mandi dan menceburkan dirinya ke
dalam bathtub bersama Yuna.
“Yer, kenapa si Harry jadi penjudi?” tanya Yuna sambil
menyandarkan kepalanya di dada Yeriko. Tangannya asyik memainkan busa sabun
yang ada di dalam bathtub.
“Aku dah ngerencanain semuanya. Bikin hidupnya
pelan-pelan terperosok. Bikin Amara menyesal seumur hidupnya. Mereka harus tahu
lagi berhadapan sama siapa. Aku nggak akan ngebiarin siapa pun menyakiti
orang-orangku. Aku tahu siapa saja yang harus aku lindungi,” jawab Yeriko
santai sambil memainkan ujung hidungnya di pundak Yuna.
Yuna tersenyum kecil. “Hmm ... aku lihat sih kalo Amara
nyesel banget. Tapi, aku nggak suka karena dia malah balik nempel ke Chandra
lagi. Kalau Chandra luluh sama Amara gimana? Gimana nasib Jheni kalau sampe
mereka balikan? Jheni udah ngelakuin banyak hal untuk Chandra. Aku masih nggak
habis pikir, kenapa Chandra tega banget php-in Jheni,” cerocos Yuna.
“Chandra nggak akan berpikir sesempit itu. Aku juga
nggak akan biarin dia balik ke Amara,” tutur Yeriko pelan.
“Janji?”
“Janji apa?”
“Chandra nggak bakal balik ke Amara?”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Apa aku kekurangan kerjaan?”
tanyanya pada dirinya sendiri. “Kenapa aku jadi sibuk mikirin hubungan orang
lain?”
Yuna tertawa kecil. “Apa Chandra orang lain buat kamu?”
Yeriko menggelengkan kepala.
Yuna langsung memutar kepalanya menatap Yeriko. “Jheni
juga bukan orang lain buat aku. Jadi, mereka berdua juga bagian dari keluarga
kita kan? Kamu nggak mau Chandra tersakiti, aku juga nggak mau Jheni tersakiti.
Seharusnya kita bisa bekerja sama supaya mereka baikan lagi kan?”
Yeriko tersenyum. “Iya, bawel.” Yeriko menggoyangkan dagu
Yuna dan langsung mengulum bibir istrinya yang manis.
Mereka bergegas menyelesaikan mandinya, berpakaian dan
turun ke ruang makan.
“Yer, foto prewedding kita udah jadi,” tutur Yuna sambil
tersenyum menatap layar ponselnya. “Lihat!” Ia menunjukkan potret dirinya dan
Yeriko saat melakukan pemotretan di Bali beberapa waktu lalu.
Yeriko tersenyum.
“Uch ... ternyata, aku bisa cantik juga ya?”
“Kamu emang udah cantik.”
“Tanggal pernikahan belum ditentukan juga sampai
sekarang. Mmh ... kamu nggak buru-buru kan?” tanya Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala. “Kita udah nikah secara resmi.
Soal pesta pernikahan, aku ngikut aja.”
“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Aku juga
nggak bisa mendesak mama untuk mempercepat persiapan pesta pernikahan kita.”
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya. Aku
ngerti, kok.”
“Kita nggak dateng ke acara nikahan sepupu kamu. Kamu
nggak nyiapin hadiah pernikahan buat mereka?”
Yuna mengedikkan bahu.
“Yun, Lian itu bos kamu juga di kantor. Nggak mau ngasih
kenang-kenangan?”
“Nggak, ah. Apa-apaan sih!?” sahut Yuna sambil menahan
tawa.
Yeriko tertawa kecil.
“Kamu ini kenapa sih malah nyodorkan istri kamu ke
mantannya? Kamu nggak takut dia godain aku lagi?”
Yeriko tertawa kecil. “Bukannya sepupu kamu itu sudah
jagain dia biar gak godain kamu? Itu sudah cukup bikin aku tenang. Lagipula, aku nggak perlu takut sama dia.
Dia yang harus takut sama aku!” tegas Yeriko penuh percaya diri.
“Huh, sombong!” celetuk Yuna sambil mencebik.
Yeriko tertawa kecil sambil menatap Yuna. “Kamu nggak
berminat bikin dia kayak Amara?”
“Eh!? Maksud kamu?”
Yeriko mengetuk kening Yuna. “Udah jadi asisten direktur,
pinternya nggak nambah-nambah.”
Yuna mengembungkan pipinya.
Yeriko tersenyum kecil. “Makan yang banyak!” perintahnya.
“Minggu ini, ada jadwal konsultasi sama dokter, kan?”
“Kamu ingat?”
Yeriko mengangguk. “Nggak mungkin aku lupa.”
Yuna tersenyum. Ia merasa sangat bahagia karena di tengah
kesibukan, suaminya masih terus memperhatikannya.
“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Yeriko.
“Nggak boleh?”
Yeriko langsung mendekatkan wajahnya. “Masih belum puas
lihat mukaku setiap hari?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu ini ... jadi perempuan jujur banget. Nggak ada
jaim-jaimnya sedikitpun,” celetuk Yeriko sambil tertawa kecil.
Yuna meringis. “Apa masih perlu jaim sama suami sendiri?”
Yeriko menahan senyum sembari melahap makanan yang ada di
hadapannya. “Di luar, kamu nggak kayak gini kan?”
“Aku kayak gini. Suka bilang suka, nggak suka bilang
nggak suka. Salah?”
Yeriko menggelengkan kepala.
“Mmh ... minggu ini aku mau ajak Jheni sama Icha
jalan-jalan. Kamu ada waktu atau nggak?” tanya Yuna hati-hati.
“Ada.”
“Beneran?” tanya Yuna penuh semangat.
Yeriko mengangguk.
“Mmh ...” Yuna berpikir sejenak. Ia ingin menanyakan
sesuatu. Namun ia tak yakin kalau Yeriko akan menjawab sesuai dengan
harapannya.
“Mmh ...”
“Mmh ...”
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Yeriko.
Yuna menggigit bibirnya.
“Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
Yuna menggeleng.
“Terus?”
“Aku ... mmh ... aku masih punya banyak barang di rumah
Jheni. Apa boleh aku bawa ke sini semua?” tanya Yuna hati-hati. “Aku janji,
nggak bakal bikin rumah berantakan. Aku bakal simpan barang-barang aku dengan
baik sampai rumahku kembali,” lanjutnya.
“Rumah?” Yeriko mengernyitkan dahi.
Yuna mengangguk.
“Kamu nggak mau tinggal di sini lagi?”
“Eh!? Bukan. Bukan gitu maksud aku. Aku cuma nggak mau
barang-barang aku ganggu ketenangan kamu. Jadi, aku mau simpan barang-barangku
di rumah aku sendiri.”
“Apa aku pernah bilang kalau kamu nggak boleh bawa
barang-barang kamu masuk ke rumah ini?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.
“Nggak, sih. Tapi ... aku lihat rumah ini nggak banyak
aksesoris dan dekorasi. Aku nggak berani bawa barang aku ke sini. Tapi ... si
Jheni udah mulai ngomel karena aku selalu nitip barangku di rumah dia. Jadi
...”
“Kamu kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Yeriko.
“Aku takut.”
“Kamu ini ...?” Yeriko tak habis pikir dengan pemikiran
istrinya. “Rumah ini juga rumah kamu. Kenapa kamu takut bawa barang kamu
sendiri ke sini?”
“Karena ... barang-barangku terlalu kekanak-kanakkan.
Kamu pasti nggak suka kalau aku bikin kacau rumah ini,” jawab Yuna lirih.
Yeriko menarik napas dalam-dalam sambil menatap Yuna.
“Mulai besok, bawa pulang semua barang-barang kamu ke sini!”
“Eh!?” Yuna melongo menatap Yeriko.
Yeriko menatap Yuna serius. Ia tidak ingin istrinya
membantah ucapannya kali ini.
Yuna mengangguk kecil. Ia tersenyum bahagia karena
akhirnya bisa membawa karya-karya tangannya ke rumah ini.
(( Bersambung ... ))
0 komentar:
Post a Comment