Yeriko bergegas masuk ke ruang rawat Refi begitu ia sampai
di rumah sakit tempat Refi mendapatkan perawatan intensif.
“Yer, aku tahu kamu pasti datang,” tutur Refi lirih sambil
menatap Yeriko yang sudah berdiri di samping tempat tidurnya.
“Aku ke sini karena Yuna yang minta,” sahut Yeriko dingin.
Refi tersenyum. Tenggorokannya cekat dan matanya
berkunang-kunang. Bayangan tubuh Yeriko yang ada di sampingnya terus meredup
hingga ia tak bisa melihat apa pun lagi. “Yeriko ...!” panggilnya lirih.
Yeriko menempelkan punggung tangannya di kening Refi saat
melihat Refi tiba-tiba memejamkan mata. “Panas banget?” gumamnya. Ia bergegas
keluar dari ruangan, mencari perawat yang bertugas menjaga Refi.
“Suster!” teriak Yeriko kesal sambil menatap dua orang
suster yang melintas dengan terburu-buru.
“Ada apa, Pak?”
“Ke mana suster yang harusnya jaga di ruangan ini?”
“Sepertinya sedang membantu di IGD, Pak. Ada kecelakaan
beruntun di jalan tol. Ada apa, Pak?”
“Pasien di dalam sini demam tinggi. Bisa ditangani
secepatnya?”
“Sebentar, Pak. Kami panggilkan dokter yang bertugas.”
“Cepetan!” sentak Yeriko.
Dua suster tersebut mengangguk dan bergegas pergi.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter dan asistennya
masuk ke dalam ruangan Refi. Ia langsung memeriksa kondisi tubuh Refi yang
sudah tidak sadarkan diri.
“Pasang Infus!” pinta dokter tersebut pada perawat yang
membantunya.
Perawat tersebut mengikuti semua intruksi dari dokter.
“Sus, apa tadi malam ada laporan kesehatan dia yang
bermasalah?” tanya dokter yang memeriksa.
“Nggak ada, Dok. Sepertinya, demamnya baru aja,” jawab
suster tersebut.
Dokter memasukkan obat melalui cairan infus yang tersambung
ke tubuh Refi.
“Dia kenapa, Dok?” tanya Yeriko saat dokter telah selesai
melakukan penanganan.
“Nggak papa. Hanya demam biasa dan dehidrasi. Setelah
sadar, beri dia makan dan air minum yang banyak supaya kondisinya bisa cepat
pulih!”
Yeriko mengangguk.
Dokter dan perawat tersebut bergegas meninggalkan ruang
rawat Refi.
Yeriko menghela napas. Ia duduk di kursi sambil menatap
wajah Refi yang terbaring lemah di ranjangnya. Ia memang pernah menyukai Refi
di masa lalu. Tapi kini perasaannya berbeda. Baginya, Yuna adalah satu-satunya
wanita yang akan menjadi istrinya seumur hidup.
Drrt ... Drrt ... Drrt ...!
Yeriko langsung merogoh ponselnya yang berdering. “Halo
..!” sapa Yeriko begitu ia menjawab panggilan telepon. “Udah kelar periksa?”
“Iya. Kamu udah di rumah RSOT kan?” tanya Yuna dari ujung
telepon.
“Kamu mau ke sini juga? Aku jemput ya?”
“Nggak usah, aku udah di dalam taksi. Bentar lagi nyampe.”
“Oh. Oke. Aku tunggu di sini.”
“Iya. Gimana keadaan Refi?”
“Masih belum sadar.”
“Parah banget?”
“Yah, lumayan. Demamnya terlalu tinggi, sampai pingsan.”
“Astaga ...! Bisa sampai kayak gitu?”
“He-em.”
“Ya udah, kamu jagain dia! Aku bentar lagi nyampe.”
“Oke. Hati-hati, Istriku yang cantik. Bye!”
“Bye!” Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya.
Yeriko menghela napas sambil menyimpan kembali ponsel ke
sakunya.
“Yer ...!” panggil Refi lirih.
Yeriko langsung menoleh ke arah Refi. “Udah sadar?”
Refi mengangguk kecil sambil tersenyum ke arah Yeriko. Ini
adalah hari paling membahagiakan baginya, sebab ia bisa melihat wajah Yeriko
begitu ia membuka mata. Ia mengangkat tubuhnya untuk bangkit dari tempat tidur.
“Minum dulu!” pinta Yeriko sambil menyodorkan gelas air
putih ke hadapan Refi.
Refi mengangguk sambil tersenyum. Ia meraih gelas yang
diberikan oleh Yeriko dan menyeruputnya perlahan.
“Yer, aku mau ke toilet, bisa bantu aku?” tanya Refi.
Yeriko mengangguk. Ia meraih gelas dari tangan Refi dan
meletakkannya di atas meja.
Refina meraih lengan tangan Yeriko dan bertumpu pada tubuh
Yeriko untuk berdiri.
“Kaki kamu sudah lebih baik?” tanya Yeriko.
Refi mengangguk. Ia menggenggam pundak Yeriko agar tidak
terjatuh.
Di saat yang bersamaan, Yuna masuk ke dalam ruang rawat
Refi. Refi menggunakan kesempatan ini untuk membuat Yuna cemburu. Dengan
sengaja, ia menopangkan dagunya di pundak Yeriko.
“Pagi ...!” sapa Yuna sambil tersenyum menatap Refi dan
Yeriko.
Yeriko langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Menatap
Yuna sambil tersenyum, kemudian membantu Refi duduk di kursi roda.
“Kenapa Yuna santai banget?” batin Refi sambil menatap Yuna
yang terus tersenyum sambil menghampiri suaminya.
Yeriko tersenyum, ia merangkul pinggang Yuna dan mengecup
kening Yuna dengan mesra.
Yuna tersenyum menatap Yeriko, dengan ekor matanya ia bisa
melihat ekspresi buruk yang tersirat di wajah Refi.
“Cepet banget sampe sini? Kamu terbang?” tanya Yeriko
sambil tersenyum kecil menatap Yuna.
Yuna meringis ke arah Yeriko. “Iya, pakai sayap yang kamu
kasih ke aku,” jawabnya sambil meletakkan dagunya di dada Yeriko.
Refi semakin kesal dangan Yuna dan Yeriko yang sengaja
menunjukkan kemesraan di hadapannya.
“Oh ya, bukannya kamu mau ke toilet?” tanya Yeriko sambil
menoleh ke arah Refi.
“Iya?” tanya Yuna sambil menatap wajah Refi.
Refi mengangguk.
Yuna tersenyum. Ia meraih kursi roda Refi. “Ayo, aku
antar!” tuturnya sambil mendorong kursi roda Refi menuju toilet.
“Yun, aku ada telepon dari kantor. Aku keluar dulu terima
telepon!” pamit Yeriko sambil menunjukkan ponselnya yang berdering.
Yuna mengangguk. Ia membantu Refi masuk ke dalam pintu
toilet yang ada dalam ruang rawatnya dan menunggu di luar pintu.
Beberapa menit kemudian, Refi keluar dari toilet. Yuna
kembali membantu Refi. Tak terasa ia menjatuhkan laporan diagnosis ginekologi
miliknya.
Refi memungut kertas yang jatuh ke lantai tersebut dan
membacanya. Ia tersenyum sinis saat mengetahui kalau kondisi rahim Yuna
bermasalah.
“Ini apa, Yun?” tanya Refi sambil menunjukkan laporan
diagnosis milik Yuna yang terjatuh.
“Eh!? Oh, ini ... abis periksa ke rumah sakit,” jawab Yuna.
Ia langsung merebut laporan tersebut dari tangan Refi.
“Kamu nggak bisa hamil?” tanya Refi sambil menatap Yuna.
Yuna tersenyum kecut. “Dokter nggak bilang begitu.”
Refi tertawa sinis. “Nggak bisa hamil ya nggak bisa. Rahim
dingin, sulit buat hamil kan?”
Yuna tersenyum menatap Refi. “Sulit, bukan berarti nggak
bisa.”
Refi tersenyum menanggapi ucapan Yuna. “Kamu memang punya
percaya diri yang besar banget, Yun. Nggak tahu berapa lama kamu bakal punya
anak. Bisa aja kan sampai lima belas tahun lagi, kamu masih belum bisa hamil.
Keburu menopose.”
Yuna menatap Refi kesal. Apa yang diucapkan oleh Refi
memang benar. Dia tidak tahu kapan bisa mendapatkan anak dengan kondisi
rahimnya yang seperti ini. Ia sendiri, tidak memiliki keyakinan yang cukup
besar. Bagaimana dengan Yeriko dan keluarganya? Bisakah mereka menerima kondisi
Yuna yang sulit mendapatkan keturunan?
“Tante Rully pasti menginginkan seorang cucu. Gimana kalau
dia tahu, menantu kesayangannya ini nggak bisa ngasih keturunan?” tanya Refi
sambil tersenyum penuh kemenangan.
Yuna menggigit bibir bawahnya sambil menatap Refi penuh
amarah.
Sementara, Refi tersenyum lebar saat mengetahui kelemahan
Yuna yang bisa membuatnya menjauh dari Yeriko. Ia merasa memiliki kesempatan
besar untuk membawa Yeriko kembali ke pelukannya.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi


0 komentar:
Post a Comment