Jakarta, 10 Desember 2025
Berjalan di Taman Ismail Marzuki: Catatan Kecil dari Festival Literasi Nasional 2024
Tanggal 10 Desember 2024 menjadi salah satu hari yang tidak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah menyusuri area Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan perasaan campur aduk — antara takjub, gugup, dan bahagia. Bayangan tentang tempat legendaris yang selama ini hanya kulihat lewat layar ponsel, kini benar-benar ada di depan mata. Gedung-gedung seni berdiri megah, udara Jakarta terasa berbeda — padat, tapi penuh energi. Di sanalah, aku bersama teman-teman dari Kalimantan Timur hadir sebagai perwakilan komunitas literasi dalam Festival Literasi Nasional 2024.
Kami datang berempat mewakili komunitas: Komunitas Ladang, Yayasan Pena dan Buku, Gerobooks, dan aku sendiri dari Rumah Literasi Kreatif. Di antara lautan pegiat literasi dari seluruh penjuru Indonesia, aku merasa kecil sekaligus bangga. Kecil karena sadar masih banyak yang harus kupelajari, tapi bangga karena langkah kecil kami di tanah Borneo ternyata cukup berarti hingga membawa kami ke pusat literasi negeri.
Yang membuat perjalanan ini semakin berkesan adalah kehadiran Bapak Amien Wangsitalaja, pembina kami dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur. Sosoknya tenang, hangat, dan penuh semangat memandu kami sejak awal keberangkatan. Ia bukan sekadar pembina, tapi juga seperti ayah yang memastikan anak-anaknya tetap berani tampil, meski di tengah panggung besar yang terasa asing. Setiap kali beliau tersenyum dan berkata, “Nikmati saja prosesnya,” aku merasa tenang dan percaya diri kembali.
Berjalan di sekitar Taman Ismail Marzuki saat festival itu serasa menjelajahi ruang ide. Setiap sudut dipenuhi warna-warna buku, tawa anak-anak, dan percakapan serius para pegiat literasi yang membahas masa depan membaca di Indonesia. Di antara mereka, aku melihat bagaimana literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis — tetapi juga pergerakan sosial, kebudayaan, bahkan kemanusiaan.
Aku dan teman-teman Kalimantan berkeliling ke setiap stan, menyapa peserta dari berbagai provinsi. Ada yang memperkenalkan perpustakaan keliling di pelosok Nusa Tenggara, ada pula yang bercerita tentang upaya mereka mendirikan taman baca di pesisir Papua. Semua kisah itu seperti untaian benang yang menghubungkan kami — para penjaga cahaya pengetahuan di tempat masing-masing.
Saat sore mulai turun, kami sempat duduk di tepi taman, menatap langit Jakarta yang mulai berubah warna. Di tengah riuhnya festival, aku merenung dalam hati. Betapa jauh perjalanan ini dimulai — dari desa kecil di Kutai Kartanegara, dari perpustakaan sederhana bernama Rumah Literasi Kreatif, yang lahir dengan 50 buku pribadi dan semangat yang tak pernah padam. Kini, langkah kecil itu membawaku sampai ke panggung nasional, menyuarakan bahwa literasi di daerah juga hidup, tumbuh, dan berdaya.
Festival Literasi Nasional di Taman Ismail Marzuki bukan sekadar acara bagiku. Ia adalah pengingat tentang arti perjuangan yang sunyi — bahwa di balik setiap buku yang dibaca anak desa, ada kerja keras banyak orang yang percaya bahwa pengetahuan bisa mengubah nasib. Dan aku salah satu di antaranya, yang memilih untuk tetap berjalan, meski jalan literasi sering kali sepi.
Malam itu, sebelum kembali ke penginapan, aku sempat berbisik pada diriku sendiri:
“Teruslah menulis, teruslah bergerak. Karena dari langkah-langkah kecil inilah, Indonesia belajar untuk mencintai membaca.”
0 komentar:
Post a Comment