“Cha, kenapa kamu jadi kayak gini?” tanya Lutfi.
“Kamu nggak suka?” tanya Icha sambil menundukkan
kepalanya.
“Suka. Tapi aku lebih suka kamu yang apa adanya.”
“Apa kamu nggak malu punya pacar yang biasa aja?
Sementara, kamu sering ketemu sama model dan selebgram yang cantik-cantik. Aku
ngerasa ...”
Lutfi tergelak mendengar ucapan Icha.
“Kenapa ketawa?” tanya Icha sambil memandang Lutfi.
“Kamu dandan kayak gini karena mereka?” tanya Lutfi
sambil tertawa.
Icha menganggukkan kepala.
Lutfi menghela napas dan menyondongkan tubuhnya mendekati
Icha. “Cha, kamu itu nggak dandan aja udah lebih cantik dari mereka. Buat apa
sih dandan kayak gini?”
“Aku takut kamu suka sama cewek yang lebih cantik lagi.”
“Semua
cewek di dunia ini cantik. Kalo aku mau cari yang lebih cantik lagi. Nggak ada habisnya, Cha. Masih
ada yang lebih cantik lagi, lebih cantik lagi, dan lebih cantik lagi. Buat aku
... kamu yang paling cantik.”
Icha tersenyum kecil menanggapi ucapan Lutfi. Ia tak
menyangka, pria seperti Lutfi bisa menyukai sosok gadis yang sederhana seperti
dia.
Lutfi membuka laci dashboard mobilnya. Ia mengeluarkan
kapas dan micellar water dari dalamnya. “Pakai ini!” perintahnya sambil
meletakkan barang tersebut ke pangkuan Icha.
“Ini
apa?”
“Buat
bersihin make-up kamu.”
Icha langsung mengambil barang yang ada di pangkuannya
dan mulai membersihkan riasannya.
Lutfi menyalakan mesin mobil dan langsung melaju kencang.
“Aku mau ajak kamu ke suatu tempat yang nggak perlu pakai make-up. Pake make-up
di momen-momen tertentu aja. Kayak mau kondangan aja,” celetuk Lutfi.
Icha tersenyum. Ia mengamati wajahnya beberapa kali dari
kaca spion untuk memastikan riasannya sudah terhapus sempurna.
“Kamu lihat si Yuna. Dia pake make-up di saat-saat
tertentu aja. Di rumah, dia nggak pernah pake make-up dan tetep cantik. Bahkan,
pergi ke mall cuma pake piyama doang, dia pede aja. Padahal, suaminya kaya
raya. Kamu ngerti kan maksud aku?”
Icha menganggukkan kepala.
“Yeriko suka sama Yuna karena dia nggak ribet dan
sederhana banget. Aku juga suka sama kamu karena kamu baik, sederhana dan apa
adanya. Aku nggak minta kamu buat berubah. Aku emang suka lihat cewek cantik,
tapi nggak suka pacarku tampil berlebihan.”
“Kenapa?”
“Kamu lihat si Yuna. Dia cantik, penampilannya keren,
baik hati dan ramah banget. Yeriko harus ekstra jagain istrinya yang berpotensi
diambil sama cowok lain. Udah gitu, si Lian sama Andre terang-terangan ngomong
suka sama Yuna. Bayangin aja gimana ribetnya punya pasangan cantik yang
berpotensi disukai sama banyak cowok?”
“Gimana dengan aku?” tanya Icha balik.
“Eh!?”
“Aku juga nggak bisa tenang lihat kamu dikelilingi banyak
cewek cantik.”
“Aku deketin mereka karena keperluan kerjaan, Cha. Bukan
karena suka sama mereka.”
“Gimana kalo mereka yang suka sama kamu?”
“Aku nggak suka sama mereka, Cha.”
“Bisa aja kan hatimu goyah dan akhirnya bisa suka sama
salah satu dari mereka.”
Lutfi menghela napas. “Kamu nggak percaya sama aku?”
“Mantan kamu berapa?”
“Mmh ...” Lutfi berpikir sejenak. “Aku nggak pernah
ngitung.”
“Mereka kamu pacarin juga, kan?”
“Kamu tahu dari mana? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama
mereka. Cuma sebatas kerjaan aja.”
“Mereka itu model, selebgram. Nggak sulit cari berita
mereka di internet. Juga berita kedekatan kamu sama mereka.”
“Iya. Cuma deket. Nggak pacaran. Aku deketin mereka cuma
buat endorse villa aku aja.”
Icha terdiam. Ia menatap ke luar jendela. “Mungkin
bener apa yang dibilang Yuna. Aku harus menguatkan diri nerima semua ini. Lihat
Lutfi dikelilingi banyak cewek cantik. Nggak ada yang salah sama dia. Aku yang
salah karena sudah berani masuk ke dalam kehidupannya,” batin Icha.
Lutfi terus melirik ke arah Icha yang tak lagi bersuara.
Ia tidak bisa menebak apa yang ada di dalam hati Icha saat ini. Raut wajah Icha
terlalu datar untuk ia pahami. Tidak tersenyum, tidak murung, juga tidak marah.
Membuatnya terus menerka-nerka sendiri dan merasa bersalah.
Lutfi menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah
berlantai dua yang ada di jalan Tegalsari.
“Mau ngapain ke sini?” tanya Icha sambil melepas safety
belt.
“Ketemu temen,” jawab Lutfi. Ia langsung membuka pintu
mobil dan keluar.
Lutfi meraih tangan Icha dan mengajaknya masuk ke dalam
rumah tersebut.
“Hei, Lut! Apa kabar?” sapa seorang pria dengan ramah
sambil merangkul tubuh Lutfi.
“Baik, baik,” jawab Lutfi.
“Ini siapa? Pacar kamu?” tanya pria tersebut.
Lutfi menganggukkan kepala. “Cha, kenalin. Ini temen SMA
aku dulu. Namanya Wira.”
Icha mengangguk dan langsung berkenalan dengan Wira.
“Ini pacar kamu yang suka sama kucing itu?”
Lutfi mengangguk. “Aku bisa lihat koleksi kamu?”
“Bisa banget. Ayo, masuk!” Wira langsung mengajak Lutfi
dan Icha ke sebuah ruangan yang penuh dengan kucing berbagai jenis.
“Wah ...! Cantik-cantik banget kucingnya!” seru Icha
sambil melihat-lihat kucing yang ada di dalam ruangan tersebut. “Ini ...
koleksi punya kamu semua?”
Wira menganggukkan kepala. “Kamu boleh pilih mana aja
yang kamu suka!”
“Hah!?” Ia menoleh ke arah Lutfi.
Lutfi tersenyum kecil. “Kamu boleh adopsi salah satu di
antara mereka.”
Icha tersenyum. Ia langsung menghampiri kucing-kucing
yang sedang bermain di dalam ruangan tersebut. Beberapa ada yang berada di
kandang dan ada pula yang terlelap.
“Yang ini, umurnya berapa?” tanya Icha.
“Itu usianya baru dua tahun.”
Icha tersenyum. Ia langsung menggendong kucing cantik
berwarna putih tersebut. “Ini cewek ya? Cantik banget!”
“Iya, itu cewek.”
“Namanya siapa?”
“Namanya Keke.”
“Keke? Imut banget!” tutur Icha sambil mengusap-usap
hidung kucing tersebut menggunakan jemarinya.
“Kamu suka yang itu?” tanya Lutfi.
Icha menganggukkan kepala.
“Wir, ambil yang itu aja ya!” tutur Lutfi.
“Boleh?” tanya Icha sambil menatap Wira.
Wira menganggukkan kepala.
Icha tersenyum sambil menatap Keke. “Hai ...! Mulai hari
ini, aku bakal jadi mama kamu. Jadi anak yang baik ya!”
Lutfi tersenyum kecil melihat Icha berbicara dengan
kucing yang hanya bisa berbunyi ‘miaw’ setiap kali diajak bicara. “Mulai hari
ini, Keke jadi anak Mama dan Papa.”
“Papa ...!” panggil Icha sambil melambaikan tangan Keke
ke wajah Lutfi.
Lutfi tertawa kecil sambil mengusap kepala Keke.
“Makasih ya!” tutur Icha sambil menatap Lutfi.
Lutfi mengangguk. “Kamu harus rawat anak kita dengan
baik!”
Icha mengangguk sambil tersenyum. “Papa juga harus sering
dateng ke rumah Keke!” tutur Icha sambil bersuara seperti anak kecil.
“Pasti.” Lutfi tersenyum sambil menatap Icha dan Keke
yang ada di gendongannya. Menatap keduanya, membuatnya seperti melihat sebuah
keluarga. Hal besar yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Hari-harinya
yang penuh dengan permainan, membuat dirinya sendiri tak yakin kalau suatu hari
nanti ia bisa memiliki sebuah rumah kecil yang disebut keluarga.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment