“Yulia,
apa yang sudah kamu lakuin di luar sana?” tanya Agung begitu puterinya kembali
ke rumah.
“Aku
nggak bikin apa-apa,” jawab Yulia santai.
“Kamu
masih bilang nggak bikin apa-apa, hah!? Galaxy bisa dengan mudah mengakuisisi
perusahaan keluarga kita karena sikap kamu.” Ratih, mama Yulia angkat bicara.
“Sikap
aku yang mana?”
“Apa
yang udah kamu bikin di acara ulang tahun istri walikota? Andre sudah
menceritakan semuanya dan membatalkan perjodohan kalian.”
“Apa?
Ngebatalin perjodohan?” Yulia mengernyitkan dahi. “Nggak mungkin. Ma,
perjodohanku sama Andre nggak boleh batal. Please, bantu aku, Ma!”
“Kamu
udah bikin malu keluarga. Bisa-bisanya kamu bikin kekacauan di pesta orang
penting. Sekarang, Galaxy sudah mengambil alih semua perusahaan kita. Kalau
bukan karena ulah kamu. Proses negosiasi perusahaan kita masih berjalan sampai
sekarang. Kita nggak akan jadi seperti ini!” seru Ratih.
“Ma,
aku nggak ngapa-ngapain. Dia memang licik banget. Aku nggak akan diam aja! Aku
bakal balas dia.”
“Mau
balas gimana? Penghindaran pajak perusahaan keluarga kita sudah diselidiki.
Kamu tahu, kita bukan Cuma kehilangan saham perusahaan. Tapi juga harus
membayar dalam jumlah yang sangat besar,” tutur Ratih sambil mendelik ke arah
Yulia.
“Ma,
aku nggak pernah ngurusin pajak perusahaan. Jadi, hal ini nggak ada hubungannya
sama sekali sama aku!” sahut Yulia kesal.
“Kalau
kamu nggak cari gara-gara sama Direktur Galaxy, semua nggak akan seperti ini!”
“Aku
nggak tahu apa-apa,Ma. Yeriko bisa nyelidiki kasus pajak di Duta Group, itu
karena dia berkolusi sama walikota!” tutur Yulia kesal. Ia tidak terima karena
kedua orang tua justru menyalahkannya terus menerus.
PLAK
...!
Telapak
tangan Ratih langsung mendarat di pipi Yulia. “Anak kurang ajar! Mama besarin
kamu sampai bisa kayak gini, buat apa? Buat ngancurin keluarga kamu sendiri,
hah!?”
Seumur
hidupnya, Yulia tidak pernah ditampar oleh mamanya sendiri. Kali ini, Yulia
benar-benar membenci mamanya sendiri. Ia tidak terima karena menjadi
satu-satunya orang yang disalahkan dalam masalah ini.
“Ma,
penghindaran pajak itu bukan aku yang buat. Itu semua keputusan Papa. Kalau aja
Papa bisa jujur, semua nggak akan seperti ini!” seru Yulia dengan mata
berkaca-kaca.
PLAK
...!!!
Tangan
Ratih kembali mendarat di pipi Yulia. “Papa kamu ngelakuin ini semua buat
keluarga. Buat kamu!” sentaknya. “Masih aja nggak tahu diri!”
“Udah,
Ma. Nggak ada gunanya Mama mukulin Yulia!” Agung menengahi pertengkaran istri
dan anaknya.
Yulia
dan mamanya saling pandang penuh kebencian.
Agung
menarik napas panjang. “Lebih baik, kita pikirkan gimana minta maaf sama Pak
Yeri.”
“Pak
Yeri? Dia masih muda, Pa. Papa manggil dia ‘Pak’? Yeriko itu nggak pantas buat
dihormati. Papa nggak bisa kayak gini!?” protes Yulia.
“Yulia!”
sentak Agung. “Kamu ngerti etika sedikit atau nggak? Papa sekolahin kamu
jauh-jauh, ini hasilnya?”
Yulia
semakin kesal mendapati makian dari kedua orang tuanya.
“Kita
nggak punya pilihan lain. Kita harus minta maaf sama dia!” pinta Agung.
“Pa,
aku nggak sudi minta maaf sama dia!” tegas Yulia.
“Di
saat seperti ini, kamu masih bisa mikirin diri kamu sendiri? Semua ini karena
ulah kamu juga. Kalau bukan karena kamu, Yeriko nggak akan ambil alih
perusahaan kita secepat ini!” Agung menatap kesal ke arah Yulia.
Agung
menarik napas beberapa kali. Ia khawatir tidak bisa mengendalikan emosinya dan
justru akan menyakiti puterinya.
“Ma,
kamu siapin hadiah sebagai permintaan maaf!” pinta Agung pada istrinya. “Kamu,
ikut kami ke rumah Yeriko!” pintanya sambil menatap Yulia.
Yulia
terdiam. Ia tidak menolak, juga tidak mengiyakan perintah papanya. Pikirannya
semakin kacau. Ia tidak bisa mendapatkan Andre, keluarganya juga dibuat
berantakan oleh Yeriko. Kini, ia mengerti kenapa Yeriko begitu disegani dan
ditakuti oleh para pebisnis besar di kota ini.
Ratih
dan Agung menyiapkan banyak hadiah sebagai permintaan maafnya kepada Yeriko.
Setelah semuanya siap, mereka bergegas pergi menuju rumah villa Yeriko.
“Semoga
aja, Yeriko mau maafin keluarga kita. Setidaknya, Papa masih bisa ikut
mengelola perusahaan walau sudah diambil alih,” tutur Ratih saat mereka sudah
tiba di depan halaman rumah Yeriko.
Agung
menarik napas panjang. “Semoga, Ma!”
Mereka
bergegas keluar dari mobil.
Yulia
tetap memasang wajah tak bersahabat. Ia merasa, harga dirinya begitu terinjak
karena harus meminta maaf pada Yeriko dan istrinya.
“Pa
...!” Ratih menyenggol lengan Agung sambil menengadahkan kepalanya. Matanya
tertuju pada sosok Yeriko yang berdiri di atas balkon. Menatap mereka tanpa
ekspresi.
Agung
dan Yulia ikut menatap Yeriko.
“Selamat
sore, Pak Ye!” Agung menunduk hormat kepada Yeriko yang sedang menatapnya.
Yeriko
melipat kedua tangan sambil menatap tiga orang yang berdiri di halaman
rumahnya. Ia tak membuka mulut sedikitpun. Mata dan wajahnya membeku,
membiarkan tiga orang tersebut berdiri di bawah terik matahari.
Yeriko
melirik arloji di tangannya. Terik matahari jam empat sore cukup untuk memberi
mereka kehangatan selama dua puluh menit. Yeriko tersenyum sinis dan masuk ke
rumahnya.
“Ma,
lihat! Dia sombong banget. Kita udah lima belas menit berdiri di sini, dia cuma
ngelihatin kita aja. Bahkan, salam papa aja nggak dihiraukan. Kulitku udah
gosong kayak gini,” omel Yulia.
“Diam,
Yul!” pinta Agung. “Kita nggak boleh pergi sebelum dia menerima permintaan maaf
keluarga kita.”
“Pa,
kenapa dia belum keluar juga?” tanya Ratih. Ia mulai cemas karena pintu rumah
Yeriko tak kunjung terbuka.
“Sabar,
Ma. Kita harus menunjukkan kalau kita memang bersungguh-sungguh meminta maaf
pada keluarga Yeriko.”
“Udahlah,
Pa. Aku males harus kayak gini. Kenapa sih Mama sama Papa mau menjatuhkan harga
diri buat dia?” tutur Yulia.
“Yulia,
kami ngelakuin ini buat kamu juga. Kamu mau keluarga kita bener-bener jatuh
miskin? Jadi gembel di jalanan?” sahut Agung sambil menatap Yulia.
Yulia
menggelengkan kepala.
“Selama
ini, papa kamu bekerja keras membangun sebuah perusahaan, supaya kita semua
bisa hidup layak dan bahagia. Kamu malah menghancurkan perusahaan papa kamu
gara-gara kelakuan kamu ini.”
Yulia
terdiam. Ia tak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataan kedua orang
tuanya. Sebenarnya, ia muak berada di depan rumah Yuna dan Yeriko. Apalagi
harus masuk dan meminta maaf.
“Pa,
lihat! Ada yang lagi bukain pintu,” tutur Ratih sambil menatap pintu rumah
Yeriko yang terbuat dari kaca.
“Ayo,
Ma!” Agung mengajak Ratih dan Yulia melangkah menuju pintu rumah Yeriko.
Mereka
akhirnya bisa bernapas lega karena pintu rumah Yeriko terbuka dan mau menerima
kehadiran mereka. Bagi Agung, asal sudah bisa masuk ke rumah Yeriko, ia
memiliki kesempatan baik untuk meminta maaf atas nama puterinya.
Yulia
menarik napas. Ia mengikuti langkah kedua orang tuanya tak bersemangat. Ini
adalah hal paling memalukan yang ia lakukan seumur hidup. Ia sama sekali tak
menyangka kalau akan bertemu dengan orang sekuat Yeriko. Bahkan semua orang,
mengenalnya sebagai.
(( Bersambung ... ))
Awal bulan nih, semua balik ke nol lagi. Dukung terus cerita ini dengan
cara kasih Star, hadiah atau review ya. Kasih peluk_kiss juga boleh, biar aku
makin semangat bikin cerita yang lebih seru dan lebih manis lagi. Jiayou!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment