“Udah siap? Tanya Yeriko sambil menatap Yuna
yang sedang berdiri di depan cermin. “Mama udah nunggu di bawah.”
Yuna mengangguk. “Kamu beneran nggak ikut ke
rumah Bunda Yana?”
Yeriko menggeleng. “Akan lebih leluasa kalau
nggak ada aku di sana. Aku nggak mau ganggu kalian.”
Yuna tersenyum sambil menatap wajah Yeriko.
“Oke. Aku pergi dulu!” pamitnya sambil menatap wajah Yeriko.
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna mengecup bibir Yeriko, mereka bergegas
turun menemui Rullyta.
“Udah siap?” tanya Rullyta saat Yuna dan
Yeriko sudah menghampirinya.
Yuna menganggukkan kepala.
“Mau aku antar?” tanya Yeriko.
“Nggak usah. Mama bawa mobil sendiri, sama
supir juga. Oh ya, di depan kok ada mobil Porsche? Mobilnya siapa?”
“Mobilnya Andre,” jawab Yuna.
“Andre? Andre yang ... digosipin skandal sama
kamu itu?” tanya Rullyta sambil menatap Yuna.
Yuna menganggukkan kepala.
“Gimana bisa mobilnya ada di sini?”
“Mama tanya aja sama anak Mama tuh!” sahut
Yuna sambil menunjuk Yeriko dengan dagunya.
Rullyta menatap Yeriko, meminta jawaban atas
pertanyaan yang ia ajukan.
Yeriko tertawa kecil. “Aku taruhan mobil sama
dia.”
“Sudah setua ini, kamu masih aja
kekanak-kanakkan! Kamu jadiin Yuna sebagai bahan taruhan, hah!?”
“Nggak,” jawab Yeriko sambil menggelengkan
kepala.
“Nggak gimana? Kamu taruhan mobil begitu.
Kalo kamu kalah, kamu tukar istri kamu sama mobil? Nggak punya otak!” sentak
Rullyta. Ia sangat kesal dengan sikap Yeriko yang kerap kali bermain-main.
GLEG ...!
Yeriko terdiam mendengar ucapan mamanya. Ia
menatap Yuna yang berdiri di samping Rullyta. Ia tidak pernah berpikir
sekalipun menukar istrinya dengan mobil semahal apa pun. Tapi, mamanya memiliki
persepsi yang berbeda, ia khawatir kalau Yuna juga memiliki pemikiran yang sama
sebagai sesama wanita.
“Ma, nggak mungkin Yeri nuker aku sama
mobil,” tutur Yuna sambil menatap wajah Rullyta.
“Kamu malah belain suami kamu yang bodoh ini,
hah!?”
Yeriko menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ia menatap Yuna, memberi isyarat agar segera membawa pergi mamanya.
Rullyta memerhatikan Yuna dan Yeriko yang
terlihat berkomunikasi tanpa suara. “Heh, kalian udah mulai berkongsi buat
ngelawan Mama ya?”
“Nggak, Ma. Mama terlalu jauh berpikirnya,”
sahut Yeriko.
“Kamu ngapain main mata ke Yuna?”
“Eh, nggak papa. Aku cuma mau minta jatah
lebih ntar malam karena Mama culik dia malam ini.”
Rullyta tersenyum menatap Yeriko. “Dasar,
anak muda!”
Yuna meringis menatap wajah Rullyta.
“Ayo, kita berangkat!” ajak Rullyta sembari
melangkah pergi.
Yuna mengerutkan hidungnya sambil menatap
Yeriko. Ia memukul lengan Yeriko dan berlalu pergi mengikuti langkah Rullyta.
“Jangan lupa ntar malam ya!” seru Yeriko
sambil menatap punggung Yuna.
Yuna memutar kepalanya memandang Yeriko yang
tersenyum jahil ke arahnya. “Jangan bikin aku malu!” serunya dalam hati.
Yeriko tergelak mendapati ekspresi wajah
Yuna. Ia membiarkan dua wanita kesayangannya itu pergi bersama.
Beberapa menit kemudian, Yuna dan Rullyta
sudah sampai di rumah dinas walikota.
Bunda Yana langsung menyambut kedatangan
Rullyta dengan ramah begitu mobil Rullyta memasuki pekarangan rumahnya.
“Hai ... udah lama nunggu ya?” tanya Rullyta
sambil meraih kedua tangan Yana dan bersalaman pipi.
“Nggaklah. Di rumah sendiri gini, nyantai,
kok,” jawab Yana. “Gimana kabar kamu, cantik?” tanyanya sambil menoleh ke arah
Yuna, memeluknya dan bersalaman pipi.
“Baik, Bunda.” Yuna tersenyum manis sambil
menatap Yana.
“Ayo, masuk!” pinta Yana.
Mereka bergegas masuk. Yana sudah menyiapkan
jamuan lezat untuk menyambut kedatangan Yuna dan Rullyta.
“Yun, kamu kan kuliah di luar negeri. Pasti
suka makanan western. Bunda udah siapin makanan spesial buat kamu.”
“Ah, Bunda berlebihan. Walau tinggal di luar
negeri, lidahku masih Indonesia banget, kok.”
“Oh ya? Tapi, pastinya lebih familiar dengan
makanan western kan?”
“Nggak juga. Yuna mah semua dimakan. Apalagi
seafood, dia suka banget makan kepiting dan jago makan sambal,” sahut Rullyta.
“Oh ya?”
“Iya. Tahu sendiri gimana si Yeri. Dia nggak
suka makan makanan yang ribet. Sementara, Yuna suka banget makanan yang ribet.
Kalo dia makan kepiting, Yeri cuma ngelihatin doang.”
“Hahaha. Dia mau makan, kalau udah dipisahin
daging kepitingnya. Kalo aku, nggak ngerasain nikmatnya kalo nggak ngisapin
cangkang kepiting yang nikmat banget itu,” tutur Yuna.
“Kamu suka kepiting? Wah, sayang banget Bunda
nggak masak kepiting. Bapak juga suka banget sama kepiting, tapi kolesterolnya
tinggi. Jadi, Bunda nggak mau masak kepiting. Ntar dia ngiler lihatnya,
hihihi.”
“Oh ya, suami kamu mana?” tanya Rullyta.
“Dia masih ada kegiatan di luar. Sekarang,
dia udah punya warga kota Surabaya. Nggak punya banyak waktu buat keluarga.”
“Jadi, Bunda jarang ketemu sama Pak
Walikota?” tanya Yuna di sela-sela menikmati makan malam bersama Yana dan
Rullyta.
Yana mengangguk. “Ketemunya kalau malam aja.
Kalau udah waktunya istirahat.”
Yuna tersenyum. Ia merasa sangat beruntung,
suaminya juga pria yang sangat sibuk. Tapi masih menyempatkan waktu untuk
menemaninya di rumah dan pergi jalan-jalan.
“Yan, kamu tahu nggak pengobatan tradisional
biar bisa hamil?” tanya Rullyta. “Dulu, rahim kamu juga dingin kan?”
Yana langsung menatap Rullyta dan Yuna
bergantian.
Yuna menggigit bibir, ia tidak tahu harus
memulai dengan kata apa untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.
“Rahim kamu dingin?” tanya Yana sambil
menatap Yuna.
Yuna menganggukkan kepala.
“Kamu nggak usah khawatir, itu bukan masalah
besar. Sebentar ya!” Yana bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkan Yuna
dan Rullyta.
“Tenang aja! Masih bisa diusahakan.
Semangat!” bisik Rullyta sambil menatap Yuna.
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia sangat
bahagia memiliki suami dan mama mertua yang begitu menyayanginya.
Beberapa menit kemudian, Yana kembali dan
memberikan sebuah kartu nama kepada Rullyta.
“Kebetulan, aku masih simpan alamatnya.
Kalian bisa datang ke alamat itu.”
Rullyta mengangguk. “Makasih banyak, Yan!”
Yana menganggukkan kepala. “Kondisi rahim
dingin, memang sulit untuk hamil. Tapi, bukan berarti nggak bisa hamil. Jaga
pola makan, makan makanan yang sehat dan jangan sampai stres!”
Yuna mengangguk. “Makasih, Bunda!”
“He-em. Masalah ini juga jangan jadi beban
pikiran buat kamu. Ini bukan masalah besar. Jangan berpikiran negatif dan bikin
kamu stres!” Yana tersenyum menatap Yuna.
Rullyta menatap Yuna tanpa berkedip.
“Kenapa Mama lihatin aku kayak gitu?”
“Kamu masuk kerja lagi?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Kenapa nggak berhenti kerja aja? Kamu bisa
fokus ke program kehamilan kamu. Mungkin, kamu terlalu capek kerja. Makanya
jadi sulit buat hamil,” tutur Rullyta.
Yuna menggigit bibir. Ia merasa bersalah
karena memutuskan pergi bekerja dan mengetahui kalau kondisi rahimnya tidak
baik.
“Rully, kamu nggak boleh kayak gitu sama
Yuna!” pinta Yana. “Kalo kamu ngelarang dia kerja, justru bikin dia stres.
Apalagi kalau di rumah sendirian dan nggak ada kegiatan. Akan lebih baik kalau
banyak aktivitas di luar. Asalkan nggak beraktivitas yang berat. Kerjaan Yuna
kan di kantor, bukan pekerjaan yang berat.”
“Tapi ... dia kerjanya di departemen proyek.
Walau kerjanya di kantor, sesekali dia terjun ke lapangan. Itu bahaya buat dia.
Yeriko juga ini, jadi suami nggak becus banget! Ngebiarin istrinya pergi kerja
terus,” cerocos Rullyta.
“Maaf, Ma! Aku yang salah, Ma. Aku yang
pengen kerja karena bosan di rumah sendirian. Lagipula, Yeriko itu
pemilik perusahaan besar, aku harus bisa mengembangkan karirku supaya terlihat
pantas berdiri di samping dia.” Yuna menundukkan kepala.
Rullyta menghela napas. Ia tidak mengerti
dengan jalan pikiran Yuna. Ia juga tak ingin menjatuhkan harga diri
Yuna. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa begitu sulit menghadapi wajah Yuna yang murung. Ia
kini mengerti bagaimana perasaan Yeriko saat melihat istrinya bersedih.
“Sudahlah, jangan berdebat lagi!” pinta Yana.
“Makan!”
Mereka kembali menikmati makan malam bersama.
Yana melontarkan beberapa cerita lucu untuk membuat suasana yang canggung
kembali hangat.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment