“Jangan berpikir kalau kamu bisa ambil Yeriko
dari aku cuma karena masalah ini. Aku nggak akan nyerah gitu aja!” tutur Yuna
sambil menatap Refi.
Refi tersenyum sinis sambil menatap Yuna.
“Kenapa? Kalo bukan aku, pasti ada orang lain yang bakal ambil Yeriko dari kamu
kalau kamu nggak bisa ngasih dia keturunan.”
“Yeriko nggak akan ngelakuin itu!” seru Yuna.
“Kenapa nggak? Dia pengusaha kaya.
Keluarganya pasti butuh pewaris untuk perusahaan dia. Kalo kamu nggak bisa
punya anak, dia pasti bakal cari perempuan lain yang bisa ngasih dia
keturunan.”
“STOP!” teriak Yuna sambil menutup kedua
telinganya. Ia tidak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut Refi dan
membuat perasaannya semakin memburuk.
“Ada apa ini?” tanya Yeriko yang sudah
kembali masuk ke dalam ruangan. Ia langsung menghampiri Yuna dan menurunkan
lengan Yuna dari kepalanya.
“Kamu cari masalah lagi sama istriku?” tanya
Yeriko sambil menatap Refi. “Ref, aku ke sini karena menghargai Yuna sebagai
istriku. Menghargai kamu sebagai teman. Jangan bikin aku kehilangan kesabaran
karena tingkah kamu ini!” sentak Yeriko.
“Aku nggak ngapa-ngapain dia. Emang dianya
aja yang bermasalah. Kamu nggak tahu kenapa istri kamu ini sampai sekarang
masih belum hamil juga?” sahut Refi tanpa rasa bersalah.
Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna.
Yuna memegang erat dokumen yang ada di
tangannya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Yeriko jika tahu kalau ia sulit
untuk mendapatkan seorang anak.
“Kamu kenapa?” tanya Yeriko sambil menatap
Yuna yang terus menundukkan kepalanya.
Refi tersenyum sinis ke arah Yuna. “Kenapa?
Kamu nggak berani bilang ke suami kamu ini kalo kamu nggak bisa hamil?”
“Bener kamu nggak bisa hamil?” tanya Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala sambil menahan air
yang siap keluar dari sudut-sudut matanya.
“Terus?” Yeriko mengernyitkan dahi.
Yuna perlahan menyodorkan laporan diagnosis
dokter ke arah Yeriko.
Yeriko membaca laporan tersebut. Ia tersenyum
ke arah Yuna dan langsung menarik Yuna ke pelukannya. “Kamu masih bisa hamil!”
tutur Yeriko meyakinkan.
“Tapi ...”
“Percaya sama aku!” pinta Yeriko. “Lagipula,
kamu juga masih muda. Masih ada waktu buat main-main. Nggak perlu buru-buru
memikirkan anak!”
“Emang kamu nggak pengen punya anak?” tanya
Yuna sambil menengadahkan kepalanya menatap Yeriko.
“Pengen. Makanya, kamu harus jadi partner
yang baik supaya bisa secepatnya punya Ye kecil di dalam perut kamu!” pinta
Yeriko sambil mencubit pipi Yuna.
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Ia merasa sangat bahagia memiliki seorang suami seperti Yeriko. Bukan hanya
menyayangi dan melindunginya, tapi juga bisa menerima kekurangan yang ada dalam
diri Yuna.
Refi semakin kesal dengan sikap Yeriko dan
Yuna yang sengaja memamerkan kemesraan di hadapannya.
“Yer, dia itu belum tentu bisa ngasih kamu
keturunan. Kondisi rahimnya yang dingin, nggak bisa dipastikan kapan dia bisa
punya anak. Bisa jadi, sampai sepuluh atau lima belas tahun ke depan, kalian
masih belum bisa punya anak.”
Yeriko tersenyum sambil menatap Refi.
“Sekecil apa pun kemungkinannya, aku pasti perjuangkan. Sama seperti kaki kamu.
Dokter bilang, kemungkinan kamu bisa sembuh cuma sepuluh persen. Sekarang,
bahkan nilai sepuluh persen itu sudah berubah menjadi lima puluh persen.”
Refi tersenyum sinis menanggapi ucapan Refi.
“Kalau seandainya dia nggak bisa ngasih kamu keturunan sampai dia menopose, apa
yang kamu lakuin?”
“Aku tetep di samping dia.”
“Kamu gila, Yer? Kamu udah dibikin buta sama
perempuan ini. Harusnya, kamu bisa mikirin pewaris perusahaan kamu. Kalo kamu
nggak punya keturun—”
“Itu bukan urusan kamu,” sela Yeriko. “Lebih
baik, kamu urus diri kamu sendiri dulu. Soal pewaris perusahaanku, kamu nggak
perlu repot-repot mikirin. Cuma buang-buang waktu kamu aja.”
“Aku kayak gini karena aku peduli sama kamu,
Yer. Aku pasti mikirin gimana kamu di masa depan. Aku cinta sama kamu, kamu
masih nggak ngerti perasaanku?”
“Sepertinya kamu yang nggak ngerti membedakan
mana cinta dan mana obsesi!?” sahut Yeriko ketus.
Yuna terdiam. Ia hanya melihat perdebatan
Refi dengan suaminya. Ia sama sekali tidak bersemangat meladeni Refi. Ia sibuk
memikirkan dirinya sendiri. Sebenarnya, ia tak punya keyakinan yang besar.
Yeriko menarik napas melihat wajah Yuna yang
murung. Refi akan terus memancing perdebatan dengannya dan semakin memperburuk
kondisi kesehatan Yuna. Ia menarik lengan Yuna dan mengajak istrinya keluar
dari ruang rawat Refi.
“Yun, kamu harus tenang dan jangan banyak
pikiran!” pinta Yeriko sambil menangkup wajah Yuna dengan dua telapak tangannya
saat mereka sudah sampai di depan lift.
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Gitu, dong! Istri aku harus selalu senyum
setiap saat,” pintanya. “Kamu bukan mandul. Kemungkinan buat punya anak masih
sangat besar. Kita usaha sama-sama. Kamu juga harus jadi partner yang baik dan
penurut!”
Yuna mengangguk.
“Ayo, pulang!” ajak Yeriko. “Aku buatin
masakan yang enak buat kamu.”
Yuna mengangguk dan mengikuti langkah Yeriko
yang menggenggam erat tangannya.
“Kamu mau makan apa?” tanya Yeriko saat
mereka sudah masuk ke dalam mobil.
“Apa aja yang kamu kasih, aku makan,” jawab
Yuna.
Yeriko tersenyum. Ia mulai menjalankan
mobilnya keluar dari halaman rumah sakit. “Gimana kerjaan kamu?”
“Baik,” jawab Yuna sambil tersenyum. “Semua
orang di departemen menyambut kehadiranku dengan baik.”
“Sepupu kamu gimana? Masih suka gangguin
kamu?”
Yuna mengangguk. “Dia itu nggak mungkin diem
aja kalo lihat aku. Pasti langsung marah-marah nggak jelas. Dari dulu, itu-itu
aja yang dibahas. Selalu gara-gara Lian. Takut banget aku ambil lagi,” cerocos
Yuna kesal.
Yeriko tertawa kecil. “Kamu nggak terganggu
sama dia?”
Yuna menggelengkan kepala. “Sekarang, banyak
orang yang belain aku. Bellina mati kutu. Tapi, lagi-lagi dia bikin Icha
cedera.”
“Icha cedera lagi?” tanya Yeriko.
Yuna mengangguk. “Nggak separah waktu itu
sih. Tapi aku tetep aja ngerasa bersalah. Dia begitu karena belain aku.”
Yeriko tersenyum sambil mengelus ujung kepala
Yuna. “Nanti malam, kita ke rumah dia buat ngucapin terima kasih. Gimana?”
“Eh!?”
“Kamu siapin hadiah kesukaan Icha!”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko tersenyum kecil. Ia tidak bisa menjaga
Yuna selama dua puluh empat jam. Ia hanya bisa mengandalkan orang-orang
terdekat Yuna. Ia harus berterima kasih pada orang-orang yang telah membantu
melindungi istrinya.
“Mmh … soal kondisi rahimku, gimana
ngomongnya ke Mama Rully?”
“Nggak usah khawatir!” pinta Yeriko lirih.
“Aku yang bakal ngomong ke Mama.” Ia langsung menelepon Riyan untuk segera
mengurusi masalah Refina.
Yuna tersenyum sambil mengangguk kecil. Ia meremas safety belt yang
tersemat di dadanya. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi mama mertuanya.
Bagaimana jika kasih sayang mama mertuanya berubah begitu mengetahui kalau Yuna
sulit memberikan keturunan untuk keluarga Hadikusuma.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment