“Hai ... Jheni!” seru Yuna saat Jheni
membukakan pintu rumah untuknya.
“Yuna? Tumben ke sini?”
“Kamu nggak ingat ini hari apa?” tanya Yuna
sambil menyelonong masuk ke rumah Jheni.
“Hari Sabtu.”
“Iya. Besok Minggu!” seru Yuna ceria.
Jheni mengerutkan keningnya. Ia menutup pintu
dan mengikuti langkah Yuna.
“Temenin aku belanja ya!” pinta Yuna.
“Sekarang?”
“Tahun depan, Jhen!” sahut Yuna.
“Sekaranglah!”
“Kamu ini kebiasaan banget. Kalo ngajak jalan
suka dadakan. Ke sini juga nggak ngabarin dulu. Gimana kalo aku nggak ada di
rumah?”
“Aku tahu kalo kamu nggak ke mana-mana.
Makanya langsung ke sini.”
“Mau belanja apa sih? Aku belum mandi, Yun.”
“Mau beli boneka beruang putih yang bessaaaar
bangeeet!” jawab Yuna sambil merentangkan tangannya.
“Boneka beruang? Buat beruang kamu si Yeri?”
“Buat aku, dong!”
Jheni tertawa kecil. “Yeriko bener-bener
nggak ada romantisnya ya?” Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Inisiatif kek
ngasih hadiah ke istrinya. Kalo cuma ngasih kartu kredit terus disuruh beli
sendiri, mana ada feel-nya sama sekali.”
“Eh, dia romantis banget tahu. Sering ngasih
hadiah perhiasan mehong. Mana mau dia ngasih hadiah murahan kayak boneka gitu.”
“Tapi, kamu kan suka barang yang murahan,”
sahut Jheni.
“Hehehe. Hemat, Jhen.”
Jheni meringis. “Kamu tahu nggak kenapa suami
kamu suka ngasih perhiasan?”
“Karena dia banyak duit.”
“Bukan. Bukan itu alasannya.”
“Terus?”
“Buat kamu investasi. Jadi, kalo nanti dia
nikah lagi, kamu tetep bisa hidup sampai tujuh turunan tanpa dia,” tutur Jheni
sambil menahan tawa.
“Kurang ajar kamu, Jhen! Omonganmu jelek
banget!” seru Yuna sambil melempar bantal ke arah Jheni.
“Hahaha.” Jheni langsung berlari masuk ke
kamar mandi.
Yuna memonyongkan bibirnya. Ia kesal dengan
candaan Jheni. Ia merasa candaan Jheni tidak lucu sama sekali. Ia merebahkan
tubuhnya ke kasur sambil menunggu Jheni selesai mandi.
Beberapa menit kemudian, Jheni keluar dari
kamar mandi mengenakan handuk. Ia langsung berganti pakaian dengan santai tanpa
menutupi tubuhnya di hadapan Yuna.
“Jhen, besok kan hari ulang tahun kamu. Kita
bikin party yuk!”
Jheni langsung menoleh ke arah Yuna. “Kamu
ingat hari ulang tahunku?”
“Ingat, dong. Aku ini sahabat yang baik. Mana
boleh lupa sama hari ulang tahun sahabat sendiri.”
“Kamu nggak mau ngasih aku kejutan?”
“Nggak.”
“Hadiah?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Kamu jahat banget sih? Uangmu sekarang udah
banyak. Masa nggak kasih hadiah buat aku?”
Yuna meringis sambil menatap Jheni. “Bukannya
kado yang paling mahal adalah doa yang paling tulus dari orang tercinta?”
Jheni memonyongkan bibirnya. “Sudah kaya pun,
masih aja perhitungan!” dengus Jheni.
Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni.
“Buruan ganti bajunya!”
“Sabar, Yun!” sahut Jheni.
“Sabar aku tuh, tapi kamu pengertian juga.”
“Kamu kenapa sih hari ini nyebelin banget,
Yun? Udah dateng tiba-tiba. Ngajak jalan buru-buru. Sebenarnya kamu mau cari
apa sih?”
“Mau cari bahan makanan,” jawab Yuna berbohong.
“Buat apa?”
“Buat party ulang tahun kamu, dong!”
“Kamu mau masakin buat aku?”
Yuna mengangguk. “Ini hadiah dari aku. Aku
mau masak spesial buat kamu.”
“Mmh ...” Jheni mengetuk-ngetuk dagunya.
“Yakin enak?”
“Kamu meremehkan kemampuanku, hah!?” dengus
Yuna.
Jheni terkekeh sambil menyelesaikan
riasannya.
“Ayo berangkat!” ajak Jheni setelah ia siap.
Yuna bangkit. Ia berdiri di depan cermin
sambil merapikan rambutnya.
“Halah ... kenapa nggak dari tadi sih?”
celetuk Jheni saat melihat Yuna menambahkan bedak tipis di wajahnya.
Yuna meringis. “Enak baring di kasurmu, Jhen.
Udah lama banget aku nggak tidur di sini. Kayaknya, kasurmu udah
melambai-lambai minta ditidurin.”
“Iya. Sekarang kan kamu yang ditidurin,”
sahut Jheni sambil tertawa lebar.
“Hahaha.”
Mereka terus bercanda dan tertawa sepanjang
perjalanan menuju pusat perbelanjaan.
Sesampainya di mall, Yuna dan Jheni terus
berkeliling.
“Yun, kamu nyari apa sih? Kita udah dua jam
muter-muter di sini. Kamu nggak beli apa-apa.”
“Bentar, Jhen.” Yuna terus melangkah sambil
mengedarkan pandangannya.
“Yun, ini udah jam sepuluh. Mall bentar lagi
tutup. Aku bisa digorok sama Yeriko kalo bikin kamu pulang terlalu malam.”
“Aku udah bilang ke Yeri.” Yuna berhenti di
salah satu outlet boneka. Ia langsung masuk ke dalam. Memilih boneka beruang
putih berukuran besar.
“Aargh ...! Akhirnya, aku dapet boneka
beruangnya. Pas banget!”
Jheni tersenyum kecil melihat keceriaan yang
terpancar dari wajah Yuna.
“Jhen, kamu mau boneka yang mana?” tanya
Yuna.
“Boneka aku udah banyak di kamar.”
“Mmh ... iya juga sih. Ntar, boneka beruang
ini simpan di kamar kamu ya!” pinta Yuna. Ia segera menuju kasir untuk membayar
bonekanya.
“Hah!? Kenapa di kamarku?”
“Yeriko pasti nggak suka kalo aku bawa pulang
boneka ini. Apalagi aku bawa ke tempat tidur. Dia kan orangnya rapi banget.”
“Astaga, cuma boneka satu biji doang. Masa
jadi masalah?” tanya Jheni.
Yuna mengangguk. “Kurasa begitu. Di rumah
nggak terlalu banyak aksesoris dan pajangan. Aku takut, Yeriko nggak suka kalo
aku bawa pulang boneka ini.”
Yuna dan Jheni melangkah keluar dari outlet.
Mereka berjalan perlahan keluar dari mall.
“Udah kelar muter-muternya?” Yeriko tiba-tiba
menghampiri Yuna saat sudah keluar dari pintu utama.
“Udah,” jawab Yuna sambil memeluk boneka
beruangnya.
“Lihat kelakuannya kayak anak kecil!” sahut
Jheni. “Aku yang ulang tahun, malah dia yang sibuk cari hadiah buat dia
sendiri. Sahabat macam apa ini,” cibir Jheni di hadapan Yeriko.
Yuna meringis sambil mengerdipkan matanya ke
arah Yeriko.
Yeriko tersenyum. Ia menatap Jheni yang ada
di hadapannya. “Jhen, maaf kalau istriku selalu rewel dan merepotkan!” tuturnya
sambil merangkul pundak Yuna.
“Aha, istrimu ini memang merepotkan!” dengus
Jheni sambil menatap Yuna. “Dia beli boneka segede ini dan nyuruh aku yang
ngerawat. Emangnya rumah kalian masih kurang besar buat nampung ini boneka?”
“Astaga, Jhen! Pelit amat!”
“Kamu juga pelit sama aku!”
“Kamu udah mulai perhitungan sama aku?”
Jheni mengangguk. “Iya. Karena kamu bukan
sahabat yang baik!”
Yuna tertawa kecil sambil menatap Jheni.
“Sudah berantemnya!” pinta Yeriko. “Kalian
udah makan?”
Yuna dan Jheni menggelengkan kepala.
“Istrimu ini memang menyebalkan. Dia maksa
ngajak aku keliling berjam-jam cuma beli ini boneka nyebelin sampai nggak kasih
aku makan!” sahut Jheni sambil mengacak-acak boneka beruang yang ada di pelukan
Yuna.
Yuna tertawa kecil sambil menjulurkan
lidahnya ke arah Jheni.
“Kamu, Yun!?” dengus Jheni sambil mengepalkan
tangannya ke arah Yuna.
“E-eh, mau ditraktir makan nggak nih?” tanya
Yuna sambil menunjuk wajah Jheni.
“Mau. Aku udah laper banget, Yun.”
“Ayo!” ajak Yuna.
Mereka melangkah menuju parkiran.
“Yer, semuanya udah disiapin?” bisik Yuna.
Yeriko mengangguk sambil tersenyum kecil.
Yuna tersenyum kecil. Ia bergegas masuk ke
mobil bersama Jheni.
“Jhen, kamu mau makan apa?” tanya Yuna saat
mobil Yeriko sudah mulai keluar dari halaman parkir.
“Terserah, Yun.”
“Makan sate, yuk! Yang di perempatan itu.
Gimana?”
“Boleh.”
“Oke. Kita ke sana.”
Yuna terus tersenyum dan bersenandung sambil
memeluk boneka beruang yang ada di tangannya. Memesan sate dalam jumlah banyak,
bisa mengulur waktu mereka untuk pulang ke rumah. Ia berharap, rencananya kali
ini bisa berhasil dengan baik.
(( Bersambung ... ))
Terima kasih
sudah berkenan membaca cerita ini. Semoga bisa jadi teman bercerita dan
menginspirasi.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment