Tuesday, May 20, 2025

Perfect Hero Bab 206 : Dukungan Sahabat || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yun, kenapa kemarin nggak masuk kerja? Kamu sakit?” tanya Icha di sela-sela jam makan siang.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kamu bawa bekal sendiri?” tanya Icha melihat Yuna yang mengeluarkan bekal makannya di kantin.

 

Yuna mengangguk. “Aku lagi program hamil. Yeriko protective banget. Dia ganti semua menu makanan aku. Biasanya, aku makan apa aja yang aku mau. Sekarang ... lihat!” Yuna menunjukkan isi kotak bekalnya.

 

Icha tertawa kecil. “Ini kan sehat, Yun. Yeriko bener, kamu terlalu banyak makan pedas. Jangan-jangan, itu yang bikin rahim kamu bermasalah.”

 

“Kata dokter, rahim aku dingin, bukan pedas!” sahut Yuna.

 

Yuna meringis sambil melahap potongan buah pir.

 

“Santai aja kali, Cha. Bukan masalah besar. Aku nggak ngerasa rugi sedikit pun.”

 

“Beneran nggak dirugikan?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Yun, hamil itu nggak mudah.”

 

“Aku tahu. Ini lagi usaha.”

 

“Ck, bukan itu maksud aku.”

 

“Terus?”

 

“Kalo hamil, kamu bakal mengalami perubahan bentuk tubuh yang signifikan. Kamu udah siap punya anak?”

 

Yuna mengangguk pasti.

 

“Beneran?”

 

“Beneran, Cha.”

 

“Aku nggak nyangka kalau kamu punya keberanian sebesar ini.”

 

Yuna tertawa kecil. “Emangnya kenapa? Bukannya sudah jadi kodratnya perempuan, hamil dan melahirkan.”

 

“Iya, sih. Tapi, aku nggak berani buat hamil.”

 

“Kamu belum nikah. Jangan hamil duluan!”

 

“Idih, amit-amit jabang bayi, Yun. Jauhkan bala!” Icha mengetuk-ngetuk meja dan kepalanya.

 

Yuna tertawa kecil. “Hayo ngaku, kamu sama Lutfi udah …?”

 

“Udah apa!?” dengus Icha. “Nggak usah mikir macem-macem!”

 

Yuna meringis. “Aku nggak mikir macem-macem. Cuma … Lutfi sama kamu kan udah dewasa. Masa nggak ada perkembangan dalam hubungan kalian? Tunangan, menikah?”

 

“Yun, aku ini baru aja mulai kerja. Aku bahkan belum jadi apa-apa. Hidupku harus stabil dulu baru mikir nikah.”

 

“Kenapa harus nunggu stabil? Lutfi hidupnya sudah stabil. Kamu nggak perlu kerja keras, dia pasti bisa penuhi semua kebutuhan kamu.”

 

“Jodohku belum tentu dia.”

 

“Kamu gimana sih Cha? Harusnya kamu berdoa, semoga dia jadi jodohku, gitu!” sahut Yuna.

 

Icha menghela napas. “Akhir-akhir ini, aku berantem mulu sama Lutfi.”

 

“Berantem kenapa?”

 

“Salah paham terus, Yun. Dia juga sekarang makin posesif. Hal kecil aja dibikin jadi besar sama dia. Makin lama, aku makin males ngadepin dia.”

 

“Kok, dia begitu?”

 

“Iya. Aku juga nggak ngerti. Ada saat di mana aku ngerasa dia sayang banget sama aku. Ada saatnya juga aku ngerasa … dia nggak butuh aku sama sekali,” tutur Icha sambil menundukkan kepala.

 

“Cha, kamu nggak boleh ngerasa rendah diri terus kayak gini. Setiap orang punya masalah. Bisa aja Lutfi lagi ada masalah sama kerjaan dan dia nggak bisa mengendalikan diri saat sama kamu.”

 

“Apa suami kamu juga gitu?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Ck, dia kayak gitu karena sayang sama kamu, Yun. Kalo Lutfi, kadar cintanya masih perlu dipertanyakan.”

 

“Kamu ini aneh, nggak percaya sama pacar kamu sendiri.”

 

“Gimana mau percaya kalo kelakuannya aja kayak gitu. Masih aja jalan sama cewek lain.”

 

“Hahaha. Kamu masih cemburu sama Lutfi?”

 

Icha terdiam mendengar pertanyaan Yuna.

 

“Cha, cuma masalah kayak gini aja kamu udah nggak percaya diri. Gimana kalau kamu jadi aku? Mantan pacar suami terang-terangan mau ngerusak rumah tanggaku. Mantan pacarku juga masih ngejar-ngejar aku. Kalau kita nggak saling percaya, rumah tangga aku sudah ‘END’ dari dulu.”

 

“Iya sih, tapi ...”

 

“Cha, di antara kalian harus ada yang saling mengalah. Lutfi memang masih kekanak-kanakkan. Kamu jauh lebih dewasa daripada dia. Harusnya, kamu bisa berpikiran lebih terbuka. Nerima dia yang memang seperti itu.”

 

“Awalnya, aku emang biasa aja sebelum kami menjalin hubungan serius. Dia pergi sama cewek lain, aku nggak pernah gelisah. Tapi, makin ke sini aku makin takut, Yun. Aku ... takut kehilangan dia.”

 

“Cha, aku ngerti kok perasaan kamu. Aku juga selalu merasa kayak gitu. Mungkin, aku bisa bertahan untuk tetap di sisi Yeriko. Tapi, kalau suatu hari nanti dia yang memilih untuk pergi. Aku juga nggak bisa memaksakan keinginanku.”

 

Icha tersenyum ke arah Yuna. Ia sangat bahagia mengenal Yuna selama beberapa bulan terakhir. Andai bisa memilih, ia ingin mengenal Yuna jauh sebelum ia menginjakkan kakinya ke Pulau Jawa.

 

“Huft, saat ini aku dihadapi sama masalah baru. Gimana caranya bisa cepet ngasih Yeriko keturunan. Aku nggak mau ngecewain keluarga Yeriko yang udah memperlakukan aku begitu baik. Kamu bantu aku ya, Cha!”

 

“Eh!? Aku bisa bantu apa?”

 

“Bantu ingatin aku buat nggak makan dan minum sembarangan lagi. Biar aku bisa cepet hamil!” pinta Yuna ceria.

 

Icha menganggukkan kepala. “Aku pasti selalu ingatin dan jagain kamu di sini. Hmm ... aku jadi ngebayangin gimana wajah anak kamu nanti. Kalo cewek, pasti cantik banget kayak kamu. Kalo cowok, pasti sekeren Yeriko kan?”

 

Yuna tertawa kecil. “Iya, dong. Kalo nggak mirip aku sama Yeri, mau mirip siapa lagi?”

 

“Mmh ... aku jadi nggak sabar pengen punya keponakan yang lucu. Aku bakal simpan jatah cutiku kalau kamu udah mulai hamil.”

 

“Eh!? Apa hubungannya aku hamil sama kamu cuti?”

 

“Biar bisa lihat ponakan setiap hari!” seru Icha bahagia.

 

“Astaga, nggak usah sampe segitunya. Cuti kerja, bisa kamu pakai buat pulang kampung nemuin orang tua kamu. Kalo mau lihat ponakan setiap hari, bisa setelah pulang kerja kan?”

 

“Hmm ... iya juga, sih. Tapi ... waktunya pasti sebentar. Nggak puas, Yun.”

 

“Kamu nginap aja di rumah aku!” pinta Yuna.

 

“Nginap? Mmh ... kayaknya nggak etis kalo aku nginap di rumah kamu.”

 

“Kenapa?”

 

“Sungkan sama Yeriko.”

 

“Hihihi. Udah ah, menghayalnya. Aku juga belum tahu kapan aku hamil. Doain ya! Semoga program aku cepat membuahkan hasil!” pinta Yuna sambil bangkit dari tempat duduknya.

 

“Oke. Semangat!” seru Icha.

 

“Loh? Yun, udah mau pergi? Aku baru datang,” tanya Juan yang tiba-tiba duduk di samping Icha.

 

“Banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Nggak bisa lama-lama di sini. Bye!” Yuna melambaikan tangan dan bergegas melenggang penuh ceria.

 

“Eh, tumben dia makannya cepat?” tanya Juan sambil menatap Icha.

 

“Udah dari tadi di sini. Kamu aja yang lambat. Tumben banget jam segini baru ke kantin, banyak kerjaan?”

 

Juan menganggukkan kepala.

 

Dari balik dinding yang ada di sisi meja Icha, Bellina bisa mendengar percakapan Yuna dan sahabatnya itu dengan sangat jelas. Bibir setengahnya menyunggingkan senyum penuh arti.

 

(( Bersambung ))

 

Bulan baru, jadi awal yang baru juga. Dukung terus Perfect Hero biar aku makin semangat bikin cerita yang lebih manis dan lebih seru lagi. Thanks semua atas dukungan Star dan hadiahnya. I Love you double-double ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas