Yuna bercengkerama dengan semua karyawan di departemen
proyek saat jam makan siang. Mayoritas karyawan di departemen ini adalah
laki-laki. Mereka sangat suka dengan bercengkerama dengan Yuna. Selain cantik,
Yuna juga menyenangkan.
Usai memarahi staff karena kesalahan pekerjaan, ia akan
mengajak mereka bercanda saat jam makan siang atau setelah jam kerja usai.
“Eh, kalian tahu nggak kenapa di keyboard komputer itu
tulisannya ENTER?” tanya Pak Heri di sela-sela jam makan siang.
“Emang perintahnya begitu kali, Pak,” sahut Icha.
“Salah! Ada yang bisa nebak?”
Semua orang saling pandang dan berpikir.
“Kalo tulisannya ‘ENTAR’ programnya nggak jalan-jalan.
Hahaha.”
“Hahaha.” Semua orang tertawa.
“Bener-bener,” tutur Yuna sambil mengendalikan tawanya.
“Eh, aku punya tebak-tebakan juga,” tutur Yuna.
“Apa itu?” tanya Pak Yoga.
“Ada lima orang yang lagi jalan di bawah satu payung kecil.
Anehnya, lima orang itu nggak ada yang basah kehujanan. Tau nggak kenapa?”
tanya Yuna.
Semua orang saling pandang.
“Karena orangnya lebih kecil dari payungnya,” seru Icha.
“Salah.”
“Gimana ya? Kalo lima orang, pasti kehujanan. Pake payung
dua orang aja masih kena air hujan. Gimana caranya nggak kehujanan?” tanya
Juan.
“Karena lagi nggak hujan, Pak,” sahut Yuna.
“Astaga!”
“Terus ngapain pake payung kalo nggak hujan!?” seru
Juan kesal. “Minta dijitak juga nih anak.”
Yuna meringis ke arah Juan. “Bisa aja kan biar nggak
kepanasan kalo matahari lagi terik.”
“Iya, lah. Terserah kamu, Yun. Yang penting kamu senang.”
Semua orang tertawa.
“Eh, ada satu lagi.” Yuna menarik napas sejenak. “Pintu apa
yang nggak bisa terbuka walau udah ditarik atau didorong?” tanya Yuna.
“Pintu hatimu, Yun,” jawab Juan.
“Hahaha. Istrinya orang loh!” sahut Pak Heri sambil menoyor
kepala Juan.
“Hatiku nggak ada pintunya, jendela semua. Hihihi,” sahut
Yuna. “Ayo, jawab!” pinta Yuna.
“Pintu yang dikunci, Yun,” sahut Pak Yoga.
“Kalo dibuka kuncinya, berarti bisa dibuka dong Pak? Ini
pintunya tetep nggak bisa didorong atau ditarik walau nggak dikunci. Nggak mau
terbuka,” jelas Yuna.
“Pintu apa sih, Yun? Nggak usah bikin kita pusing deh?”
tutur Icha.
Yuna terkekeh. “Pintu geser,” tuturnya.
“Ya ampun! Gampang jawabannya. Gak kepikiran,” sahut Pak
Heri.
“Hahaha. Bener, bener.” Juan menimpali.
“Bisa aja kamu, Yun.”
Semua orang tertawa riang dan terus bercanda sambil
menikmati makan siang di kantin. Bagi Yuna, bercanda saat jam makan siang juga
bagian dari ice breaking agar semua karyawan kembali bersemangat setelah
melakukan banyak pekerjaan dari pagi hingga siang hari.
Dari kejauhan, Bellina melihat Yuna yang sedang
bercengkrama dengan teman-temannya di kantin. Ia berjalan menghampiri Yuna,
meraih gelas air putih dan menyiramkan ke wajah Yuna.
Mulut Yuna menganga saat tiba-tiba tubuhnya wajah dan
pakaiannya basah. Ia menatap Bellina yang berdiri di samping meja. Ia bangkit
dan memukul meja dengan keras.
“Heh!? Kamu datang-datang mau cari masalah sama aku, hah!?”
sentak Yuna. Ia meraih gelas jus yang ada di hadapan Icha dan balas menyiramkan
ke tubuh Bellina.
“Kamu!?” Bellina kesal karena kemeja putihnya ternoda oleh
jus alpukat yang disiramkan oleh Yuna. “Kamu ngapain kerja di sini lagi?
Kegatelan banget!” Bellina berusaha meraih tubuh Yuna penuh kekesalan.
Icha langsung menghalau tangan Bellina. Ia tidak akan
membiarkan Bellina menyakiti sahabatnya. Sementara karyawan lain tertegun
melihat sikap Bellina yang tiba-tiba menyerang Yuna.
“Kamu nggak usah ikut campur ya!” sentak Bellina sambil
mendorong tubuh Icha.
“Aw ...!” Icha merintih saat tubuhnya tersungkur ke lantai
dan salah satu lututnya memar.
“Cha, kamu nggak papa?” tanya Yuna sambil membantu Icha
bangkit.
“Nggak papa, Yun. Cuma lecet sedikit,” jawab Icha lirih.
Yuna menatap tajam ke arah Bellina. Ia langsung mendorong
dada Bellina dengan kasar. “Mau kamu apa sih?” sentaknya.
“Aku mau kamu keluar dari perusahaan ini!” tegas Bellina.
“Lagian, udah berhenti kerja. Kenapa masih masuk ke sini lagi? Pasti karena
Lian kan? Bisa nggak kalo nggak godain calon suami orang? Kamu juga udah punya
suami, masih aja kegatelan.”
“Bangsat kamu, Bel!” maki Yuna. “Nggak ada berhentinya kamu
ngatain aku kayak gitu. Ngaca!” teriak Yuna di depan wajah Bellina.
“Kalo emang bukan karena Lian, kamu pergi dari perusahaan
ini sekarang juga!”
“Nggak akan!” dengus Yuna.
Bellina tersenyum sinis. “Kenapa? Suami kamu punya
perusahaan yang lebih besar. Kenapa nggak kerja di sana aja? Malah milih kerja
di sini. Pasti karena masih cinta sama Lian, kan?”
“Bel, kalo aku masih cinta sama Lian. Aku bisa dengan mudah
ngerebut dia dari kamu. Cukup satu kalimat dari aku dan dia bakal ninggalin
kamu buat selamanya. Sayangnya, aku udah nggak punya perasaan apa pun ke Lian.
So, aku kasih aja dia ke kamu. Makan tuh bekasku!”
“Kamu bener-bener nggak tahu diri!” sentak Bellina.
Ia berusaha menyerang Yuna.
Juan dan yang lainnya berusaha melindungi Yuna dan Icha
dari serangan Bellina.
“Bu, Yuna kembali ke sini karena direkrut kembali oleh Pak
Lian dan Bu Citra. Kami juga butuh dia,” tutur Juan. Ia mulai memberanikan diri
melawan Bellina walau resikonya cukup besar.
“Kamu berani ngelawan saya, hah!?”
“Juan, nggak usah ikutan!” pinta Yuna sambil menarik tubuh
Juan. “Ini urusan aku sama Bellina.”
“Tapi, Yun ...”
Yuna menggelengkan kepala sambil menatap Juan.
“Kamu sekarang punya komplotan buat nyerang aku?” tanya
Bellina.
“Bu, kami bukan nyerang Ibu. Kami cuma berusaha melindungi
Mbak Yuna.” Pak Heri angkat bicara.
Yuna tersenyum sinis menatap Bellina. “Bukannya kamu yang
nyerang aku duluan? Cewek gila! Lebih baik kamu urus diri kamu sendiri dulu.
Nggak usah ngurusin aku!” sentak Yuna sambil menatap wajah Bellina.
Bellina menghentakkan kaki, ia kesal dengan Yuna dan
teman-teman departemen yang melindungi Yuna. Ia berbalik dan bergegas
meninggalkan Yuna.
“Cha, kamu nggak papa?” tanya Pak Heri sambil menatap kaki
Icha yang memar.
“Nggak papa, Pak.”
“Itu Mak Lampir makin menggila aja,” celetuk Pak Yoga.
Yuna tertawa kecil. “Mak Lampir? Hahaha.”
“Tenang aja, Yun. Kita semua pasti belain kamu dan nggak
akan biarin dia nyerang kamu terus,” tutur Juan. Ia melangkahkan kaki menuju
pantry. “Bulek, ada es batu?”
“Ada.”
“Minta sedikit.” Juan segera mengambil es batu untuk
mengompres luka memar yang ada di lutut Icha.
“Biar aku aja!” pinta Yuna, ia merebut bungkusan es batu
dari tangan Juan. “Duduk, Cha!” pintanya pada Icha.
Icha mengangguk. Ia duduk di kursi.
“Maafin aku, Cha!” tutur Yuna. “Lagi-lagi, kamu luka kayak
gini karena aku.” Yuna mengompres memar di lutut Icha perlahan.
Icha tersenyum. “Udah seharusnya aku belain kamu. Bukan
salah kamu, kok. Aku yang terlalu lemah.”
“Siapa bilang kamu lemah? Kamu kuat, kok.”
Icha mengerutkan bibirnya menatap Yuna. “Kamu didorong sama
Bellina, nggak bergerak sama sekali. Sedangkan aku, didorong sama dia langsung
jatuh.”
“Itu bukan karena aku lebih kuat, Cha. Karena aku udah siap
nerima hal buruk dari dia. Aku udah hafal dia seperti apa. Lain kali, kamu
nggak perlu belain aku sampai kayak gini. Aku bakal ngerasa bersalah terus sama
kamu.”
“Aku yang ngerasa bersalah kalo nggak bisa belain kamu.
Sebagai temen, jahat banget kalo ngebiarin kamu menghadapi kesulitan
sendirian.”
Yuna tersenyum. Ia sangat bahagia memiliki sahabat seperti
Icha. “Makasih ya!” tuturnya sambil memeluk Icha.
Semua orang terharu melihat hubungan pertemanan Icha dan
Yuna yang begitu dekat. Saling peduli, saling melindungi dan saling mengerti
satu sama lain.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Kasih Star Vote dan hadiah seikhlasnya biar
aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment