Wednesday, August 13, 2025

Perfect Hero Bab 297 : Menunggu Kabar

 


Yuna mondar-mandir hingga puluhan kali karena Yeriko tak kunjung memberi kabar tentang kondisi ayahnya.

“Kenapa sih sampai sekarang nggak nelepon juga? Euuuh!” seru Yuna kesal.

“Mau ikut nggak boleh. Tapi nggak dikasih kabar sama sekali. Ngeselin banget!”

Yuna tak sabar lagi hingga akhirnya ia memilih menelepon Riyan.

Satu kali panggilan.

Tidak ada jawaban.

Dua kali panggilan.

“Nomor yang Anda tuju, sedang sibuk.”

Tiga kali panggilan.

Tidak ada jawaban.

 

 

“Aaargh …!” teriak Yuna sambil mengacak-acak rambutnya. Ia ingin sekali berlari ke rumah sakit saat itu juga.

Yuna meraih sweater yang tergeletak di punggung sofa. Kemudian mengambil tas tangan yang ada di atas meja. Tubuhnya bergerak keluar dari kamarnya.

“Mau ke mana?” tanya Yeriko yang sudah ada di depan pintu kamar.

“Mau nyusul kamu ke rumah sakit. Gimana keadaan ayah?” tanya Yuna.

“Dia baik-baik aja. Sudah ditangani.”

“Aku mau besuk dia.”

“Kamu udah makan?”

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak laper.” Ia berusaha menerobos tubuh Yeriko.

“Aku bawa kamu ke rumah sakit setelah makan. Kalau nggak makan, aku nggak izinkan kamu keluar dari rumah ini.”

Yuna terdiam. Ia terlalu gelisah memikirkan ayahnya. Hingga ia lupa memerhatikan janin yang ada di perutnya.

“Setelah makan, kamu beneran antar aku kan?”

Yeriko mengangguk pasti.

Yuna tersenyum. Ia segera turun dari kamar dan langsung duduk di meja makan.

“Udah mau makan?” tanya Bibi War yang sedang menyusun makanan di atas meja.

Yuna mengangguk.

“Kenapa nggak makan dari tadi? Bibi nggak siapin kamu makan?”

“Eh!? Enggak.” Yuna melambaikan kedua tangannya. “Bibi tadi udah siapin. Cuma … aku yang nggak mau makan,” lanjutnya dengan nada yang semakin rendah.

“Kamu suka bikin anak kita kelaparan?”

Yuna menggelengkan kepala.

“Makan yang banyak!” perintah Yeriko sambil menambahkan beberapa lauk ke piring Yuna.

“Astaga …! Ini beneran porsi kuli. Kayaknya ini cukup buat makan tiga kali,”batin Yuna. “Dia beneran mau bikin aku makin gendut?” batinnya kesal.

Yeriko tersenyum. Ia benar-benar menunggu Yuna menghabiskan makanannya.

Usai makan, Yeriko memenuhi janjinya untuk membawa Yuna pergi ke rumah sakit.

“Ayah beneran udah bisa ngomong?”

Yeriko mengangguk. Ia tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayah Yuna. Ia tidak ingin membuat Yuna terus khawatir.

“Kenapa nggak telepon aku? Riyan juga nggak angkat teleponku.”

“Riyan ada banyak kerjaan yang harus diurus. Aku nggak telepon kamu, karena kondisi ayah kamu baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir!”

Yuna mengangguk. Ia percaya pada suaminya itu.

Yeriko terus melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempat ayah Yuna mendapatkan perawatan.

Yuna terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan cemas. Ia sudah berusaha bersikap tenang, namun tetap saja ia tak bisa benar-benar tenang.

Sesampainya di ruang rawat ayahnya. Yuna langsung menghampiri Adjie yang masih terbaring di ranjangnya.

“Ayah …!” panggil Yuna lirih sembari menyentuh pipi ayahnya dengan lembut.

Adjie tetap bergeming. Ia tidak bergerak sedikit pun.

Yuna sangat sedih karena ayahnya kembali koma. Ia tidak menyangka kalau kondisi kesehatan ayahnya justru memburuk seperti ini.

“Ayah, ini Yuna. Ayah harus bertahan. Ayah harus sembuh!” pinta Yuna dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa Ayah jadi kayak gini?” Yuna terisak sambil membenamkan wajahnya di tepi ranjang.

“Yun, ayah kamu akan baik-baik aja. Kamu jangan seperti ini!” pinta Yeriko sambil mengelus pundak Yuna. “Kata Suster, ayah kamu mungkin akan sadar dalam waktu dekat. Kalau kamu kayak gini, ayah  kamu pasti ikut sedih.”

Yuna menghapus air matanya. Ia sudah menunggu lama ayahnya sadar dari komanya. Beberapa bulan yang lalu, ayahnya sudah bisa membuka mata walau semua anggota tubuhnya tidak memberikan respon. Tapi, beberapa kali kembali koma. Ia sangat berharap kali ini ayahnya bisa sadar dan sembuh.

“Aku mau nunggu ayah di sini sampai dia sadar,” tutur Yuna.

“Tapi …”

“Suster bilang, dia bakal sadar lagi kan?”

Yeriko menganggukkan kepala.

“Kalo gitu, aku tunggu di sini.”

“Tapi …”

“Aku nggak mau dia koma lagi. Aku harus nunggu dia sampai dia sadar.”

“Kita tunggu di rumah ya! Dokter akan ngabarin kita kalau ayah kamu sudah sadar.”

“Aku tunggu di sini dulu sebentar, please!”

Yeriko mengangguk. Ia menemani Yuna di dalam bangsal tempat ayahnya dirawat.

Tepat jam sepuluh malam, Yuna sudah menunggu di rumah sakit selama dua belas jam. Ayahnya masih belum juga tersadar dari tidur panjangnya.

“Kita pulang dulu!” ajak Yeriko. “Besok bisa ke sini lagi.”

Yuna mengangguk kecil. Ia bangkit dari sofa. Menatap wajah ayahnya yang masih terlelap di tempat tidurnya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ayahnya di rumah sakit.

“Mau makan apa?” tanya Yeriko saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.

“Tadi udah makan. Aku masih kenyang.”

“Yakin?”

Yuna menganggukkan kepala.

“Makan dua jam yang lalu biasanya, kamu udah laper lagi kalau udah lewat dua jam.”

Yuna memonyongkan bibirnya. “Apa aku serakus itu?”

Yeriko tersenyum kecil. “Sekarang, aku bukan cuma ngasih makan kamu. Tapi juga anak yang ada di perut kamu. Harus makan yang banyak, biar sehat terus.”

Yuna bergeming.

“Ayah kamu baik-baik aja. Kamu harus mikirin si Dedek juga, dong!” pinta Yeriko.

“Iya.”

“Iya, apa?”

“Cari makan.”

“Mau makan apa?”

“Ayam geprek.”

“Pedas, Yun.”

“Nggak pake sambelnya juga kan bisa.”

“Oke. Nggak pengen sapi geprek?”

“Aku lagi hamil. Kalo kepingin beneran gimana?”

Yeriko terkekeh. “Iya, iya.” Ia segera melajukan mobilnya ke salah satu rumah makan yang menjual ayam geprek.

“Besok ke kantor aku ya!” perintah Yeriko.

“Ngapain?”

“Ada hal penting yang harus kamu urus.”

“Apa itu?”

“Dateng aja!”

“Aku mau nungguin ayah di rumah sakit.”

“Sebentar aja, kok.”

“Oke. Jam berapa?”

“Jam sebelas sudah di sana. Jadi, kita bisa makan siang bareng.”

“Oke. Sekalian aku antar makan siang buat kamu.”

Yeriko mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu nggak ikut makan?” tanya Yuna.

Yeriko menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Kamu aja yang makan.”

“Udah nggak mual, kan?”

Yeriko tersenyum kecil. Baginya, melihat Yuna makan dengan lahap adalah kebahagiaan tersendiri untuknya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa wanita yang ada di hadapannya itu justru menghipnotis dirinya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Yuna, satu-satunya wanita yang membuat dunianya terus tersenyum.

Yuna membalas senyuman Yeriko. Ia menyodorkan potongan mentimun ke mulut Yeriko. Seharusnya, ia tidak membuat suaminya mengkhawatirkan dirinya dan anak yang berada dalam kandungannya.

Yeriko langsung melahap potongan mentimun yang diberikan Yuna. Ia tertawa kecil sambil mengelus ujung kepala Yuna. Ia menikmati Yuna yang makan dengan lahap sebelum mereka kembali ke rumah.

 

(( Bersambung ... ))

 

Thanks udah setia baca sampai di sini,

Dukung terus biar aku makin semangat bikin cerita yang lebih seru lagi.

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas