“My Bear, I have something for you,” tutur Yuna saat ia
selesai mengenakan jas dan dasi suaminya.
“Apa?” tanya Yeriko.
Yuna membuka laci lemari dan mengeluarkan
kotak dari dalamnya. “Aku buatin ini khusus buat kamu. Semoga kamu suka,” tutur
Yuna sambil menyodorkan kotak tersebut.
Yeriko tersenyum sambil menatap kotak
tersebut. Meraihnya dari tangan Yuna dan membuka perlahan. Bibirnya
menyunggingkan senyum saat melihat isi kotak tersebut. Ia meraih sweeter
berwarna abu-abu dengan corak batik di pundak dan ujung lengannya. Huruf ‘YY’
yang ada di dada kiri baju membuatnya tersenyum.
“Ini beneran bikin sendiri?” tanya Yeriko.
Yuna mengangguknya. Yeriko langsung melepas
jasnya.
“Eh!? Kenapa dilepas?” Yuna menaikkan kedua
alisnya.
“Kayaknya, enak pake ini.” Yeriko langsung
memakai sweater buatan Yuna.
“Lah? Bukannya kamu harus ke kantor? Masa
pakai sweater?”
“Emang kenapa? Siapa yang mau ngelarang bos
pakai sweater ke kantor?” tanya Yeriko.
Yuna meringis sambil menatap wajah suaminya.
“Iya, percaya. Bagus deh kalo kamu suka.
Soalnya, baru pertama kali aku bikin motif ini.”
“Kamu bisa ngerajut? Kenapa aku baru tahu?”
Yuna tersenyum menatap Yeriko yang sudah
mengenakam sweater buatannya.
“Gimana? Gantengku bertambah?” tanya Yeriko.
Yuna mengangguk sambil tersenyum bahagia.
“Ayo, kita sarapan!” ajak Yeriko. “Hari ini
hari pertama kamu masuk kerja lagi kan?”
Yuna mengangguk.
Yeriko langsung merangkul pinggang Yuna dan
mengajaknya sarapan sebelum pergi bekerja bersama-sama seperti biasa.
Bibi War tersenyum melihat Yuna dan Yeriko
begitu mesra saat berangkat bersama-sama ke tempat kerja. Mungkin, perasaan
Yuna akan jauh lebih baik bila menyibukkan diri dengan bekerja.
Beberapa menit kemudian, mobil Yeriko sudah
sampai di halaman kantor Wijaya Group.
“Aku kerja dulu ya!” pamit Yuna sambil
mengecup pipi Yeriko dan bergegas keluar dari mobil.
Yeriko tersenyum. Ia membuka kaca mobil dan
memerhatikan Yuna yang melenggang memasuki kantornya. Ia sama sekali tidak
khawatir Yuna kembali bekerja di perusahaan Lian. Melihat istrinya bersemangat
pergi kerja, ia hanya perlu mendukungnya. Mengandalkan dirinya sendiri untuk
mencapai karirnya, membuat Yuna tak perlu merasa rendah diri berdiri di antara
keluarga besar Hadikusuma.
Yuna melenggang memasuki kantor Departemen
Proyek. Ia langsung disambut dengan teriakan beberapa karyawan yang sudah
menanti kedatangannya.
“Welcome to your team!” seru Icha berbarengan
dengan rekan-rekan lainnya.
Yuna terkejut melihat sambutan yang begitu
hangat. “Aargh ...! Kalian bikin aku terharu!” seru Yuna.
“Selamat juga buat jabatan barunya sebagai
asisten direktur,” tutur salah seorang karyawan.
“Makasih!” seru Yuna dengan mata berbinar. Ia
sama sekali tidak menyangka kalau akan mendapat sambutan hangat dari
rekan-rekan kerjanya. Ia pikir, jabatan baru yang didapatnya akan menimbulkan
kecemburuan bagi karyawan lain. Ternyata, mereka tetap menerima Yuna dengan
senang hati.
“Yun, kamu sekarang udah jadi atasan kami.
Kami pasti nurut semua yang kamu perintah,” tutur Juan penuh keyakinan dan
langsung diiyakan oleh rekan kerja yang lain.
“Jangan anggap aku bos!” pinta Yuna. “Aku
tetep adik kecil kalian yang masih harus belajar banyak. Jangan sungkan buat
negur aku kalo aku salah. Jangan langsung diambil hati kalau aku marah. Kita
satu team, sudah seperti keluarga. Kita buat kerja kita enak tapi tidak
seenaknya, oke?”
“Siap, Bu Bos!” sahut semua karyawan yang ada
di ruangan itu.
“Jangan panggil aku Bu Bos!” seru Yuna sambil
menahan tawa. “Panggil aku seperti biasanya aja!” pintanya.
“Yun, karena kamu udah jadi asisten direktur.
Kamu nggak bakal satu ruangan lagi sama kita,” tutur Icha sambil memasang wajah
muram.
“Astaga, aku cuma di ruangan sebelah. Kayak
beda lantai aja,” sahut Yuna.
“Tapi kan, nggak bisa kerja sambil mandangin
wajah kamu yang cantik itu, Yun,” celetuk Juan.
“Iya, Yun. Mana semangat kerja kalo nggak ada
yang bening-bening buat dilihat,” celetuk Pak Heri bercanda.
Yuna tertawa kecil menanggapi candaan
teman-temannya. “Kan ada si Icha.”
“Bosan lihat Icha mulu. Icha lagi, Icha
lagi,” sahut Juan.
“Hahaha.” Semua orang tertawa. Mereka
bercanda dengan Yuna sesaat sebelum Yuna masuk ke ruang kerjanya.
Beberapa menit kemudian, Yuna masuk ke
ruangan direktur. Ia langsung duduk di meja asisten direktur yang sudah
disediakan.
“Hei, Yun ... udah datang?” sapa Citra sambil
masuk ke ruangannya.
“Iya, Bu.”
“Selamat ya! Akhirnya kamu bergabung kembali
bersama kami.”
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Oh ya, kamu udah tahu beberapa proyek yang
lagi kita jalankan. Kira-kira, kamu bisa nggak tangani tiga proyek yang lagi di
garap di sebelah utara provinsi?” tanya Citra.
“Bisa, Bu.”
Citra mengambil dokumen di atas mejanya dan
menyodorkannya ke hadapan Yuna. “Ini ... dokumen proyek yang harus kamu tangani
secepatnya.”
Yuna mengangguk dan mengambil dokumen dari
tangan Citra.
“Kamu pasti bisa mengatasi ini. Aku percaya
sama kamu.” Citra menepuk bahu Yuna.
“Eh!?” Yuna melongo menatap Citra.
Citra mengernyitkan dahi. “Pak Lian nggak
cerita sama kamu?”
“Apaan?”
“Beberapa proyek kita lagi dalam masalah. Aku
nggak bisa mengatasi semua sendirian. Aku butuh orang kayak kamu.”
Yuna menganggukkan kepala. “Aku usahain, Bu.”
Citra tersenyum ke arah Yuna. Ia sangat lega,
kinerja Yuna memang jauh lebih unggul daripada karyawan lain walau ia seorang
wanita.
“Yun, dulu saya juga staff biasa seperti
kamu. Sampai bisa di posisi ini, banyak hal yang harus dijalani, dilewati
bahkan dikorbankan.”
Yuna tersenyum kecil menanggapi ucapan Citra. Ia sendiri
tidak tahu harus bagaimana mengejar mimpi-mimpinya. Punya jabatan tinggi di
perusahaan memang sangatlah bagus. Tapi, impian itu kini terlihat samar walau
sudah di depan mata. Kini, ia bukan gadis lajang yang berjuang meraih mimpinya.
Ada seseorang di belakangnya yang akan mendorong dan menarik dirinya menggapai
impian itu.
Yuna membuka dokumen proyek yang akan ia
tangani. Mempelajarinya sejenak dan bergegas keluar dari ruangannya. Ia masuk
ke ruangan staff departemen proyek yang ada di sebelah ruangannya.
“Pak Heri, bisa temani saya ke proyek yang di
Kedung?” tanya Yuna.
“Bisa, Mbak. Sekarang?” tanya Pak Heri.
Yuna mengangguk. Ia dan salah satu staffnya
langsung bergegas keluar ruangan.
“Mbak Yuna mau lihat proyek yang di sana?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Tapi, proyek itu dalam masalah. Apa masih bisa
diselamatkan? Takutnya, justru merugikan perusahaan kalau kita memaksa proyek
tersebut tetap berjalan.”
“Aku mau lihat lokasi dulu. Kita harus bisa
cari alternatif lain yang tidak merugikan perusahaan.”
Pak Heri mengangguk. Ia bergegas mengikuti
langkah Yuna keluar dari perusahaan. Walau Yuna usianya jauh lebih muda
darinya, tapi ia sangat kagum dengan kerja keras dan kemampuan Yuna. Tidak
salah jika direktur mereka memilih Yuna menjadi asistennya. Di hari pertamanya
masuk kerja lagi, Yuna langsung pergi ke lokasi proyek tanpa ragu-ragu.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment