Setelah sampai rumah, Yuna langsung berbaring
di tempat tidur. Enggan untuk beranjak. Bahkan, senyum di bibirnya pun tak
terlihat lagi.
“Yun ...!” panggil Yeriko lembut. “Makan
yuk!”
“Aku ngantuk, mau tidur,” jawab Yuna sambil
menutup tubuhnya dengan selimut.
Yeriko mengelus pundak Yuna. “Aku udah
masakin banyak makanan enak buat kamu. Makan yuk!” ajak Yeriko lagi.
“Aku ngantuk. Biarkan aku tidur sebentar.
Nanti aku makan kalo udah bangun,” tutur Yuna lirih.
Yeriko menghela napas, ia tidak tahu
bagaimana cara membujuk Yuna agar tidak murung. Sejak pulang dari rumah sakit,
ia tidak mau keluar dari kamar. Tidak banyak bicara dan terus berbaring di
tempat tidur.
Yeriko bangkit, ia melangkah perlahan keluar
dari kamar. Menuruni anak tangga dan menghampiri Bibi War yang sedang
membereskan dapur.
“Mbak Yuna belum mau makan?” tanya Bibi War.
Yeriko menggeleng. “Aku nggak tahu apa yang
lagi dipikirin sama dia sekarang. Dia nggak ada ngomong dan bikin aku bingung.”
“Sebenarnya ada apa? Kalian berantem lagi?
Biasanya, Mas Yeri bisa dengan mudah ngerayu Mbak Yuna dengan makanan.”
“Kami nggak berantem.”
“Terus?”
“Abis periksa dari rumah sakit. Dia ...”
Bibi War menatap Yeriko, menunggu Yeriko
melanjutkan ucapannya.
Yeriko menghela napas. “Aku ke rumah Mama
sebentar.” Ia bangkit dan bergegas keluar rumah. Ia langsung melajukan mobilnya
menuju rumah besar keluarga Hadikusuma.
“Mama di mana?” tanya Yeriko pada pelayan
saat ia masuk ke dalam rumah.
“Di atas, Tuan.”
Yeriko berlari menaiki anak tangga dan
langsung naik ke lantai dua, menghampiri Rullyta yang sedang membaca majalah di
ruang keluarga.
“Ma ...!” panggil Yeriko sambil melangkah
menghampiri Rullyta.
Rullyta langsung menoleh ke arah Yeriko.
“Tumben kamu ke sini? Yuna mana?”
“Aku sendirian.”
“Berantem lagi sama dia? Kamu nggak bisa
lebih ngalah sama istri kamu?” cerca Rullyta.
“Aku nggak berantem sama dia.”
“Terus, kenapa Yuna nggak diajak ke sini?”
“Kami lagi ada masalah. Aku nggak bisa
ngatasi dia.”
“Masalah apa lagi? Refi ganggu kalian lagi?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku abis
periksain Yuna ke rumah sakit.”
“Dia sakit?”
Yeriko menggeleng.
“Kamu ngomong yang jelas dong ke Mama!”
sentak Rullyta. “Kalo nggak sakit, kenapa harus diperiksa ke rumah sakit?
Sebenarnya, ada apa sama Yuna?”
“Periksa kandungan,” jawab Yeriko lirih.
“Hah!? Yuna udah hamil!?”
Yeriko menggeleng.
“Rahim Yuna dingin, cold uterus bikin dia
sulit hamil.” Yeriko memijat kening dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Yer, rahim dingin itu bukan mandul. Dia
masih bisa hamil. Temen Mama ada yang seperti itu. Sekarang, dia sudah punya
dua anak.”
“Gimana caranya?”
“Nanti mama coba tanyakan dia. Kayaknya, dia
terapi dan minum obat-obatan herbal gitu.”
“Beneran masih bisa hamil kan, Ma?”
Rullyta menganggukkan kepala.
“Masalahnya ...” Yeriko menarik napas
sejenak. “Yuna murung terus semenjak pulang dari rumah sakit.”
Rullyta menatap wajah Yeriko. “Dia pasti
nge-down karena kondisi seperti ini. Semua perempuan, pasti sedih kalau divonis
dokter seperti itu. Tapi, kalian masih bisa punya anak. Kamu hanya perlu
mendukung istri kamu. Jangan biarin dia sedih!”
Yeriko mengangguk. “Aku udah ngasih dia
pengertian. Sepertinya, dia lebih khawatir kalau mama nggak bisa nerima kondisi
dia.”
“Kenapa dia berpikir kayak gitu?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Ma, tolong
bujuk dia!” pinta Yeriko. “Dia nggak mau keluar kamar, nggak mau makan, nggak
mau ngomong juga. Aku bingung, Ma.”
Rullyta tertawa kecil menanggapi ucapan
Yeriko.
“Mama kenapa malah ketawa?”
“Baru ini Mama dengar kamu minta tolong sama
Mama. Biasanya, kamu selalu mengatasi masalah kamu sendiri. Nggak butuh Mama.”
“Ck, ini bukan waktunya buat bercanda, Ma.”
“Mama juga nggak bercanda.”
“Ini beda, Ma. Aku nggak sanggup ngatasi
Yuna. Apalagi kalau udah lihat dia murung kayak gitu. Aku nggak tahu harus
gimana. Biasanya, dia gampang banget dihibur. Dikasih makanan enak, udah hilang
sedihnya. Tapi kali ini, dia nggak tertarik sama sekali sama makanan. Bahkan
nggak mau keluar dari kamar. Aku udah bujuk dia terus, tapi nggak berhasil,”
cerocos Yeriko.
Rullyta hanya tersenyum kecil sambil melihat
Yeriko yang uring-uringan.
“Nanti, Mama yang bujuk dia.”
“Beneran, Ma?”
Rullyta mengangguk. “Bener, dong. Yuna juga
kan anak Mama. Mana mungkin Mama biarin dia sedih terus.”
Yeriko tersenyum menatap mamanya. “Oke. Kalo
gitu, aku pulang dulu.”
“Mau langsung pulang?”
Yeriko mengangguk. “Yuna sendirian di rumah.
Kalo aku pergi kelamaan, dia makin murung.”
“Oke. Kamu hibur dia dengan baik!” pinta
Rullyta.
“He-em.” Yeriko mengangguk. “Kakek di mana?”
“Lagi tidur di kamarnya. Besok aja ke sini
lagi, kamu urus Yuna!” sahut Rullyta.
Yeriko mengangguk. Ia bergegas kembali ke
rumahnya. Ia membelikan banyak makanan untuk Yuna sebelum ia kembali ke rumah.
“Bi, Yuna udah makan?” tanya Yeriko saat ia
kembali ke rumahnya.
“Belum keluar dari kamar,” jawab Bibi War.
Yeriko mendesah kesal. Ia menaiki anak tangga
sembari membawa beberapa makanan yang ia beli dari luar. Yeriko membuka pintu
kamar perlahan, meletakkan kantong makanan ke atas meja. Ia menatap Yuna yang
masih berbaring sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Yun ...!” panggil Yeriko sambil melangkah
perlahan menghampiri Yuna. Ia menyingkap perlahan selimut yang menutupi tubuh
Yuna, menatap wajah istrinya yang terlelap.
Yeriko mengelus pipi Yuna perlahan.
“Yun, kamu nggak beneran tidur kan?” tanyanya berbisik. “Aku beliin banyak
makanan enak buat kamu. Makan ya!”
Yuna masih bergeming.
“Yun, kamu jangan kayak gini!” pinta Yeriko
berbisik. “Kita masih bisa berusaha. Asal kamu banyak makan, tetap sehat, kita
pasti punya anak.” Yeriko mengelus rambut Yuna perlahan.
Yuna membuka mata perlahan, menatap wajah
Yeriko yang begitu dekat dengannya.
“Yuna yang aku kenal nggak kayak gini. Penuh
semangat, nggak mudah menyerah dan selalu ceria.”
Yuna tersenyum. “Aku nggak papa, cuma lelah.
Pengen istirahat,” tuturnya lirih.
Ponsel Yuna tiba-tiba berdering. Yuna
langsung menoleh ke ponsel di atas meja.
Yeriko meraih ponsel Yuna, ia tersenyum kecil
begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel tersebut. Ia langsung
memberikan ponsel tersebut kepada Yuna. “Mama Rully,” ucapnya sambil menatap
Yuna.
Yuna meraih ponsel dari tangan Yeriko. “Halo
...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Halo ...! Lagi apa, Sayang?” tanya Rullyta
ceria.
“Baru bangun tidur, Ma. Mama lagi apa?”
“Jam segini tidur?”
“Hehehe. Kepalaku rada pusing. Jadi,
istirahat sebentar.”
“Yeriko udah cerita semuanya ke Mama.”
“Eh!?” Yuna langsung mengangkat tubuh dan
duduk di tempat tidurnya.
“Kamu nggak perlu khawatir. Mama pasti bantu
kamu. Oh ya, nanti malam Mama mau ke rumah Bunda Yana. Kamu siap-siap ya!”
“Mama nggak marah?”
“Marah kenapa?” tanya Rullyta balik.
“A ... aku ...”
“Jangan mikir yang aneh-aneh!” pinta Rullyta.
“Rahim dingin, itu bukan masalah besar. Mama mau ajak kamu ke rumah Bunda Yana.
Kamu siap-siap ya!”
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
Rullyta langsung mematikan panggilan
teleponnya.
Yuna menatap wajah Yeriko yang tersenyum
kepadanya. Bibirnya juga ikut menyunggingkan senyum.
“Gimana? Mama nggak marah kan?” tanya Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala. Ia merasa sangat
tersanjung dan bahagia karena mama mertuanya memberikan dukungan kepada
dirinya.
“Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan!
Sekarang, kita makan dulu ya! Aku laper banget.”
“Kamu belum makan?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Kamu pikir aku
bisa makan kalau istriku aja nggak mau makan.”
Yuna menatap wajah Yeriko. Ia merasa bersalah
karena sikapnya telah membuat Yeriko tersiksa. “Maaf ...”
“Nggak perlu minta maaf. Aku nggak akan
maafin kamu kalo masih nggak mau makan.”
“Iya, aku makan.”
Yeriko tersenyum sambil mengelus ujung kepala
Yuna. Suasana hati Yuna sudah lebih baik, mereka makan bersama sambil
berbincang banyak.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment