Tuesday, May 20, 2025

Perfect Hero Bab 197 - Best Teamwork || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna bercengkerama dengan semua karyawan di departemen proyek saat jam makan siang. Mayoritas karyawan di departemen ini adalah laki-laki. Mereka sangat suka dengan bercengkerama dengan Yuna. Selain cantik, Yuna juga menyenangkan.

 

Usai memarahi staff karena kesalahan pekerjaan, ia akan mengajak mereka bercanda saat jam makan siang atau setelah jam kerja usai.

 

“Eh, kalian tahu nggak kenapa di keyboard komputer itu tulisannya ENTER?” tanya Pak Heri di sela-sela jam makan siang.

 

“Emang perintahnya begitu kali, Pak,” sahut Icha.

 

“Salah! Ada yang bisa nebak?”

 

Semua orang saling pandang dan berpikir.

 

“Kalo tulisannya ‘ENTAR’ programnya nggak jalan-jalan. Hahaha.”

 

“Hahaha.” Semua orang tertawa.

 

“Bener-bener,” tutur Yuna sambil mengendalikan tawanya.

 

“Eh, aku punya tebak-tebakan juga,” tutur Yuna.

 

“Apa itu?” tanya Pak Yoga.

 

“Ada lima orang yang lagi jalan di bawah satu payung kecil. Anehnya, lima orang itu nggak ada yang basah kehujanan. Tau nggak kenapa?” tanya Yuna.

 

Semua orang saling pandang.

 

“Karena orangnya lebih kecil dari payungnya,” seru Icha.

 

“Salah.”

 

“Gimana ya? Kalo lima orang, pasti kehujanan. Pake payung dua orang aja masih kena air hujan. Gimana caranya nggak kehujanan?” tanya Juan.

 

“Karena lagi nggak hujan, Pak,” sahut Yuna.

 

“Astaga!”

 

 “Terus ngapain pake payung kalo nggak hujan!?” seru Juan kesal. “Minta dijitak juga nih anak.”

 

Yuna meringis ke arah Juan. “Bisa aja kan biar nggak kepanasan kalo matahari lagi terik.”

 

“Iya, lah. Terserah kamu, Yun. Yang penting kamu senang.” Semua orang tertawa.

 

“Eh, ada satu lagi.” Yuna menarik napas sejenak. “Pintu apa yang nggak bisa terbuka walau udah ditarik atau didorong?” tanya Yuna.

 

“Pintu hatimu, Yun,” jawab Juan.

 

“Hahaha. Istrinya orang loh!” sahut Pak Heri sambil menoyor kepala Juan.

 

“Hatiku nggak ada pintunya, jendela semua. Hihihi,” sahut Yuna. “Ayo, jawab!” pinta Yuna.

 

“Pintu yang dikunci, Yun,” sahut Pak Yoga.

 

“Kalo dibuka kuncinya, berarti bisa dibuka dong Pak? Ini pintunya tetep nggak bisa didorong atau ditarik walau nggak dikunci. Nggak mau terbuka,” jelas Yuna.

 

“Pintu apa sih, Yun? Nggak usah bikin kita pusing deh?” tutur Icha.

 

Yuna terkekeh. “Pintu geser,” tuturnya.

 

“Ya ampun! Gampang jawabannya. Gak kepikiran,” sahut Pak Heri.

 

“Hahaha. Bener, bener.” Juan menimpali.

 

“Bisa aja kamu, Yun.”

 

Semua orang tertawa riang dan terus bercanda sambil menikmati makan siang di kantin. Bagi Yuna, bercanda saat jam makan siang juga bagian dari ice breaking agar semua karyawan kembali bersemangat setelah melakukan banyak pekerjaan dari pagi hingga siang hari.

 

Dari kejauhan, Bellina melihat Yuna yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya di kantin. Ia berjalan menghampiri Yuna, meraih gelas air putih dan menyiramkan ke wajah Yuna.

 

Mulut Yuna menganga saat tiba-tiba tubuhnya wajah dan pakaiannya basah. Ia menatap Bellina yang berdiri di samping meja. Ia bangkit dan memukul meja dengan keras.

 

“Heh!? Kamu datang-datang mau cari masalah sama aku, hah!?” sentak Yuna. Ia meraih gelas jus yang ada di hadapan Icha dan balas menyiramkan ke tubuh Bellina.

 

“Kamu!?” Bellina kesal karena kemeja putihnya ternoda oleh jus alpukat yang disiramkan oleh Yuna. “Kamu ngapain kerja di sini lagi? Kegatelan banget!” Bellina berusaha meraih tubuh Yuna penuh kekesalan.

 

Icha langsung menghalau tangan Bellina. Ia tidak akan membiarkan Bellina menyakiti sahabatnya. Sementara karyawan lain tertegun melihat sikap Bellina yang tiba-tiba menyerang Yuna.

 

“Kamu nggak usah ikut campur ya!” sentak Bellina sambil mendorong tubuh Icha.

 

“Aw ...!” Icha merintih saat tubuhnya tersungkur ke lantai dan salah satu lututnya memar.

 

“Cha, kamu nggak papa?” tanya Yuna sambil membantu Icha bangkit.

 

“Nggak papa, Yun. Cuma lecet sedikit,” jawab Icha lirih.

 

Yuna menatap tajam ke arah Bellina. Ia langsung mendorong dada Bellina dengan kasar. “Mau kamu apa sih?” sentaknya.

 

“Aku mau kamu keluar dari perusahaan ini!” tegas Bellina. “Lagian, udah berhenti kerja. Kenapa masih masuk ke sini lagi? Pasti karena Lian kan? Bisa nggak kalo nggak godain calon suami orang? Kamu juga udah punya suami, masih aja kegatelan.”

 

“Bangsat kamu, Bel!” maki Yuna. “Nggak ada berhentinya kamu ngatain aku kayak gitu. Ngaca!” teriak Yuna di depan wajah Bellina.

 

“Kalo emang bukan karena Lian, kamu pergi dari perusahaan ini sekarang juga!”

 

“Nggak akan!” dengus Yuna.

 

Bellina tersenyum sinis. “Kenapa? Suami kamu punya perusahaan yang lebih besar. Kenapa nggak kerja di sana aja? Malah milih kerja di sini. Pasti karena masih cinta sama Lian, kan?”

 

“Bel, kalo aku masih cinta sama Lian. Aku bisa dengan mudah ngerebut dia dari kamu. Cukup satu kalimat dari aku dan dia bakal ninggalin kamu buat selamanya. Sayangnya, aku udah nggak punya perasaan apa pun ke Lian. So, aku kasih aja dia ke kamu. Makan tuh bekasku!”

 

“Kamu bener-bener nggak tahu diri!” sentak Bellina.  Ia berusaha menyerang Yuna.

 

Juan dan yang lainnya berusaha melindungi Yuna dan Icha dari serangan Bellina.

 

“Bu, Yuna kembali ke sini karena direkrut kembali oleh Pak Lian dan Bu Citra. Kami juga butuh dia,” tutur Juan. Ia mulai memberanikan diri melawan Bellina walau resikonya cukup besar.

 

“Kamu berani ngelawan saya, hah!?”

 

“Juan, nggak usah ikutan!” pinta Yuna sambil menarik tubuh Juan. “Ini urusan aku sama Bellina.”

 

“Tapi, Yun ...”

 

Yuna menggelengkan kepala sambil menatap Juan.

 

“Kamu sekarang punya komplotan buat nyerang aku?” tanya Bellina.

 

“Bu, kami bukan nyerang Ibu. Kami cuma berusaha melindungi Mbak Yuna.” Pak Heri angkat bicara.

 

Yuna tersenyum sinis menatap Bellina. “Bukannya kamu yang nyerang aku duluan? Cewek gila! Lebih baik kamu urus diri kamu sendiri dulu. Nggak usah ngurusin aku!” sentak Yuna sambil menatap wajah Bellina.

 

Bellina menghentakkan kaki, ia kesal dengan Yuna dan teman-teman departemen yang melindungi Yuna. Ia berbalik dan bergegas meninggalkan Yuna.

 

“Cha, kamu nggak papa?” tanya Pak Heri sambil menatap kaki Icha yang memar.

 

“Nggak papa, Pak.”

 

“Itu Mak Lampir makin menggila aja,” celetuk Pak Yoga.

 

Yuna tertawa kecil. “Mak Lampir? Hahaha.”

 

“Tenang aja, Yun. Kita semua pasti belain kamu dan nggak akan biarin dia nyerang kamu terus,” tutur Juan. Ia melangkahkan kaki menuju pantry. “Bulek, ada es batu?”

 

“Ada.”

 

“Minta sedikit.” Juan segera mengambil es batu untuk mengompres luka memar yang ada di lutut Icha.

 

“Biar aku aja!” pinta Yuna, ia merebut bungkusan es batu dari tangan Juan. “Duduk, Cha!” pintanya pada Icha.

 

Icha mengangguk. Ia duduk di kursi.

 

“Maafin aku, Cha!” tutur Yuna. “Lagi-lagi, kamu luka kayak gini karena aku.” Yuna mengompres memar di lutut Icha perlahan.

 

Icha tersenyum. “Udah seharusnya aku belain kamu. Bukan salah kamu, kok. Aku yang terlalu lemah.”

 

“Siapa bilang kamu lemah? Kamu kuat, kok.”

 

Icha mengerutkan bibirnya menatap Yuna. “Kamu didorong sama Bellina, nggak bergerak sama sekali. Sedangkan aku, didorong sama dia langsung jatuh.”

 

“Itu bukan karena aku lebih kuat, Cha. Karena aku udah siap nerima hal buruk dari dia. Aku udah hafal dia seperti apa. Lain kali, kamu nggak perlu belain aku sampai kayak gini. Aku bakal ngerasa bersalah terus sama kamu.”

 

“Aku yang ngerasa bersalah kalo nggak bisa belain kamu. Sebagai temen, jahat banget kalo ngebiarin kamu menghadapi kesulitan sendirian.”

 

Yuna tersenyum. Ia sangat bahagia memiliki sahabat seperti Icha. “Makasih ya!” tuturnya sambil memeluk Icha.

 

Semua orang terharu melihat hubungan pertemanan Icha dan Yuna yang begitu dekat. Saling peduli, saling melindungi dan saling mengerti satu sama lain.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.  Kasih Star Vote dan hadiah seikhlasnya biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi.

Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas