“Gimana
luka kamu? Udah sembuh?” tanya Rullyta saat Yuna sedang duduk di sofa sambil
membaca majalah.
“Udah
mendingan, Ma,” jawab Yuna sambil bangkit. “Udah bisa dipake jalan walau belum
bisa lari,” lanjutnya sambil meringis. Ia bangkit, mencium punggung tangan
Rullyta dan kedua pipinya.
“Hmm
… kamu masih bacain majalah ini?” tanya Rullyta sambil melirik beberapa majalah
yang tergeletak di atas meja.
Yuna
menganggukkan kepala.
“Jangan
dibaca lagi!” Rullyta membereskan majalah-majalah tersebut dan menyimpannya ke
bawah meja.
Yuna
tersenyum kecil. “Nggak papa, Ma. Aku baik-baik aja, kok. Toh, berita itu nggak
bener.”
“Huft,
Mama tetep khawatir sama hubungan kalian. Itu si Yeri masih bisa aja
santai-santai diterpa isu kayak gini. Mama pusing mikirin anak itu,” tutur
Rullyta sambil memijat keningnya.
“Ma,
hubungan kami nggak ada masalah. Semua masih baik-baik aja,” sahut Yuna sambil
tertawa kecil.
Rullyta
menautkan kedua alisnya menatap Yuna. “Kamu juga nanggepinnya sesantai ini?”
Yuna
mengangguk. “Yeriko udah janji bakal nyelesaiin semuanya. Aku percaya sama
dia.”
“Huft,
dia lagi sibuk ngurusin masalah perusahaan. Terlalu lama menangani Refi,” sahut
Rullyta.
Yuna
menaikkan kedua alisnya. “Perusahaan lagi bermasalah?”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Gosip tentang kalian, mempengaruhi perusahaan.”
“Ma,
apa hubungannya kehidupan pribadi dengan perusahaan? Aku juga nggak kerja di
perusahaan Yeriko. Aku sama sekali nggak tahu kalau …”
“Kamu
tahu, Yeriko bukan orang sembarangan. Apalagi Refi sudah memperbesar masalah
ini.”
“Terus,
aku harus gimana buat bantu Yeriko?”
Rullyta
dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu saat bel berbunyi.
“Siapa?”
tanya Rullyta sambil menatap ke arah Yuna.
“Nggak
tahu, Ma. Biar aku lihat dulu.”
“Biar
Mama aja!” pinta Rullyta sambil menahan tangan Yuna agar tidak bangkit dari
tempat duduknya. Ia melangkah perlahan dan langsung membukakan pintu rumah. Ia
langsung mengetahui pria berseragam khas yang berdiri di depannya adalah kurir
dari perusahaan ekspedisi.
“Siang,
Bu! Apa benar ini rumah Ayuna?”
“Iya,
bener.”
“Ada
paketan untuk Mbak Ayuna.” Pria itu menyodorkan kotak ke arah Rullyta.
Rullyta
mengangguk sambil menerima kotak pemberian kurir tersebut.
“Tolong
tanda tangan di sini!”
Rullyta
mengangguk. Ia segera memberikan tanda tangan dan kembali masuk ke dalam rumah.
“Siapa,
Ma?”
“Paket.”
“Buat
Yeri?”
“Buat
kamu.”
“Hah!?”
Yuna membelalakkan mata menatap box yang ada di tangan Rullyta. “Dari siapa?”
“Dari
online shop,” jawab Rullyta sambil membaca nama pengirim paketan tersebut.
“Aku
nggak ada pesan apa-apa,” tutur Yuna sambil mengernyitkan dahinya.
Rullyta
dan Yuna saling pandang. Rullyta langsung meletakkan box tersebut ke atas meja.
“Buka!
Ini paketan buat kamu,” seru Rullyta.
“Aku
nggak pesen apa-apa,” sahut Yuna.
“Iya,
buka dulu! Itu tulisannya kain.”
“Nggak
mau! Aku takut!” teriak Yuna.
“Terus
gimana?” sahut Rullyta tak kalah heboh.
“Ini
ada apa? Kok, teriak-teriak?” tanya Bibi War.
“Aha
… Bi, tolong lihat isi box itu!” pinta Rullyta.
Bibi
War langsung menoleh ke arah kotak yang ditunjuk oleh Rullyta.
“Iya,
Bi. Tolong dong!” pinta Yuna.
Bibi
War langsung menghampiri kotak tersebut dan membaca tulisan di atasnya. “Cuma
kain, kenapa kalian ketakutan?” tanya Bibi War. Ia memegang kotak tersebut dan
mulai membukanya.
Wajah
Yuna dan Rullyta menegang. Mereka saling berpelukan sambil menahan napas.
Bibi
War terkejut melihat isi kotak tersebut karena tidak sesuai dengan tulisan yang
tertera.
Rullyta
dan Yuna saling pandang saat mendapati ekspresi wajah Bibi War.
“Beneran
bom?” seru Rullyta.
Bibi
War menggelengkan kepala. “Ini … lebih bahaya dari bom.”
“Hah!?”
“Ma,
aku belum mau mati!” seru Yuna. “Aku masih terlalu muda. Masih belum meraih
mimpiku. Karirku baru aja dimulai. Aku baru aja nikah, belum punya keturunan.
Aku nggak mau mati muda dalam keadaan mengenaskan,” ceracau Yuna.
“Kamu
kira Mama mau mati mengenaskan di sini? Mama juga belum punya cucu!” seru
Rullyta.
Yuna
langsung menatap wajah Rullyta. “Ma, apa itu ada hubungannya sama aku?” seru
Yuna.
“Kalian
ini kenapa?” tanya Bibi War. Ia menatap Yuna dan Rullyta sambil mengernyitkan
dahi. “Kalian lihat dulu sisinya!”
Yuna
dan Rullyta mendekati kotak itu perlahan.
“Aaargh
…!” Yuna dan Rullyta berteriak saat melihat iai kotak tersebut.
“Kelakuan
siapa ini?” seru Rullyta sambil mengambil boneka pocong dari dalam kotak
tersebut. Ia juga melihat foto Yuna yang ditusuk dengan jarum.
“Ini
… apa maksudnya ada yang mau nyantet Mbak Yuna?” celetuk Bibi War.
“Bi
…!?” Rullyta mendelik ke arah Bibi War.
“Siapa
yang iseng ngirimin beginian?” gumam Bibi War sambil menatap isi kotak
tersebut.
“Ini
bukan iseng,” sahut Rullyta.
Yuna
menatap wajah Rullyta. “Mmh … aku ngerasa nggak punya musuh. Yang sering bikin
masalah sama aku cuma Bellina. Tapi, dia nggak mungkin ngelakuin ini. Biarpun
dia ngeselin, tapi dia nggak akan ngelukain aku.”
“Pasti
Refi. Siapa lagi kalau bukan cewek gila itu?” sahut Rullyta.
“Maksud
Mama?”
Rullyta
menarik napas panjang. “Anak ini, selalu berprasangka baik. Sampai tidak
menyadari kalau dia lagi dalam bahaya,” batin Rullyta.
Yuna
tersenyum kecil sambil menatap Rullyta.
“Bi,
tolong masukin kotak itu ke dalam mobil saya!” perintah Rullyta pada Bibi War.
Bibi
War mengangguk dan bergegas melakukan perintah dari majikannya.
Rullyta
menatap serius ke wajah Yuna selama beberapa detik. “Ganti baju, dandan yang
cantik, terus ikut Mama!” pinta Rullyta.
“Ke
mana?”
“Nggak
usah banyak tanya!” tegas Rullyta. “Buruan ganti!” Ia menarik lengan Yuna dan
mendorongnya menaiki anak tangga.
Beberapa
menit kemudian, Yuna kembali menghampiri Rullyta.
Rullyta
tersenyum senang menatap Yuna yang terlihat begitu manis dan cantik.
“Yuk!”
ajak Rullyta. Mereka bergegas keluar rumah.
Beberapa
menit kemudian, mereka sudah sampai di Rumah Sakit Orthopedi and Traumatologi
(RSOT).
“Ma,
kita mau nemuin Refi?” tanya Yuna.
Rullyta
mengangukkan kepala. “Nggak usah khawatir!”
“Mmh
… tapi, Yeriko ngelarang aku buat ketemu sama Refi. Dia khawatir kalau …”
“Kamu
tenang aja!” sahut Rullyta sambil merangkul pundak Yuna. “Kali ini, Mama yang
temui Refi. Yeri nggak akan marah.”
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Mama yakin kalau Refi yang ngirim
boneka itu?”
Rullyta
menganggukkan kepala.
“Ma,
apa itu sejenis santet? Tapi, kenapa aku masih baik-baik aja?”
“Kamu
ngarepin mati kena santet!?” dengus Rullyta kesal.
Yuna
menggelengkan kepala. “Kalo menurut film yang pernah aku tonton, orang yang
kena santet bakalan sakit dan …”
“Refi
itu perempuan modern. Dia nggak mungkin main belakang kayak gitu. Pasti, dia
ngirimin kotak itu cuma buat ngancam dan nakut-nakutin kamu doang.”
“Bisa
aja dia terpengaruh sama keluarganya. Siapa tahu, keluarganya dia ada yang
masih percaya begituan.”
“Huft,
Mama rasa keluarganya nggak ada yang ngehirauin dia.”
“Kenapa?”
tanya Yuna.
“Nanti
aja Mama ceritain kalau kita udah di rumah. Sekarang, kita temui dia dulu.”
Yuna
menganggukkan kepala.
Mereka
bergegas masuk ke rumah sakit untuk menemui Refi yang tengah menjalani
perawatan.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment