Yuna
duduk di balkon sambil merajut sweater yang akan ia hadiahkan untuk Yeriko.
Baru dua hari ia tidak bekerja, rasanya ... hidupnya begitu membosankan.
Sementara, orang-orang yang ada di sekelilingnya sibuk bekerja. Ia hanya
menghabiskan waktunya untuk bersantai-santai di rumah.
“Mbak
Yuna lagi apa?” tanya Bibi War yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Eh,
nggak papa, Bi. Lagi bikin sweater buat Yeri.”
“Wah
...! Mbak Yuna bisa ngerajut?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Mas
Yeri pasti suka sama buatan Mbak Yuna.”
“Mudah-mudahan
ya, Bi!”
“Aamiin.
Ini Bibi bawakan jus mangga,” ucap Bibi War sambil meletakkan segelas jus ke
atas meja.
“Makasih,
Bi!” ucap Yuna sambil tersenyum manis.
“Mbak,
bilang Mas Yeri ... kalau Mbak Yuna bosan di rumah, bisa jalan-jalan ke luar.
Nanti Bibi temenin.”
Yuna
menggelengkan kepala. “Nggak usah, Bi. Aku mau ngelarin ini dulu.”
Bibi
War tersenyum sambil memerhatikan Yuna yang sudah dua hari menghabiskan
waktunya di balkon seorang diri. Ia hanya mengkhawatirkan kondisi Yuna apabila
terus sendirian seperti ini.
“Bibi
beres-beres dulu. Kalo butuh apa-apa, panggil Bibi ya!”
Yuna
menganggukkan kepala.
Bibi
War segera pergi meninggalkan Yuna.
Yuna
meniup jemarinya beberapa kali. Sudah lama sekali ia tidak pernah menggunakan
hakpen. Merajut dalam waktu yang lama, membuat ujung jarinya menjadi callus.
Sama seperti jika sudah lama tak bermain gitar. Ujung jarinya akan lecet dan
menimbulkan callus.
Yuna
teringat kejadian beberapa bulan lalu saat ia berusaha keras membuat sweater
untuk Lian dan harus menelan pil pahit karena Lian tak pernah menerima sweeter
tersebut, bahkan ia membakarnya begitu saja.
“Yun,
Yeriko bukan Lian. Dia pasti akan menghargai kamu dan nggak akan nyakitin
kamu!” ucap Yuna pada dirinya sendiri.
Yuna
menarik napas. Ia meraih gelas jus yang ada di atas meja dan melangkah menuju
lantai bawah untuk menghilangkan sejenak rasa pegal di punggungnya karena duduk
terlalu lama.
Yuna
celingukan mencari sosok Bibi War. Ia terus melangkahkan kakinya mengitari
ruangan rumah Yeriko.
“Nyari
apa, Mbak?” tanya Bibi War sambil memegang rotan pemukul kasur.
“Nyari
Bibi,” jawab Yuna sambil berbalik menatap Bibi War.
PRANG
...!!!
Gelas
yang ada di tangan Yuna langsung terlepas dan pecah berserakan di lantai saat
melihat Bibi War membawa rotan pemukul kasur. Tubuhnya gemetaran, mengeluarkan
keringat dingin, seisi ruangan berputar semakin cepat. Dada Yuna kembang kempis
begitu cepat, ia tak bisa mengendalikan diri.
“Aargh
...! Ampun ...! Jangan pukul lagi! Jangan! Sakit!” Yuna melipat tubuhnya ke
lantai dan terus berteriak histeris sambil menangis.
“Mbak
Yuna, kenapa?” Bibi War panik melihat Yuna yang tiba-tiba berteriak histeris.
Ia langsung melemparkan rotan pemukul kasur yang ada di tangannya. Meraih
pundak Yuna dan menggoyang-goyangkan tubuh Yuna agar tersadar.
“Mbak
Yuna! Mbak! Sadar, Mbak! Ini Bibi!” Bibi War menarik wajah Yuna agar
menatapnya.
“Bibi?”
Yuna terisak dan langsung memeluk Bibi War. “Bi, aku takut!” tutur Yuna
sesenggukan.
“Nggak
usah takut! Ada Bibi di sini,” tutur Bibi War sambil mengusap kepala Yuna dan
memeluknya dengan erat. “Ayo, bangun!” Bibi War memapah Yuna untuk duduk di
sofa dan memberikan segelas air putih.
Yuna
melipat kakinya di atas sofa dan menopangkan dagu ke lututnya. Tatapannya
kosong, bayangan masa lalu kembali menghantui dirinya.
Bibi
War sangat khawatir dengan keadaan Yuna. Ia bergegas menjauh dari Yuna, merogoh
ponselnya dan menelepon Yeriko.
“Ada
apa, Bi? Ada masalah?” tanya Yeriko begitu panggilan teleponnya tersambung. Ia
sudah mengetahui, Bibi War hanya akan meneleponnya jika terjadi masalah.
“Mmh
... Mbak Yuna, Mas.”
“Yuna
kenapa?”
“Apa
dia punya trauma masa lalu?” tanya Bibi War berbisik. Ia mengintip Yuna dari
kejauhan untuk memastikan kalau Yuna tidak akan mendengar pembicaraannya dengan
Yeriko.
“Maksud
Bibi?”
“Tadi,
Bibi abis jemur kasurnya Bibi. Bibi pegang rotan pemukul kasur waktu masuk.
Mbak Yuna lihat Bibi langsung teriak ketakutan dan nangis histeris. Bibi
kebingungan karena dia tiba-tiba seperti itu. Dia kira, Bibi mau mukul dia
pakai rotan itu.”
“Serius,
Bi?”
“Iya.
Bibi khawatir sama dia.”
“Sekarang,
keadaannya gimana?”
“Udah
baikan. Tapi masih murung. Dia masih duduk di sofa dan kelihatan masih
ketakutan.”
“Oke.
Aku pulang sekarang juga.” Yeriko langsung mematikan panggilan teleponnya.
Tiga
puluh menit kemudian, Yeriko sudah sampai di rumah. Ia langsung berlari masuk
ke dalam rumah dan mendapati Yuna masih meringkuk di sofa dengan tatapan
kosong.
“Yun,
kamu nggak papa?” tanya Yeriko sambil menghampiri Yuna. Ia langsung menangkup
wajah Yuna dengan kedua telapak tangannya.
Yuna
menatap wajah Yeriko, matanya menyiratkan rasa takut yang begitu besar.
Yeriko
langsung memeluk erat tubuh Yuna. “Nggak papa. Aku di sini, selalu jagain
kamu!” bisiknya di telinga Yuna.
“Aku
takut,” bisik Yuna hampir tak terdengar di telinga Yeriko.
“Nggak
usah takut!” pintanya. “Ada aku.”
Yuna
memeluk erat tubuh Yeriko dan tak ingin melepaskannya. Berada dalam pelukan
Yeriko, membuat perasaannya jauh lebih baik.
Yeriko
membiarkan Yuna terus berada dalam pelukannya tanpa bicara apa pun hingga gadis
itu terlelap di pelukannya. Ia menggendong Yuna dengan hati-hati dan
menidurkannya di kamar. Ia langsung turun kembali menemui Bibi War.
“Bi,
Bibi yakin kalo Yuna ketakutan karena lihat rotan?”
Bibi
War menganggukkan kepala. “Kemungkinan, dia punya trauma masa lalu. Apa masa
kecilnya dia sering dipukuli?”
“Nggak
tahu, Bi. Tapi, aku yakin orang tuanya nggak akan seperti itu ke dia.
Kemungkinan besar, dia memang menerima perlakuan buruk sebelas tahun yang lalu.
Aku bisa lihat gimana Tante dan sepupunya memperlakukan Yuna begitu kejam.”
“Bibi
coba tanya tentang masa lalunya dia. Dia tetep nggak mau cerita. Suasana
hatinya lagi buruk banget. Bawa dia jalan-jalan kalau kondisinya sudah stabil.
Mbak Yuna, sosok yang begitu ceria setiap harinya. Ini pertama kalinya Bibi
lihat dia begitu menyedihkan.”
Yeriko
menganggukkan kepala. Ia merogoh ponsel dan langsung menelepon Lutfi.
“Halo
...! Lut, kamu di mana?”
“Di
rumah. Kenapa?”
“Aku
mau bawa Yuna ke Vanda. Kamu ajak Icha sama Jheni buat ikut juga!”
“Kapan?”
“Besok.”
“Kenapa
mendadak?”
“Suasana
hati Yuna lagi nggak bagus. Aku mau bawa dia liburan. Pastikan Chandra, Jheni
dan Icha juga bisa ikut!”
“Oke.”
“Oke.
Besok pagi, aku tunggu kalian di rumah. Jam tujuh.”
“Siap,
Bos!”
Yeriko
langsung menutup teleponnya. Ia langsung menelepon Riyan untuk mengubah seluruh
jadwal meetingnya beberapa hari ke depan.
Yeriko
duduk di sofa sambil menyandarkan kepalanya. Banyak hal yang tiba-tiba
terlintas di pikirannya.
Yeriko
tidak benar-benar mengetahui bagaimana kehidupan yang dialami Yuna di masa
lalu. Satu-satunya orang yang bisa memberikan informasi tentang masa lalu Yuna
hanyalah Jheni. Ia harap, liburan kali ini bisa membuat suasana hati Yuna
menjadi lebih baik lagi.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga, bikin aku makin semangat deh.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi

0 komentar:
Post a Comment