“Yer,
kamu beneran udah ambil alih perusahaan Yulia?” tanya Yuna sambil membaca
berita online.
Yeriko
mengangguk. “Kamu mau ngelola salah satu anak perusahaanku?”
Yuna
menggeleng. “Aku belum punya banyak pengalaman mengurus perusahaan. Masih harus
belajar.” Ia tersenyum kecil tanpa mengalahkan pandangan dari ponselnya.
“Kamu
mainan apa?” tanya Yeriko sambil merebut ponsel Yuna.
“Nggak
main. Cuma cari tema yang cute aja.”
Yeriko
mengembalikan ponsel Yuna.
Tok
... tok ... tok ...!
Yeriko
dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka.
“Masuk,
Bi!” pinta Yeriko.
“Ini
pesanan Mbak Yuna.” Bibi War menyodorkan nampan ke arah Yeriko.
Yeriko
mengernyitkan dahi.
“Makasih,
Bi!” Yuna langsung meraih nampan yang ada di tangan Bibi War.
“Bibi
turun lagi. Kalau perlu sesuatu, telepon Bibi aja ya! Nggak usah naik turun
tangga!”
Yuna
mengangguk.
Yeriko
menatap wajah Yuna. “Sejak kapan kamu request makanan ke Bibi?”
“Sejak
hari ini. Aku kan nggak boleh makan ice cream. Aku minta bibi bikinin ini
sebagai gantinya,” jawab Yuna sambil menyendok bubur sumsum buatan Bibi War.
Yeriko
terus mengamati Yuna yang asyik menikmati bubur sumsum. “Kamu nggak nawarin
aku?”
“Hehehe.
Mau?”
Yeriko
mengangguk.
Yuna
mengambil satu sendok bubur dan menyuapkan ke mulut Yeriko.
“Gimana?
Enak?”
Yeriko
mengangguk. Ia langsung merebut mangkuk bubur dari tangan Yuna dan melahapnya.
“Iih
... ini aku yang minta buatin sama Bibi!” seru Yuna. “Main rebut aja “
“Minta
bawain lagi sama Bibi! Kok, enak banget ya?” Yeriko melahap bubur tersebut
penuh semangat.
Yuna
tertawa kecil. Hanya semangkuk bubur sumsum bis membuat suaminya makan begitu
lahap. Ini pertama kalinya ia melihat suaminya mengunyah makanan seperti orang
kelaparan.
“Kenapa
ketawa?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.
“Nggak
papa.”
“Kamu
minta lagi sama Bibi!”
“Nggak
usah. Lihat kamu makan selahap ini, aku udah kenyang.”
Yeriko
tersenyum. Ia langsung menghabiskan suapan terakhirnya.
“Mau
lagi?” tanya Yuna.
Yeriko
mengangguk sambil menyodorkan mangkuk yang ada di tangannya.
Yuna
tersenyum, ia bangkit dari sofa dan bergegas turun ke dapur.
“Bi,
bubur sumsum masih ada?” tanya Yuna.
“Masih,
Mbak. Mau lagi?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Sini,
biar Bibi yang ambilkan!” Bibi War mengambil mangkuk dari tangan Yuna.
“Agak
banyakin ya, Bi!” pinta Yuna. “Kayaknya, Yeriko kelaparan.”
“Hah!?
Mas Yeri makan bubur?”
“He-em.”
Yuna mengangguk.
“Aneh!?”
celetuk Bibi War.
“Aneh
kenapa?”
“Setahu
Bibi, Mas Yeri nggak pernah mau makan bubur. Bubur apa aja dia nggak mau makan
sama sekali. Lihat aja dia nggak mau.”
“Masa
sih?”
Bibi
War mengangguk. “Dari kecil, dia nggak suka makanan yang lembek-lembek kayak
bubur.”
“Tadi
aku suruh dia cobain sedikit. Eh, keenakan,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.
Bibi
War tersenyum kecil. “Semenjak nikah, kebiasaan Mas Yeri memang banyak
berubah.”
“Semua
orang bisa berubah, Bi. Termasuk selera makan.”
“Iya
juga, sih. Bibi nggak tahu kalau Mas Yeri juga suka. Jadi, Bibi cuma buat
sedikit buburnya.”
“Nggak
papa, Bi. Ini udah cukup, kok.” Yuna meraih mangkuk dari tangan Bibi War dan
bergegas naik ke kamarnya.
“Udah
dibilangin, kalau perlu sesuatu tinggal telepon aja. Kenapa masih turun
sendiri?” gumam Bibi War sambil menatap tubuh Yuna yang langsung menghilang di
ujung tangga.
“Beruang
... buburnya sudah datang!” seru Yuna sambil menghampiri Yeriko.
Yeriko
tersenyum. Ia meletakkan ponsel ke atas meja dan menatap Yuna yang sudah duduk
di sampingnya. “Suapin!” pintanya manja.
“Eh!?”
Yuna mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti kenapa suaminya tiba-tiba begitu
manja. Ia hanya tersenyum dan menyuapkan bubur ke mulut Yeriko satu persatu.
“Kata
bibi, kamu nggak doyan makan bubur. Kenapa sekarang makan bubur lahap banget?”
“Nggak
tahu.”
“Kok,
nggak tahu?”
“Lihat
kamu makan, kayaknya enak banget. Pas udah nyobain, ternyata emang enak.”
“Kamu
bener-bener nggak pernah makan bubur?”
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Nggak
tahu. Males aja lihatnya.”
“Ini
nggak males?”
Yeriko
menggeleng.
“Aneh
banget!” gumam Yuna.
“Mungkin,
karena ada kamu,” tutur Yeriko sambil tersenyum.
“Iih
... gombal!” sahut Yuna sambil tertawa.
Yeriko
tersenyum. Ia meraih remote dan menyalakan televisi. “Temenin aku nonton ya!”
“Horor
lagi?” tanya Yuna.
Yeriko
nyengir sambil mengeluarkan koleksi kaset film miliknya.
“Kamu
takut tapi ngajak nonton film horor mulu?”
“Aku
penasaran. Kan ada kamu yang nemenin aku.”
Yuna
memonyongkan bibirnya. Ia tidak begitu berani dan tidak bisa bilang tidak
takut. Kalau ada yang menemaninya menonton, ia bisa dibilang cukup berani.
“Kamu
yang pilih filmnya!” pinta Yeriko sambil menunjukkan beberapa kaset yang belum
ia tonton bersama Yuna.
“The
Forest aja!” jawab Yuna sambil menunjuk salah satu cover DVD yang terlihat
lebih seram daripada yang lainnya.
“Yakin
mau nonton ini?”
Yuna
mengangguk. “Kamu takut?”
Yeriko
menganggukkan kepala. Ia memasangkan kaset tersebut ke dalam DVD player dan
bergegas kembali ke sofa.
“Belum
mulai filmnya, udah ketakutan. Kalo takut, nggak usah nonton horor. Nonton
berita aja!”
“Ah,
kamu ini!” Yeriko langsung menarik tubuh Yuna ke dalam pelukannya.
Yuna
tersenyum kecil. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Yeriko dan menemani suaminya
menonton salah satu film horor garapan sutradara Jason Zada.
“Yun
...!”
“Umh
....”
“Waktu
pacaran sama Lian, pernah nonton film bareng?”
“Nggak
pernah.”
“Serius?
Pacaran ngapain aja?”
“Pacaran
di sekolah doang.” Yuna meringis ke arah Yeriko. “Masa remajaku nggak sebebas
anak-anak remaja yang lain. Jadi, aku nggak pernah ngerasain nonton film bareng
pacar.”
“Oh
ya? Mmh ... gimana kalo malam minggu nanti, aku ajak kamu pacaran?”
“Eh!?”
Yuna langsung mengangkat wajahnya menatap Yeriko.
“Bukannya
kita nggak pernah pacaran juga?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Enaknya ... kita ke mana dan ngapain aja?”
“Mmh
... jalan-jalan, nonton film, cari makanan enak, apalagi ya?”
“Keliling
kota sampai pagi!” sahut Yuna.
“Mmh
... boleh juga.” Yeriko manggut-manggut.
Mereka
kembali fokus menonton film bersama.
“Sebentar
lagi keluar hantunya!” seru Yeriko.
“Kamu
udah nonton ini?”
“Belum.”
“Gimana
bisa tahu kalau setannya mau keluar?”
“Biasanya,
kalo udah ada lampu mati-nyala-mati begitu, keluar hantunya.”
“Aaargh
...!” Yuna berteriak dan disambut teriakan Yeriko.
“Beneran
kan?” bisik Yeriko sambil memeluk Yuna.
“Enggak.”
“Kenapa
teriak?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.
Yuna
terkekeh. “Biar kamu takut, hahaha.”
“Sempat-sempatnya
kamu ngerjain aku di saat lagi tegang-tegangnya kayak gini?” dengus Yeriko
sambil mencolek pinggang Yuna.
“Aw
... geli!” seru Yuna sambil berkelit.
“Biar
aja!” Yeriko terus menggelitik pinggang Yuna dan tertawa bersama.
“Udah,
jangan gelitikin aku terus!” pinta Yuna. “Nggak aku temani nonton, nih!”
ancamnya.
“Nggak
papa. Kamu temani aku tidur aja!” Yeriko mematikan televisi, menggendong tubuh
Yuna dan mengajaknya naik ke tempat tidur.
“Filmnya
belum kelar. Nanggung!” seru Yuna.
“Bisa
ditonton lagi besok.”
“Tapi
...”
Yeriko
langsung menghisap leher Yuna. Membuat mereka tenggelam dalam satu nafas penuh
gairah.

0 komentar:
Post a Comment