“Nyonya, udah siap?” tanya Yeriko sambil menatap tubuh Yuna
dari balik cermin.
Yuna menganggukkan kepala. “Gimana? Bagus?” tanyanya sambil
menunjukkan gaun yang sudah ia kenakan.
Yeriko mengangguk sambil meletakkan dagunya di pundak Yuna.
“Cantik,” pujinya.
Yuna tersenyum kecil sambil mengelus pipi Yeriko. “Ayo,
berangkat!” ajaknya.
Yeriko mengangguk. Ia menggandeng tangan Yuna keluar dari
rumah dan membawanya menuju rumah sakit bersalin untuk melakukan pemeriksaan.
Yuna meremas tangan dan menggigit bibir berkali-kali selama
dalam perjalanan.
“Kamu kenapa? Gelisah banget?”
“Aku takut,” jawab Yuna sambil menatap pilu ke arah Yeriko.
“Takut kenapa?”
Yuna menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. “Entahlah. Aku ngerasa takut aja.”
Yeriko tersenyum sambil mengusap ujung kepala Yuna. “Nggak
usah takut. Pasti semua baik-baik aja.”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia langsung menatap layar
dashboard yang tersambung ke ponsel Yeriko.
Refina Calling ...
“Mantanmu tuh. Kangen,” celetuk Yuna.
Yeriko tak menghiraukan. Ia membiarkan teleponnya
berdering, tak ada keinginan untuk menjawab panggilan dari Refina.
“Yer, angkat gih!” pinta Yuna.
“Ck, males banget!” sahut Yeriko kesal. Ia membiarkan
Refina meneleponnya beberapa kali.
“Siapa tahu ada sesuatu yang terjadi sama Refi.”
“Chandra pasti udah ngabarin duluan kalo ada masalah sama
Refi.”
“Emangnya Chandra lagi di rumah sakit?”
Yeriko menggelengkan kepala.
“Gimana dia bisa tahu update kondisi Refi?” tanya Yuna.
“Yun, kenapa sih kamu masih aja peduliin Refi!?” tanya
Yeriko balik.
“Aku harus peduli sama dia. Setidaknya, dia bisa cepet
sembuh dan nggak ngerecokin kamu terus,” sahut Yuna.
“Ck, kamu ini ...!?” gumam Yeriko kesal. Ia langsung
menjawab telepon dari Refi penuh kekesalan.
“Halo ...!” sapa Yeriko ketus.
“Halo, Yer. Kamu bisa temui aku?” tanya Refi.
“Nggak bisa,” jawab Yeriko tanpa pikir panjang.
“Badanku tiba-tiba demam. Aku nggak bisa apa-apa. Kamu bisa
ke sini temani aku?” tanya Refina.
“Di sana ada suster yang jaga kamu, kan?”
“Iya. Tapi semua orang lagi sibuk. Belum ada yang masuk ke
sini. Sepertinya, lagi pergantian shift kerja.”
Yeriko menghela napas. “Kamu tunggu di sana, aku kirim
orangku buat jagain kamu.”
Yuna menatap Yeriko yang duduk di sebelahnya.
“Aku maunya kamu yang nemenin aku, please!”
“Nggak bisa, Ref. Aku lagi ada urusan penting banget. Aku
kirim orangku ke sana. Kamu tunggu aja!” Yeriko melirik Yuna yang duduk di
sebelahnya dan langsung mematikan telepon.
“Kamu ke sana aja!” pinta Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku temenin kamu periksa.
Bisa suruh Riyan ke sana.”
“Yer, dia pasti bisa lebih baik kalo kamu yang datang ke
sana. Bukan malah nyuruh Riyan.”
“Ck, Yuna!” Yeriko geram sambil menatap Yuna. “Kamu ini
malah nyodorin suami kamu ke Refi. Kamu jangan terlalu baik sama dia!”
“Iih .. kamu ini nggak ngerti juga. Dia itu maunya cuma
sama kamu. Kalo kamu yang datang, suasana hatinya dia pasti bisa lebih baik.
Supaya terapi dia berjalan lancar, dia cepet sembuh dan nggak perlu nempel sama
kamu lagi.”
“Oke. Kita ke sana setelah periksa kandungan kamu.”
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia percaya,
suaminya tidak akan berpaling darinya.
Yeriko tersenyum sambil menatap Yuna sejenak. Kemudian, ia
kembali fokus menatap jalanan kota yang lumayan padat. Ia sangat bangga dengan
sifat istrinya yang baik dan berlapang dada. Kebaikan Yuna, memberikan ruang
yang begitu luas pada orang-orang yang akan menghancurkan hidupnya. Sebagai
suami, ia punya tekad besar untuk melindungi kepolosan dan kebaikan hati Yuna.
Beberapa menit kemudian, Yeriko sudah sampai di halaman
parkir rumah sakit bersalin.
“Yer, kamu langsung susul Refi aja ya!” pinta Yuna sambil
melepas safety belt dari pinggangnya. “Aku bisa periksa sendiri, kok.”
“Tapi …”
“Aku baik-baik aja. Kamu pergi urus Refi dulu!” pinta Yuna.
“Nanti, aku nyusul pakai taksi.”
“Ah, aku nggak bisa pergi ke sana tanpa kamu.”
“Aku nggak apa-apa. Jangan membiasakan manjain aku!” pinta
Yuna sambil menahan tawa. “Kamu pergi ke sana aja! Nanti aku kasih tahu hasil
pemeriksan dokter. Doain ya!”
Yeriko mengangguk. “Goodluck my wife! Semoga, cepet ada
Yeri kecil di keluarga kita.”
“Aamiin,” sahut Yuna penuh harap. Ia mengecup pipi Yeriko
dan bergegas keluar dari mobil.
Yeriko tersenyum sambil menatap tubuh istrinya yang
perlahan masuk ke rumah sakit. Ia kembali menjalankan mobilnya menuju rumah
sakit orthopedi setelah tubuh Yuna tak terlihat lagi.
Yuna melenggang masuk ke lobi rumah sakit. Mengambil nomor
antrian dari mesin antrian yang ada di sudut ruangan. Setelah menunggu beberapa
menit, akhirnya nomor antrian yang ada di tangan Yuna dipanggil oleh
resepsionis. Ia bangkit, menghampiri meja resepsionis untuk melengkapi
keperluan pemeriksaan. Kemudian, ia bergegas ke ruang pemeriksaan dokter
kandungan.
“Gimana hasilnya, Dok?” tanya Yuna setelah ia menjalani
pemeriksaan.
“Kamu mengalami Cold Uterus atau rahim dingin.”
“Rahim dingin?”
“Iya. Kondisi seperti ini membuat embrio sulit berkembang.”
“Maksud Dokter? Aku nggak bisa hamil?”
“Saya tidak bilang seperti itu. Kamu masih bisa hamil.
Hanya saja, kondisi seperti ini memang sulit untuk hamil.”
“Berapa besar kemungkinan aku bisa hamil, Dok?”
“Lima puluh persen. Kamu masih bisa hamil jika
memperhatikan kondisi kesehatan kamu. Jaga pola makan, jaga kesehatan, jangan
sampai stres berlebihan dan harus banyak istirahat.”
Yuna mengangguk. “Mmh … apa lagi yang bisa aku lakukan
supaya bisa cepat hamil?”
Dokter tersebut tersenyum. Ia menyodorkan hasil pemeriksaan
dan memberikan resep untuk Yuna. “Saya kasih pil hormon untuk membantu
mempercepat kehamilan kamu. Semuanya, tergantung sama usaha kamu mengubah pola
hidup sehat menjadi lebih baik lagi. Hindari makan-makanan yang terlalu dingin
dan terlalu pedas!” pinta dokter tersebut.
Yuna mengangguk. Ia mengambil kertas hasil pemeriksaan.
“Terima kasih, Dok!”
Dokter tersebut mengangguk.
Yuna langsung berpamitan dan bergegas keluar dari ruang
pemeriksaan. Ia melangkahkan kakinya menyusuri koridor. Ia duduk di salah satu
kursi tunggu sambil menatap laporan pemeriksaan kesehatannya.
“Cold Uterus?” gumam Yuna. “Apa Yeriko bisa terima aku yang
kayak gini?” Ia menyandarkan kepalanya ke dinding.
Mata Yuna, tiba-tiba perih, mengeluarkan bulir air mata
yang tak bisa lagi ia tahan. Perasaannya kini tak karuan. Ia tidak tahu apa
yang akan terjadi jika ia tidak bisa melahirkan anak untuk Yeriko. Akankah
suaminya itu tetap bertahan di sisinya dan menyayangi sepenuh hati?
Yuna bangkit, melangkah perlahan keluar dari rumah sakit
tak bersemangat. Ia melihat beberapa perempuan hamil keluar masuk di rumah
sakit tersebut. Membuatnya menginginkan seorang anak tumbuh di dalam rahimnya.
Yuna mengelus perutnya yang mungil. “Yun, kamu pasti bisa
hamil!” ucapnya menyemangati diri sendiri. “Cukup berusaha lebih keras dari
sebelumnya.” Ia terus melangkah keluar dari rumah sakit.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment