Saturday, October 11, 2025

Aku dan Taman Bacaku Bab 4 : Warna yang Lahir dari Air Mata



Warna yang Lahir dari Air Mata
Oleh: Rin Muna


Hari itu, langit Kutai Kartanegara berwarna kelabu. Angin sore membawa suara tawa anak-anak yang berlarian menuju taman baca, tempat kecil yang kuimpikan menjadi rumah bagi imajinasi mereka. Di tangan-tangan mungil itu, buku-buku lusuh bergantian dibuka, tapi mata mereka justru menatap kotak krayon yang mulai kosong.

“Bu, habis ya pewarnanya?” tanya seorang bocah, menatapku dengan wajah polos yang entah kenapa terasa lebih menyentuh daripada kata-kata apa pun.

Aku hanya tersenyum. Dalam dadaku, ada kegelisahan yang tak bisa kusembunyikan. Aku tahu, kegiatan mewarnai hari itu tak akan berjalan seperti biasanya. Pewarna yang kami miliki tinggal serpihan-serpihan kecil yang tak cukup untuk mereka semua. Dan di dompetku, hanya tersisa uang lima puluh ribu rupiah. Uang yang sebenarnya sudah kusiapkan untuk uang jajan anakku besok pagi.

Aku menatap uang itu lama sekali. Di satu sisi, aku seorang ibu yang ingin anaknya bahagia, punya bekal kecil untuk membeli roti atau minum susu di sekolah. Tapi di sisi lain, aku seorang pendiri taman baca, seorang perempuan yang telah berjanji, bahwa tempat ini tidak akan padam hanya karena kekurangan.

Air mataku menetes tanpa izin. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku sadar betapa beratnya menjadi penjaga api kecil bernama literasi di tengah keterbatasan. Aku menggenggam uang itu erat-erat, seolah memohon pengertian dari anakku yang belum tentu mengerti. Lalu tanpa berpikir lagi, aku melangkah ke warung terdekat, membeli beberapa kotak krayon murah, warna-warna sederhana yang terasa begitu berharga.

Sore itu, taman baca kembali penuh warna. Anak-anak tertawa sambil menggoreskan warna merah, biru, dan hijau di kertas bergambar. Tidak ada yang tahu bahwa warna-warna itu lahir dari air mataku, dari pengorbanan kecil seorang ibu yang memilih berbagi meski tak punya banyak.

Ketika melihat hasil gambar mereka menempel di dinding, aku tahu, tidak ada yang sia-sia. Mungkin uang jajan anakku habis hari ini, tapi ia akan tumbuh dengan melihat ibunya berjuang untuk kebaikan. Ia akan belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita berikan.

Dan malam itu, saat aku menutup pintu taman baca, aku menatap langit lagi. Masih kelabu, tapi entah kenapa terasa lebih hangat. Mungkin karena di bawah langit itu, ada cinta yang menjelma menjadi warna yang lahir dari tangan anak-anak, dan dari hati seorang ibu yang tak ingin menyerah.

Aku terduduk di sudut kamar. Meletakkan kepalaku serendah-rendahnya di hadapan Allah. Malam-malamku selalu aku sempatkan untuk berdialog dengan Tuhan, juga berdialog dengan diri sendiri.
"Ya Allah ... apa yang aku lakukan hari ini karena Engkau yang menyentuh hatiku untuk terus berbuat baik, meski bukan hal besar. Maka, berikanlah aku kekuatan dan kemampuan untuk menjalani semuanya. Aku percaya atas semua rancanganmu, Ya Allah. Aku hanya ingin menjalaninya dengan tulus. Maka, ajarkan aku ... bagaimana ketulusan itu tidak berbatas."

Satu minggu kemudian ...
"Kak Rin, kita mau ngamen. Nanti kita akan buka donasi untuk taman baca Kak Rin, ya," ungkap Aji, salah satu seniman dan mahasiswa Uniba, lewat pesan Whatsapp.

"Ngamen?"
Aku tertegun selama beberapa saat ketika mengingat kalimat yang kubaca. Tak terasa air mataku jatuh, mengalir menghangatkan pipi.
Aku tidak sanggup berkata-kata. Tanganku gemetaran memegang ponsel dan tidak tahu harus membalas apa. Kubiarkan cukup lama karena aku tidak memiliki kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasihku. 
Hanya air mata yang bisa kusampaikan sebagai rasa terima kasihku pada Allah. Karena Allah yang telah mengirimkan malaikatnya untukku. Lewat hati orang-orang yang telah ditentukan Allah.
Jika bukan karena Allah, mana mungkin mahasiswa-mahasiswa itu mau mengamen hanya untuk menggalang donasi. Sebab, kami tidak begitu dekat. Tapi hati mereka berhasil disentuh oleh Allah agar menjadi bagian dari apa yang telah aku upayakan.
Tak berapa lama, Abi (Ketua Fokus Balikpapan) juga menghubungiku. Membicarakan mengenai rencana pameran seni di Dahor Heritage. Beliau memintaku untuk membawa karya anak-anak taman baca sebagai bahan untuk mempromosikan kehadiran taman bacaku.
Aku masih belum mengerti apa maksudnya. Kemudian, beliau memberikan arahan untuk membuat "Panel Art" dari kardus bekas. Aku tidak banyak bertanya dan berpikir lagi, langsung aku iyakan saja.
Aku tahu, aku tidak memiliki apa pun untuk bisa membiayai kegiatan ini. Karena aku tahu kalau harga cat tidak murah, meski tidak terlalu mahal juga. 
Ketika aku memberitahu anak-anak yang biasa bermain ke taman baca, mereka sangat bersemangat untuk membuat karya. Namun, aku bingung ... dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membeli cat?
Aku mencoba untuk berkomunikasi dengan Kepala Desa, siapa tahu pemerintah desa atau staff-nya ada yang ingin menyumbang secara pribadi. Tapi ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Aku dibantu uang Rp 50.000 oleh Kepala Desa. Sisanya, aku harus mengusahakan sendiri.
Aku bertemu dengan salah seorang tokoh pendidik yang kebetulan mampir ke taman baca untuk melihat kegiatan anak-anak. Beliau mengatakan akan membantu mencari dana supaya bisa membelikan cat untuk kreasi anak-anak. Hari pameran sudah semakin dekat dan kami masih belum mendapatkan bantuan sedikitpun selain bantuan dari Kepala Desa.
Aku tidak bisa mengandalkan orang lain. Menunggu sesuatu yang tidak pasti, hanya akan membuatku kesulitan sendiri. Aku juga tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih ketika melihat semangat anak-anak, aku tidak ingin memadamkannya.
"Aku harus bisa menyisihkan uang," batinku sambil menatap mesin jahit yang ada di hadapanku. Karena aku tidak lagi bekerja, aku memilih untuk belajar menjahit dan memberanikan diri menerima jahitan, meski tidak banyak. Beberapa orang yang mempercayakan jahitannya, telah membantuku menghidupi keluarga kecilku, juga kegiatan di taman bacaku.
Aku sudah berusaha menyisihkan uang, tapi masih belum mencukupi. Sebab, uang yang aku dapatkan harus dibagi untuk kebutuhan sehari-hari, juga untuk uang sekolah anakku.
"Gimana caranya aku bisa dapat uang atau bantuan, ya?" gumamku. 
Tak lama kemudian, Kepala Desa mengajakku mengikuti pelatihan peningkatan SDM di mana aku diberi uang saku dan transport selama pelatihan.
"Alhamdulillah ...!" Aku merasa sangat senang. Aku mendapatkan ilmu baru, juga mendapatkan uang yang bisa aku gunakan untuk membeli cat. 
Aku berkeliling untuk membeli cat yang paling murah. Supaya bisa membeli beberapa warna agar anak-anak bisa membuat "Panel Art" sesuai dengan kreasi mereka. 
Aku tidak tahu bensinku cukup atau tidak jika aku harus berkeliling jauh mencari cat. Semoga cukup dan aku harus menyisihkan beberapa lembar uang untuk berjaga-jaga. Karena tidak semua toko menjual cat yang merk-nya murah. Motor juga tidak akan bergerak jika tidak ada bahan bakarnya.
Begitu aku mendapatkan cat murah, aku langsung pulang dengan bahagia. Anak-anak tidak begitu mementingkan apakah cat yang aku beli adalah cat murahan atau mahalan. Bagi mereka, yang penting ada warnanya.
Pembuatan karya seni "Panel Art" berhasil dan selesai dengan baik. Kemudian, kami harus membawa karya-karya itu ke lokasi pameran di kota Balikpapan.
Masalah baru muncul lagi karena aku tidak memiliki kendaraan untuk membawa Panel Art tersebut. Akhirnya, aku dibantu oleh Kepala Desa. Beliau yang mengantarkan kami sampai di lokasi pameran karena kebetulan putera beliau juga menjadi kontributor dalam pembuatan karya seni tersebut.
Di kegiatan pameran itulah, teman-teman seniman memberikan hasil donasinya kepada kami. Ada satu dus alat lukis yang diberikan kepada taman bacaku. Aku sangat senang menerimanya karena bisa digunakan untuk kegiatan mewarnai di taman bacaku selama beberapa bulan ke depan.
Ternyata, seperti inilah kalau membuka taman baca dan ingin mendedikasikan semuanya. Tidak hanya membuka saja. Aku harus rela untuk berkorban. Karena taman baca tidak akan hidup tanpa uang dan aku tidak bisa terus-menerus bersandar pada orang lain. 
Sejak aku mendirikan taman baca, aku memiliki dua dapur yang harus aku penuhi kebutuhannya, aku memiliki dua ruang tamu yang harus aku rawat kebersihannya, aku memiliki dua halaman yang harus terbuka untuk siapa saja.
Maka aku tepiskan kalimat pedih dari orang-orang yang membenciku, sebab mereka tidak tahu. Andai saja ada yang mau menggantikan posisiku, tentu aku akan menyerahkannya dengan senang hati. Agar aku tidak perlu menitikan air mata hanya untuk menjaga warna-warni yang sudah terlanjur aku tumpahkan di taman baca ini.





0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas