“Li, kenapa Yuna masuk ke perusahaan ini lagi?” Bellina
menerobos masuk ke ruang kerja Lian.
Lian menatap Bellina. Ia menoleh ke arah Citra yang duduk
di sofa ruang kerjanya. “Kenapa lagi si Belli? Mau bikin masalah lagi?” gumam
Lian dalam hati. Ia kerap dibuat pusing dengan sikap Bellina. Jika bukan karena
anak yang ada di dalam perut Bellina, ia sudah membuang jauh-jauh wanita itu
dari kehidupannya.
“Oh, bagus. Kamu ada di sini.” Bellina menatap Citra.
“Kenapa kamu rekrut dia lagi ke perusahaan ini?”
“Kinerja dia bagus. Perusahaan butuh orang seperti dia.
Sebelum dia direkrut perusahaan pesaing, lebih baik kita rekrut duluan,” jawab
Citra santai.
“Emang seberapa pentingnya sih Yuna buat perusahaan ini?
Masih banyak orang yang punya keahlian lebih bagus dari dia. Kenapa harus pilih
dia?”
“Aku punya pertimbangan sendiri.”
“Kamu sekongkol sama Yuna biar dia bisa masuk perusahaan
ini lagi?” tanya Bellina dengan nada tinggi.
Citra tertawa kecil menanggapi ucapan Bellina. “Kamu nggak
bisa bersikap lebih realistis? Bahkan di saat perusahaan dalam masalah, kamu
nggak ada gunanya sama sekali. Malah nambah masalah.”
Bellina mendelik ke arah Citra.
“Udah, Bel. Ngapain sih ngeributin hal kecil kayak gini?”
“Kamu bilang ini masalah kecil?” Bellina mengernyitkan dahi
sambil menatap Lian.
Citra bangkit dari tempat duduk sambil membawa dokumen
proyek yang sedang ia diskusikan bersama Lian. “Urusan proyek, kita bicarakan
nanti. Kamu urus dulu perempuan gilamu itu!” ucapnya sambil berlalu pergi
meninggalkan Lian dan Bellina.
“Kamu!?” Bellina menatap geram ke arah Citra. Ia
menghentakkan kaki sambil mengerutkan wajahnya. “Kenapa semua orang di
perusahaan ini udah berani ngelawan aku?” celetuknya kesal.
“Bel, kamu bisa jaga sikap atau nggak sih?” Lian menatap
Bellina yang berdiri di hadapannya. “Aku masih ada kerjaan sama Bu Citra.
Perusahaan lagi banyak masalah. Kamu bisa nggak jangan campur urusan pribadi
kamu ke kerjaan? Jadi kacau semuanya!”
“Gimana aku bisa tenang kalo kamu rekrut si Yuna lagi? Kamu
sengaja pakai alasan kerjaan buat deketin dia, kan?”
“Astaga! Kamu ini nggak bisa berpikir sehat ya? Yuna itu di
divisi proyek. Bu Citra sangat tahu gimana kemampuan anak buahnya. Kalau
perusahaan ini memang butuh Yuna, aku harus gimana lagi?”
“Perusahaan atau kamu yang butuh dia!?” seru Bellina.
“Ck, kenapa sih nggak percaya sama aku?” Lian bangkit dari
tempat duduk dan langsung memeluk pinggang Bellina. “Udah, ibu hamil nggak
boleh marah-marah!” pintanya lembut.
Bellina terdiam sesaat. Kemudian tersenyum menatap Lian.
“Beneran nggak berniat ngejar Yuna lagi?”
Lian menggelengkan kepala. “Jangan mikir macam-macam!”
pinta Lian. “Lebih baik, kamu pikirin kondisi anak kita. Kamu udah makan?”
Bellina menggelengkan kepala.
“Ayo, kita makan!” ajak Lian. Ia menggandeng tangan Bellina
keluar dari ruangannya.
Bellina tersenyum. Ia bergelayut manja di lengan Lian.
Lian melangkah menyusuri koridor, melalui beberapa ruang
kerja karyawannya. Dengan sudut matanya, ia memerhatikan Yuna yang begitu
serius dan tulis dalam melakukan pekerjaan. Hatinya diselimuti rasa bersalah.
Ia merasa Yuna jauh lebih baik dari Bellina. Ia terpaksa menggandeng Bellina
demi anak yang ada di dalam perutnya.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di salah satu
restoran.
“Sayang, aku boleh minta sesuatu?” tanya Bellina sambil
menatap Lian.
“Apa?”
“Pecat Yuna. Please!”
Lian mengernyitkan dahi.
“Kamu nggak mau mecat dia? Lebih milih dia daripada aku?”
“Jangan suruh aku milih!” pinta Lian. “Masalah pribadi
nggak ada hubungannya sama masalah kerjaan.”
“Tapi, aku nggak tenang kalo di kantor kamu ada dia. Kamu
nggak mikirin perasaanku?” tanya Bellina sambil memijat keningnya. “Kalo aku
nggak tenang, nanti janin yang ada di perutku terganggu perkembangannya,”
lanjut Bellina sambil mengelus perutnya.
Lian menatap Bellina. “Kamu nggak perlu terlalu mikirin
keberadaan Yuna. Dia sama aja kayak karyawan yang lain. Kamu yang terlalu
negatif thingking ke dia. Percayalah, semua bakal baik-baik aja.”
Bellina menatap wajah Lian tanpa berkedip. Ia masih
berharap kalau tunangannya itu bisa segera membuang jauh-jauh sepupunya itu
dari perusahaan.
Lian menghela napas mendapati tatapan Bellina. “Bel,
beberapa proyek perusahaan kita lagi dalam masalah. Sebelumnya, semua berjalan
lancar. Setelah proyek itu ditinggal sama Yuna, ada kekacauan di lokasi dan
Citra nggak bisa nge-back up semua proyek sendirian. Jadi, Citra minta aku buat
ngembaliin Yuna ke perusahaan dan ngembaliin keadaan seperti semula. Soal
kerjaan, Yuna nggak pernah main-main.”
Bellina menggigit bibir bawahnya. Ia masih tidak mengerti
kenapa Lian bersikeras mempertahankan Yuna di perusahaannya. Terlebih lagi,
Yuna bersedia masuk kembali ke perusahaan dan hal ini membuatnya semakin kesal.
Lian menatap layar ponselnya sambil tersenyum. “Citra udah
ngasih kabar. Yuna sudah ke lokasi proyek yang di Kedung. Aku percaya kalo dia
pasti bisa ngelarin semua proyek yang ada di sana. Karena sebelumnya, dia juga
yang megang proyek ini.”
Bellina memutar bola mata tanpa berkata-kata. Ia
menunjukkan sikap tidak senang karena Lian melontarkan pujian untuk kinerja
Yuna.
“Kalo cuma ngurusin proyek kayak gitu aja aku bisa. Kenapa
harus Yuna?”
“Kamu nggak ngerti apa-apa soal departemen proyek. Secara
teknis, Yuna lebih menguasai itu. Dia juga cekatan dan kreatif dalam
menyelesaikan masalah.”
“Iih ... kenapa sih kamu selalu aja muji-muji dia?” seru
Bellina kesal.
“Aku nggak muji-muji dia. Emang kenyataannya dia kayak
gitu, Bel.”
“Kamu sadar nggak kalau kamu menempatkan Yuna lebih unggul
daripada aku?” tanya Bellina kesal.
Lian tertawa kecil. “Kamu masih cemburu sama Yuna?” Ia
mencoba menenangkan Bellina agar emosinya bisa stabil dan anak yang ada di
dalam perut Bellina bisa bertumbuh sehat.
“Gimana nggak cemburu kalau lihat tunangan satu kantor sama
mantan pacar terus?”
“Bel, kalau di departemen proyek. Yuna jelas lebih unggul
dari kamu. Kalau di departemen personalia, kamu yang lebih unggul,” tutur Lian
sambil tersenyum menatap Bellina. “Kalian itu di departemen yang berbeda. Mana
bisa mau dibandingkan siapa yang lebih unggul.”
Bellina menatap Lian. Ia merasa ucapan Lian ada benarnya
juga.
“Kamu percaya sama aku! Masalah Yuna di perusahaan, nggak
akan mengganggu hubungan kita. Aku pasti bertanggung jawab sama anakku. Kamu
nggak perlu khawatir!” pinta Lian.
“Beneran?”
Lian mengangguk sambil tersenyum.
“Janji?”
“Iya. Aku janji.”
Bellina menarik napas dalam-dalam. Ia berharap kalau Lian
bisa memegang ucapannya sendiri. Namun, perasaannya tetap saja gelisah.
Pikirannya melayang-layang mencari cara untuk membuat Lian mengeluarkan Yuna
dari perusahaan.
Bellina tetap tidak tenang. Yuna dan Lian, memiliki banyak
kesempatan untuk bersama. Terlebih, Yuna sekarang menjadi asisten direktur di kantor
pusat dan akan
lebih intens bertemu Lian daripada sebelumnya.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan sungkan selalu sapa aku dengan komen di
bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment