“Yun, coba kamu lihat proposal proyek baru
yang dibuat Icha!” pinta Citra sambil menyodorkan satu bendel berkas ke hadapan
Yuna.
Yuna mengangguk. Ia menoleh ke arah Icha yang
duduk di sampingnya.
Hari ini, karyawan Departemen Proyek
mengadakan diskusi internal untuk membahas masalah proyek baru yang akan mereka
kerjakan.
Yuna membaca proposal tersebut dan
memeriksanya dengan teliti. Kemudian, mendiskusikannya dengan Icha terlebih
dahulu.
“Cha, di sebelah sini ada danau kecil. Kalau
aku lihat design yang dibuat sama Juan, danau ini nggak ada. Mau kalian
timbun?” tanya Yuna.
Juan mengangguk. “Jalan satu-satunya, kita
emang harus melakukan penimbunan, Yun. Danaunya nggak terlalu besar, jadi biaya
untuk penimbunan juga nggak terlalu banyak.”
“Mmh ... danau ini diameternya lima belas
meter. Tapi, kedalamannya berapa? Kamu nggak cantumkan kedalaman danau di
proposal ini. Volume tanah yang kita butuhkan untuk melakukan penimbunan
berapa? Kita juga harus memilih jenis tanah yang tepat untuk penimbunan.
Pembangunan ini jangka pendek. Jangan sampai, tanah timbunan itu mengalami
pergerakan dan akan mempengaruhi kondisi bangunan dalam jangka panjang,” tutur
Yuna.
Icha dan Juan mengangguk. “Kami perbaiki
proposalnya. Kayaknya, aku emang lupa bikin itu, Yun. Makasih ya! Kamu emang
paling teliti soal ginian.” Icha mengambil kembali proposal dari tangan Yuna.
Yuna kembali fokus menatap layar laptopnya.
“Oh ya, Juan, kamu udah kelarin design yang aku minta?” tanya Yuna tanpa
mengalihkan pandangannya.
“Belum.”
“Agak cepet ya!”
“Aku kelarin design untuk Icha dulu.”
“Oke.”
Lian terus tersenyum sambil menatap Yuna di
tengah-tengah diskusi. Ia tak menyangka kalau Yuna begitu serius bekerja.
Selain cantik, Yuna juga sangat tekun dan bertanggung jawab. Melihat ini,
hatinya terasa sangat ngilu karena telah menyia-nyiakan wanita yang begitu
baik.
Setelah diskusi dalam waktu yang cukup lama,
semua orang bergegas keluar dari ruang rapat. Meninggalkan Yuna yang masih
serius di depan laptopnya.
“Yun, kamu belum mau istirahat?” tanya Lian.
“Bentar. Nanggung.”
Lian mengangguk. Ia menatap layar laptopnya
yang sudah mati. Sesekali ia melirik Yuna yang sedang serius bekerja.
“Hai ...!” sapa Bellina yang tiba-tiba masuk
ke dalam ruang rapat. “Masih banyak kerjaan?” tanyanya sambil menatap Lian.
Lian menganggukkan kepala. Ia langsung
menekan tombol power untuk menyalakan kembali laptopnya. Ia bangkit dan
menghampiri Bellina.
“Aku bawain makan siang buat kamu!” seru
Bellina sambil menunjukkan kotak bekal yang ia bawa.
Yuna yang masih berada di ruangan itu segera
mematikan laptop, menumpuk kertas yang berserakan di atas meja dan bangkit dari
tempat duduk.
“Yuna, mau ke mana?” tanya Bellina. “Makan
bareng kita, yuk! Aku masak banyak hari ini,” ajak Bellina sambil tersenyum
ramah.
Yuna tidak menghiraukan ucapan Bellina. Ia
merapikan berkas miliknya agar bisa keluar dari ruangan ini secepatnya.
“Yun, kamu mau menolak niat baikku?”
Yuna terdiam. Ia tidak mengerti kenapa
Bellina tiba-tiba bersikap manis terhadap dirinya. Rasanya, baru kemarin ia
bertengkar dengan Bellina di restoran.
Bellina tersenyum manis ke arah Yuna.
“Ayolah! Sesekali makan masakanku!” Bellina menarik tubuh Yuna untuk duduk
kembali. Ia terus tersenyum sambil menyiapkan makanan yang ia bawa.
Yuna terpaku di tempat duduknya. Ia tidak
mengerti kenapa Bellina tiba-tiba berubah. Ia pikir, ada sesuatu yang sedang
direncanakan oleh Bellina.
“Ayo, makan, Yun!” pinta Bellina sambil
tersenyum.
“Makanlah, Yun! Biar gimana pun, Bellina
tetap kakak kamu. Kamu harus menghargai usaha keras dia!”
Yuna tersenyum. Ia meraih sendok perlahan dan
mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. “Menghargai apaan? Dia aja nggak pernah
menghargai aku sedikitpun,” gumam Yuna dalam hati. Ia melahap makanan dengan
kesal.
“Oh ya, ini undangan pernikahan kita.”
Bellina menyodorkan undangan ke hadapan Yuna. “Dateng ya!” pintanya.
“Uhuk ... uhuk ...!” Yuna meraih air minum di
atas meja. Ia mengambil undangan di atas meja dan membukanya. “Empat juli?” Ia
mengernyitkan dahinya.
Bellina tersenyum puas. Akhirnya ia bisa
menunjukkan pada Yuna kalau Lian tetap memilih dirinya sebagai istri.
“Mmh ... kayaknya aku nggak bisa datang.
Soalnya, pas ulang tahun Jheni.”
Bellina mengernyitkan dahi. “Penting mana sih
ulang tahun sahabat atau pernikahan saudara kamu sendiri?”
“Sahabat,” jawab Yuna sambil tersenyum penuh
percaya diri.
Bellina geram mendengar jawaban Yuna. Namun,
ia memaksa bibirnya untuk tersenyum.
Yuna tersenyum sambil menatap Lian dan
Bellina yang bersamanya. Ia bangkit dari tempat duduk. “Makasih ya, makan
siangnya!” Ia segera meraih laptop dan berkas-berkasnya dan berbalik.
Yuna melangkah perlahan. Tiba-tiba kepalanya
berdenyut sampai ke lehernya. Ia memijat kepalanya perlahan sambil terus
melangkah pergi.
Bellina tersenyum sinis sambil menatap tubuh
Yuna yang perlahan menjauh.
Yuna berjalan sambil merayap di dinding.
“Kayaknya, nggak makan aneh-aneh. Kenapa tiba-tiba mual ya?” Ia bergegas
kembali ke ruangannya dan duduk di kursi.
“Bellina nggak ngasih apa-apa kan di makanan
aku? Kalo iya, dia sama Lian juga pasti ngerasain hal yang sama,” gumam Yuna.
Rasa mual di perutnya semakin menjadi-jadi.
Yuna bangkit dari kursi, bergegas ke kamar
mandi dan langsung memuntahkan semua isi perutnya. “Oh ... God! What happen with me?” Ia
menyandarkan tubuhnya ke dinding.
“Yun, kamu kenapa?” Icha tiba-tiba masuk ke
toilet dan langsung menghampiri Yuna.
“Nggak papa. Cuma nggak enak badan sedikit.
Kamu punya minyak kayu putih atau nggak?” tanya Yuna balik.
“Ada. Tunggu di sini!” Icha bergegas pergi
dan kembali membawakan minyak kayu putih untuk Yuna.
“Aku pipis bentar!” seru Icha sambil masuk ke
dalam salah satu pintu toilet.
Yuna tersenyum. Ia mengoleskan minyak kayu
putih ke kening dan lehernya. Perutnya kembali mual, tapi ia tidak bisa lagi
memuntahkan isi perut yang sudah kosong.
“Yun, aku antar kamu pulang aja,” tutur Icha
saat ia keluar dari toilet.
“Nggak usah, Cha! Uweeek ...!” Ia kembali
kembali memuntahkan isi perutnya ke lubang wastafel.
“Yun, kayaknya parah deh. Mending pulang aja
ya! Ntar aku bantu izin ke Bu Citra.”
“Nggak usah, Cha. Kayaknya aku cuma salah
makan.”
“Emangnya kamu abis makan apa, Yun? Tadi,
kamu nggak ada ke kantin.”
“Aku makan bareng Bellina sama Lian.”
“Jangan-jangan, dia ngasih sesuatu di makanan
kamu?”
“Nggak mungkin. Makanan yang kami makan sama,
kok. Kalau emang ada sesuatunya, Bellina sama Lian juga pasti kena.”
“Kamu punya maag?” tanya Icha.
Yuna mengangguk. “Tapi, udah lama nggak
pernah kambuh.”
“Ya udah. Istirahat dulu sebentar. Aku antar
kamu ke ruanganmu!” perintah Icha sambil memapah Yuna keluar dari toilet.
Yuna langsung menyandarkan kepalanya di kursi
begitu ia sampai di ruang kerjanya. “Kamu balik kerja lagi, Cha! Aku nggak
papa, kok.”
“Tapi ...”
“Aku beneran nggak papa.”
“Aku bikinkan teh hangat dulu, mau?”
tanya Icha.
“Mmh ... boleh, deh.”
Icha tersenyum. Ia bergegas menuju pantry dan
membuatkan teh hangat untuk Yuna.
Icha bergegas mengantarkan teh hangat ke
ruangan Yuna. Ia memerhatikan Yuna yang sudah kembali sibuk di depan layar
laptop.
“Yun, kamu yakin nggak papa?” tanya Icha. Ia
masih khawatir dengan keadaan Yuna.
“Iya, aku nggak papa.”
Icha langsung meletakkan secangkir teh ke
meja Yuna.
“Thanks, Cha!” ucap Yuna sambil tersenyum.
Icha menganggukkan kepala. “Mmh ... kamu mau
makan sesuatu nggak? Kalo abis muntah, perut kamu pasti kosong.”
“Nggak usah, Cha! Ini aja cukup,” jawab Yuna
sambil menunjuk teh buatan Icha.
Icha mengangguk sambil tersenyum. Ia langsung
bergegas kembali ke ruang kerjanya lagi.
(( Bersambung ... ))
Uch, hari ini PH turun rank lagi , bikin aku lemesh ...
Makasih udah baca sampai di sini, dukung terus Mr. And Mrs.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment