Yuna mondar-mandir
hingga puluhan kali karena Yeriko tak kunjung memberi kabar tentang kondisi
ayahnya.
“Kenapa sih sampai
sekarang nggak nelepon juga? Euuuh!” seru Yuna kesal.
“Mau ikut nggak
boleh. Tapi nggak dikasih kabar sama sekali. Ngeselin banget!”
Yuna tak sabar
lagi hingga akhirnya ia memilih menelepon Riyan.
Satu kali
panggilan.
Tidak ada jawaban.
Dua kali
panggilan.
“Nomor yang Anda
tuju, sedang sibuk.”
Tiga kali
panggilan.
Tidak ada jawaban.
“Aaargh …!” teriak
Yuna sambil mengacak-acak rambutnya. Ia ingin sekali berlari ke rumah sakit
saat itu juga.
Yuna meraih
sweater yang tergeletak di punggung sofa. Kemudian mengambil tas tangan yang
ada di atas meja. Tubuhnya bergerak keluar dari kamarnya.
“Mau ke mana?”
tanya Yeriko yang sudah ada di depan pintu kamar.
“Mau nyusul kamu
ke rumah sakit. Gimana keadaan ayah?” tanya Yuna.
“Dia baik-baik
aja. Sudah ditangani.”
“Aku mau besuk
dia.”
“Kamu udah makan?”
Yuna menggelengkan
kepala. “Aku nggak laper.” Ia berusaha menerobos tubuh Yeriko.
“Aku bawa kamu ke
rumah sakit setelah makan. Kalau nggak makan, aku nggak izinkan kamu keluar
dari rumah ini.”
Yuna terdiam. Ia
terlalu gelisah memikirkan ayahnya. Hingga ia lupa memerhatikan janin yang ada
di perutnya.
“Setelah makan,
kamu beneran antar aku kan?”
Yeriko mengangguk
pasti.
Yuna tersenyum. Ia
segera turun dari kamar dan langsung duduk di meja makan.
“Udah mau makan?”
tanya Bibi War yang sedang menyusun makanan di atas meja.
Yuna mengangguk.
“Kenapa nggak
makan dari tadi? Bibi nggak siapin kamu makan?”
“Eh!? Enggak.”
Yuna melambaikan kedua tangannya. “Bibi tadi udah siapin. Cuma … aku yang nggak
mau makan,” lanjutnya dengan nada yang semakin rendah.
“Kamu suka bikin
anak kita kelaparan?”
Yuna menggelengkan
kepala.
“Makan yang
banyak!” perintah Yeriko sambil menambahkan beberapa lauk ke piring Yuna.
“Astaga …! Ini
beneran porsi kuli. Kayaknya ini cukup buat makan tiga kali,”batin Yuna. “Dia
beneran mau bikin aku makin gendut?” batinnya kesal.
Yeriko tersenyum.
Ia benar-benar menunggu Yuna menghabiskan makanannya.
Usai makan, Yeriko
memenuhi janjinya untuk membawa Yuna pergi ke rumah sakit.
“Ayah beneran udah
bisa ngomong?”
Yeriko mengangguk.
Ia tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayah Yuna. Ia
tidak ingin membuat Yuna terus khawatir.
“Kenapa nggak
telepon aku? Riyan juga nggak angkat teleponku.”
“Riyan ada banyak
kerjaan yang harus diurus. Aku nggak telepon kamu, karena kondisi ayah kamu
baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir!”
Yuna mengangguk.
Ia percaya pada suaminya itu.
Yeriko terus
melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempat ayah Yuna mendapatkan perawatan.
Yuna terus
melangkah menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan cemas. Ia sudah
berusaha bersikap tenang, namun tetap saja ia tak bisa benar-benar tenang.
Sesampainya di
ruang rawat ayahnya. Yuna langsung menghampiri Adjie yang masih terbaring di
ranjangnya.
“Ayah …!” panggil
Yuna lirih sembari menyentuh pipi ayahnya dengan lembut.
Adjie tetap
bergeming. Ia tidak bergerak sedikit pun.
Yuna sangat sedih
karena ayahnya kembali koma. Ia tidak menyangka kalau kondisi kesehatan ayahnya
justru memburuk seperti ini.
“Ayah, ini Yuna.
Ayah harus bertahan. Ayah harus sembuh!” pinta Yuna dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa Ayah jadi
kayak gini?” Yuna terisak sambil membenamkan wajahnya di tepi ranjang.
“Yun, ayah kamu
akan baik-baik aja. Kamu jangan seperti ini!” pinta Yeriko sambil mengelus
pundak Yuna. “Kata Suster, ayah kamu mungkin akan sadar dalam waktu dekat.
Kalau kamu kayak gini, ayah kamu pasti ikut sedih.”
Yuna menghapus air
matanya. Ia sudah menunggu lama ayahnya sadar dari komanya. Beberapa bulan yang
lalu, ayahnya sudah bisa membuka mata walau semua anggota tubuhnya tidak
memberikan respon. Tapi, beberapa kali kembali koma. Ia sangat berharap kali
ini ayahnya bisa sadar dan sembuh.
“Aku mau nunggu
ayah di sini sampai dia sadar,” tutur Yuna.
“Tapi …”
“Suster bilang,
dia bakal sadar lagi kan?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Kalo gitu, aku
tunggu di sini.”
“Tapi …”
“Aku nggak mau dia
koma lagi. Aku harus nunggu dia sampai dia sadar.”
“Kita tunggu di
rumah ya! Dokter akan ngabarin kita kalau ayah kamu sudah sadar.”
“Aku tunggu di
sini dulu sebentar, please!”
Yeriko mengangguk.
Ia menemani Yuna di dalam bangsal tempat ayahnya dirawat.
Tepat jam sepuluh
malam, Yuna sudah menunggu di rumah sakit selama dua belas jam. Ayahnya masih
belum juga tersadar dari tidur panjangnya.
“Kita pulang
dulu!” ajak Yeriko. “Besok bisa ke sini lagi.”
Yuna mengangguk
kecil. Ia bangkit dari sofa. Menatap wajah ayahnya yang masih terlelap di
tempat tidurnya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ayahnya di rumah sakit.
“Mau makan apa?”
tanya Yeriko saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.
“Tadi udah makan.
Aku masih kenyang.”
“Yakin?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Makan dua jam
yang lalu biasanya, kamu udah laper lagi kalau udah lewat dua jam.”
Yuna memonyongkan
bibirnya. “Apa aku serakus itu?”
Yeriko tersenyum
kecil. “Sekarang, aku bukan cuma ngasih makan kamu. Tapi juga anak yang ada di
perut kamu. Harus makan yang banyak, biar sehat terus.”
Yuna bergeming.
“Ayah kamu
baik-baik aja. Kamu harus mikirin si Dedek juga, dong!” pinta Yeriko.
“Iya.”
“Iya, apa?”
“Cari makan.”
“Mau makan apa?”
“Ayam geprek.”
“Pedas, Yun.”
“Nggak pake
sambelnya juga kan bisa.”
“Oke. Nggak pengen
sapi geprek?”
“Aku lagi hamil.
Kalo kepingin beneran gimana?”
Yeriko terkekeh.
“Iya, iya.” Ia segera melajukan mobilnya ke salah satu rumah makan yang menjual
ayam geprek.
“Besok ke kantor
aku ya!” perintah Yeriko.
“Ngapain?”
“Ada hal penting
yang harus kamu urus.”
“Apa itu?”
“Dateng aja!”
“Aku mau nungguin
ayah di rumah sakit.”
“Sebentar aja,
kok.”
“Oke. Jam berapa?”
“Jam sebelas sudah
di sana. Jadi, kita bisa makan siang bareng.”
“Oke. Sekalian aku
antar makan siang buat kamu.”
Yeriko mengangguk
sambil tersenyum.
“Kamu nggak ikut
makan?” tanya Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Kamu aja yang
makan.”
“Udah nggak mual,
kan?”
Yeriko tersenyum
kecil. Baginya, melihat Yuna makan dengan lahap adalah kebahagiaan tersendiri
untuknya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa wanita yang ada di hadapannya itu
justru menghipnotis dirinya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak ia sukai.
Yuna, satu-satunya wanita yang membuat dunianya terus tersenyum.
Yuna membalas
senyuman Yeriko. Ia menyodorkan potongan mentimun ke mulut Yeriko. Seharusnya,
ia tidak membuat suaminya mengkhawatirkan dirinya dan anak yang berada dalam
kandungannya.
Yeriko langsung
melahap potongan mentimun yang diberikan Yuna. Ia tertawa kecil sambil mengelus
ujung kepala Yuna. Ia menikmati Yuna yang makan dengan lahap sebelum mereka
kembali ke rumah.
(( Bersambung ...
))
Thanks udah setia
baca sampai di sini,
Dukung terus biar
aku makin semangat bikin cerita yang lebih seru lagi.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
.png)
0 komentar:
Post a Comment