Friday, October 17, 2025

THEN LOVE BAB 40 : KEDATANGAN ALAN UNTUK DELANA

 


Delana masuk ke kampus seperti biasa. Tak ada hal yang istimewa karena saat ini ia tidak sedang dekat dengan siapa pun. Chilton telah pergi meninggalkannya. Hendra juga perlahan menjauh karena permintaan Delana. Entahlah, Delana masih belum mengisi hatinya dengan siapa pun.

Saat sedang asyik melamun di taman kampus, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengambil ponsel yang ia letakkan di saku tasnya dan melihat nama yang tertera pada layar ponsel tersebut.

Delana tersenyum dan langsung menjawab telepon. “Halo ... Alan, apa kabar?” tanya Delana.

“Baik. Kamu di mana?” tanya Delana.

“Di kampus. Kenapa?” jawab Delana sambil balik bertanya.

“Aku di kampus.”

“Hah!? Kampus mana?”

“Kampus mana? Kampusmu lah.”

“Katanya mau minta jemput di Bandara? Kenapa malah udah di sini?” tanya Delana.

Alan hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan Delana.

“Kamu di mana, nih? Aku di taman,” tutur Delana sambil celingukan mencari sosok Alan.

“Aku ke sana sekarang,” tutur Alan dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

Beberapa menit kemudian, Alan sudah ada di depan Delana.

Delana berteriak histeris dan langsung memeluk tubuh Alan. “Aku kangen banget sama kamu. Udah lama nggak ketemu!” seru Delana sambil berjingkrak kegirangan.

Alan tertawa kecil melihat sikap Delana yang seperti anak kecil. Ia menepuk-nepuk bahu Delana. “Jangan lama-lama peluknya! Aku nggak bisa bernapas.”

Delana melepas pelukannya. Ia nyengir ke arah Alan. “Lama banget nggak ketemu. Emangnya kamu nggak kangen sama aku?” tanya Delana.

“Kangen, dong!” sahut Alan sambil menjepit dagu Delana.

“Lama banget di Swedia. Betah, ya? Udah punya pacar di sana?” goda Delana.

“Pacar apaan? Aku mah masih sayang sama kamu,” sahut Alan.

Delana tergelak. “I Love You ...!” tutur Delana sambil tertawa kecil.

“Huu ... ngolok!” celetuk Alan sambil merangkul pundak Delana. “Temenin aku keliling kampus, ya!” pinta Alan. “Aku pengen lihat-lihat.”

“Iya. Soalnya kamu kan udah keenakan sekolah di luar negeri.”

“Apa hubungannya?” tanya Alan.

“Udah lupa balik ke sini,” jawab Delana.

“Ini buktinya balik,” sahut Alan.

“Mmh ...” Delana memutar bola matanya. “Kamu sampe kapan di sini?”

“Sampe bosan!” sahut Alan.

“Idih, serius deh aku.”

“Aku sepuluh rius, loh.”

Delana mengerutkan hidungnya. Wajah lucunya membuat Alan tertawa terbahak-bahak.

“Kampus ini nggak banyak berubah, ya?” tanya Alan sambil mengamati sekelilingnya.

“Emangnya apa yang mau berubah?” tanya Delana balik.

“Ya nggak ada sih. Tapi, di sini ada yang beda dari waktu aku masih kuliah dulu.”

“Apa itu?” tanya  Delana.

“Sekarang kampus ini udah ada bidadarinya ya?” tanya Alan.

“Hah!? Mana?” tanya Delana sambil celingukan.

“Ini,” jawab Alan sambil menunjuk Delana dengan dagunya.

“Huu ... ngegombal mulu!” celetuk Delana.

“Eh, kamu udah punya pacar atau belum?” tanya Alan.

“Belum.”

“Sampe sekarang masih jomlo?” tanya Alan sambil tertawa lebar.

Delana mencebik ke arah Alan.

“Berarti, nggak bakal ada yang cemburu kalo aku ngerangkul kamu kayak gini.”

“Astaga ...! Ngapain cemburu? Kita kan saudara.”

“Yah, kali aja ada cowokmu dan dia salah paham,” tutur Alan.

“Mmh ... aman, kok.”

Semua mata memandang ke arah Alan dan Delana yang terlihat sangat dekat dan mesra. Mereka semua mengira kalau Alan adalah kekasih baru Delana, tak terkecuali Ratu. Ia terus mengikuti ke mana Delana dan Alan pergi. Ia tak mau ketinggalan sedikitpun pandangannya pada dua orang itu.

