“Mbak Yuna, waktunya minum obat. Udah Bibi seduhin,” tutur
Bibi War sambil meletakkan secangkir ramuan herbal di atas meja.
Yuna mengangguk sambil membaca buku yang ada di tangannya.
“Makasih, Bi!”
Bibi War mengangguk dan bergegas keluar dari kamar Yuna.
Yuna menghela napas saat melihat cangkir ramuan herbal di
atas meja. Ia menutup buku yang ia baca dan meraih cangkir tersebut. Ia menutup
hidung saat mencium aroma ramuan obat yang membuat perutnya mual.
“Aargh ...! Kenapa obat harus pahit?” seru Yuna sambil
merengek.
“Kenapa?” tanya Yeriko yang baru saja keluar dari kamar
mandi.
“Eh, nggak papa,” jawab Yuna sambil memperbaiki posisi
duduknya. Ia menutup hidung dan menyeruput obat itu perlahan. “Uweeek ...!”
Kerongkongannya seakan menolak ramuan tersebut masuk ke tubuhnya.
Yeriko menghampiri Yuna dan merebut cangkir yang ada di
tangan Yuna.
Yuna langsung melongo menatap Yeriko. Beberapa hari ke
depan, ia akan meminum ramuan herbal secara rutin. Rasanya sangat tidak enak,
tapi ia tidak ingin mengecewakan Yeriko. Ia harus berusaha keras agar bisa
memberikan keturunan untuk Yeriko.
“Pahit ya?” tanya Yeriko.
Yuna mengangguk. “Aku nggak suka pahit,” jawabnya sambil
memonyongkan bibir.
“Jadi, kamu nggak mau minum obat ini?”
“Mau!” sahut Yuna sambil berusaha merebut cangkir dari
tangan Yeriko.
“Kamu nggak suka pahit, kan? Biar aku yang minum.” Yeriko
menyeruput ramuan herbal milik Yuna.
“Bukan gitu. Dari kemarin aku sudah minum obatnya, kok.
Lagian, cuma sebentar aja minum obatnya. Kalau udah hamil, nggak ba–”
Yeriko langsung membungkam mulut Yuna dengan bibirnya.
Mengalirkan ramuan obat ke mulut Yuna perlahan.
Yuna menerima ramuan obat dari mulut Yeriko dan langsung
menelannya hingga habis. Pipinya menghangat, ia terus mengulum bibir Yeriko
penuh cinta. Hingga rasa pahit di mulutnya perlahan berubah menjadi begitu
manis.
“Masih pahit?” tanya Yeriko sambil melepas ciumannya.
Yuna menggelengkan kepala, ia tersenyum sambil menyentuh
bibirnya.
“Obatnya masih ada. Mau lagi?” tanya Yeriko.
Yuna mengangguk.
Yeriko menyodorkan cangkir tersebut ke arah Yuna. “Minum
sendiri!” pintanya sambil menahan tawa.
Yuna memonyongkan bibirnya. Ia sangat kecewa dengan sikap
Yeriko yang mempermainkan dirinya.
Yeriko tersenyum kecil. Ia mengambil seteguk besar ramuan
tradisional yang tersisa di cangkir tersebut. Meletakkan kembali cangkir ke
atas meja dan langsung menyerang bibir Yuna tanpa ampun.
“Mmh ... mmh ...” Yuna memberontak saat tubuh Yeriko
menekan tubuhnya berbaring di sofa.
“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.
“Kamu mau cabulin aku?” dengus Yuna. Matanya mendelik,
namun bibirnya menahan tawa penuh arti.
“Iya. Karena kamu nggak mau jadi istri yang penurut,” sahut
Yeriko sambil menggelitik pinggang Yuna.
“Hahaha.” Yuna tergelak. Ia berusaha melepaskan diri dari
tangan Yeriko. “Ampuuun ...!” serunya sambil melarikan diri dan melompat ke
atas tempat tidur.
“Kamu mau kabur dari aku, hah!?” Yeriko menatap Yuna dan
bersiap memangsa gadis itu.
Yuna menjulurkan lidah sambil menari-nari.
Yeriko ikut melompat ke atas tempat tidur. Menangkap dan
membanting tubuh Yuna ke kasur.
“Kamu nggak bisa pergi lagi dari aku!” tegas Yeriko sambil
memeluk erat tubuh Yuna. Ia juga menjepit tubuh Yuna dengan kedua kakinya.
Yuna terkekeh, jemari tangannya merayap di kaki Yeriko
perlahan.
“Aargh ...!” Yeriko berteriak saat Yuna menarik beberapa
bulu kakinya. “Kamu jahil banget sih!?” Ia mengelus kakinya yang terasa perih.
“Iih ... beneran tercabut!” seru Yuna sambil menunjukkan
bulu kaki yang ada di tangannya.
“Kamu ... bener-bener nggak punya perasaan!” Yeriko
mengeratkan giginya, ia gemas dengan tingkah laku istrinya yang kerap kali
mencabut bulu kakinya.
Yuna terkekeh sambil menatap wajah Yeriko.
“Kayak gini cara kamu berterima kasih sama suami kamu,
hah!?” goda Yeriko sambil menggelitik pinggang Yuna.
“Aargh ...!” Yuna tertawa sambil menahan geli di
pinggangnya. “Sst ...!” Yuna menempelkan jari telunjuk di bibirnya.
“Kenapa?” bisik Yeriko sambil menoleh ke arah pintu. Ia
tidak mendengar suara langkah kaki, namun Yuna menyuruhnya untuk diam sambil
menoleh ke arah pintu.
“Waktunya makan malam, makan yuk!” ajak Yuna sambil
menyentuh pipi Yeriko.
“Ayo ...!” Yeriko melepas pelukannya dan bangkit dari
tempat tidur.
Yuna langsung melompat ke punggung Yeriko sambil tertawa
riang.
Yeriko tersenyum. Ia mengecup pipi Yuna dan menggendongnya
turun ke ruang makan.
Yuna menatap menu makanan yang terhidang di meja. Ia
berkacak pinggang sambil mengitari meja makan tiga ratus enam puluh derajat.
Yeriko tertawa kecil, ia menarik kursi dan duduk sambil
menatap Yuna yang masih belum berminat untuk duduk di kursinya.
“Mulai hari ini, kamu nggak boleh makan makanan pedas!”
tegas Yeriko. “Nggak ada sambal, nggak ada cabai di makanan kamu.”
Yuna menghela napas, ia duduk di kursi yang ada di sebelah
Yeriko. “Nggak masalah.” Ia tersenyum dan mulai menyantap makanan yang
terhidang di atas meja. Lidahnya terasa hambar, ia terbiasa makan makanan
pedas. Kali ini, ia pasti bisa melewati semuanya demi menghidupkan seorang bayi
dalam perutnya.
Yeriko tersenyum bahagia melihat kerja keras Yuna. Yuna
harus meninggalkan semua hal yang ia sukai dan menerima hal yang ia benci demi
memberikan keturunan.
“Yun, kamulah yang paling bekerja keras untuk ini. Terima
kasih, sudah bersedia melakukannya demi aku” tutur Yeriko dalam hati. Ia
mengelus rambut Yuna sambil tersenyum hangat.
“Oh ya, kata dokter aku harus rajin olahraga ringan. Mulai
besok pagi, aku mau ikut kamu jogging.”
“Serius?”
Yuna mengangguk. “Emang kelihatannya main-main?”
“Mmh ... nggak, sih. Aneh aja. Biasanya, kamu paling males
diajak jogging.”
“Sebenernya males, sih. Tapi kalo nggak jogging, aku nggak
tahu harus olahraga apa lagi. Aku emang kurang gerak. Di kantor lebih banyak
duduk, jarang banget turun ke proyek.”
“Nggak usah sampai ke proyek!” pinta Yeriko.
“Kenapa?”
“Kamu sekarang asisten direktur, bisa suruh staff kamu buat
ke lokasi. Di sana, terlalu berbahaya buat perempuan kayak kamu. Aku nggak mau,
terjadi apa-apa sama kamu.”
Yuna mengangguk.
“Oh ya, selama program hamil, kamu jangan makan ice cream
dan minum alkohol!” pinta Yeriko lagi.
“He-em.” Yuna mengangguk sambil mengunyah makanan di
mulutnya.
“Nggak boleh jajan di luar sembarangan. Tiap jam makan
siang, Bibi bakal antar bekal makan kamu ke kantor.”
“Eh!?”
“Nggak boleh nolak!” tegas Yeriko.
Yuna mengangguk lagi. Ia merasa Yeriko mulai protective dan
banyak mengatur dirinya.
“Satu lagi. Sebisa mungkin nggak ketemu sama sepupu kamu
yang jahat itu!”
“Iya.”
“Oh ya, kamu juga nggak boleh kerja lembur!” pinta Yeriko.
“He-em.”
Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu nggak keberatan
sama semua peraturan ini?”
Yuna menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Yeriko menghela napas. Ia harap, sikapnya kali ini tidak
membebani pikiran Yuna. Walau menginginkan yang terbaik untuk Yuna, ia juga
tidak bisa terus memaksakan diri dan membuat suasana hati Yuna justru memburuk.
(( Bersambung ))
Bulan baru, jadi awal yang baru juga. Dukung terus Perfect Hero biar aku
makin semangat bikin cerita yang lebih manis dan lebih seru lagi. Thanks semua
atas dukungan Star dan hadiahnya. I Love you double-double ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment