Tuesday, May 20, 2025

Perfect Hero Bab 214 - Sisi Lain Mr. Ye || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yer, kamu beneran udah ambil alih perusahaan Yulia?” tanya Yuna sambil membaca berita online.

 

Yeriko mengangguk. “Kamu mau ngelola salah satu anak perusahaanku?”

 

Yuna menggeleng. “Aku belum punya banyak pengalaman mengurus perusahaan. Masih harus belajar.” Ia tersenyum kecil tanpa mengalahkan pandangan dari ponselnya.

 

“Kamu mainan apa?” tanya Yeriko sambil merebut ponsel Yuna.

 

“Nggak main. Cuma cari tema yang cute aja.”

 

Yeriko mengembalikan ponsel Yuna.

 

 

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

 

 

Yeriko dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka.

 

“Masuk, Bi!” pinta Yeriko.

 

“Ini pesanan Mbak Yuna.” Bibi War menyodorkan nampan ke arah Yeriko.

 

Yeriko mengernyitkan dahi.

 

“Makasih, Bi!” Yuna langsung meraih nampan yang ada di tangan Bibi War.

 

“Bibi turun lagi. Kalau perlu sesuatu, telepon Bibi aja ya! Nggak usah naik turun tangga!”

 

Yuna mengangguk.

 

Yeriko menatap wajah Yuna. “Sejak kapan kamu request makanan ke Bibi?”

 

“Sejak hari ini. Aku kan nggak boleh makan ice cream. Aku minta bibi bikinin ini sebagai gantinya,” jawab Yuna sambil menyendok bubur sumsum buatan Bibi War.

 

Yeriko terus mengamati Yuna yang asyik menikmati bubur sumsum. “Kamu nggak nawarin aku?”

 

“Hehehe. Mau?”

 

Yeriko mengangguk.

 

Yuna mengambil satu sendok bubur dan menyuapkan ke mulut Yeriko.

 

“Gimana? Enak?”

 

Yeriko mengangguk. Ia langsung merebut mangkuk bubur dari tangan Yuna dan melahapnya.

 

“Iih ... ini aku yang minta buatin sama Bibi!” seru Yuna. “Main rebut aja “

 

“Minta bawain lagi sama Bibi! Kok, enak banget ya?” Yeriko melahap bubur tersebut penuh semangat.

 

Yuna tertawa kecil. Hanya semangkuk bubur sumsum bis membuat suaminya makan begitu lahap. Ini pertama kalinya ia melihat suaminya mengunyah makanan seperti orang kelaparan.

 

“Kenapa ketawa?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.

 

“Nggak papa.”

 

“Kamu minta lagi sama Bibi!”

 

“Nggak usah. Lihat kamu makan selahap ini, aku udah kenyang.”

 

Yeriko tersenyum. Ia langsung menghabiskan suapan terakhirnya.

 

“Mau lagi?” tanya Yuna.

 

Yeriko mengangguk sambil menyodorkan mangkuk yang ada di tangannya.

 

Yuna tersenyum, ia bangkit dari sofa dan bergegas turun ke dapur.

 

“Bi, bubur sumsum masih ada?” tanya Yuna.

 

“Masih, Mbak. Mau lagi?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Sini, biar Bibi yang ambilkan!” Bibi War mengambil mangkuk dari tangan Yuna.

 

“Agak banyakin ya, Bi!” pinta Yuna. “Kayaknya, Yeriko kelaparan.”

 

“Hah!? Mas Yeri makan bubur?”

 

“He-em.” Yuna mengangguk.

 

“Aneh!?” celetuk Bibi War.

 

“Aneh kenapa?”

 

“Setahu Bibi, Mas Yeri nggak pernah mau makan bubur. Bubur apa aja dia nggak mau makan sama sekali. Lihat aja dia nggak mau.”

 

“Masa sih?”

 

Bibi War mengangguk. “Dari kecil, dia nggak suka makanan yang lembek-lembek kayak bubur.”

 

“Tadi aku suruh dia cobain sedikit. Eh, keenakan,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

Bibi War tersenyum kecil. “Semenjak nikah, kebiasaan Mas Yeri memang banyak berubah.”

 

“Semua orang bisa berubah, Bi. Termasuk selera makan.”

 

“Iya juga, sih. Bibi nggak tahu kalau Mas Yeri juga suka. Jadi, Bibi cuma buat sedikit buburnya.”

 

“Nggak papa, Bi. Ini udah cukup, kok.” Yuna meraih mangkuk dari tangan Bibi War dan bergegas naik ke kamarnya.

 

“Udah dibilangin, kalau perlu sesuatu tinggal telepon aja. Kenapa masih turun sendiri?” gumam Bibi War sambil menatap tubuh Yuna yang langsung menghilang di ujung tangga.

 

“Beruang ... buburnya sudah datang!” seru Yuna sambil menghampiri Yeriko.

 

Yeriko tersenyum. Ia meletakkan ponsel ke atas meja dan menatap Yuna yang sudah duduk di sampingnya. “Suapin!” pintanya manja.

 

“Eh!?” Yuna mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti kenapa suaminya tiba-tiba begitu manja. Ia hanya tersenyum dan menyuapkan bubur ke mulut Yeriko satu persatu.

 

“Kata bibi, kamu nggak doyan makan bubur. Kenapa sekarang makan bubur lahap banget?”

 

“Nggak tahu.”

 

“Kok, nggak tahu?”

 

“Lihat kamu makan, kayaknya enak banget. Pas udah nyobain, ternyata emang enak.”

 

“Kamu bener-bener nggak pernah makan bubur?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Kenapa?”

 

“Nggak tahu. Males aja lihatnya.”

 

“Ini nggak males?”

 

Yeriko menggeleng.

 

“Aneh banget!” gumam Yuna.

 

“Mungkin, karena ada kamu,” tutur Yeriko sambil tersenyum.

 

“Iih ... gombal!” sahut Yuna sambil tertawa.

 

Yeriko tersenyum. Ia meraih remote dan menyalakan televisi. “Temenin aku nonton ya!”

 

“Horor lagi?” tanya Yuna.

 

Yeriko nyengir sambil mengeluarkan koleksi kaset film miliknya.

 

“Kamu takut tapi ngajak nonton film horor mulu?”

 

“Aku penasaran. Kan ada kamu yang nemenin aku.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya. Ia tidak begitu berani dan tidak bisa bilang tidak takut. Kalau ada yang menemaninya menonton, ia bisa dibilang cukup berani.

 

“Kamu yang pilih filmnya!” pinta Yeriko sambil menunjukkan beberapa kaset yang belum ia tonton bersama Yuna.

 

“The Forest aja!” jawab Yuna sambil menunjuk salah satu cover DVD yang terlihat lebih seram daripada yang lainnya.

 

“Yakin mau nonton ini?”

 

Yuna mengangguk. “Kamu takut?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia memasangkan kaset tersebut ke dalam DVD player dan bergegas kembali ke sofa.

 

“Belum mulai filmnya, udah ketakutan. Kalo takut, nggak usah nonton horor. Nonton berita aja!”

 

“Ah, kamu ini!” Yeriko langsung menarik tubuh Yuna ke dalam pelukannya.

 

Yuna tersenyum kecil. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Yeriko dan menemani suaminya menonton salah satu film horor garapan sutradara Jason Zada.

 

“Yun ...!”

 

“Umh ....”

 

“Waktu pacaran sama Lian, pernah nonton film bareng?”

 

“Nggak pernah.”

 

“Serius? Pacaran ngapain aja?”

 

“Pacaran di sekolah doang.” Yuna meringis ke arah Yeriko. “Masa remajaku nggak sebebas anak-anak remaja yang lain. Jadi, aku nggak pernah ngerasain nonton film bareng pacar.”

 

“Oh ya? Mmh ... gimana kalo malam minggu nanti, aku ajak kamu pacaran?”

 

“Eh!?” Yuna langsung mengangkat wajahnya menatap Yeriko.

 

“Bukannya kita nggak pernah pacaran juga?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Enaknya  ... kita ke mana dan ngapain aja?”

 

“Mmh ... jalan-jalan, nonton film, cari makanan enak, apalagi ya?”

 

“Keliling kota sampai pagi!” sahut Yuna.

 

“Mmh ... boleh juga.” Yeriko manggut-manggut.

 

Mereka kembali fokus menonton film bersama.

 

“Sebentar lagi keluar hantunya!” seru Yeriko.

 

“Kamu udah nonton ini?”

 

“Belum.”

 

“Gimana bisa tahu kalau setannya mau keluar?”

 

“Biasanya, kalo udah ada lampu mati-nyala-mati begitu, keluar hantunya.”

 

“Aaargh ...!” Yuna berteriak dan disambut teriakan Yeriko.

 

“Beneran kan?” bisik Yeriko sambil memeluk Yuna.

 

“Enggak.”

 

“Kenapa teriak?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

 

Yuna terkekeh. “Biar kamu takut, hahaha.”

 

“Sempat-sempatnya kamu ngerjain aku di saat lagi tegang-tegangnya kayak gini?” dengus Yeriko sambil mencolek pinggang Yuna.

 

“Aw ... geli!” seru Yuna sambil berkelit.

 

“Biar aja!” Yeriko terus menggelitik pinggang Yuna dan tertawa bersama.

 

“Udah, jangan gelitikin aku terus!” pinta Yuna. “Nggak aku temani nonton, nih!” ancamnya.

 

“Nggak papa. Kamu temani aku tidur aja!” Yeriko mematikan televisi, menggendong tubuh Yuna dan mengajaknya naik ke tempat tidur.

 

“Filmnya belum kelar. Nanggung!” seru Yuna.

 

“Bisa ditonton lagi besok.”

 

“Tapi ...”

 

Yeriko langsung menghisap leher Yuna. Membuat mereka tenggelam dalam satu nafas penuh gairah.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas