BAB 6 – WINNER WINNER CHICKEN
DINNER
Setelah berlatih
keras, akhirnya Delana masuk ke dalam Squad Chilton yang diberi nama Squad
Lembuswana.
Nama ID game Delana adalah Lady Death. Ia langsung masuk ke
dalam squad Lembuswana dan disambut dengan ramah.
“Hay, Lady Death...! Welcome to Lembuswana Squad!” seru
Chilton.
Chilton menggunakan nama ID game “Panglima Kumbang” dan
menjadi leader dalam squad tersebut.
“Kita turun di mana nih?” tanya Chilton.
“Di School.”
“Males, ah.”
“Ya udah, di Georgepol,” seru Attala yang menggunakan nama
ID “Dewa Sakti”.
Delana mengikuti instruksi tanpa ikut bicara. Ia fokus
dengan game yang akan segera
berlangsung. Delana langsung berlari kencang mencari senjata yang bisa ia
gunakan untuk membunuh lawannya.
“Lady, kamu di mana?” seru Chilton, Delana sangat familiar
dengan suara Chilton.
“Di sini.”
“Jangan jauh-jauh!”
“Siap.”
“Eh, gila! Aku ditembakin dari mana?” teriak Dewa. Ia
langsung mencari tempat yang aman dan menggunakan med kit untuk memulihkan
kembali tokoh game miliknya.
“Knock satu,” tutur Dela. “Knock dua.” Ucap Delana lagi.
“Huu... mantap!” ucap Delana setelah membunuh dua lawannya.
“Mantap!” seru Chilton.
“Ada orang di dalam rumah putih!” seru Chillo, coser paling
cantik.
Dewa Sakti yang kebetulan berada di dekat rumah putih
langsung nge-kill.
“Di mana lagi?” tanya Chilton.
“Di bukit itu ada!” teriak Delana. Ia langsung menembaki
lawan yang bersembunyi di balik bukit.
“Di mana sih?” tanya Chilton.
“Itu di balik bukit!” seru Delana. Ia langsung menembak
saat kepala lawannya muncul di balik bukit. “Hmm....mampus kau! Head kill!”
“Di atas banyak kayaknya,” tutur Chillo.
“Oke. Ayo, kita ke sana aja!” seru Delana.
“Pake mobil, pake mobil. Ayo!” seru Chilton. Teman-temannya
mengikuti instruksi dari Chilton.
“Knock satu,” tutur Delana. “Knock dua,” lanjutnya. “Knock
tiga!”
“Kill!”
“Lady! Aku knocked down, help!” teriak Chilton. “Revive
cepet!”
Delana langsung mendekat dan melakukan reviving sesuai
permintaan Chilton.
“Thanks, Lady.” Tutur Chilton. “Tiga lagi!” serunya.
Winner Winner
Chicken Dinner.
Beberapa detik kemudian mereka memenangkan permainan.
“Huu ... keren!” teriak Chilton. “Lady Death, kamu keren
mainnya.”
“Iya. Baru gabung udah GG,” sahut Attala.
“Oke. Aku pamit dulu, ya! Besok kita lanjut lagi!” ucap
Chilton berpamitan dari arena game dan langsung melempar ponsel gamenya ke atas
ranjang.
Chilton mengambil satu lagi ponsel yang ia gunakan untuk
berkomunikasi dan langsung menelepon Delana.
“Sudah tidur?” tanya Chilton begitu teleponnya dijawab oleh
Delana.
“Belum.”
“Masih ngapain?” tanya Chilton lagi.
“Baru kelar cuci tangan, cuci kaki and cuci muka. Nih,
sekarang mau tidur.”
“Udah ngantuk?”
“Iya.”
“Besok bisa main lagi?”
“Hmm, belum tahu. Kenapa?” tanya Delana balik.
“Ya nggak papa. Mau ngajak kamu main lagi aja. Kamu tadi
mainnya keren banget. Udah lama nge-gaming juga?” tanya Chilton.
“Eh!? Enggak. Aku baru-baru aja main game yang ini.”
“Oh ya? Tapi, lumayan bagus loh. Kamu tadi banyak
nge-kill.”
“Hehehe. Belum seberapa. Aku masih punya target yang belum
bisa aku kill.”
“Oh ya? Siapa?”
“Kamu.”
“Jadi, kamu mau bunuh aku, hah!?”
“Iya.”
“Idih, cantik-cantik kok killer?”
“Nggak papa, lah. Mending killer daripada ngiler.”
Chilton terbahak. “Apa hubungannya killer ama ngiler?”
“Nggak ada, sih.”
“Terus?”
“Biar kamu ketawa aja.”
Chilton tertawa kecil. “Ya udah. Met tidur ya! Maaf aku
ngeganggu jadinya.”
“Iya.”
Chilton langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia menarik
selimut dan terlelap. Sama seperti yang dilakukan Delana di saat yang sama.
***
Jam tujuh, setelah makan malam bersama ayah dan adiknya,
Delana langsung masuk ke dalam kamar. Ia membuka buku materi pelajaran untuk
besok.
“Syukur, deh. Lagi nggak ada tugas,” gumam Delana. Ia
melangkahkan kakinya ke tempat tidur dan langsung menelungkupkan tubuhnya di
atas ranjang.
Tiba-tiba saja ponsel Delana berdering. Ia meraih ponsel
tersebut dan menjawab panggilan video dari Chilton.
“Del, mabar yuk!” ajak Chilton melalui panggilan video.
“Jam berapa?” tanya Delana.
“Sekarang.”
“Oke. Kamu lagi di mana?” tanya Delana begitu melihat cowok
bertubuh gembul yang ikut menatapnya dari belakang Chilton.
“Di kamar Attala,” jawab Chilton.
“Hai ...!” Attala melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Ayo, Lady Death! Kita main lagi! Kita hancurkan dunia per-PUBG-an!” ucapnya
penuh semangat.
Delana tertawa kecil melihat tingkah Attala. “Kamu yang
pakai username Dewa Sakti itu kah?” tanyanya.
Attala mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengunyah
snack yang ada di tangannya.
Delana menahan tawa. Nama ID Attala keren, tapi tubuhnya
gembul seperti itu. Ia pikir, Dewa sakti itu setampan Oppa Korea atau setampan
Chilton.
“Kenapa ketawa begitu?” tanya Chilton.
“Nggak papa. Ayo, kalo mau main!” ajak Delana.
“Kamu pakai handphone ini juga mainnya?” tanya Chilton.
“Eh!? Maksudnya?”
“Kamu pake hp yang dipake video call ini kah nge-gamenya?”
tanya Chilton.
“Oh, enggak. Aku pakai tab untuk nge-game.”
“Sip lah kalo gitu. Vc-nya nggak usah dimatiin ya!” pinta
Chilton.
“Loh? Kenapa?” tanya Delana.
“Nggak papa.”
“Ribet, Chil! Ntar suaranya jadi dua.”
“Hp yang pake video call di mute aja. Suaranya pke yang di
game!” tutur Chilton.
Delana menghela napas. “Iya, deh!” Ia menurut saja apa yang
diinginkan Chilton daripada mereka nantinya malah sibuk berdebat dan membuat
mereka semakin rumit.
“Cantik, Chil!” bisik Attala di telinga Chilton, tapi
Delana bisa mendengarnya.
“Bisik-bisik kok kedengaran!” celetuk Delana.
“Hehehe...” Attala nyengir.
Chilton bersiap mengambil ponsel game miliknya. “Jauh-jauh
dari aku!” pinta Chilton pada Attala.
“Astaga...! Mentang-mentang ada ceweknya, kita yang
diusir.” Attala langsung menyambar satu bungkus snack dan berjalan menjauh dari
meja tempat Chilton duduk.
Delana juga ikut mempersiapkan tab dan earphone miliknya.
Ia bersiap masuk ke dalam permainan.
“Chillo bisa nggak?” teriak Chilton pada Attala yang duduk
membelakanginya beberapa meter dari meja Chilton.
“Bisa, Guys!” jawab Attala sembari mengangkat jempolnya.
“Oke. Masuk!” seru Chilton.
Mereka mulai masuk ke permainan.
“Kita turun di Vikendi aja!” seru Attala.
Yang lain langsung mengikuti intruksi dari Attala. Mereka
turun di area Vikendi dan langsung berlari cepat mengumpulkan senjata dan
peralatan lainnya.
Delana langsung mendapat senjata M24 dan langsung beraksi
mencari lawan.
“Dewa, tolong aku! Aku ditembakin dari atas,” seru Chillo.
Ia langsung mencari tempat yang aman untuk memulihkan tenaga tokoh game
miliknya.
Attala langsung beraksi dan menembaki musuh dari kejauhan.
“Tenang, aku akan selalu menjagamu.”
“Ow, co cwiiit!” seru Delana menggoda.
“Kamu mau aku jagain juga?” tanya Dewa alias Attala.
“Nggak deh. Aku sudah ada yang jagain. Ntar kalian
tembak-tembakan pula,” balas Delana.
“Hahaha. Ya, nggak lah. Aku mana mungkin tega makan temen.”
“Knock, knock!” seru Chilton.
“Panglima keren!” seru Delana.
“Lady, kamu udah kill berapa?” tanya Chilton.
“Tujuh.”
“Sip!” sahut Chilton. “Ayo, masih tiga puluh lagi,”
lanjutnya.
“Banyak musuhnya di sini, Kuy!”
“Lumayan seru jadinya.”
“Aargh ...! Aku knocked down, tolong revive dong!” teriak
Chillo.
“Siap, sayang ... apa sih yang nggak buat kamu,” balas Dewa
langsung melakukan reviving pada tokoh Chillo.
“Jangan sampe ketembak!” seru Delana langsung membunuh
musuh yang menembaki Chillo dan membuatnya Knocked Down. “Mampus kau!”
“Thanks, Lady. Kamu sudah melindungi kami.”
Chilton tersenyum sembari menatap layar ponsel yang masih
melakukan panggilan video pada Delana. Tapi, sepertinya Delana sudah asyik dan
tidak sadar kalau ponselnya masih melakukan panggilan video. Ia tak pernah
menoleh ke kamera sedikitpun dan asyik dengan game yang ada di tangannya.
“Aku knock lagi, help!” teriak Chillo.
Kali ini, Panglima Kumbang yang melakukan reviving pada
Chillo.
“Yah, kalah cepet aku,” celetuk Dewa.
“Dewa, kamu tinggalnya di mana?” tanya Chillo sambil terus
fokus pada game-nya.
“Di perumahan Mall Fantasi.”
“Oh ... kenal sama Lady Death?” tanya Chillo karena
sepanjang bermain game, Lady Death dan Dewa Sakti terlihat sangat akrab dan
sudah tahu satu sama lain.
“Satu kampus,” sahut Lady Death alias Delana.
“Oh, ya? Wah, seru dong? Bisa ketemu tiap hari dan ngumpul
main bareng?”
Semua bungkam. Tak ada yang menanggapi pertanyaan dari
Chillo.
Mereka fokus pada permainan sampai akhirnya memenangkan
permainan tersebut dalam waktu dua puluh menit.
Chilton langsung berpamitan untuk berhenti bermain dengan
alasan ingin istirahat. Ia meletakkan ponsel game-nya dan menatap ke layar
ponsel satunya yang ia letakkan di atas meja. Ia bisa melihat Delana sedang
meletakkan tabnya ke atas meja dan pergi dari hadapan kameranya. Kemudian
kembali lagi, menarik selimut dan menutup tubuhnya. Ia bisa melihat Delana
mulai memejamkan matanya. Delana memang tidak ingat sama sekali kalau panggilan
video dengan Chilton masih aktif karena ia aktifkan mode mute.
Chilton tersenyum menatap wajah Delana yang sudah terlelap.
Ia langsung mematikan panggilan videonya dan bangkit dari duduknya. “Aku balik
dulu,” tutur Chilton sembari menepuk pundak Attala. Ia bergegas keluar dari
kamar Attala dan pulang ke asrama kampusnya.
***
“Ton, cewek yang deket sama kamu itu cantik juga ya?” tutur
Attala saat ia sudah berada di dalam kamar Chilton.
Chilton hanya tersenyum kecil.
“Anaknya juga asyik banget,” ucap Atalla. “Udah gitu, dia
mainnya GG juga ternyata.”
Chilton tertawa
kecil. “Si cantik Chillo itu kayaknya suka sama kamu. Dia nanyain kamu terus.
Nggak pernah nanyain aku.”
“Yah, nggak papa lah. Kan kamu sudah punya Delana si Lady
Death itu. Chillo buat aku, dong!”
“Ambillah...! Nggak demen aku cewek begitu,” tutur Chilton
bergidik. Ia memang tidak suka dengan foto ID Chillo yang terlihat terlalu
vulgar.
“Halah, munafik!”
“Hahaha .... cewek begitu cocoknya buat ereksi doang.”
Chilton tergelak.
“Anjir...! Otakmu ngeres banget!”
“Emangnya kamu nggak?”
“Awweee...”
“Ayolah, main lagi!” ajak Chilton.
“Dela udah dikasih tahu?” tanya Attala.
“Bentar. Aku telpon dulu.” Chilton meraih ponsel yang ia
letakkan di atas meja. “Kamu telpon Chillo!” pinta Chilton.
“Hallo, Del. Kamu lagi apa?” tanya Chilton begitu
panggilannya tersambung.
“Lagi mau jalan, nih.”
“Hah? Ke mana?” Chilton langsung mengangkat punggungnya dan
bangkit dari sofa.
“Mau ke mall, belanja bulanan.”
“Sama siapa?” tanya Chilton.
“Sama ayah and adikku.”
“Oh, ya udah.”
“Kenapa? Mabar kah?”
“Iya. Tapi, kalo kamu sibuk ya nggak usah.”
“Iya. Maaf, ya! Ntar aku ikut gabung kalo udah balik ke
rumah. Main sama yang lain aja dulu. Nggak enak aku sama bos lakiku.” Delana
menjepit ponsel dengan telinga dan pundaknya. Tangannya sibuk mengecek isi tas
untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal terutama dompetnya.
“Oke, lah. Salam ya buat bosmu!”
“Salam apa?”
“Salam apa aja lah.”
“Hmmm... iya. Udah dulu, ya! Aku mau berangkat.”
“Oke.” Chilton langsung mematikan sambungan teleponnya.
“Kenapa? Kok, lemes? Dela nggak bisa?” tanya Attala.
“Nggak bisa, dia. Mau jalan sama bos lakinya.”
“Ke mana?”
“Belanja bulanan katanya. Biasa, cewek.”
“Ya udah, kita main sama yang lain aja.”
“Males!” Chilton melangkahkan kakinya, mengambil jaket yang
tergantung di belakang pintu dan bergegas keluat.
“Mau ke mana?” teriak Attala.
“Jalan. Cari makan. Mau ikut?” tanya Chilton.
“Nggak. Udah janji mau mabar sama Chillo. Aku nitip aja!”
“Nitip apa?”
“Sate ayam aja.”
Chilton tak bertanya lagi.
Ia segera keluar dari asrama dan melajukan mobilnya tanpa tujuan. Ia
menikmati jalanan kota, sampai ia masuk ke wilayah Gunung Dub. Akhirnya, ia
memilih pulang ke rumah.
Chilton membuka pintu rumah yang terkunci. Ia tahu kalau
mamanya belum pulang ke rumah karena mobilnya tak ada di garasi. Ia langsung
masuk ke dalam rumah. Menaiki anak tangga ke lantai dua dan membuka pintu
balkon yang ada di belakang rumahnya. Matanya berbinar tertimp cahaya lampu
kota. Ia baru menyadari kalau suasana malam hari di belakang rumahnya terlihat
begitu indah. Cahaya lampu-lampu kota berkerlap-kerlip di bawahnya, ditambah
pemandangan air laut yang juga berkerlipan ditimpa cahaya bulan. Beberapa kapal
besar juga terlihat menghiasi perairan. Ada juga menara pengeboran minyak di
laut lepas pantai yang dipenuhi dengan cahaya lampu.
Chilton menghela napas panjang. Ia teringat dengan
kata-kata Delana yang ingin sekali bisa melihat indahnya kota Balikpapan dari
Gunung Dubs. Yah, memang indah dan dia baru menyadarinya selama ini.
Chilton menikmati dinginnya angin malam yang menyapa lembut
kulitnya. Seakan berbisik tentang sebuah cerita dan kerinduan. Seakan
bersenandung menyajikan syair-syair cinta penuh bahagia.
Chilton menundukkan kepalanya. Ia kembali masuk ke dalam
rumah dan menuju ke kamarnya. Tiba-tiba ia ingin menginap di sini.
Drrrt ... Drrrt ... Drrt ...!
Chilton merogoh ponsel yang ada di sakunya. Ia membuka
pesan dari Delana. “Aku sudah di rumah. Jadi mabar?”
Chilton tak segera membalas pesan dari Delana. Ia langsung
menekan gambar video call.
“Kok, malah vc? Nggak jadi main?” tanya Delana.
“Bentar. Aku mau nunjukkin sesuatu ke kamu sebelum kita
main.”
“Oh ya?” Delana memerhatikan Chilton yang terlihat di layar
ponselnya. “Kamu di mana?”
“Aku di rumah Gunung Dubs.”
“Hmm ... jangan bilang kamu mau pamer suasana di belakang
rumahmu itu!” dengus Delana.
Chilton tersenyum jahil. “Bagus banget, kamu nggak mau
lihat?” Chilton berjalan keluar dari kamarnya menuju balkon. “Look at this!” Ia
memutar tubuh dan kameranya. Memamerkan gemerlapnya lampu kota yang ada di
bawahnya. “Keren kan?” pamernya.
Delana mengerutkan hidungnya. “Please, nggak usah bikin aku
ngiri!”
“Kalo kamu ngiri, aku nganan.” Chilton menjulurkan
lidahnya.
Delana kesal dibuatnya. Ia mengira kalau Chilton bermain
game bersama Attala. Ternyata, ia malah keluyuran bahkan sampai pulang ke
rumahnya. “Udah, deh. Mending kita mabar aja daripada kamu cuma bikin aku
badmood!”
“Bentar, aku tanya Attala dulu. Dia main sama Chillo tadi.”
“Terus? Mereka kamu tinggal pergi?” tanya Delana.
“Iya. Masih males main tadi. Soalnya laper.”
“Oh ... jadi pulang ke rumah selajur cari makan?” tanya
Delana.
“Iya.” Chilton terdiam sesaat karena teringat sesuatu.
“Astaga!” Chilton menepuk jidatnya.
“Kenapa?”
“Tadi, Attala nitip belikan sate. Aku lupa ... asli!” seru
Chilton. “Aku vc dia dulu.” Chilton langsung melakukan panggilan video tanpa
menutup panggilannya dengan Delana.
“Nggak diangkat. Masih nge-game kali,” tutur Delana.
“Iya, kayaknya.” Chilton terus memanggil.
“Hei ... kamu di mana? Cari makan lama bener?” teriak
Attala begitu tersambung. “Loh? Kamu di mana? Malah vc-an kalian ya?” dengus
Attala.
“Aku di rumah Gunung Dubs. Lupa beliin kamu sate,” tutur
Chilton. “Kayaknya aku mau nginep di rumah sini.”
“Eh, gile lu.” Attala berlagak bicara seperti orang
Jakarta. “Aku di kamarmu nih.”
“Tidur aja di situ. Atau kunciin aja kamarku kalo kamu
pulang. Besok pagi ambil kuncinya sama kamu.”
“Oke lah. Makananku gimana? Aku laper.”
“Delivery aja!”
“Ngomong kek dari tadi.”
Delana terkekeh mendengar perdebatan dua laki-laki itu.
“Masih main kah?” tanya Delana pada Attala.
“Masih. Kalian mau masuk?” tanya Attala.
“Iya.”
“Oke. Aku invite.”
“Oke.” Chilton mematikan panggilan videonya. Mereka
melanjutkan obrolan lewat game.
“Georgepol aja ya!” pinta Chilton.
Mereka mengikuti instruksi dari Chilton dan turun di
Georgepol. Permainan berlangsung seru
dan ramai. Kali ini Delana terlihat gemas dan penuh semangat membantai 20
musuh.
“Anjir! Aku Knocked Down!” teriak Chilton. “Aargh...!” Ia
berteriak kesal karena akhirnya heronya mati. “Lady ...! Kenapa jauh-jauh dari
aku?”
“Nggak malu dijagain cewek mulu?” celetuk Delana sambil
tertawa.
“Awas kamu ya! Kalo ketemu beneran kugigit sampe habis!”
maki Chilton bercanda.
“Mau aku kill duluan?” Delana tergelak. Ia tertawa bangga
karena akhirnya ia bisa lebih tangguh daru Panglima Kumbang yang menjadi salah
satu Pro Player dan juga ketua organisasi game di kotanya.
“Cari masalah ...,”
“Udah, jangan berantem!” seru Chillo. “Kamu diem aja nggak
usah bikin buyar kita biar menang. Tinggal dua belas lagi musuhnya “
Chilton berdehem. Ia tak lagi banyak bicara dan membiarkan
ketiga temannya menyelesaikan permainan.
“Hahaha. Panglima kita K.O!” teriak Attala.
“Dewa, kamu jangan ngolok gitu, mati juga baru tahu rasa!”
sahut Chillo.
“Nggak, lah. Aku mah nggak noob.”
“Maksudnya? Kamu ngatain aku noob?” tanya Chilton.
“Enggak juga sih. Tapi bisa aja posisimu diganti sama Lady.
Lihat aja dia makin keren mainnya.”
Chilton menggigit bibir dan memukul ranjangnya kesal. Ia
tak mengerti kenapa hari ini dia bisa mati lebih dulu dari teman-temannya.
Bahkan, ia baru membunuh tiga musuh. “Betenya aku eh.”
“Bete kenapa?”
“Bete nunggu gini. Lakasi lah!” seru Chilton.
“Sabar, tinggal tiga lagi musuhnya. Di mana mereka?” sahut
Delana sembari fokus mencari posisi musuh.
“Di ujung sana ada,” teriak Chillo.
“Oke.” Delana dengan cepat mencari posisi musuh dan
langsung menembakinya.
Winner Winner Chicken Dinner.
“Huu ... mantap!” teriak Delana dan yang lainnya juga.
“Udahan ya,” tutur Chilton.
“Kok cuma main sekali doang?” tanya Chillo.
“Bete aku. Ngantuk juga, mau tidur.”
“Tumben banget. Ini baru jam sebelas.”
“Namanya ngantuk itu nggak ditentuin sama jam,” sahut
Chilton. “Lady, kamu masih mau main?” tanya Chilton.
“Eh!?”
“Ah ... eh ... ah ... eh ...!? Masih mau main gak?” Chilton
meninggikan nada suaranya.
“Kamu kenapa sih marah-marah gitu sama Lady?” tanya Chillo
heran.
“Sewot dia gara-gara mati,” sahut Attala sambil cekikikan.
“Bodo amat!” Chilton langsung log out dari permainan dan
mengirim pesan pada Delana. “Nggak usah lanjutin game-nya!”
Delana menghela napas setelah membaca pesan dari Chilton.
“Ini orang kenapa sih? Tiba-tiba jadi sensitif banget?” gumamnya.
Belum sampai ia meletakkan kembali ponselnya, Chilton sudah
meneleponnya.
“Kenapa?” tanya Delana lembut.
“Kamu masih main?” tanya Chilton.
“Enggak.”
“Terus, lagi ngapain sekarang?”
“Siap-siap mau tidur.”
“Beneran nggak main lagi?”
“Enggak,” jawab Delana lirih. “Kamu kenapa sih tiba-tiba
jadi marah-marah kayak gitu?” tanya Delana.
“Bete aku kalo kalah!” gerutu Chilton.
“Yang kalah kan kamu. Kenapa marah-marahnya sama aku?”
tanya Delana mulai kesal.
“Kamu kejauhan jaraknya sama aku. Harusnya cepet revive aku
tadi!”
“Tapi, aku kan udah kill dia juga jadinya.”
“Tetep aja aku mati duluan!”
“Ya udah, sih. Nggak usah marah-marah kayak gitu terus. Ini
kan cuma game aja. Jangan snewen gitu, ntar cepet kena serangan jantung lho,”
tutur Delana.
“Seneng kamu kalo aku kena serangan jantung!?”
Delana memutar bola matanya. “Salah lagi,” gumamnya. “Kamu
jangan marah-marah terus kayak gitu, nanti cepet tua.”
“Ah, ya udah lah. Aku mau tidur.” Chilton langsung
mematikan sambungan teleponnya. Ia kesal dengan sikap Delana yang sama sekali
tidak berpihak padanya.
Delana menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.
Ia melanjutkan kembali permainannya. Ia lebih memilih bermain solo karena ia
hanya bermain sendirian saja. Kalau ia meminta bergabung kembali dengan Attala
dan Chillo, itu artinya ia mencari masalah baru. Bisa saja Attala mengadu pada
Chilton kalau semalaman Delana ikut bermain game bersamanya.
***
Akhir-akhir ini Delana semakin asyik bermain game.
Membuatnya jadi semakin malas belajar dan tidak mengerjakan tugas kuliahnya. Ia
sama sekali tidak bersemangat membuka buku. Dia lebih semangat membuka game
yang ada di ponselnya ketimbang buku yang sangat membosankan itu.
“Bel, aku minta tolong, dong!” rengek Delana saat bertemu
dengan Belvi.
“Minta tolong apa?” tanya Belvi.
“Kerjain tugas aku! Please ...!” Delana menangkupkan kedua
telapak tangannya.
“Kamu ngapain aja?” tanya Belvi.
“Aku sibuk banget banyak kerjaan,” jawab Delana berbohong.
“Ntar aku kasih uang pulsa, deh.”
“Hmm ...” Belvi memutar bola matanya. “Nggak biasanya kamu
nyuruh orang lain ngerjain tugas kuliah. Ada apa, Del?” tanya Belvi penasaran.
“Hehehe ... aku kebanyakan nge-game bareng Chilton. Tugas
aku sampe numpuk kayak gini,” jawabnya sambil cengengesan.
“Ckckck ... aku tuh ngegame juga kali, Del. Tapi, nggak
sampe segininya. Sampe lupa sama tugas kuliah.”
Delana hanya meringis menanggapi ucapan Belvi. “Bantuin ya!
Please ...!”
Belvi menghela napasnya. “Oke, aku bantu. Dengan syarat,
kamu harus nemenin aku ngerjain tugas ini dan nggak boleh main hp!”
“Siap, bos!”
Walau ia bilang siap, tapi Delana tak memenuhi janjinya.
Belvi membantunya mengerjakan tugas kuliah sedangkan ia asyik bermain game
online bersama Chilton. Belvi hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan sahabatnya aitu.
.png)
0 komentar:
Post a Comment