“Yun,
kenapa kemarin nggak masuk kerja? Kamu sakit?” tanya Icha di sela-sela jam
makan siang.
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kamu
bawa bekal sendiri?” tanya Icha melihat Yuna yang mengeluarkan bekal makannya
di kantin.
Yuna
mengangguk. “Aku lagi program hamil. Yeriko protective banget. Dia ganti semua
menu makanan aku. Biasanya, aku makan apa aja yang aku mau. Sekarang ...
lihat!” Yuna menunjukkan isi kotak bekalnya.
Icha
tertawa kecil. “Ini kan sehat, Yun. Yeriko bener, kamu terlalu banyak makan
pedas. Jangan-jangan, itu yang bikin rahim kamu bermasalah.”
“Kata
dokter, rahim aku dingin, bukan pedas!” sahut Yuna.
Yuna
meringis sambil melahap potongan buah pir.
“Santai
aja kali, Cha. Bukan masalah besar. Aku nggak ngerasa rugi sedikit pun.”
“Beneran
nggak dirugikan?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Yun,
hamil itu nggak mudah.”
“Aku
tahu. Ini lagi usaha.”
“Ck,
bukan itu maksud aku.”
“Terus?”
“Kalo
hamil, kamu bakal mengalami perubahan bentuk tubuh yang signifikan. Kamu udah
siap punya anak?”
Yuna
mengangguk pasti.
“Beneran?”
“Beneran,
Cha.”
“Aku
nggak nyangka kalau kamu punya keberanian sebesar ini.”
Yuna
tertawa kecil. “Emangnya kenapa? Bukannya sudah jadi kodratnya perempuan, hamil
dan melahirkan.”
“Iya,
sih. Tapi, aku nggak berani buat hamil.”
“Kamu
belum nikah. Jangan hamil duluan!”
“Idih,
amit-amit jabang bayi, Yun. Jauhkan bala!” Icha mengetuk-ngetuk meja dan
kepalanya.
Yuna
tertawa kecil. “Hayo ngaku, kamu sama Lutfi udah …?”
“Udah
apa!?” dengus Icha. “Nggak usah mikir macem-macem!”
Yuna
meringis. “Aku nggak mikir macem-macem. Cuma … Lutfi sama kamu kan udah dewasa.
Masa nggak ada perkembangan dalam hubungan kalian? Tunangan, menikah?”
“Yun,
aku ini baru aja mulai kerja. Aku bahkan belum jadi apa-apa. Hidupku harus
stabil dulu baru mikir nikah.”
“Kenapa
harus nunggu stabil? Lutfi hidupnya sudah stabil. Kamu nggak perlu kerja keras,
dia pasti bisa penuhi semua kebutuhan kamu.”
“Jodohku
belum tentu dia.”
“Kamu
gimana sih Cha? Harusnya kamu berdoa, semoga dia jadi jodohku, gitu!” sahut
Yuna.
Icha
menghela napas. “Akhir-akhir ini, aku berantem mulu sama Lutfi.”
“Berantem
kenapa?”
“Salah
paham terus, Yun. Dia juga sekarang makin posesif. Hal kecil aja dibikin jadi
besar sama dia. Makin lama, aku makin males ngadepin dia.”
“Kok,
dia begitu?”
“Iya.
Aku juga nggak ngerti. Ada saat di mana aku ngerasa dia sayang banget sama aku.
Ada saatnya juga aku ngerasa … dia nggak butuh aku sama sekali,” tutur Icha
sambil menundukkan kepala.
“Cha,
kamu nggak boleh ngerasa rendah diri terus kayak gini. Setiap orang punya
masalah. Bisa aja Lutfi lagi ada masalah sama kerjaan dan dia nggak bisa
mengendalikan diri saat sama kamu.”
“Apa
suami kamu juga gitu?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Ck,
dia kayak gitu karena sayang sama kamu, Yun. Kalo Lutfi, kadar cintanya masih
perlu dipertanyakan.”
“Kamu
ini aneh, nggak percaya sama pacar kamu sendiri.”
“Gimana
mau percaya kalo kelakuannya aja kayak gitu. Masih aja jalan sama cewek lain.”
“Hahaha.
Kamu masih cemburu sama Lutfi?”
Icha
terdiam mendengar pertanyaan Yuna.
“Cha,
cuma masalah kayak gini aja kamu udah nggak percaya diri. Gimana kalau kamu
jadi aku? Mantan pacar suami terang-terangan mau ngerusak rumah tanggaku.
Mantan pacarku juga masih ngejar-ngejar aku. Kalau kita nggak saling percaya,
rumah tangga aku sudah ‘END’ dari dulu.”
“Iya
sih, tapi ...”
“Cha,
di antara kalian harus ada yang saling mengalah. Lutfi memang masih
kekanak-kanakkan. Kamu jauh lebih dewasa daripada dia. Harusnya, kamu bisa
berpikiran lebih terbuka. Nerima dia yang memang seperti itu.”
“Awalnya,
aku emang biasa aja sebelum kami menjalin hubungan serius. Dia pergi sama cewek
lain, aku nggak pernah gelisah. Tapi, makin ke sini aku makin takut, Yun. Aku
... takut kehilangan dia.”
“Cha,
aku ngerti kok perasaan kamu. Aku juga selalu merasa kayak gitu. Mungkin, aku
bisa bertahan untuk tetap di sisi Yeriko. Tapi, kalau suatu hari nanti dia yang
memilih untuk pergi. Aku juga nggak bisa memaksakan keinginanku.”
Icha
tersenyum ke arah Yuna. Ia sangat bahagia mengenal Yuna selama beberapa bulan
terakhir. Andai bisa memilih, ia ingin mengenal Yuna jauh sebelum ia
menginjakkan kakinya ke Pulau Jawa.
“Huft,
saat ini aku dihadapi sama masalah baru. Gimana caranya bisa cepet ngasih
Yeriko keturunan. Aku nggak mau ngecewain keluarga Yeriko yang udah
memperlakukan aku begitu baik. Kamu bantu aku ya, Cha!”
“Eh!?
Aku bisa bantu apa?”
“Bantu
ingatin aku buat nggak makan dan minum sembarangan lagi. Biar aku bisa cepet
hamil!” pinta Yuna ceria.
Icha
menganggukkan kepala. “Aku pasti selalu ingatin dan jagain kamu di sini. Hmm
... aku jadi ngebayangin gimana wajah anak kamu nanti. Kalo cewek, pasti cantik
banget kayak kamu. Kalo cowok, pasti sekeren Yeriko kan?”
Yuna
tertawa kecil. “Iya, dong. Kalo nggak mirip aku sama Yeri, mau mirip siapa
lagi?”
“Mmh
... aku jadi nggak sabar pengen punya keponakan yang lucu. Aku bakal simpan
jatah cutiku kalau kamu udah mulai hamil.”
“Eh!?
Apa hubungannya aku hamil sama kamu cuti?”
“Biar
bisa lihat ponakan setiap hari!” seru Icha bahagia.
“Astaga,
nggak usah sampe segitunya. Cuti kerja, bisa kamu pakai buat pulang kampung
nemuin orang tua kamu. Kalo mau lihat ponakan setiap hari, bisa setelah pulang
kerja kan?”
“Hmm
... iya juga, sih. Tapi ... waktunya pasti sebentar. Nggak puas, Yun.”
“Kamu
nginap aja di rumah aku!” pinta Yuna.
“Nginap?
Mmh ... kayaknya nggak etis kalo aku nginap di rumah kamu.”
“Kenapa?”
“Sungkan
sama Yeriko.”
“Hihihi.
Udah ah, menghayalnya. Aku juga belum tahu kapan aku hamil. Doain ya! Semoga
program aku cepat membuahkan hasil!” pinta Yuna sambil bangkit dari tempat
duduknya.
“Oke.
Semangat!” seru Icha.
“Loh?
Yun, udah mau pergi? Aku baru datang,” tanya Juan yang tiba-tiba duduk di
samping Icha.
“Banyak
kerjaan yang harus aku selesaikan. Nggak bisa lama-lama di sini. Bye!” Yuna
melambaikan tangan dan bergegas melenggang penuh ceria.
“Eh,
tumben dia makannya cepat?” tanya Juan sambil menatap Icha.
“Udah
dari tadi di sini. Kamu aja yang lambat. Tumben banget jam segini baru ke
kantin, banyak kerjaan?”
Juan
menganggukkan kepala.
Dari
balik dinding yang ada di sisi meja Icha, Bellina bisa mendengar percakapan
Yuna dan sahabatnya itu dengan sangat jelas. Bibir setengahnya menyunggingkan
senyum penuh arti.
(( Bersambung ))
Bulan baru, jadi awal yang baru juga. Dukung terus Perfect Hero biar aku
makin semangat bikin cerita yang lebih manis dan lebih seru lagi. Thanks semua
atas dukungan Star dan hadiahnya. I Love you double-double ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment