Sesuai dengan janjinya, pagi-pagi sekali Yuna sudah bersiap
pergi ke kantor Wijaya Group.
“Loh? Mbak Yuna masuk kerja lagi?” tanya Bibi War saat Yuna
turun dari kamarnya berpakaian rapi.
“Nggak, Bi. Cuma mau ke kantor aja. Disuruh ke sana
sebentar,” jawab Yuna.
Yeriko tersenyum. Ia duduk di kursi meja makan bersama
Yuna.
“Oh. Bibi kira mau kerja lagi. Kalau udah biasa kerja,
pasti bosan di rumah terus.”
“Nggak juga, Bi. Banyak juga kok kerjaan di rumah yang bisa
dikerjain. Jadi, nggak bosan walau di rumah aja,” sahut Yuna.
Bibi War tersenyum. Ia melirik ke arah Yeriko dan bergegas
pergi.
“Yun, kamu baru berhenti kerja beberapa hari yang lalu.
Udah dipanggil ke perusahaan itu lagi. Kayaknya, bos perusahaanmu itu udah
kangen berat nggak lihat kamu,” tutur Yeriko sambil menikmati sarapannya.
“Apaan sih!?” sahut Yuna sambil mengerutkan bibirnya.
Yeriko tertawa kecil sambil melirik ke arah Yuna.
Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko. “Kenapa
senyum-senyum? Kamu lagi ngerencanain sesuatu?” dengus Yeriko.
Yeriko menggeleng. “Mau bawa mobil sendiri? Ada Porsche
nganggur tuh!”
Yuna mengedikkan bahu.
“Kenapa?”
“Aku nggak boleh naik mobil kamu lagi?” tanya Yuna balik.
“Boleh. Tapi, lebih enak kalo bisa bawa mobil sendiri.”
“Udah bosan ngantarin aku terus?”
“Nggak gitu. Jangan salah paham, dong!”
“Ya udah. Aku nggak mau bawa mobil sendiri. Lagian,
temen-temen di perusahaan udah pada tahu kalo itu mobilnya Andre. Ntar malah
digosipin macem-macem kalo aku bawa mobil itu.”
“Mereka tahu itu mobil Andre? Merhatiin banget!?”
Yuna mengangguk. “Gimana nggak tahu. Mobil semewah itu,
siapa yang nggak perhatiin? Nggak banyak orang yang punya mobil begitu. Aku
bawa ke kantor, nyari penyakit namanya.”
“Mmh ... iya juga ya? Gimana kalo dijual dan ganti mobil
biasa aja buat kamu?”
“Aku nggak mau mobil!” seru Yuna.
“Kenapa?” Yeriko mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti isi
kepala Yuna. Biasanya, wanita sangat menyukai hadiah mobil. Istrinya justru
menolak dibelikan mobil.
“Kalo aku bawa mobil sendiri. Jarak kita terlalu jauh.
Nggak ada temen cerita di perjalanan. Ntar kamu malah bawa perempuan lain masuk
ke mobilmu.”
Yeriko langsung mengetuk dahi Yuna. “Jangan mikir
macem-macem!” pintanya. “Kamu percaya sama aku kan?”
Yuna menganggukkan kepala. “Tapi aku tetep nggak mau bawa
mobil sendiri.”
“Oke. Aku antar kamu.”
Yuna tersenyum sambil menatap Yeriko. Mereka segera
menghabiskan sarapannya dan bergegas berangkat ke kantor.
Sesampainya di kantor Wijaya Group, Yuna langsung bergegas
masuk ke ruangan Citra.
“Pagi ..!” sapa Yuna sambil masuk ke dalam ruangan.
“Pagi ...!” balas Citra sambil bangkit dari tempat
duduknya. “Apa kabar?” tanyanya sambil memeluk Yuna dengan hangat.
“Baik, Bu.”
“Ayo, duduk!” pinta Citra. Ia mengajak Yuna berbincang
sejenak, menanyakan keseharian Yuna setelah berhenti bekerja.
“Mmh ... sebenarnya, saya manggil kamu ke sini karena ada
perlu,” tutur Citra.
“Perlu apa?”
Citra menarik napas perlahan dan menatap wajah Yuna. “Kamu
temui Pak Lian dulu ya!” pintanya.
“Lian? Kenapa harus ketemu dia?”
“Biar bagaimanapun, dia adalah pimpinan kami. Dia yang
minta kamu buat dateng ke sini. Dia lagi nunggu kamu di ruangannya.”
Yuna tersenyum menatap Citra. “Baik, Bu. Saya akan ke
sana.”
Citra mengangguk sambil tersenyum dan mengantarkan Yuna ke
ruang kerja Lian.
Yuna menarik napas sambil menatap pintu ruang kerja Lian.
Ia tidak tahu apa yang diinginkan oleh pria tersebut. Ia mengetuk pintu
tersebut perlahan.
“Masuk!” Terdengar suara Lian dari balik pintu.
Yuna bergegas membuka pintu ruangan tersebut.
“Yuna? Udah datang? Duduk!” sapa Lian sambil menandatangani
dokumen di hadapannya dan langsung menutup map tersebut.
“Kenapa nyuruh aku datang ke sini?” tanya Yuna sambil
berdiri di hadapan Lian.
“Duduk dulu!” pinta Lian lembut.
“Nggak perlu. Kamu ngomong aja langsung!”
Lian tersenyum. Ia bangkit dari tempat duduk dan
menghampiri Yuna. “Cantik-cantik, jutek banget?” tanyanya sambil mengitari
tubuh Yuna.
“Udahlah Li. Mau kamu apa? Nggak usah kebanyakan
basa-basi!” sentak Yuna.
Lian tersenyum kecil. Ia memutar bingkai foto yang ada di
atas mejanya menghadap ke Yuna.
Yuna tertegun melihat foto tiga orang pria yang duduk
bersama di sebuah kursi. Ayahnya merangkul dua pria yang bersamanya dengan raut
wajah yang begitu bahagia. Yuna meraih bingkai foto tersebut dan menyentuh
wajah ayahnya. Kini, ia bahkan tidak bisa melihat senyuman lebar itu dari bibir
ayahnya.
“Aku rasa, kamu nggak akan lupa bagaimana hubungan mereka
bertiga. Perusahaan ini dibangun bersama. Bisa jadi seperti ini, semua adalah
kerja keras ayah kita,” tutur Lian.
“Aku sadar, sebelumnya perusahaan ini adalah milik ayah
kamu. Kalau bukan karena kecelakaan yang dialami ayah kamu. Pasti dia yang akan
duduk di ruangan ini saat ini.”
Yuna terdiam. “Apa maksud kamu ngomong kayak gini?” tanya
Yuna.
“Perusahaan lagi dalam masalah. Aku rasa, kamu juga nggak
akan ngebiarin hasil kerja keras ayah kamu ini jatuh begitu aja.”
Yuna menatap wajah Lian. Ia sendiri tidak tahu harus
bagaimana. Saat ini, perusahaan ayahnya sudah beralih ke tangan keluarga Wijaya
dan ia sama sekali tidak mengerti bagaimana perusahaan ayahnya beralih tangan.
Lian tersenyum ke arah Yuna. “Aku mau, kamu balik ke
perusahaan ini lagi!” pinta Lian.
“Aku nggak bisa, Li. Terus ada di perusahaan ini bukanlah
hal yang baik buat aku.”
“Kamu jangan buru-buru nolak!” pinta Lian. Ia mengambil
lembaran kertas dari atas meja dan menyodorkannya ke hadapan Yuna. “Posisi
asisten direktur proyek lagi kosong. Banyak keuntungan yang bisa kamu dapat.
Kamu pikirkan baik-baik!”
Yuna meraih kertas yang diberikan oleh Lian. “Aku bicarakan
sama suamiku dulu!”
“Oke.” Lian mengangguk dan kembali ke tempat duduknya.
“Udah kelar?” tanya Yuna sambil menatap Lian.
Lian mengangguk. “Aku tunggu kabar secepatnya!”
Yuna mengangguk. “Aku pulang dulu!” pamit Yuna. Ia berbalik
dan bergegas keluar dari ruangan Lian.
Yuna bergegas turun ke lobi untuk kembali ke rumahnya.
“Yuna? Kamu ke sini nggak kabarin aku. Ngapain?” tanya Icha
yang kebetulan berpapasan dengan Yuna.
“Dipanggil sama Lian.”
“Serius? Ada apa? Dia nyuruh kamu balik kerja di sini
lagi?”
“Kamu kok tahu?”
“Hihihi ... banyak karyawan yang taruhan soal ini.”
“Hah!? Taruhan?”
Icha mengangguk sambil meringis. “Mereka bertaruh kalau Pak
Bos Lian bakal rekrut kamu lagi ke perusahaan ini.”
“Kok bisa?”
Icha menganggukkan kepala. “Iya. Kamu kan karyawan teladan
dan bisa diandalkan. Kehilangan kamu, kayak kehilangan separuh fungsi
perusahaan.”
“Halah, lebay!” sahut Yuna.
“Iih ... serius!” seru Icha. “Kita di departemen proyek,
kangen banget sama kamu. Sejak nggak ada kamu, semuanya jadi terasa
membosankan.”
Yuna tertawa kecil. “Eh, kamu lagi sibuk nggak?”
“Nggak terlalu sibuk. Kenapa?”
“Ngopi yuk! Sambil ngobrol. Aku traktir,” ajak Yuna.
Icha menganggukkan kepala. Mereka bergegas ke salah satu
kedai kopi terdekat.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Kasih Star Vote dan hadiah seikhlasnya biar
aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment