Yuna melangkah perlahan memasuki kantor Galaxy Group. Semua
pegawai menyapanya dengan ramah. Ia memasuki lift dan bergegas mencapai ruang
kerja Yeriko.
“Selamat siang, Bu!” sapa dua orang
sekretaris Yeriko dengan ramah.
“Selamat siang!” balas Yuna. “Bapak ada di
ruangannya?”
“Ada.”
Yuna tersenyum. Ia memegang tas bekal makan
siang untuk suaminya dan bergegas masuk ke dalam ruangan.
“Selamat siang, suamiku yang ganteng!” sapa
Yuna ceria begitu ia sudah berdiri di depan meja kerja Yeriko.
“Siang!” Yeriko menatap Yuna dan tersenyum.
“Aku bawain makan siang buat kamu,” tutur
Yuna sambil mengeluarkan bekal makan siangnya ke atas meja yang tak jauh dari
meja kerja Yeriko.
Yeriko tersenyum. Ia bangkit dari kursi dan
melangkah mendekati Yuna. “Kamu yang masak?”
Yuna menganggukkan kepala. “Makan dulu!”
pintanya.
Yeriko mengangguk. Mereka duduk bersama
menikmati makan siang buatan Yuna.
“Hasilnya gimana?” tanya Yeriko.
“Eh!? Hasil apaan?” tanya Yuna.
“Dari kantor Lian,” jawab Yeriko tanpa
menatap Yuna.
Yuna menghentikan makannya. Ia melipat kedua
tangan di atas meja dan menatap Yeriko.
“Kenapa?” Yeriko melirik Yuna sejenak.
“Dia minta aku balik ke perusahaannya.
Menurut kamu gimana?” tanya Yuna serius.
“Mmh ... terserah kamu.”
“Kok terserah?”
“Kalau mau kerja lagi, aku tetap dukung
kamu.”
“Serius? Tapi ... aku masih bingung banget.”
“Bingung kenapa?”
“Bingung aja, antara kerja sama di rumah,”
jawab Yuna sambil menopang dagunya.
Yeriko menatap wajah Yuna. “Terima aja
tawaran Lian!”
“Eh!? Emang nggak papa?”
Yeriko mengangguk. “Sekarang, banyak orang
kesulitan cari kerja. Kamu ambil aja kesempatan ini buat belajar!”
“Iya juga sih. Sebenarnya, temen-temen kerja
di sana semuanya baik kecuali Bellina.”
Yeriko tersenyum menatap Yuna.
“Aku juga ditawarin posisi yang lumayan
bagus. Bakal ngerjain banyak project!” seru Yuna sambil tertawa
riang.
Yeriko hanya tersenyum kecil melihat Yuna
begitu bahagia.
“Mmh ... Yer, apa kamu tahu kalau ...” Yuna
menggigit bibir bawahnya.
“Kalau apa?”
Yuna menarik napas dalam-dalam dan
mengeluarkannya perlahan. “Sebenarnya ... Wijaya Group itu dulunya
perusahaan ayah.”
Yeriko mengernyitkan dahi.
“Aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya
terjadi sampai perusahaan ayah bisa di tangan Lian. Kalo kata Oom dan Tante
Melan, saham perusahaan dijual untuk biaya pengobatan ayah.”
Yeriko menatap serius ke arah Yuna. Ia baru
mengetahui kalau ayah Yuna adalah pemilik awal perusahaan tersebut.
“Lian bilang, perusahaan lagi dalam masalah
dan butuh bantuanku. Aku ngerasa bukan siapa-siapa lagi di perusahaan itu.
Tapi, aku juga nggak bisa ngebiarin perusahaan yang dirintis ayahku bangkrut.
Menurut kamu, aku harus gimana?”
“Kamu harus bisa bikin perusahaan ayah kamu
bertahan. Aku bakal pikirkan caranya.”
“Cara apa?”
“Ambil alih perusahaan Lian.”
“Eh!?”
Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Makan yang
banyak!” pintanya.
Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia
tidak mengerti bagaimana perusahaan ayahnya berpindah tangan ke keluarga Wijaya
dan berubah nama menjadi Wijaya Group. Kalau memang pamannya yang menjual saham
perusahaan untuk pengobatan ayahnya, tentunya ia akan merasa bersalah pada
keluarga Wijaya jika Yeriko benar-benar mengambil alih perusahaan itu.
“Permisi, Pak!” Sekretaris Yeriko tiba-tiba
sudah berdiri di belakang mereka.
Yeriko memutar tubuhnya dan menatap
sekretarisnya tersebut. “Ada apa?”
“Jadwal meeting lima belas menit lagi. Ini
presentasi yang Bapak butuhkan,” tutur sekretaris tersebut sambil menyodorkan
hardisk ke arah Yeriko.
“Oke. Thanks!”
Sekretaris tersebut mengangguk dan bergegas
pergi. “Eh, tunggu!”
“Iya, Pak!”
“Panggilkan Riyan ke sini!”
“Siap, Pak!”
Yuna tersenyum menatap sekretaris Yeriko yang
berjalan keluar dari ruang kerja Yeriko.
“Yun, aku harus meeting. Kamu istirahat di
dalam!” pinta Yeriko sambil menunjuk pintu ruangan pribadinya. “Tunggu aku
selesai meeting. Oke?”
“Mmh ... aku pulang aja. Masih ada sesuatu
yang harus aku kerjain di rumah.”
“Apa?”
“Ada, deh,” sahut Yuna sambil membereskan
bekas makanan mereka.
Beberapa menit kemudian, Riyan masuk ke dalam
ruangan Yeriko.
“Siang, Nyonya!” sapa Riyan sambil menatap
Yuna.
“Siang!” balas Yuna sambil bangkit dari
tempat duduknya.
“Mau ke mana?”
“Mau pulang,” jawab Yuna.
“Mau diantar?” tanya Riyan.
“Nggak usah. Aku bisa pesen taksi. Kalian
lagi sibuk banget kan?”
Riyan tersenyum ke arah Yuna.
“Aku udah pesenin taksi. Kamu tunggu di
bawah!” pinta Yeriko. “Aku nggak bisa antar.”
Yuna menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu!”
Yeriko mengangguk. Ia mengecup kening Yuna
dan melepas kepergian Yuna dari ruangannya.
“Ada apa, Pak Bos?” tanya Riyan.
“Yan, kamu bisa selidiki Wijaya Group?”
“Sahamnya?”
“Sejarahnya.”
“Sejarah?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Aku baru tahu kalau ternyata, perusahaan itu
sebelumnya milik Pak Adjie Linandar. Nggak tahu gimana ceritanya bisa berpindah
tangan ke keluarga Wijaya. Aku ngerasa ada sesuatu yang ganjil. Kamu bisa
selidiki ini?”
“Bisa, Pak!”
“Oh, ya. Kamu juga selidiki kasus kecelakaan
ayah Yuna sebelas tahun yang lalu.”
“Sebelas tahun?” Riyan mengernyitkan dahi.
“Ayah Yuna bukan orang sembarangan. Pasti ada
berita yang memuat kasus ini. Kecuali, ada orang yang sengaja menghilangkan
bukti-bukti masa lalu keluarga Linandar. Semakin sulit dapetin informasinya,
semakin mencurigakan,” tutur Yeriko.
Riyan menganggukkan kepala. “Saya mengerti.”
Yeriko menghela napas. Ia langsung mengajak
Riyan menuju ke ruang rapat.
Sementara itu, Yuna kembali ke rumah dan
terus berpikir. Ia tidak tahu bagaimana membuat keputusan. Bekerja kembali atau
tetap menjadi ibu rumah tangga.
Yuna berjalan menuju balkon. Ia mengambil
kotak yang ia sembunyikan di bawah kursi dan membukanya. Ia tersenyum melihat
sweeter yang ia rajut sudah hampir jadi. Ia merogoh ponsel di saku celana dan
langsung menelepon Wilian.
“Halo ...!” sapa Lian dari ujung telepon.
“Gimana? Udah ada keputusan?” tanyanya tanpa basa-basi.
“He-em. Aku terima tawaran kamu.”
“Bagus. Pilihan yang tepat, Yun. Kamu bisa
langsung masuk kerja besok.”
“Oke.” Yuna langsung mematikan panggilan
teleponnya. Ia tersenyum mengingat teman-teman kerjanya yang begitu hangat saat
bekerja bersamanya.
Yuna menghela napas. Ia mengambil hakpen dari
dalam kotak tersebut dan melanjutkan merajut sweeter untuk suaminya. Ia
menghabiskan waktunya merajut sambil menikmati pemandangan dari balkon rumah.
“Hmm ... akhirnya kelar juga!” Yuna bangkit
dan meliukkan tubuhnya setelah menyelesaikan rajutannya dengan sempurna.
“Mudahan Yeriko suka sama buatan aku.” Ia menatap sweeter buatannya yang
terdapat huruf ‘YY’ di dada kirinya.
Yuna melipat sweater tersebut untuk ia
hadiahkan pada suaminya. Yuna melihat jam di ponselnya. Ia bergegas masuk
kembali ke dalam rumah dan turun menghampiri Bibi War yang sedang berkutat di
dapur.
“Kok, Bibi yang masak?” tanya Yuna.
“Iya. Kalo nggak masak, Bibi mau ngapain?
Semuanya udah beres. Bibi suntuk kalo nggak ngapa-ngapain,” jawab Bibi War.
Yuna tersenyum. “Kalo gitu, aku bantuin.”
Bibi War mengangguk, membiarkan Yuna
membantunya memasak di dapur.
“Oh ya, Bi. Sweater yang mau aku kasih ke
Yeriko udah kelar,” tutur Yuna. “Mmh ... kira-kira dia bakal suka atau nggak
ya?”
“Dia pasti suka buatannya Mbak Yuna.”
Yuna terus tersenyum sambil memasak bersama
Bibi War. Ia terus membayangkan Yeriko mengenakan sweater tersebut.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment