Tuesday, May 20, 2025

Perfect Hero Bab 188 - Daily Nyonya Ye | a Romance Novel by Vella Nine

 




Pagi-pagi sekali, Yuna sudah berkutat di dapur bersama Bibi War untuk menyiapkan sarapan.

 

“Aargh ...! Akhirnya berhasil!” Yuna melompat kegirangan setelah selesai menyusun makanan di atas meja makan. Ini pertama kalinya ia bisa menyiapkan hidangan untuk suaminya sejak mereka menikah.

 

Bibi War tersenyum sambil menatap Yuna.

 

“Makasih ya, Bi! Udah ngasih aku kesempatan buat pake dapur. Yeriko nggak bisa ngatain aku sebagai pengacau dapur lagi. Waktu itu kan murni kecelakaan.” Yuna tersenyum sambil menatap hidangan yang ia buat untuk Yeriko.

 

“Aargh ...! Yuna, Yuna ... kamu memang perempuan berbakat!” seru Yuna memuji dirinya sendiri. “Nggak ada yang bisa ngeremehin kemampuan kamu termasuk suami kamu sendiri!” tuturnya sambil menari-nari riang. Ia terus berputar, menari dan bersenandung.

 

“Eh!?” Yuna meringis ketika ia menabrak tubuh Yeriko. “Udah bangun?”

 

“Gimana nggak bangun kalo pagi-pagi kamu udah ribut banget?”

 

“Hehehe. Sorry! Aku ganggu tidur kamu ya?”

 

“Banget!” sahut Yeriko.

 

“Sorry! Abisnya, aku seneng banget hari ini.”

 

“Ada apa? Dapet undian berhadiah?”

 

“Ih.. enggak! Taraaaa ...!” Yuna menunjukkan makanan yang terhidang di atas meja.

 

Yeriko mengernyitkan dahi. “Apa istimewanya? Cuma sarapan doang.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya. Ia langsung melepas apron. Melempar ke lantai begitu saja dan duduk di kursi sambil melipat wajahnya.

 

Yeriko mengernyitkan dahi. Ia menatap apron yang tergeletak di lantai dan baru memahami maksud Yuna. Ia ikut duduk di kursi meja makan yang ada di sebelah Yuna. “Kenapa tiba-tiba marah?” tanya Yeriko.

 

Yuna tak menyahut. Hanya melipat kedua tangan di depan dada.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu yang masak?” tanyanya lembut sambil merapikan rambut Yuna.

 

Yuna melirik sambil melipat wajahnya.

 

“Jelek banget kalo cemberut kayak gitu.” Yeriko menjepit rahang Yuna dan menggoyangkan perlahan.

 

Yuna mengerucutkan bibirnya.

 

Yeriko tersenyum dan mengecup bibir Yuna.

 

“Aku udah bisa masak tanpa ngacaukan dapur. Apa aku udah boleh pake dapur?” tanya Yuna sambil memainkan matanya.

 

Yeriko terdiam selama beberapa saat. “Mmh ... aku pikir-pikir dulu.”

 

“Iih .. kok gitu?”

 

“Aku cobain dulu masakan kamu. Kalo enak, dapur ini punyamu.”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Ayo, cobain!” pinta Yuna sambil menyendokkan makanan ke piring Yeriko.

 

Yeriko mencicipi masakan Yuna perlahan. Tak ada ekspresi senang atau pun tidak senang. Membuat Yuna yang duduk di sampingnya menahan napas menunggu komentar Yeriko.

 

“Gimana?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... lumayan.”

 

“Lumayan? Maksudnya?”

 

“Lumayan enak.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya. Ia sudah bersusah payah membuat makanan untuk Yeriko dengan sepenuh hati. Tapi, hasil masakannya tidak bisa membuat suaminya itu puas.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil melirik Yuna. “Dapur ini punyamu,” tuturnya sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.

 

“Hah!? Serius!?” Yuna langsung menatap wajah Yeriko dengan mata berbinar.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Aargh ...! Makasih!” seru Yuna sambil memeluk tubuh Yeriko.

 

“Hmm ... cuma dapur, bisa bikin kamu seceria ini?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Iya, dong! Mulai hari ini, aku yang masakin buat kamu. Gimana?”

 

“Eh!?” Yeriko langsung menatap Yuna. “Bibi War ngapain kalo kamu yang masak?”

 

“Hmm ... dia bisa bantu aku potong-potong sayuran, beres-beres rumah. Kalo aku yang masak, aku bisa meringankan kerjaan Bibi kan?”

 

“Apa kamu nggak bisa lebih santai aja? Biar semua kerjaan rumah dikerjain Bibi.”

 

“Aku udah nggak kerja. Kalo aku nggak ngapa-ngapain, aku bisa mati kebosanan di rumah sebesar ini.”

 

Yeriko tersenyum kecil sambil menatap wajah Yuna. “Gimana kalo kamu kerja di perusahaan aku aja? Kita bisa ketemu setiap hari.”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko.

 

“Karena ... aku nggak mau terlalu diistimewakan di perusahaan kamu. Semua karyawan di sana pasti sungkan sama aku karena aku istrinya bos. Aku nggak mau statusku justru jadi kendala buat kinerja mereka.”

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Ya udah, kamu di rumah aja!” pinta Yeriko. “Kalo bosan, kamu bisa main ke rumah kakek.”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Iya juga, ya? Udah lama gak ke sana.”

 

“Kakek pasti seneng kalau kamu sering datang ke sana.”

 

Yuna mengangguk.

 

“Hari ini, jadi ke pameran kan?” tanya Yeriko.

 

Yuna mengangguk lagi. “Aku siapin air panas dulu buat kamu mandi. Habisin makannya!” tutur Yuna sambil bangkit dari tempat duduk.

 

“Kamu nggak makan?” tanya Yeriko.

 

“Aku tadi udah makan buah, belum laper,” jawab Yuna sambil melangkah pergi.

 

Yeriko langsung menahan lengan Yuna.

 

“Kenapa?”

 

Yeriko memerhatikan wajah Yuna beberapa saat. “Kamu program diet lagi?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Makan dulu!” perintah Yeriko. Ia memberi isyarat agar Yuna menemaninya menikmati sarapan.

 

Yuna kembali duduk di kursinya dan menikmati sarapan bersama Yeriko.

 

Setelah selesai makan dan mandi bersama. Mereka bersiap untuk pergi ke pameran karya seniman-seniman lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah.

 

“Yun, kenapa kamu pengen banget ke pameran ini?” tanya Yeriko sambil menuruni anak tangga.

 

“Karena diundang sama Bunda Yana. Lagian, aku suka sama seni. Jadi, nggak ada salahnya kan lihat-lihat sambil cari inspirasi.”

 

“Kamu juga udah nggak kerja. Cari inspirasi buat apa?”

 

“Buat ... membahagiakan diri sendiri. Hihihi.”

 

Yeriko tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

“Mbak, tadi ada orang antar paket. Bibi taruh di atas meja.” Bibi War menghampiri Yuna dan Yeriko yang baru saja sampai di ujung anak tangga.

 

Yuna menghampiri kotak yang ada di atas meja dan membacanya. “Oh. Ntar tolong bawa ke kamar, Bi!” pinta Yuna.

 

“He-em.” Bibi War menganggukkan kepala.

 

“Kamu beli apa?” tanya Yeriko.

 

“Beli benang,” jawab Yuna santai.

 

“Buat apa?”

 

Yuna langsung menoleh ke wajah Yeriko. “Duh, gimana sih? Aku kan mau ngasih kejutan buat dia. Kenapa aku jawabnya jujur banget?” batin Yuna.

 

“Mmh ... buat ngisi waktu luang. Biar nggak bosen,” jawab Yuna sambil menarik lengan Yeriko. “Ayo, berangkat!”

 

“Jheni sama Icha jadi ikut?”

 

“Belum tahu. Icha belum jelas mau dateng atau nggak. Kalo Jheni, katanya udah ke sana. Nggak tahu mau ke sana lagi atau nggak,” jawab Yuna sambil melangkah keluar dari rumahnya.

 

“Oh.” Yeriko membukakan pintu mobil untuk Yuna. Mereka bergegas menuju ke venue untuk melihat-lihat hasil karya seniman-seniman daerah.

 

Setelah sampai di tempat pameran, Yuna langsung berkeliling melihat karya seni yang dipamerkan di sana. Bukan hanya seni rupa dan seni kriya, pameran tersebut juga memamerkan produk makanan khas dari berbagai daerah.

 

Yuna menghentikan langkahnya saat melihat seorang seniman airbrush sedang menggambar live di sebuah kaos.

 

“Gila! Bagus banget gambarnya, aku mau!” seru Yuna.

 

“Kamu mau?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko menghampiri seniman yang sedang melukis seseorang menggunakan media kaos. “Mas, bisa lukis kami?” tanya Yeriko.

 

“Bisa banget, Mas!” sahut seniman tersebut. Ia memanggil salah seorang temannya untuk melukis Yuna dan Yeriko di atas sebuah kaos dengan teknik air brush.

 

“Ini komunitas ya?” tanya Yuna sambil duduk berdampingan dengan Yeriko untuk dilukis secara live oleh seniman tersebut.

 

“Iya, Mbak. Kami komunitas airbrush. Ini kartu nama kami. Kalau Mbaknya butuh, kami siap kapan aja.”

 

“Iya, Mbak juga cantik banget. Kalau mau jadi model kaos kami juga bisa, Mbak,” sahut seniman yang lain.

 

“Ah, kalian bisa aja. Aku nggak bakat jadi model.”

 

“Mas, masnya lebih deket lagi!” pinta seniman tersebut.

 

Yeriko langsung menggeser tubuhnya lebih dekat lagi ke tubuh Yuna.

 

Tak sampai satu jam, seniman tersebut sudah menyelesaikan lukisannya dengan baik.

 

“Pasangan serasi. Cantik dan ganteng,” puji seniman tersebut usai menyelesaikan lukisannya. “Mau bikin satu atau dua mbak?”

 

“Satu aja,” jawab Yuna.

 

“Nggak mau couple?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kenapa? Kalau bikin dua, aku satu, kamu satu,” tutur Yeriko.

 

“Cukup satu aja,” jawab Yuna. “Aku nggak mau diduain,” tuturnya sambil meringis.

 

“Bukan diduain, bajunya yang dua,” sahut Yeriko.

 

“Nggak usah, satu aja. Kita pakai dan rawat bareng-bareng.”

 

“Aku mana bisa pakai ini. Ukurannya kecil banget.”

 

“Mmh ... iya juga ya?”

 

“Ya udah, Mas. Satu lagi!” pinta Yeriko.

 

Seniman tersebut mengangguk dan langsung membuatkan lukisan yang sama satu lagi.

 

Yuna mengajak Yeriko berkeliling dan melakukan banyak hal bersama sepanjang hari.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.  Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga, bikin aku makin semangat deh.

Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas