Wednesday, August 16, 2023

Cerpen Kompetisi : Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada Kita karya Imas Hanifah N.

 

Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku

 Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada

 Kita

 

Oleh: Imas Hanifah N

 

 

Aku menatap sepatu butut yang selalu kupakai sebelum berangkat ke sekolah dengan perasaan sedih. Abah sudah bilang akan membelikanku sepatu baru, tapi perkataannya tidak juga menjadi kenyataan hingga sekarang. Aku tahu Abah belum punya uang lebih. Kaki Abah sakit sejak minggu lalu, makanya ia tidak banyak bergerak dan belum bisa bekerja jadi kuli bangunan lagi.

 

Aku menyingkirkan sepatu butut itu, melepaskan tas, lalu ke dapur, menemui Abah yang sedang sarapan singkong rebus.

 

"Bah, Agus mau kerja bantu Abah saja hari ini. Agus tidak akan berangkat ke sekolah, ya."

 

Abah berhenti mengunyah singkong. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Namun sejurus kemudian, ia pun tersenyum dan berkata, "Lho, kenapa tidak sekolah? Kalau Agus mau bantu, Agus bisa bantu Abah setelah pulang sekolah. Agus sudah kelas enam, masa mau bolos. Nanti kalau tidak lulus, bagaimana?"

 

Aku terdiam. Sebenarnya, ingin kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau tujuanku membantu Abah, agar uang untuk membeli sepatu lekas terkumpul, tapi aku tidak berani bicara untuk saat ini.

 

"Abah akan tawarkan singkong ke Pak Jumadi, teman di kampung sebelah. Katanya suka bikin keripik, jadi kamu sekolah saja, ya. Uang bekal hari ini masih ada, kok. Ini," ucap Abah sambil mengeluarkan uang lima ribu dari sakunya. Aku pun menerimanya dengan sedikit ragu.

 

"Abah ke sana naik apa? Ada ongkos buat ke kampung sebelah?"

 

"Itu perkara nanti. Abah bisa nebeng ke tetangga. Mang Yosep juga kalau tidak salah ada urusan mau ke sana."

 

Aku mengangguk-angguk. Memang Abah ini orangnya mudah akrab. Tidak heran kalau Abah punya banyak kenalan yang suka membantu. Memikirkan itu, aku jadi sedikit lega. Walaupun keinginanku untuk membeli sepatu baru belum tentu terlaksana, setidaknya ada kemungkinan kami bisa makan nasi dengan lauk yang lebih layak besok. Semoga saja, singkong Abah banyak yang membeli.

 

Aku melangkah keluar dari rumah. Sepatu butut yang saat ini kukenakan sangatlah tidak nyaman. Sudah bolong-bolong bagian bawahnya. Kalau misal kena genangan air, otomatis kena kaus kakinya juga. Lalu setelah itu, bau busuk yang tercium dari kaus kakiku itu sudah tentu tidak dapat lagi dihindari. Baunya menyengat dan mungkin bisa membuat orang pingsan. Aku saja tidak sanggup kalau lama-lama mencium baunya.

 

Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, tidak disangka aku malah ditahan di warung Mang Kumara.

 

"Agus, ke sini dulu sebentar!" teriak Mang Kumara.

 

Aku menurut saja. Sepertinya ini masih terlalu pagi untuk sampai ke sekolah, jadi aku merasa masih punya waktu.

 

"Duduk dulu. Ada yang mau kuberikan," katanya lagi.

 

"Baik, Mang," jawabku seraya duduk di kursi panjang warungnya Mang Kumara. Tidak lama kemudian, saat Mang Kumara kembali ke dalam rumahnya entah untuk mengambil apa, datanglah beberapa pelanggan yang sepertinya sudah biasa ada di warung Mang Kumara.

 

"Sebentar lagi, tujuh belasan. Hari kemerdekaan. Halah, hukum di negeri kita aja masih ruwet begini. Bisa dibeli dengan uang, masyarakat masih banyak yang sengsara, makan pun masih ada yang cuma sekali sehari. Merdeka dari mananya negeri kita ini?"

 

Salah satu pelanggan itu bicara dengan nada berapi-api. Aku pun mau tidak mau ikut menyimaknya.

 

"Betul, sih. Hukum dibeli, rakyat banyak yang sengsara, memang sebenarnya kemerdekaan kita ini palsu. Capek hidup di negeri ini."

 

Pelanggan yang lainnya menimpali dengan pendapat serupa. Pembicaraan mengenai pemerintah dan kondisi rakyat yang menyedihkan terus berlangsung. Aku terus mendengarkan pembicaraan tentang kemerdekaan yang bagi mereka palsu itu, sebelum akhirnya Mang Kumara menepuk pundakku. "Maaf lama, Gus. Ini, ada sedikit makanan untuk kamu makan di sekolah. Kemarin abahmu bantu Amang di ladang, bantu mengusir ular. Kalau tidak ada abahmu, bisa saja Amang sudah mati."

 

Aku mengangguk, menyambut riang bungkusan beraroma harum itu. Aku yakin isinya nasi goreng dengan suwiran daging ayam. Aroma daging yang menyatu dengan kecap, bawang goreng, dan bumbu lainnya begitu jelas. Sungguh pastilah ini akan jadi nasi goreng paling nikmat di dunia.

 

"Terima kasih, Mang."

 

"Iya, sudah sana. Nanti kamu kesiangan."

 

Aku kembali berjalan menuju ke sekolah. Padahal tadi sudah makan singkong rebus untuk sarapan, sekarang aku sudah lapar lagi. Ya, karena aroma nasi goreng ini yang amat menggoda, tapi aku akan menahan keinginanku untuk memakannya. Aku akan makan ketika waktu istirahat nanti.

 

Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas. Pelajaran pertama dimulai setelah beberapa menit kemudian. Sebelum memulai pelajaran, Pak Candra membagikan buku sejarah yang sudah lusuh kepada murid-murid.

 

"Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, sebelum memulai pelajaran pertama hari ini, seperti yang sering kita lakukan setiap tahun, hari ini pun Bapak akan kembali menceritakan sejarah Indonesia saat berjuang meraih kemerdekaan. Pasti sebenarnya kalian sudah tahu dan sudah sering mendengar, tapi Bapak tetap akan menceritakannya."

 

Begitulah Pak Candra. Sejak ia menjadi guru sejarah di sekolah kami setahun yang lalu, tepat saat aku naik ke kelas enam, ia selalu bersemangat kalau bercerita tentang sejarah Indonesia, salah satunya tentang bagaimana Indonesia meraih kemerdekaan. Pak Candra selalu menerangkan dengan penuh penghayatan, bahkan ada saat ketika ia menjelaskan tentang detik-detik proklamasi berkumandang, Pak Candra menyeka ujung matanya yang basah. Oh, tentulah aku dan murid lain ikut tersentuh, seolah-olah kami memang dekat sekali dengan peristiwa itu.

 

Hari ini pun, kami akan mengulangi hal yang sama. Kami akan mulai membuka halaman demi halaman buku sejarah yang sudah lusuh dan berdebu, lalu Pak Candra pasti akan menangis lagi ketika berbicara tentang beratnya perjuangan bangsa Indonesia meraih merdeka. Perasaan kagum dan haru, akan kami rasakan kembali.

 

 

***

 

Usai jam sekolah berakhir, aku pulang. Masih dengan sepatu butut yang memang satu-satunya kumiliki, aku terus melangkah melewati jalanan beraspal yang panas. Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata yang sempat diucapkan pelanggan-pelanggan warung Mang Kumara. Tentang kemerdekaan yang palsu, tentang hukum yang bisa dibeli, tentang rakyat yang sengsara.

 

Kalau kupikir lagi, mungkin semua itu memang benar adanya. Aku berpikir apakah kemerdekaan yang dimiliki rakyat negeri ini palsu?

 

Rasanya itu pun tidak bisa dikatakan benar. Di buku sejarah yang sudah kubaca berulang kali, di setiap cerita yang selalu Pak Candra sampaikan soal kemerdekaan, perjuangan Indonesia untuk meraih kebebasan dari tangan penjajah itu benar adanya. Bukan kebohongan, bukan tipuan. Semuanya sudah terbukti. Bangsa ini sudah tidak lagi dijajah. Sudah merdeka. Sudah bebas.

 

Jadi, sebenarnya mana yang benar? Apakah untuk orang susah sepertiku, orang susah seperti Abah, kemerdekaan itu tidak ada?

 

Aku membawa pertanyaan itu ke hadapan Abah. Ia tengah menggali singkong di ladang. Aku menghampirinya, dengan masih memakai seragam sekolah, tas, dan tentunya sepatu butut.

 

"Bah, kapan kita merdeka?" tanyaku sambil tidak ragu duduk di tanah. Mungkin Abah akan merasa aneh karena pertanyaanku yang tiba-tiba itu, tapi aku benar-benar ingin tahu jawaban Abah.

 

Abah yang sedang menggali singkong, berhenti sejenak. Aku mengalihkan pandangan dari tatapannya dan mulai memainkan daun-daun singkong yang berserakan.

 

"17 Agustus, tahun 1945. Kamu sedang main tebak-tebakan atau bagaimana? Masa kamu tidak tahu soal itu?"

 

"Bukan, Bah. Menurut Abah, kita ini sudah merdeka atau belum?"

 

"Sudah. Sudah tidak ada yang menjajah kita. Kita sudah tidak dijajah lagi oleh negara lain."

 

"Bukan itu, Bah."

 

Lalu Abah malah mendekat, menghampiriku.

 

"Apa kalau gitu?"

 

"Tadi, di warungnya Mang Kumara, Agus disuruh mampir sebentar, Mang Kumara memberi nasi goreng buat makan siang di sekolah."

 

"Alhamdulillah. Bagus kalau begitu. Baik memang dia."

 

"Ya, karena Abah baik juga, bukan? Bantu dia usir ular."

 

"Iya-iya."

 

"Tapi bukan itu, Bah. Bukan soal itu."

 

"Terus, soal apa?"

 

"Ada Bapak-Bapak yang berkumpul di warungnya Mang Kumara tadi. Mereka berbicara soal kemerdekaan Indonesia."

 

"Wah, bagus. Mungkin karena menjelang 17 Agustus, ya."

 

Aku mengangguk. "Tapi kata mereka, negara kita belum merdeka, Bah."

 

"Kenapa?"

 

"Karena hukum bisa dibeli, rakyat masih banyak yang sengsara, kurang lebih begitu, Bah. Kata-kata mereka itu. Menurut Abah bagaimana? Sepertinya memang apa yang mereka katakan itu benar ya, Bah?"

 

"Bisa benar, bisa tidak. Abah bukan orang pemerintahan, tidak tahu soal hukum yang dibeli, tapi bisa saja itu terjadi. Kalau soal rakyat masih banyak yang sengsara, itu juga mungkin benar. Tapi bukan berarti kita belum merdeka."

 

"Jadi, kita sudah merdeka, tapi walaupun sudah merdeka, tetap saja sengsara?"

 

Abah diam sebentar. Melihat sekeliling ladang, lalu menjawab, "Kamu merasa sengsara?"

 

"Sekarang, Bah?"

 

"Iya, apa sekarang kamu merasa sengsara? Sedih?"

 

"Iya, Bah."

 

Akhirnya aku katakan sebuah kejujuran.

 

"Kenapa?"

 

"Ya, kalau kita kaya, Agus bisa beli sepatu baru, Bah."

 

Aku menatap kedua kakiku sendiri, kedua kaki yang dibalut dengan sepatu tak layak pakai.

 

"Maafkan Abah, ya. Lusa kita beli sepatu baru. Pak Jumadi mau borong singkong kita katanya."

 

Seketika aku merasa bahagia. Harapan punya sepatu baru pun semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Seakan tidak percaya, aku bertanya lagi untuk memastikan, "Betul, Bah? Agus bakalan punya sepatu baru?"

 

"Betul!"

 

Setelah itu, Abah pun bangkit, dengan langkah kaki yang tertatih, karena mungkin masih sakit. Ia kembali mencabuti singkong. Aku membuka sepatuku, mencoba membantu Abah.

 

Kemudian kami tertawa ketika aku hampir terjengkang karena berusaha mencabut batang singkong dengan sekuat tenaga.

 

Aku melihat kebahagiaan di mata Abah saat ia melihatku tertawa. Aku melihat bagaimana ia begitu bersemangat mengatakan tentang rencana membeli sepatu baruku nanti.

 

Namun ….

 

"Abah, bagaimana kalau uangnya kita pakai berobat kaki Abah saja? Sepatu Agus, nanti saja lagi," kataku saat kami hampir selesai mengumpulkan singkong yang hendak dijual.

 

Abah mengelus kepalaku dengan lembut. "Kaki Abah akan segera sembuh. Kakimu jangan terluka, ya. Kita akan tetap beli sepatu baru yang bagus."

 

Aku hanya mengangguk. Aku menyadari satu hal paling penting hari ini. Abah punya hati yang sepenuhnya sudah merdeka. Merdeka dari rasa benci dan mungkin sejuta prasangka. (*)

 

 

 

 

Tasikmalaya, 15 Agustus 2023

 

 

Tentang Penulis

 

 

Imas Hanifah N. Lahir dan tinggal di Tasikmalaya. Merupakan salah satu admin di lokerkata.com. Ia aktif menulis di beberapa platform kepenulisan. Sebagian karyanya sudah dimuat di media online maupun media cetak. Antologi terbarunya berjudul Jejak Mengabur terbit pada Juni 2023, berisi kumpulan cerpen bersama penulis lain di Amateur Writer Indonesia.

 

 


 

 

2 comments:

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas