Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu!
Belajar Merdeka dari Dalam Diri
Oleh Rin Muna
Kamu pernah nggak, merasa hidup ini kayak ditarik-tarik dari segala arah?
Mau milih jurusan kuliah, dibilang, "jangan aneh-aneh, nanti susah cari kerja!".
Mau keluar dari pekerjaan yang bikin stres, langsung disodorin nasihat, "sabar, semua kerjaan memang berat."
Lama-lama, kita bukan lagi hidup atas dasar pilihan sadar, tapi lebih mirip boneka tali—yang bergerak sesuai keinginan orang lain.
Aku pernah berada di fase itu. Dan rasanya… ngambang. Seolah hidup ini bukan milikku. Tapi suatu ketika aku membaca kutipan dari Epictetus, filsuf Stoik dari Yunani, yang berkata, “Jangan biarkan kekuatan luar mengganggumu! Gangguan hanya muncul jika kamu mengizinkannya masuk.”
Boom ...!
Kepala langsung kayak disiram air es. Itu titik balik—bahwa kebebasan sesungguhnya bermula dari kemerdekaan memilih, tanpa dikendalikan ekspektasi orang lain.
Stoikisme mengajarkan bahwa dalam hidup ini, ada dua hal: yang dalam kendali kita, dan yang di luar kendali kita. Keputusan pribadi, cara berpikir, dan reaksi terhadap peristiwa—itu wilayah kita. Tapi opini orang, harapan mereka, bahkan pujian dan kritik—semuanya di luar kendali kita.
Lucunya, justru banyak dari kita menyerahkan kendali itu ke tangan orang lain.
Dalam filsafat Islam, hal ini senada dengan ajaran ikhlas dan tawakkal. Dalam QS. Az-Zumar ayat 17-18, Allah menyebutkan tentang "orang-orang yang mau mendengar perkataan orang lain, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya." Artinya, kita boleh mendengar, tapi tetap harus memilah dan memutuskan sendiri.
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut agar mereka tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka kabar gembira. Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
(QS Az-Zumar: 17-18)
Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada penilaian manusia adalah bentuk hijab—penghalang—dalam perjalanan spiritual. Karena pada akhirnya, pertanggungjawabanmu bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Tuhan dan dirimu sendiri.
Lantas, Haruskah Kita Egois?
Tentu tidak. Mendengar masukan itu penting. Tapi bedakan antara nasihat yang mencerahkan, dan opini yang mencekik. Ada perbedaan antara "ini mungkin bisa membantumu" dengan "kamu harus begini, titik!"
Menjadi merdeka dalam memilih bukan berarti menutup diri dari saran. Tapi kita perlu memproses saran itu secara sadar, bukan otomatis mengiyakan karena takut ditolak atau dianggap durhaka.
Di sinilah peran akal dan hati nurani yang dalam Islam disebut sebagai qalbun salim—hati yang bersih dan cerdas, yang mampu membedakan mana jalan yang penuh cahaya, dan mana jalan yang hanya penuh sorakan tapi hampa makna.
Cobalah sesekali bertanya dalam hati:
Apakah aku benar-benar menginginkan ini?
Atau aku hanya takut mengecewakan orang lain?
Apakah keputusan ini membuatku damai?
Atau justru semakin asing dengan diriku sendiri?
Karena sejatinya, hidup bukan soal menyenangkan semua orang. Hidup adalah tentang menjadi pribadi yang utuh, yang bisa berkata “ya” karena yakin, dan “tidak” karena sadar.
Marcus Aurelius, Kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik menulis dalam Meditations: “Jika kamu terhenti karena opini orang lain, berarti kamu memberikan kekuasaan atas dirimu pada mereka.”
Dalam kasus yang sama, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata: “Orang yang paling kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah dan tetap kokoh di saat ragu.”
Kalau kamu sedang berada di persimpangan pilihan, tarik napas. Dengarkan hati. Tanyakan pada akal sehat, bukan pada ketakutan. Jangan biarkan suara di luar sana lebih keras dari suara di dalam dirimu.
Kamu bukan robot yang diprogram oleh ekspektasi orang lain. Kamu adalah manusia yang diberi kehormatan oleh Tuhan untuk memilih dan bertanggung jawab atas hidupmu sendiri.
Karena pada akhirnya, keputusan yang kamu buat hari ini, adalah pondasi bagi dirimu yang akan datang.
Dan ingat, hidupmu bukan panggung sandiwara. Jangan biarkan orang lain menulis naskahnya untukmu.
Referensi Singkat:
Epictetus – Discourses and Enchiridion
Marcus Aurelius – Meditations
Imam Al-Ghazali – Ihya Ulumuddin
QS. Az-Zumar: 17-18
Kutipan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Nahjul Balaghah)
Kalau kamu merasa tulisan ini menyentuh sesuatu dalam dirimu, bagikan ke temanmu. Siapa tahu, itu juga jadi titik balik untuk mereka.
Salam hangat,
Rin Muna
(Menulis agar tak kehilangan arah di dunia yang bising)
0 komentar:
Post a Comment