Alan melepas rangkulannya. Ia menggenggam tangan Delana dan mengajaknya ke kantin.

“Mau makan apa?” tanya Delana.

“Soto ayam,” jawab Alan.

“Minumnya?”

“Es teh aja.”

“Oke.” Delana langsung memesankan makanan dan minuman pada pelayan kantin. Ia juga memesan menu yang sama dengan Alan.

Semua siswa di kantin menatap Alan dan Delana.

“Eh, kayaknya kemarin dia baru ditembak sama cowok. Sekarang udah jalan sama cowok lain aja,” celetuk salah satu mahasiswi yang duduk tak jauh dari Delana.

“Iya. Delana bener-bener dah!”

“Jangan-jangan dia tuh punya ilmu pelet? Semua cowok ganteng nempel sama dia,” sahut mahasiswi yang lain lagi.

“Iya. Si Chilton kan sempet deket sama dia lama tuh. Nggak tau kenapa tiba-tiba hubungan mereka renggang. Katanya sih, si Dela selingkuh,” ucap salah satu mahasiswa sambil berbisik.

“Selingkuh sama siapa?”

“Nggak tahu. Mungkin ini cowoknya dia yang bikin Chilton nggak mau lagi sama dia.”

“Bisa jadi, kemarin ada cowok ganteng dan kaya raya juga ditolak. Jangan-jangan ini pacarnya dia.”

“Eh, wait!” seru salah satu mahasiswi sambil memerhatikan wajah Alan.

“Kenapa?” Semua mata tertuju padanya.

 “Itu si Alan bukan sih?” tanyanya.

“Alan?” Semua mata tertuju pada Alan.

“Kakak kelas kita yang pindah waktu dia semester empat itu?”

“Iya.”

“Mirip, sih.”

“Astaga ...! Iya, itu Alan. Kakak tingkat kita!” seru salah satu mahasiswi yang masih satu tingkat dengan Chilton alias kakak tingkat Delana.

Suasana kantin terlalu riuh. Sehingga Delana tak bisa mendengarkan pembicaraan dari mahasiswi lain yang ada di meja berbeda. Tapi, ia cukup tahu kalau mereka sedang membicarakan Delana, entah tentang apa.

“Udah lama banget aku nggak makan ini!” seru Alan saat makanan pesanannya sudah terhidang di atas meja.

“Serius?” tanya Delana.

Alan menganggukkan kepala. “Di Swedia makanan Indonesia mahal-mahal. Aku kan harus hemat tinggal di sana,” tutur Alan.

“Kamu bisa hemat juga?” tanya Delana.

“Jatah bulananku nggak banyak tahu. Kalo buat di sini aja, aku udah bisa traktir sepuluh cewek sehari.”

“Mahal banget, ya di sana?”

“Kalo dirupiahin lumayan,” jawab Alan sambil asyik menikmati soto ayam.

Delana tertawa kecil.

“Nanti aku bikinin soto di rumah. Kamu ke rumah, ya!” pinta Delana.

“Mmh ... iya. Aku denger-denger sekarang kamu pinter masak ya?”

Delana hanya tersenyum  menanggapi pertanyaan Delana.

“Aku jadi ingat banget waktu kamu masih belajar masak dan aku disuruh nyobain,” tutur Alan sambil tertawa.

“Iya. Kamu juga pembote banget! Bilangnya enak sekalinya nggak enak.”

Alan tertawa. “Kan kamu bisa ngerasain sendiri.”

“Tapi kamu habisin makanan nggak enak itu.”

Alan terkekeh. “Terpaksa aja. Kasihan yang udah capek-capek masak kalo nggak di makan.”

Delana tertawa kecil. Mereka menikmati makan siang bersama di kantin kampus. Delana tak peduli dengan banyak mata yang memandang mereka.

“Hei ... Alan ya?” sapa salah satu cowok yang tidak dikenal oleh Delana.

“Hei ... apa kabar?” Alan langsung bangkit dan merangkul cowok itu. “Sini, duduk!” pinta Alan pada cowok itu. Cowok itu langsung duduk di samping Alan. Tepat berhadapan dengan Delana.

“Lama nggak kelihatan. Kapan datangnya, Al?”

“Baru aja tadi pagi. Langsung nemuin si bocil ini,” tutur Alan sambil menunjuk Delana dengan dagunya. “Dia suka nangis-nangis kalo kangen sama aku.”

Cowok itu tertawa kecil menatap Delana. “Kamu pacaran sama Dela?”

“Ngaramputnya! Dia loh adik sepupuku,” sahut Alan.

Cowok itu tertawa kecil. “Udah lama tinggal di luar negeri, masih aja pake  bahasa ngaramput,” celetuknya. “Sorry ... aku nggak tahu kalo kalian sepupuan.”

“Hadeh, masa nggak tahu. Dela ini yang rumahnya di depan situ.” Alan menunjuk arah rumah Delana. “Yang biasanya aku main ke sana kalo pulang ngampus. Kayaknya kamu pernah aku ajak, deh.”

“Astaga! Yang dulu tomboy itu?”

“Nah, iya itu!” jawab Alan sambil menatap wajah Delana. “Dulu penampilannya kayak laki-laki, sekarang kayak bidadari.”

Cowok itu tertawa kecil menanggapi ucapan Alan. “Iya, lah. Sekarang dia jadi rebutan banyak cowok. Kalo dulu, nggak ada yang ngelirik kali, ya?”

“Eh, kalian itu ngomongin orang yang ada di depan kalian,” tegur Delana kesal.

Alan dan temannya tergelak mendengar ucapan Delana. Bagi Alan, wajah kesal Delana adalah ekspresi wajah yang lucu dan dia senang melihatnya.

“Eh, masih main basket?” tanya Alan.

“Masih. Main yuk!”

“Sekarang?” tanya Alan.

“Nggak, lah. Ntar sore aja atau besok pagi.”

“Oh. Kiarain ngajak sekarang. Siang bolong kayak gini mau ngajak main basket. Di sini panas banget!”

“Wah, mentang-mentang udah di luar negeri, sekarang takut panas.”

Alan tergelak. “Nggak juga.”

“Ya udah. Aku balik ke kelas dulu. Besok pagi aku tunggu di lapangan basket ya!” pinta teman Alan sambil menepuk bahu Alan dan berlalu pergi.

Alan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya itu. Ia tak menyangka kalau ada teman kampus yang masih mengenalinya. Dia orang pertama yang menyapa Alan. Kemudian, ada beberapa anak yang ikut menyapa.

Setelah selesai makan. Alan berpamitan untuk pulang ke rumah.

“Del, aku pulang dulu ya!” pamit Alan saat ia sudah berada di parkiran mobil.

Delana menganggukkan kepala.

“Jaga diri baik-baik!” Alan menggenggam pundak Delana dan mencium kening gadis itu.

Delana tersenyum menatap Alan.

“Bye ...!” Alan melangkah mundur sambil melambaikan tangannya. Di depan kampus, sudah ada taksi yang menunggunya. Ia memang belum pulang ke rumah dan masih menggunakan taksi bandara untuk menemui Delana. Ia rindu pada gadis itu. Walau mereka bersaudara, tapi Alan sangat tertarik pada Delana. Delana tidak hanya cantik, tapi dia juga punya kepribadian yang baik.

Delana membalas lambaian tangan Alan. Ia menatap tubuh Alan sampai ia masuk ke dalam mobil dan benar-benar pergi dari hadapannya.

Delana langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan menyurusi koridor memasuki kelas.

“Cowok itu siapa?” tanya Ratu yang tiba-tiba menghadangnya.

“Bukan urusan kamu,” jawab Delana tanpa menghiraukan pertanyaan Ratu. Ia tetap menerobos tubuh Ratu. Hal ini membuat Ratu semakin kesal dengan Delana. Ia merasa tersaingi karena Delana cukup dekat dengan banyak pria tampan.

Ratu mendengus kesal ke arah Delana yang sudah berjalan jauh. “Aku harus ngasih tahu Chilton,” gumamnya.

Ratu langsung berjalan menuju kelas Chilton. Sebab ia tahu kalau cowok itu jarang sekali keluar dari kelasnya bahkan di jam istirahat.

“Hai, Chil!” sapa Ratu saat mendapati Chilton sedang sendirian di dalam kelasnya.

“Ada apa?” tanya Chilton.

“Nggak papa. Kangen aja sama kamu. Kenapa kamu nggak keluar kelas?” tanya Ratu.

“Biasanya juga gini.”

“Kamu nggak lihat tadi ada kejadian seru banget soal Delana,” tutur Ratu.

“Apa?”

“Dela didatengin sama cowok ganteng lagi. Cowok yang ini beda sama cowok yang kemarin. Kemarin, dia baru aja nolak cowok dan sekarang udah jalan sama cowok lain lagi. Udah gitu, mesraaa  banget!” tutur Ratu. “Cowok itu nyium Dela di depan kampus dan si Dela diam aja.”

Chilton tersenyum. “Biar aja. Dia emang suka sama cowok ganteng. Wajar aja kalo dia dikelilingi banyak cowok ganteng. Kamu iri sama dia?”

Ratu menggelengkan kepala. “Aku mah nggak bisa kayak gitu. Aku tuh setia. Nggak bisa gonta-ganti cowok kayak si Dela.”

Chilton tersenyum ke arah Ratu. Sebenarnya, ia sedikit terganggu dengan pernyataan Ratu tentang Delana.

“Udah masukan. Kamu balik ke kelas kamu!” perintah Chilton.

“Oke.” Ratu langsung bangkit dan bergegas pergi meninggalkan Chilton.

Chilton mengusap wajahnya. Ia semakin kesal dengan sikap Delana yang terus-menerus mendekati cowok-cowok tampan secara bergantian. Ia masih merasa sakit hati ketika mengingat kedekatannya dengan Delana. Ia sendiri dilema, Delana terlihat begitu tulus mencintainya, tapi juga mudah berpindah hati pada pria-pria tampan yang lain.


***


Pagi ini kampus terdengar begitu riuh karena Alan dan teman-temannya sudah ada di lapangan basket. Hampir semua cewek di kampus meneriaki nama Alan Satria. Cowok keren yang dulu pernah bersekolah di tempat ini. Setelah kembali dari Swedia, tingkat kegantengan Alan naik tujuh ratus persen dan membuat para mahasiswi tergila-gila.

Delana tak mau ketinggalan. Ia ikut memberi semangat pada Alan. Ia juga membawakan minuman dan handul kecil untuk cowok itu.

“Minum dong, sayang!” pinta Alan sambil mendekat pada Delana.

Para mahasiswi yang ada di dekat Delana berteriak histeris saat mendengar Delana dipanggil “Sayang” oleh Alan.

“Kenapa? Mau dipanggil sayang juga?” tanya Alan yang menyadari reaksi pada mahasiswi tersebut.

“Mau ...!” sahut para mahasiswi serentak.

Alan tertawa kecil. Ia langsung menyambar botol minum yang ada di tangan Delana dan menenggaknya.

Alan kembali ke tengah lapangan sambil melambaikan tangan pada mahasiswi yang tengah berkerumun. Ia mengedipkan mata menggoda para mahasiswi tersebut.

Delana tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Alan.

Beberapa menit kemudian, Alan selesai bermain basket bersama teman-temannya. Ia langsung duduk di samping Delana. “Capek!” tuturnya.

“Namanya juga olahraga,” celetuk Delana.

“Iya. Di sini panas banget!” tutur Alan sambil mengibas-ngibaskan kaosnya.

“Ganti baju gih! Bau keringat tahu!” celetuk Delana sambil menutup hidungnya.

“Eh, keringat aku harum tahu!” tutur Alan sambil mengangkat ketiaknya dan mendekatkan ke wajah Delana.

“Iih ... Alan!” seru Delana kesal.

Alan tertawa menatap Delana. “Tasku mana?” tanya Alan.

Delana langsung melemparkan tas Alan.

“Kasar banget ngasihnya,” celetuk Alan.

Delana mencebik ke arah Alan.

“Ikut yuk!” ajak Alan.

“Ke mana?” tanya Delana.

“Ganti baju,” jawab Alan sambil tersenyum nakal.

“Nggak usah mesum ya!”

“Kok, mesum sih?”

“Itu, ngajak ganti baju bareng.”

“Halah ... biasanya juga mandi bareng.”

“Itu dulu, waktu masih kecil!” teriak Delana.

“Apa bedanya sama sekarang?” tanya Alan sambil menahan tawa.

“Beda, lah.”

Alan tertawa. “Aku ganti baju dulu! Tunggu di sini, ya! Jangan ke mana-mana!” pinta Alan. Ia bergegas menuju toilet untuk berganti pakaian.

Beberapa menit kemudian, Alan sudah kembali dengan pakaian biasa. Ia melemparkan tasnya ke pangkuan Delana.

“Apa-apaan sih!?” celetuk Delana sambil memegangi tas Alan.

“Cuciin baju basketku, ya!” pinta Alan.

“Huu ... dasar!”

“Apa?” tanya Alan mendekatkan wajahnya ke wajah Delana.

Delana menarik tubuhnya menghindari Alan. “Kamu jangan kayak gitu! Nggak enak dilihatin sama orang lain. Dikira kita pacaran.”

“Biar aja,” sahut Alan sambil tersenyum.

Delana tertawa kecil.

“Sayang, hari ini kamu masak apa?” tanya Alan.

“Soto Banjar.”

“Ke rumahmu yuk! Aku laper,” tutur Alan sambil mengelus perutnya.

“Sekarang?”

“Nggak, Tahun depan aja.”

Delana tertawa geli. Ia langsung bangkit dan menggandeng tangan Alan menyusuri koridor kampus untuk keluar dan berjalan menuju rumahnya.

Ia sempat menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Chilton yang juga berjalan beriringan dengan Ratu. Ratu bergelayut manja di lengan Chilton dan cowok itu sama sekali tidak menolaknya.

Delana terlihat semakin kesal. Ia tak mau melepas genggaman tangan Alan dan terus melangkahkan kaki keluar dari kampus.

Tanpa malu-malu, Alan merangkul kepala Delana. Mereka berjalan menyusuri gang ke rumah Delana sambil bercanda ria.

“Lihat tuh! Mereka mesra banget,” tutur Ratu pada Chilton yang masih memandang tubuh Delana dari kejauhan.

“Biar aja. Aku seneng bisa lihat dia bahagia,” tutur Chilton. Ia merasa sedikit lega karena tak lagi merasa bersalah telah menolak Delana. Delana baik-baik saja dan ia tak perlu menyesali keputusannya menolak gadis itu.

Ratu menatap wajah Chilton yang masih belum mengalihkan pandangannya dari gang rumah Delana. Bahkan saat dua orang yang terlihat sangat mesra itu sudah tidak terlihat lagi.

“Masuk, yuk!” ajak Ratu. Ia menarik lengan Chilton dan membalikkan tubuh cowok itu agar segera melupakan kejadian yang baru saja terjadi di depannya.

Chilton melangkahkan kaki memasuki gedung kampus. Di ujung koridor, ia dan Ratu harus berpisah karena mereka berbeda kelas.

Sementara itu, Alan dan Delana sudah sampai di rumah. Mereka terus bercanda sepanjang jalan. Delana sampai menahan sakit perutnya karena Alan terus-menerus membuatnya tertawa.

“Bryan mana?” tanya Alan saat ia sudah berada di dapur Delana.

“Masih sekolah,” jawab Delana sambil menyiapkan racikan soto untuk Alan.

“Dapurmu dari dulu begini-begini aja,” tutur Alan sambil mengedarkan pandangannya. Dapur Delana langsung dilengkapi dengan meja makan. Jadi, ia bisa melihat Delana memasak atau membereskan dapur sambil menikmati makanan yang sudah ada di meja makan.

Alan menghampiri Delana yang masih meracik soto. Ia langsung memeluk pinggang Delana dari belakang dan meletakkan dagunya di salah satu pundak Delana.

Delana menghela napas. “Kenapa?” tanya Delana.

“Aku kangen aja sama kamu,” bisik Alan.

“Tapi nggak usah peluk-peluk juga kali,” celetuk Delana.

“Kemarin, yang meluk duluan waktu aku datang siapa?” tanya Alan sambil menahan tawa.

“Iya, aku,” jawab Delana ketus.

Alan tertawa kecil. “Berarti, sekarang aku boleh peluk kamu kan?”

“Tapi, Al. Kita bukan anak kecil kayak dulu lagi.”

“Apa bedanya sih?”

“Beda lah. Kita sekarang udah dewasa.”

“Kamu udah bisa ngerasain ada yang berbeda saat kita bersentuhan?” tanya Alan.

Delana menggeleng-gelengkan kepala. Ia hanya tak ingin membuat Alan terus menerus menggoyangkan hubungan persaudaraan mereka karena Alan punya perasaan lain pada Delana.

“Aku sudah punya pacar,” bisik Alan. “Kamu nggak perlu khawatir!”

Delana menghela napas. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Alan. “Kalo udah punya pacar, jangan kayak gini sama aku!” pinta Delana sambil melepaskan tangan Alan dari pinggangnya. “Nanti, pacar kamu salah paham.”

“Del, kamu adik dan aku kakakmu. Masa nggak boleh cuma peluk doang?”

Delana tertawa kecil. “Udah, deh. Mending kita makan!” ajak Delana. Ia mematikan kompor karena kuah soto yang ia panaskan sudah mendidih.

Delana menuangkan kuah soto ke dalam racikan soto yang sudah ia letakkan di dalam mangkuk. Ia langsung menghidangkannya di atas meja makan dan mengajak Alan untuk makan.

“Mau pake nasi atau lontong?” tanya Delana.

“Nasi aja!” jawab Alan. Ia langsung duduk di kursi, tepat berseberangan dengan Delana agar ia bisa menikmati wajah gadis yang selama ini ia rindukan.

Delana langsung mengambilkan nasi untuk Alan. Mereka menikmati makan bersama di rumah. Alan sangat menyenangi masakan Delana.

“Masakan kamu enak banget!” puji Alan.

Delana hanya tersenyum.

“Kamu buka usaha resto aja, Del!”

Delana mengedikkan bahunya. “Ribet.”

“Yaelah, kan bisa bayar karyawan.”

“Lihat aja nanti!” sahut Delana sambil tersenyum.

Alan tersenyum sambil menghabiskan soto di mangkuknya. “Kamu balik ke kampus lagi, nggak?” tanya Alan.

“Nggak tahu, nih.”

“Nggak usah, gin! Temenin aku aja!”

“Emangnya mau ke mana?” tanya Delana.

“Nggak ke mana-mana. Pengen di sini aja.”

“Oh.” Delana menganggukkan kepala. Ia membereskan meja makan. Sementara Alan berjalan memasuki ruang keluarga dan langsung menyalakan televisi. Ia duduk di sofa panjang sambil menonton.

Alan sudah terbiasa di rumah Delana seperti di rumahnya sendiri, begitu juga sebaliknya.

Setelah selesai membereskan dapur, Delana menghampiri Alan sambil membawakan cemilan.

“Mau minum bir?” tanya Delana sambil meletakkan satu botol bir di atas meja, tepat di hadapan Alan.

“Boleh,” jawab Alan. Ia langsung menuangkan bir ke gelas yang sudah disediakan oleh Delana dan menenggaknya.

Alan menatap Delana yang masih berdiri di sebelahnya. “Duduk!” pinta Alan.

Delana tersenyum dan duduk di samping Alan.

“Duduknya di pojok sana!” pinta Alan sambil  menunjuk ujung sofa.

Delana langsung menggeser tubuhnya menjauhi Alan. Ia duduk di ujung soda seperti permintaan Alan.

“Nah ... enak kalo kayak gini.” Alan langsung menggeser posisi duduknya dan merebahkan kepalanya di paha Delana.

“Kebiasaan kan?” celetuk Delana begitu melihat kepala Alan sudah berbaring di pahanya.

“Kamu nggak kangen saat-saat kita kayak gini, dulu?” tanya Alan.

“Kangen,” jawab Delana sambil mengusap kepala Alan.

Alan menatap wajah Delana yang ada di atasnya. Andai saja Delana bukan adiknya, ia ingin mencumbu mesra gadis yang bersamanya saat ini. Terlebih saat melihat bibir Delana yang begitu menggoda.

Tak ingin terus menerus menghayalkan hal yang tidak-tidak, Alan memilih memejamkan matanya. Ia masih bisa mendengar suara televisi yang semakin lama semakin hilang.

Delana menghela napas. Alan sudah tertidur pulas di pangkuannya. Ia mengangkat kepala Alan dan mengganti pahanya dengan bantal kursi.

Delana tahu kalau Alan memang sangat manja melebihi adiknya sendiri. Tidak hanya pada Delana ia bersikap seperti ini. Pada ibunya sendiri pun ia melakukan hal yang sama. Bahkan ia tidak pernah malu atau sungkan tidur sambil memeluk erat tubuh ibunya yang juga tante dari Delana.

Delana tersenyum, kehadiran Alan akan membuat hari-harinya selalu ramai. Terlebih saat Alan dan Bryan sudah bertemu. Rumah yang biasanya sepi, pasti akan selalu ramai dengan teriakan mereka berdua.

Mungkin, aku kehilangan banyak kebahagiaan di masa lalu. Tapi, Tuhan selalu punya cara untuk mengganti kebahagiaan yang hilang,” bisik Delana dalam hatinya.

                                                                                     

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas