Keesokan harinya, Rullyta langsung membawa
Yuna ke dokter pengobatan tradisional. Dokter tersebut menyentuh denyut nadi
Yuna. “Apa kamu pernah mengalami kejadian buruk di masa lalu?” tanya dokter
tersebut.
Yuna terpaku mendengar pertanyaan dokter.
Otaknya tak bisa ia ajak berpikir dengan baik, di pelupuk matanya, terbayang
kisah pilu sebelas tahun lalu saat kedua orang tuanya mengalami kecelakaan.
Satu titik, di mana kehidupannya berubah drastis. Seorang putri yang memiliki
segalanya menjadi upik abu yang tidak berdaya.
“Nggak perlu takut untuk bercerita. Kamu ke
sini, pasti sudah siap melepas semua beban masa lalumu satu per satu. Jika
tidak, kondisi mentalmu akan mempengaruhi proses kehamilan.”
Yuna tersenyum kecil. Ia menarik napas
dalam-dalam. Mengumpulkan banyak kekuatan.
“Sebelas tahun yang lalu ....” Yuna mulai
menceritakan masa lalunya setelah kedua orang tuanya mengalami kecelakaan.
“Saya kasih kamu obat,” tutur dokter tersebut
setelah mendengarkan cerita singkat dari Yuna.
Yuna mengangguk, ia tersenyum ke arah Rullyta
yang menemaninya berobat.
Rullyta hanya tersenyum sambil menggenggam
tangan Yuna. Ia semakin mengerti dengan apa yang terjadi pada Yuna. Menghadapi
masa depan bersama masa lalu yang terus menghantuinya, tentunya tidak mudah.
“Bu, ada hal yang ingin saya bicarakan dengan
Anda.” Dokter tersebut menatap Rullyta.
Rullyta mengangguk dan mengikuti dokter
tersebut ke ruangannya.
“Gimana keadaan menantu saya, Dok? Apa dia
bisa hamil?”
Dokter tersebut menganggukkan kepala. “Dari
catatan medis dokter sebelumnya, hormon progesteronnya memang kurang, tapi
tidak terlalu parah. Embrio sulit berkembang karena ini. Dengan bantuan
obat-obatan herbal, dia bisa cepat hamil. Dia juga harus menjaga pola makan dan
pola hidup yang baik.”
“Kondisi psikisnya kurang baik. Orang-orang
terdekat dia, harus bisa menjaga suasana hatinya dengan baik untuk membantu
mempercepat proses pemulihan.”
Rullyta mengangguk tanda mengerti. “Apa dia
juga harus berhenti bekerja, istirahat total supaya bisa cepet hamil?”
“Apa pekerjaan dia angkat yang berat-berat?”
Rullyta menggelengkan kepala. “Dia bekerja di
kantor.”
“Saya rasa pekerjaannya nggak masalah. Dia
harus banyak bergerak dan berolahraga ringan supaya kondisi badannya tetap
sehat.”
“Oh, gitu ya?”
Dokter tersebut menganggukkan kepala.
“Suaminya kenapa nggak antar dia ke sini?”
“Ada banyak pekerjaan di perusahaannya.”
“Suaminya harus memberikan dukungan yang
besar, supaya dia bisa tetap nyaman dan tenang.”
Rullyta menganggukkan kepala. “Mmh ... Dok,
apa trauma masa lalu Yuna bisa disembuhkan?”
“Soal itu, lebih baik konsultasi dengan
psikiater. Apa dia selalu murung?”
Rullyta menggelengkan kepala. “Dia justru
selalu ceria, sampai kami tidak mengetahui kalau dia punya masa lalu yang
begitu buruk.”
“Baguslah kalau begitu. Semoga kondisinya
bisa cepat pulih. Setelah obatnya habis, harus kembali ke sini lagi untuk
melihat perkembangannya.”
“Baik, Dokter. Kalau gitu. Kami pamit
pulang.” Rullyta langsung bergegas membawa Yuna pulang ke rumah usai membayar
semua biaya pemeriksaan.
Sesampainya di rumah, Rullyta mengajak Yuna
makan bersama.
“Kakek ...!” sapa Yuna ceria saat melihat
kakek Nurali bergabung di meja makan bersamanya.
“Eh, ada cucu kesayangan Kakek. Kapan
datang?”
“Baru aja, Kek. Bareng Mama. Kakek sehat,
kan?”
“Yah, seperti yang kamu lihat. Kakek masih
segar bugar seperti ini,” jawab Nurali sambil tertawa kecil.
“Syukurlah kalau gitu, seneng lihat Kakek
selalu sehat.”
“Yeri mana? Nggak ikut ke sini?”
“Lagi banyak kerjaan di kantor,” jawab Yuna
sambil tersenyum.
“Iya. Kami juga baru
pulang dari pengobatan tradisional. Yang aku ceritain ke Papa semalam.”
“Gimana hasilnya?”
“Semuanya baik-baik aja.”
“Baguslah. Semoga, kalian bisa cepet ngasih
Kakek teman main!”
“Aamiin,” sahut Yuna penuh harap.
Mereka menikmati makan siang sambil
berbincang ceria. Usai makan, Rullyta mengajak Yuna masuk ke dalam kamarnya.
Rullyta mengajak Yuna berbincang banyak hal
tentang fashion dan kuliner favoritnya dari berbagai negara.
Mata Yuna tertuju pada potret Rullyta dan
Yeri kecil dengan latar Tokyo Disneyland.
“Ini foto waktu kami liburan ke Jepang. Saat
itu, Yeri baru lulus SD,” jelas Rullyta.
Yuna tersenyum kecil. “Aku juga pernah ke
sana waktu umur sepuluh tahun. Setiap tahunnya, setiap liburan sekolah, ayah
selalu ngajak kami liburan ke luar negeri. Di tahun dia kecelakaan, dia
berjanji akan membawa kami berlibur ke Hongaria. Aku harap, saat ayah sembuh,
aku bisa membawa dia ke tempat itu.”
Rullyta tersenyum sambil menggenggam pundak
Yuna. “Kamu selalu diperlakukan dengan baik oleh orang tua kamu. Gimana paman
dan bibi kamu memperlakukan kamu setelah itu?”
“Awalnya, mereka memperlakukan aku sangat
baik. Lama kelamaan, kondisi kesehatan ayah tidak kunjung membaik. Semua harta
yang ayah tinggalkan, dijual untuk biaya pengobatan, termasuk rumah kami,”
tutur Yuna sambil meneteskan air mata.
“Setiap hari, aku harus bekerja keras
mengurus rumah dan menuruti semua keinginan Tante Melan supaya dia tetep
biayain semua pengobatan ayah.”
“Gimana mereka memperlakukan kamu
sehari-hari. Apa mereka pernah mukul kamu juga?”
Yuna mengangguk kecil. “Saat itu, aku masih
umur tiga belas tahun. Aku nggak punya keberanian untuk melawan mereka. Sampai
akhirnya, aku daftar beasiswa diam-diam. Kepala sekolah yang bantu aku buat
keluar dari rumah neraka itu. Sejak keluar, aku nggak pernah menginjakkan
kakiku di rumah itu lagi.”
Rullyta merengkuh kepala Yuna ke dalam
pelukannya. “Mulai sekarang, rumah ini jadi rumah kamu. Nggak ada satu orang
pun yang bisa melukai kamu. Kami akan selalu melindungi kamu.”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa
sangat bahagia memiliki keluarga baru yang begitu menyayanginya.
“Gimana kehidupan kamu di luar negeri?” tanya
Rullyta.
“Survive banget. Tapi aku bahagia karena
punya banyak teman yang mendukungku di sana.”
“Baguslah. Mulai sekarang, kamu harus hidup
dengan baik!” pinta Rullyta sambil tersenyum manis ke arah Yuna.
Yuna mengangguk. Ia kembali memeluk erat
tubuh Rullyta. “Ma, makasih ya! Mama udah menyayangi aku seperti anak sendiri.
Aku nggak tahu gimana menghadapi semua ini tanpa Mama dan Yeri.”
Rullyta tersenyum sambil mengelus punggung
Yuna. “Semua orang tua ingin melindungi kebahagiaan anak-anaknya. Mama nggak
akan ngebiarin siapa pun menyakiti anak-anak Mama. Seekor kelinci, bisa berubah
menjadi singa saat kehidupan anak-anaknya diusik.”
“Maaf, aku udah jadi menantu yang merepotkan.
Menimbulkan banyak masalah di keluarga ini.”
“Sst ...! Jangan ngomong kayak gitu lagi!”
pinta Mama Rully. “Semua manusia yang hidup punya masalahnya masing-masing.
Kita harus saling mendukung, supaya bisa menyelesaikan masalah dengan baik dan
menjalani hidup lebih baik.”
Yuna menganggukkan kepala.
“Mulai sekarang, kamu harus cerita ke Mama
kalau ada masalah!” pinta Rullyta. “Jangan main rahasia-rahasiaan. Terutama,
kalau sampai Yeriko menindas kamu. Mama bakal ngasih dia pelajaran!”
Yuna tertawa kecil mendengar ucapan Rullyta.
Rullyta ikut tertawa. Ia memilih untuk membahas hal-hal
indah seputar persiapan pernikahan Yuna dan Yeriko. Membahas masa lalu Yuna
terus menerus, hanya akan membuat suasana hati Yuna semakin buruk.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment