Sastra dan Seni: Dua Saudara yang Tak Bisa Dipisahkan
Oleh: Rin Muna
Saat kita menyelami dunia sastra, kita sedang menjelajahi dunia batin manusia dengan segala kompleksitasnya. Saat kita menyentuh seni, kita sedang mendekap bentuk-bentuk visual, gerak, bunyi, hingga ekspresi yang tak selalu bisa diucapkan kata.
Tapi, tahukah kamu bahwa sastra dan seni bukan dua dunia yang berbeda? Mereka ibarat saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama: imajinasi, perasaan, dan pencarian makna.
Sebagai seorang penulis dan pengelola Rumah Literasi Kreatif, saya sering menemukan bahwa karya sastra tidak pernah benar-benar steril dari sentuhan seni lain. Saat saya menulis puisi, saya memikirkan ritme dan musikalitas kata seperti dalam musik. Saat saya menulis cerita anak, saya memvisualisasikan latar dan karakter seperti seorang pelukis membuat sketsa. Di sanalah saya yakin: sastra dan seni tidak dapat dipisahkan.
Sastra adalah Seni Berbahasa. Sastra, pada dasarnya, adalah cabang dari seni itu sendiri—tepatnya seni bahasa. Dalam Ensiklopedia Britannica, sastra didefinisikan sebagai “a body of written works that possess artistic or intellectual value”. Artinya, sastra bukan sekadar tulisan; ia adalah tulisan yang memiliki nilai seni dan pemikiran (Britannica, 2024).
Coba bayangkan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata—tanpa gaya bahasa yang puitis, apakah kita bisa ikut terhanyut dalam semangat Ikal dan Arai? Tanpa metafora, imaji, dan irama, apakah puisi Chairil Anwar akan tetap abadi?
Seni adalah wadah berekspresi dan sastra adalah isinya. Seni rupa, musik, tari, teater—semuanya bisa menjadi medium untuk sastra. Dan sastra sendiri bisa menjadi dasar penciptaan seni. Keduanya saling menghidupi. Dalam pementasan monolog, misalnya, naskah sastra menjadi jiwa yang dihidupkan oleh seni peran. Dalam puisi visual, kata-kata tidak hanya dibaca tapi juga dilihat.
Menurut Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author (1967), teks sastra membuka ruang bagi interpretasi bebas pembaca. Di sinilah seni masuk: pembaca bisa merespon teks dengan melukis, menggambar, atau bahkan membuat tarian dari puisi. Sastra tak hanya dibaca; ia bisa ditonton, didengar, dan dialami dengan seluruh pancaindra.
Seni dan sastra sama-sama menjadi objek penting yang membangun peradaban.
Jika seni adalah cermin zaman, maka sastra adalah suaranya. Di Kalimantan, tempat saya menulis dan berkarya, saya melihat bagaimana hikayat dan pantun berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai media pendidikan, pelestarian budaya, dan penguat identitas. Ketika seni Dayak ditarikan, dan cerita rakyat dibacakan dengan iringan musik tradisional, kita melihat keutuhan antara seni dan sastra yang nyaris sakral.
UNESCO dalam dokumen Culture 2030 Indicators menegaskan bahwa kebudayaan yang hidup—baik dalam bentuk seni maupun sastra—merupakan pondasi pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2020). Sastra dan seni bukan hanya ekspresi individu, tapi juga instrumen sosial.
Sastra dan seni ibarat dua sisi mata uang yang sama. Mereka tumbuh bersama, saling memberi nyawa, dan menghadirkan pengalaman manusia dalam bentuk yang paling indah. Jika kita ingin memahami dunia, atau bahkan menyembuhkan luka kolektif masyarakat, kita tidak bisa memilih salah satu. Keduanya harus dirayakan bersama.
Sebagai bagian dari komunitas sastra Pena Kreatif, saya percaya bahwa membesarkan sastra adalah juga membesarkan seni. Maka jangan heran jika dalam setiap buku saya, selalu ada ilustrasi, irama, bahkan nuansa panggung. Karena menulis, bagi saya, bukan sekadar merangkai kata—tapi mencipta dunia, dengan segala warna dan nadanya.
Sumber referensi:
1. Britannica. (2024). Literature. Retrieved from https://www.britannica.com
2. Barthes, R. (1967). The Death of the Author. In Image-Music-Text.
3. UNESCO. (2020). Culture 2030 Indicators. Paris: UNESCO.
4. Hirata, A. (2006). Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang Pustaka.
5. Anwar, C. (1957). Aku. Jakarta: Balai Pustaka.
Ingin ikut mendiskusikan hubungan sastra dan seni lebih jauh? Yuk mampir ke blog saya: www.rinmuna.com. Di sana, kita bisa saling berbagi gagasan dan karya!
0 komentar:
Post a Comment