Thursday, October 2, 2025

Pengajian Rasa Diskotek, Musholla Rasa Kasino



Pengajian Rasa Diskotek, Musholla Rasa Kasino


Jangan keburu emosi saat baca judul tulisanku yang satu ini. Kalau kamu emosi, artinya kamu pernah mengalaminya atau bahkan kamulah pelakunya. Tulisan ini untuk belajar dan berpikir tentang apa yang telah terjadi di dunia ini. Jadi, bijaklah ketika membaca.


Fenomena sosial keagamaan di masyarakat kerap menghadirkan wajah yang kontradiktif. Di satu sisi, agama dijadikan identitas dan kebanggaan, namun di sisi lain, praktiknya sering jauh dari nilai-nilai luhur Islam. Saya sendiri pernah menyaksikan bagaimana sebuah musholla yang seharusnya menjadi tempat bersujud, berzikir, dan mencari ketenangan batin, berubah menjadi arena bermain kartu remi. Bahkan, sebuah acara pengajian yang mestinya menumbuhkan khusyuk, justru dihiasi dentuman musik disko dengan volume keras, hingga suasana lebih mirip klub malam ketimbang majelis ilmu.

Fenomena inilah yang menginspirasi tulisan ini dengan judul “Pengajian Rasa Diskotek, Musholla Rasa Kasino.”


Musholla adalah rumah Allah yang berubah menjadi arena permainan. Sungguh mengejutkan ketika aku melihat orang-orang bisa dengan bebas bermain kartu remi di teras musholla. Menunggu waktu, harusnya diisi denga mengaji atau berdzikir. Sehingga, rumah Allah benar-benar menjadi rumah yang suci dan penuh ilmu. 

Dalam pandangan Islam, musholla maupun masjid adalah rumah Allah yang harus dimuliakan. Allah berfirman:

"Di rumah-rumah (masjid) yang Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang."
(QS. An-Nur: 36)

Namun realitas yang saya lihat sungguh ironis: tikar yang biasa menjadi alas sujud justru dipenuhi kartu remi, tawa dan candaan lebih mendominasi daripada doa. Musholla seakan kehilangan sakralitasnya. Padahal Rasulullah SAW bersabda:

“Akan datang pada umatku suatu masa, orang-orang berkumpul di masjid, mereka hanya berbicara tentang dunia. Maka janganlah kalian duduk bersama mereka, karena Allah tidak butuh pada mereka.”
(HR. Al-Baihaqi)

Hadis ini jelas menggambarkan betapa menyedihkannya ketika rumah Allah dipakai bukan untuk ibadah, melainkan hiburan duniawi.


Pengajian Rasa Diskotek: Hilangnya Ruh Spiritual

Pengajian mestinya menghadirkan suasana tenang, penuh tadabbur, dan mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, ketika musik disko dengan dentuman bass menguasai ruang pengajian, ruh spiritual pengajian berubah menjadi pesta hiburan.

Memang, Islam tidak menutup ruang seni dan budaya. Musik, selama tidak mengandung maksiat dan berlebihan, bisa menjadi sarana hiburan yang mubah. Tetapi jika pengajian yang identik dengan dzikir, doa, dan ilmu diwarnai dentuman keras ala diskotek, maka nilai esensialnya hilang.

Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadis:

“Akan ada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan zina, sutra (untuk laki-laki), khamr, dan alat musik.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini menjadi peringatan agar kita tidak menjadikan musik sebagai penguasa hati hingga menggeser zikir kepada Allah. Ketika pengajian terasa seperti konser, kita perlu bertanya: apakah kita hadir untuk Allah, atau sekadar untuk hiburan?


Islam Kaffah: Mengembalikan Fungsi Sakral

Islam kaffah berarti menjalankan Islam secara utuh, bukan parsial. Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu."
(QS. Al-Baqarah: 208)

Dari ayat ini, jelas bahwa Islam kaffah menuntut keseimbangan: musholla tetap dijaga kesuciannya, pengajian tetap dijalankan dalam nuansa ilmu dan ketenangan.

Mengubah musholla menjadi arena judi kecil-kecilan, atau menjadikan pengajian sebagai ruang pesta musik, berarti kita sedang bermain-main dengan agama. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah SAW ketika bersabda:

“Sesungguhnya yang pertama kali akan hilang dari umatku adalah kekhusyukan, dan yang terakhir kali akan hilang adalah shalat. Bisa jadi seseorang masih shalat, tetapi tidak ada kebaikan di dalamnya.”
(HR. Abu Nu’aim)




Apa yang saya saksikan adalah potret krisis ruhani. Musholla kehilangan sakralitas, pengajian kehilangan kekhusyukan. Jika dibiarkan, generasi muda akan terbiasa melihat agama sekadar formalitas. Tempat ibadah jadi arena santai, acara keagamaan jadi pesta hiburan.

Padahal, Islam kaffah mengajarkan adab terhadap ruang ibadah dan pengajian. Musholla semestinya dimuliakan, dan pengajian harus menjadi ladang ilmu yang membekas di hati, bukan sekadar keramaian duniawi. 

“Pengajian rasa diskotek, musholla rasa kasino” bukan sekadar ungkapan hiperbolis, tapi realitas yang mengkhawatirkan. Kita perlu kembali kepada ajaran Islam yang kaffah, menempatkan musholla dan pengajian pada tempatnya. Agama bukan sekadar label, melainkan jalan hidup.

Jika musholla dipenuhi kartu, dan pengajian dipenuhi musik disko, kita patut bertanya pada diri sendiri: di mana Allah dalam semua itu?


Referensi

  1. Al-Qur’an Surah An-Nur: 36
  2. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 208
  3. HR. Al-Baihaqi – tentang masjid yang dipenuhi obrolan dunia
  4. HR. Bukhari – tentang penghalalan musik
  5. HR. Abu Nu’aim – tentang hilangnya kekhusyukan. 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas