“Yun, kenapa muka kamu pucat banget?” tanya Yeriko sambil
menangkup wajah Yuna saat ia menjemput Yuna di kantornya.
“Nggak papa,” jawab Yuna sambil memasang
safety belt di pinggangnya.
“Aku kan udah bilang, kalau masih nggak enak
badan, nggak usah masuk kerja.”
“Kemarin udah nggak masuk. Kerjaan aku
numpuk,” jawab Yuna sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
“Ck, aku kan udah bilang, nggak usah masuk
kerja!” sahut Yeriko sambil menjalankan mobilnya perlahan.
“Nggak usah ngomel!” sahut Yuna kesal. “Tadi
pagi, aku udah baik-baik aja. Abis makan, keluar semua isi perutku,” lanjutnya
kesal.
Yeriko mengernyitkan dahi. “Kenapa jadi lebih
galak dari aku?” batinnya. Ia melirik Yuna yang duduk di sebelahnya. “Mual?
Perubahan suasana hati, pemarah? Jangan-jangan ... dia mulai ...?” batin Yeriko
sambil menoleh ke arah Yuna. Ia langsung menginjak rem mobil.
“Yer, kenapa berhenti mendadak? Kalo ada
kendaraan di belakang gimana?” omel Yuna sambil menoleh ke belakang mobilnya.
“Yun, kamu masih mual?”
“Sekarang nggak, cuma lemes aja.”
“Yes!” Yeriko tersenyum senang, ia melepas safety belt. Ia memeluk
Yuna dan mencium wajah Yuna bertubi-tubi.
Yuna mengerutkan wajahnya. “Kamu ini kenapa,
sih? Istrinya sakit malah kesenangan?” Yuna mendorong tubuh Yeriko menjauh.
“Kita ke rumah sakit sekarang!” Yeriko
kembali memasang safety belt dan melajukan mobilnya.
“Nggak usah ke rumah sakit. Aku nggak papa,
Yer.”
Yeriko tersenyum sambil menoleh ke arah Yuna.
Ia tidak peduli dengan permintaan Yuna. Ia tetap melajukan mobilnya menuju
rumah sakit. Sepanjang perjalanan, senyuman di bibirnya tak hilang sedetikpun.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah
sakit. Yeriko berdiri di depan mesin antrian sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Saking senangnya, ia lupa kalau pelayanan di rumah sakit terbatas
kecuali untuk keadaan darurat. Ia tidak mungkin memasukkan istrinya lewat ruang
IGD.
Yeriko menoleh ke arah Yuna yang berdiri di
belakangnya. Kemudian, ia berpikir bagaimana memeriksakan istrinya sekarang
juga.
Yuna tertawa kecil menatap suaminya yang
terlihat konyol. “Yer, ini udah sore. Antrian udah habis. Besok baru bisa ambil
antrian lagi. Mau nunggu di sini sampai besok?”
Yeriko terdiam. Ia menghampiri meja
resepsionis rumah sakit. “Mbak, kalau mau periksa harus pakai nomor antrian?”
tanya Yeriko.
“Iya, Pak. Mau periksa apa ya?”
“Kandungan,” jawab Yeriko.
“Besok ke sini lagi ya, Pak. Dokternya sudah
pulang. Kalau nggak bisa nunggu sampai besok, bisa ke klinik praktik
dokternya.”
“Ada kartu nama dokternya?”
“Ada.” Petugas resepsionis memberikan kartu
nama kepada Yeriko.
“Makasih, Mbak!” Yeriko menoleh ke arah Yuna
yang menatapnya dari kejauhan. Yeriko tersenyum, melangkah menghampiri
istrinya.
“Gimana?” tanya Yuna sambil menahan tawa. Ia
masih tidak mengerti kenapa suaminya bisa terlihat begitu konyol. Bukankah, ia
bisa dengan mudah membuat janji dengan dokter keluarga kalau memang ingin
melakukan pemeriksaan?
Yeriko tidak menjawab pertanyaan Yuna. Ia
merangkul pinggang Yuna dan membawanya kembali ke dalam mobil.
“Kita ke dokter praktek aja,” tutur Yeriko
sambil memasang safety belt ke pinggangnya.
“Yer, bukannya kamu punya dokter keluarga
yang bisa dipanggil setiap saat buat datang ke rumah? Nggak perlu serepot ini
kan?” tanya Yuna.
Yeriko melirik ke atas. “Bener juga ya?”
batinnya dalam hati. “Tapi, dia dokter umum. Bukan dokter spesialis,” jawab
Yeriko sambil menatap Yuna.
“Nggak papa. Lagian, aku cuma pusing sedikit
aja.”
“Nggak bisa. Kita harus ke dokter spesialis.”
“Yer, aku ini nggak sakit parah. Buat apa ke
dokter spesialis?”
“Spesialis kandungan.”
Yuna membelalakkan matanya. Ia baru menyadari
kalau sejak kemarin sudah mengalami perubahan dan sering mual. “Apa aku bisa
hamil secepat ini?” batin Yuna sambil tersenyum.
Yeriko tersenyum sambil mengusap ujung kepala
Yuna. Ia melajukan mobilnya ke alamat yang tertera di kartu nama yang ia
pegang.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai
di tempat praktek dokter kandungan.
Yuna dan Yeriko menanti dengan hati berdebar.
“Yer, gimana kalau nggak hamil?” tanya Yuna
pesimis. Ia melihat Yeriko yang begitu antusias menanti kehamilannya. Ia
khawatir, akan membuat kecewa suaminya. Ia tidak yakin bisa hamil secepat ini.
Yeriko tersenyum kecil. “Nggak papa. Kita
masih bisa usaha. Setidaknya, aku harus tahu perkembangan rahim kamu.”
Yuna mengangguk.
“Ibu Fristi Ayuna!” Suara asisten dokter
memanggil nama Yuna, mereka berdua bergegas masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
“Gimana, Dok? Apa istri saya hamil?” tanya
Yeriko usai dokter memeriksa Yuna.
Dokter tersebut menggelengkan kepala.
Yuna dan Yeriko saling pandang. Wajah mereka
berubah muram.
Yeriko menggenggam tangan Yuna. Ia tidak
ingin istrinya semakin murung dan membuat kondisi rahimnya semakin buruk.
“Nggak papa. Kita masih bisa usaha lagi,” tuturnya lirih.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
Dokter tersebut tersenyum ke arah Yuna dan
Yeriko. “Kabar baiknya ... kondisi rahim Bu Yuna sudah normal. Artinya, embrio
sudah bisa berkembang dengan baik jika hormon progesteron Bu Yuna tidak kembali
menurun. Setelah pembuahannya berhasil, Bu Yuna bisa hamil.”
“Beneran, Dok?” Yuna dan Yeriko saling
pandang. Mereka tidak bisa menutupi rasa bahagia dalam hati mereka.
“Yun, aku bilang apa, kita pasti bisa punya
anak.” Yeriko langsung memeluk erat tubuh Yuna.
Dokter tersebut tersenyum melihat kebahagiaan
dan kemesraan sepasang suami istri di hadapannya itu. “Semoga kalian bisa
segera punya anak!” ucapnya lembut.
Yuna dan Yeriko mengangguk sambil tersenyum.
“Aamiin ...!” seru Yuna penuh bahagia.
“Oh ya, Dok ... ngomong-ngomong, kenapa istri
saya akhir-akhir ini sering mual ya?”
“Nggak papa. Cuma masuk angin biasa. Nanti,
saya kasih obat. Harus banyak istirahat ya!”
“Oh.” Yeriko mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalo gitu, kami pamit pulang dulu!”
Dokter tersebut mengangguk.
Yuna dan Yeriko bergegas meninggalkan klinik
dan kembali ke rumah.
“Mmh ... Yer, ada undangan nikahan Lian sama
Bellina. Mau dateng atau nggak?” tanya Yuna saat mereka sudah di perjalanan
pulang.
“Nggak usah.”
Yuna tersenyum. “Baguslah. Aku juga nggak mau
datang. Kebetulan, hari itu ulang tahunnya Jheni. Gimana, kalau kita rayain
ulang tahunnya Jheni bareng-bareng?”
“Boleh.” Yeriko mengangguk kecil.
“Mmh ... bagusnya, bikin surprise gimana ya?”
tanya Yuna sambil berpikir.
“Pura-pura nggak ingat hari ulang tahunnya
dia. Terus, kasih kejutan pesta kecil.”
“Ah, kamu garing banget!”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Biasanya begitu
kan?”
“Iya, tapi itu cara udah basi. Kalo aku pake
cara begituan, udah nggak mempan ke Jheni.”
“Terus?”
“Mmh ... kayaknya, perlu bantuan Chandra buat
ngasih kejutan ke Jheni.”
“Telepon aja si Chandra!” pinta Yeriko.
Yuna mengangguk. Ia mulai memikirkan rencana untuk memberi
kejutan ulang tahun Jheni. Ia ingin, memberikan kejutan yang tidak akan pernah
terlupakan. Yuna terus tersenyum membayangkan kejutan manis yang akan ia
siapkan untuk sahabatnya.
(( Bersambung ... ))
Uch, hari ini PH turun rank lagi , bikin aku lemesh ...
Makasih udah baca sampai di sini, dukung terus Mr. And Mrs. Ye, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment