Friday, September 20, 2019

Rahasia Sang Perindu



Adifa menatap tubuhnya di depan cermin besar yang berdiri kokoh di dinding kamarnya. Senyumnya mengembang menatap wajahnya yang sempurna dengan polesan make up natural. Tubuhnya yang tinggi dan kulit putih bersih. Tubuh indahnya dibalut pakaian muslim yang memadukan warna cream dan hitam.
      Drrt.... Drrt... Drrt...
      Getaran ponsel di atas meja rias membuyarkan lamunannya.
      "Hallo... " Suara lelaki di seberang telpon terdengar merdu di telinga Adifa.
      "Iya Mas. Aku sudah siap." Adifa bergegas meraih tas dan keluar dari kamarnya.
      "Iya. Mas tunggu di depan." Komunikasi via telepon itu terhenti. Adifa memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Berjalan ke halaman rumah, tempat Mas Ardi memarkirkan mobilnya.
      Seketika mobil itu melaju menuju sebuah Masjid. Kedua kakak beradik itu akan menghadiri acara Tabligh Akbar yang di selenggarakan di salah satu Masjid kota itu.
      Adifa melangkahkan kakinya menuju shaf para wanita berkumpul. Sedangkan Ardi berada di shaf laki-laki.
      Dua jam berselang, mereka keluar dari Masjid. Adifa merasa hatinya lebih tenang, lebih damai dan indah dengan siraman rohani yang sering ia dengarkan bersama kakaknya.
      "Dif, ini ada titipan untukmu." Ardi mengulurkan sebuah amplop dari sakunya.
      "Dari siapa, Mas?" tanya Adifa penasaran.
      "Dari Maulana."
      "Wah... Kak Maulana baik ya Mas? Udah kasih THR duluan. Mas Ardi aja belum kasih THR buat aku." Adifa menatap amplop itu, membolak-balik, menerawang isinya lewat cahaya yang masuk di jendela mobil.
      "Ngapain diterawang segala. Langsung dibuka aja!" celetuk Ardi sambil mengendalikan setir mobilnya.
      Adifa tersenyum. "Benar juga kata Mas Ardi," batinnya sembari membuka amplop yang diberikan Maulana.
      Adifa membelalakkan matanya, karena amplop itu bukan berisi uang. Melainkan sebuah surat yang tidak tahu apa isinya. Cepat-cepat ia memasukkan amplop itu ke dalam tasnya sebelum kakaknya melihat.
      "Kenapa dimasukkan?" tanya Ardi penasaran.
      "Nggak papa. Nanti aku buka di rumah aja Mas." Adifa membuang pandangannya ke arah jendela. Menikmati pemandangan tepi jalan untuk mengalihkan pembicaraan dengan kakaknya.
      Sesampainya di rumah, Adifa langsung masuk kamar. Mengunci pintu kamar rapat-rapat. Perlahan ia mengeluarkan surat dari dalam tasnya. "Kenapa Kak Maulana berkirim surat? Bukankah bisa menelepon atau datang langsung ke rumah untuk berbicara?" batin Adifa. Adifa begitu mengagumi sosok pria seperti Maulana. Lelaki tampan yang baik hati, soleh dan santun. Namun, Adifa selalu merasa Maulana tak menyukainya, Maulana selalu menghindar tiap kali bertemu dengannya. Sebab Maulana begitu menjaga pandangannya terhadap perempuan.

      Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
        Adifa... bersama dengan surat ini, aku ingin menyampaikan perihal penting untukmu.
      Aku sudah melakukan perjalanan selama puluhan hari untuk mencari ridho Illahi.
      Aku sudah melakukan perjalanan selama puluhan hari untuk sekedar tahu isi hatimu.
      Aku bertanya pada semua yang telah bersamamu sepanjang hidupmu, Abah, Umma dan Masmu.
      Aku sudah mantap bahwa kamu adalah wanita terbaik dari pilihan yang baik.

      Telah lama aku buang khayalanku agar tak merindukanmu, namun aku gagal.
      Aku hanya lelaki biasa yang Tuhan ciptakan dengan hati untuk mengagumimu.
      Aku tak ingin terus-menerus merahasiakan rasa rinduku.
      Aku ingin mengungkapkan semua rasa dihadapan Allah.
      Jika berkenan, ijinkan aku meminangmu dengan ijab kabul.

      Tak perlu membalas surat ini. Cukup beritahukan kepada Ardi jika kamu menerimanya.
        Aku akan membawa serta keluargaku menemui Abah dan Umma.
        Wassalamu'alaikum warohmatullahi Wabarokatuh.


      Adifa berlari keluar kamar sembari berteriak memanggil nama kakaknya.
      "Ada apa sih teriak-teriak?" tanya Ardi.
      "Mas, amplop dari Kak Maulana itu bukan THR. Tapi lebih mahal dari THR." Adifa sangat seumringah mengungkapkannya.
      "Oh ya? Apa dong?" tanya Ardi.
      "Baca!" pinta Adifa sambil menyodorkan surat dari Maulana.
      Ardi tersenyum setelah membaca surat dari Maulana. "Alhamdulillah... Akhirnya cinta adikku terbalaskan."
      "Apaan sih Mas!?" Adifa tersipu, pipinya terlihat memerah.
      Ardi tersenyum menggoda. "Nanti akan Mas bicarakan dengan Umma dan Abah saat mereka pulang. Maulana itu pria yang baik. Sebentar lagi dia akan jadi ustadz muda yang ganteng dan pastinya digandrungi banyak perempuan."
      "Lalu?"
      "Lalu kamu akan patah hati jika tidak segera menerima pinangannya. Dia pasti akan bertemu dengan wanita yang lebih baik yang mampu merebut hatinya," sergah Ardi.
      "Aku mau kok Mas," tutur Adifa penuh semangat.
      "Bagus. Akhirya Sang Perindu itu tak lagi merahasiakan dirinya," ucap Ardi sambil berlalu pergi.
      "Maksudnya, Mas?" tanya Adifa penasaran.
      "Sudah lama Maulana menyimpan rasa cintanya untukmu. Hanya saja karena belum muhrim, ia tak ingin dekat denganmu. Saat aku bilang jika kamu begitu mengagumi dia, dia langsung membuat keputusan yang sangat indah." Ardi mengerdipkan salah satu matanya.
      Adifa tersenyum bahagia. Ia tak menyangka jika rahasia hati antara dia dan Maulana bisa terungkap. Sepandai apapun manusia menutupi rahasia hatinya, Allah akan tahu. Dan beginilah cara Allah menyatukan dua insan yang saling mencintai karena Allah.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas